Jam 20.00. Ardiansyah sedang berjalan menuju ke arah indekosnya. Langkahnya terhenti, saat melihat pintu indekos Arta, Prata, dan Reza terbuka lebar.
Dengan perasaan khawatir. Ia percepat langkahnya menuju ke indekos ketiga orang itu. Langkahnya terhenti, saat sudah berada di ambang pintu. Matanya membulat sempurna, saat melihat indekos ketiga orang itu sangat-sangat berantakan. Lebih berantakan dari biasanya.
Perlahan, ia melangkah masuk ke dalam. Memandang ke arah sekitar. Sangat jarang sekali, ketiga orang itu tidak ada di dalam indekos. Apa lagi, sekarang sudah malam.
Ia hentikan langkahnya, saat melihat sebuah surat tergeletak di atas lantai. Ia pun membungkuk, lalu mengambil secarik surat itu.
"Temui kami di tempat biasanya. Ayo kita tuntaskan dendam yang ada," ucap Ardiansyah membacakan isi surat itu.
Dilihat dari tulisannya. Pasti, bukan Arta, Prata, dan Reza yang menuliskan surat itu. Ardiansyah sudah sangat hafal gimana bentuk tulis
Jam 10.00. Laura baru saja mendapatkan sebuah pesan dari Reza. Setelah membaca pesan itu, langsung berlari menuju ke arah garasi rumahnya.Tanpa berpamitan, ia langsung melenggang begitu saja menaiki mobil kesayangan. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Berkali-kali ia menekan klakson mobilnya, agar semua pengendara yang ada di depannya menyingkir.Tak lama kemudian, ia sudah sampai di parkiran rumah sakit. Setelah memarkirkan mobilnya, ia pun langsung menuju ke arah resepsionis rumah sakit, untuk menanyakan di mana tempat Ardiansyah dirawat.Setelah tau di mana tempatnya, ia pun langsung menuju ke ruangan itu. Ia sudah pernah dirawat di rumah sakit ini. Jadi, ia masih sedikit ingat tentang ruangan-ruangan yang ada di dalam rumah sakit.Langkahnya mulai perlahan, saat sudah dekat dengan ruangan Ardiansyah. Matanya menatap Arta, Prata dan Reza yang sedang duduk kursi."Kenapa kalian nggak masuk ke dalam? Siapa yang jaga Ar?" tanya Laura
Jam 14.00. Seorang pria berjalan santai menelusuri koridor rumah sakit. Langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan. Tangannya mulai mengarah ke gagang pintu. Pria itu menghembuskan nafasnya, lalu membuka pintu tersebut.Matanya menatap ke arah seorang laki-laki yang sedang duduk di atas kasur sambil membaca sebuah buku novel. Ia ikut tersenyum saat melihat laki-laki itu tersenyum."Oh, Pak Denis. Gimana kabar Anda?" tanya laki-laki itu sambil menutup buku novelnya.Laki-laki itu adalah Ardiansyah. Salah satu muridnya yang sangat nekat melawan sekelompok preman dan akhirnya terbaring di kasur rumah sakit karena mendapatkan sebuah tusukan pisau tepat di perut sebelah kanannya."Pak Denis? Kenapa bengong aja?" tanya Ardiansyah."Gimana kabar kamu?" tanya Pak Denis sambil menutup pintu."Sehat-sehat saja. Mana mungkin, orang seperti saya mati hanya karena sebuah tusukan pisau."Denis menggelengkan kepalanya secara perlahan. Ia tidak
Jam 17.00. Reno menghembuskan nafasnya perlahan, setelah mendapatkan telepon dari Denis. Laki-laki itu sudah cerita tentang semua rencana Ardiansyah ke depannya.Ia memang tidak rela jika harus membiarkan Nindy pergi bersama Ardiansyah. Tetapi, kalau kecurigaan Ardiansyah benar, rencana itu yang dapat menyelamatkan Nindy dari penculikan.Matanya beralih menatap gadis kecil yang sedang makan bersama Felysia di meja makan. Ia tersenyum kecil, sekarang kedua putrinya itu tidak saling mengacuhkan lagi. Ia bahkan, sering memergoki kedua putrinya itu sedang berbicara berdua di halaman rumah.Ia berjalan perlahan menuju ke arah meja makan. Langkahnya terhenti, saat sudah berada di samping kursi. Lalu secara perlahan, ia pun duduk manis di kursinya."Nindy kamu liburan nggak?" tanya Reno. Dan, langsung mendapatkan sebuah tatapan dari Nindy dan Felysia."Liburan? Nindy kan harus sekolah," ucap Nindy."Ayah yang akan ngurus surat izin kamu
Jam 17.20. Felysia sudah sampai di rumah sakit Pelita Jaya. Ia berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Menelusuri koridor yang ada di dalam rumah sakit itu. Ia sudah tau tentang ruangan di mana Ardiansyah dirawat. Jadi, ia tidak perlu takut salah masuk kamar.Ia hentikan langkahnya di depan sebuah pintu ruangan. Ia yakin, kalau di dalam ruangan itu, ada Ardiansyah yang sedang terbaring di atas kasur rumah sakit.Perlahan, tangannya mulai menggapai gagang pintu. Dengan perasaan ragu, ia mulai membuka pintu itu. Ekspresi apa yang harus ia pasang? Bagaimana kalimat sapaan yang benar? Kalimat apa yang harus ia ucapkan pertama kali? Ia bingung dengan itu semua.Tetapi, kebingungannya berakhir. Saat melihat sebuah sosok laki-laki sedang melihatnya sambil tersenyum lebar. Entah kenapa, ia selalu merasa nyaman saat melihat laki-laki itu tersenyum. Entah karena, sosok laki-laki itu adalah teman dekatnya. Atau malah karena, ia sudah mulai menyukai laki-laki itu.
Jam 10.00. Ardiansyah berjalan pelan menuju ke arah meja resepsionis. Hari ini, ia sudah diizinkan untuk pulang ke kos. Jadi, ia ingin melunasi biaya rumah sakit, lalu pergi dari rumah sakit ini secepatnya.Senyumannya mengambang, saat melihat ada Denis di dekat meja resepsionis. Ia menatap saksama sebuah surat yang sedang dipegang oleh Denis.Ia mempercepat langkahnya ke arah Denis yang sudah mulai sadar dengan hawa kehadirannya. Tangannya merampas surat yang tadi dipegang oleh Denis. Belum sempat ia membacanya, surat itu sudah direbut lagi oleh Denis."Surat apa itu?" tanya Ardiansyah."Nggak penting," jawab Denis sambil merobek surat itu hingga kecil-kecil."Saya anterin kamu pulang," lanjut Denis."Saya harus membayar biaya rumah sakit terlebih dahulu," ucap Ardiansyah."Reno sudah membayarnya."Ardiansyah menghembuskan nafas panjang. Ia tidak menyangka, kalau Reno akan membayar seluruh biaya perawatannya."Ber
Jam 15.00. Felysia baru saja sampai di depan rumahnya. Ia masih menggunakan seragam OSIS, masih mencangklong tasnya dan masih memakai sepatu.Langkahnya melangkah menuju dua orang pria yang sedang duduk di teras rumah. Ia memelankan langkahnya, saat melihat Reno menunjukkan raut wajah marah.Dan, pada akhirnya, langkahnya terhenti sempurna, saat sudah berada di hadapan kedua pria itu. Pada saat itu juga, perbincangan Reno dan Denis terhenti."Fel. Gimana? Ada masalah di sekolah?" tanya Reno lalu tersenyum."Nggak ada," jawab Felysia."Oh. Syukurlah."Pandangannya Felysia beralih menatap Denis yang sedari tadi sudah meliriknya. Tadi, saat di sekolah, ia mendengar berita kalau laki-laki itu sedang sakit. Tetapi, kenapa sekarang, laki-laki itu berada di rumahnya? Apa berita itu hanya sebuah kebohongan belaka? Atau memang, laki-laki itu sengaja berbohong."Untuk sementara, Denis akan nginap di rumah kita," ucap Reno."Kenapa?" tanya Felysi
Jam 17.00. Felysia sudah sampai di pantai yang letaknya tidak begitu jauh dari SMP Pelita. Pantai itu adalah pantai yang sering ia kunjungi bersama Elvano. Kali ini, Elvano sedang pergi, jadi ia datang ke pantai ini seorang diri.Berbalut hoodie dan celana panjang berwarna biru, ia menikmati matahari yang mulai terbenam. Ia tutup matanya, lalu menghirup nafas dalam-dalam.Sepi. Itulah yang ia rasakan. Padahal, di pantai itu sedang banyak orang. Tetapi, entah kenapa, ia merasa sepi. Ia merasa, ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Dan, ia tidak tau apa itu.Ia mulai membuka matanya perlahan. Sudah cukup sore, ia pun berpikir untuk segera pulang ke rumah. Ia berbalik arah, lalu berjalan menjauh dari pesisir pantai.Pandangannya berhenti, saat melihat seorang wanita paruh baya bersama seorang gadis kecil yang berjualan kelapa muda.Ia pun melangkahkan kakinya, menuju ke arah wanita paruh baya itu. Ia berencana membeli kelapa muda untuk oleh-oleh Reno
Jam 09.00. Seperti biasa, Felysia sedang menikmati jam istirahat di kantin sekolah. Kali ini, ia sendirian. Karena, Brian sedang ada urusan bersama teman-temannya.Felysia memakan nasi goreng yang tadi sempat ia pesan. Ia menguyah makanannya sambil memandang seorang perempuan cantik yang sedang menuju ke arah mejanya.Tanpa izin darinya. Perempuan itu langsung duduk saja di hadapannya. Felysia bersikap biasa saja. Karena, bagaimana pun juga, perempuan itu adalah pacar Elvano. Jadi, ia tidak akan mencari masalah dengan perempuan itu. Benar, perempuan itu adalah Laura."Gua nggak lihat Ans akhir-akhir ini. Lo tau di mana dia?" tanya Laura."Liburan," jawab Felysia."Liburan ke mana? Kenapa dia nggak bilang ke gua? Dan, kenapa lo tau?""Ke puncak. Mungkin lo nggak penting. Karena dia liburan sama adik gua, makanya gua tau."Seketika, Laura merasa terheran-heran. Baru pertama kali ini, pacarnya pergi tanpa memberitahunya terlebih dahulu.