Jam 19.45. Ardiansyah sudah berada di depan kediaman keluarga Carlo. Laki-laki itu masih bersiap-siap untuk masuk ke dalam, lalu melawan semua orang yang ada di dalam.
Sungguh, hari yang melelahkan. Baru saja ia kembali. Tetapi, ia sudah harus berhadapan dengan keluarga Carlo. Untung saja, ia bergerak cepat dan langsung menyerahkan Nindy ke Arta, Prata, dan Reza. Jadi, sekarang ia bisa langsung menyelamatkan Felysia.
Ardiansyah menatap sebuah pisau yang sekarang sedang ia genggam. Sebenarnya, ia berniat untuk menggunakan pisau itu untuk melawan semua orang yang ada di dalam. Tetapi, ia tidak yakin dengan niatannya itu. Karena, bisa saja tindakannya itu menimbulkan masalah yang lebih besar.
Jadi, ia membuang pisau itu ke dalam semak-semak yang letaknya tidak begitu jauh dari posisinya berdiri sekarang. Lalu, ia langsung lari masuk ke dalam rumah.
Sontak, kedatangannya langsung menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di dalam rumah. Ardiansyah memperhatika
Ardiansyah menatap Carlo secara saksama. Kelihatannya, pria paruh baya itu sudah sangat kelelahan. Memang benar, pria itu sangat kuat dalam pertarungan. Tetapi, mau gimana pun juga, pria itu sudah tua. Jadi, saat bertarung, pria itu tidak bisa segesit seperti yang dulu saat pria itu masih muda."Jangan sombong dulu. Sebentar lagi, anak buah saya akan datang. Dan, mereka akan menghabisi kamu," ucap Carlo.Ardiansyah tersenyum kecil. Sepertinya, pertarungan ini adalah pertarungannya untuk terakhir kalinya. Ia sudah tidak bisa lagi memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Jika benar, anak buah Carlo datang, sudah bisa dipastikan ia akan kalah.Carlo tersenyum tipis, saat ia mendengar sebuah langkah kaki yang semakin lama semakin terdengar jelas. Sungguh bahagia hatinya, saat mendengar suara langkah kaki itu semakin mendekat. Karena, ia yakin, kalau langkah kaki itu adalah langkah kaki anak buahnya.Tetapi, harapannya hancur. Saat melihat tiga orang prem
Jam 09.00. Bel istirahat sudah mulai bergema di gedung sekolah SMA Nusa Bangsa. Setiap siswa langsung keluar dari sekolah, setelah mendengar bel istirahat berbunyi. Menyebar ke segala arah untuk mengistirahatkan diri dari pembelajaran.Begitu juga dengan Felysia dan Brian. Istirahat kali ini, mereka habiskan untuk makan bersama di kantin. Felysia memesan sebuah nasi goreng dan es teh manis. Sedangkan, Brian memesan sebuah soto dan es jeruk."Aku mau tanya sesuatu, boleh?" tanya Felysia."Mau nanya apa?" tanya Brian sambil mengaduk sotonya."Apa kamu Langit?"Brian sedikit kebingungan dengan ucapan Felysia barusan. Langit? Tentu saja, ia bukan Langit. Dan, ia tidak memilik kenalan atau teman yang bernama Langit."Enggak. Emang kenapa?" tanya Brian."Udah, nggak usah bohong. Elvano sendiri yang bilang sama aku," jawab Felysia."Elvano? Siapa Elvano?"Brian pun semakin kebingungan. Langit? Elvano? Ia tidak mengenal ke
Jam 19.30. Seperti perintah Reno kemarin, sekarang Ardiansyah sudah berada di rumah Reno. Dan, tentu saja, sekarang laki-laki itu sedang makan bersama di rumah Reno.Tidak terlalu mewah. Tetapi, kebersamaannya lah yang membuat makan bersama itu lebih menyenangkan. Nindy yang terlihat bahagia, Felysia yang sekarang lebih sering berbicara. Kedua hal itu yang Reno inginkan selama ini. Dan, sekarang, kedua hal itu sudah ada di hadapannya.Tetapi, Reno sadar. Kalau kedua hal itu, bukan hasil dari jerih payahnya. Tetapi, karena usaha Ardiansyah. Seorang laki-laki yang dulu, ia persiapkan untuk menjadi pengawal pribadi Felysia.Sebentar lagi, Ardiansyah akan pergi meninggalkan keluarganya. Dan, Reno tidak yakin, kalau dirinya bisa mempertahankan kebahagiaan Nindy dan Felysia. Ia sangat yakin, semuanya akan berubah setelah kepergian laki-laki itu. Semuanya akan berubah seperti yang dulu. Nindy yang selalu terlihat bersedih dan Felysia yang sangat irit berbicara. Sung
Satu minggu belakangan ini, semua murid SMA Nusa Bangsa telah melaksanakan Ujian Kenaikan Kelas. Dan, sekarang adalah hari pengumuman nilai ujian itu.Jam 08.00. Setelah upacara selesai. Semua murid langsung berlari ke arah mading yang berada di taman sekolah. Mereka semua pergi ke sana, karena di mading itu terdapat hasil ujian dan peringkat mereka.Walau sedang berdesak-desakan, mereka terus maju begitu saja, tanpa menghiraukan orang lain yang ada di sekitar mereka.Sesampainya di depan mading. Mereka mencari nama mereka masing-masing dan melihat data nilai yang terdapat tepat di samping nama mereka.Setelah puas melihat nama, nilai dan peringkat mereka. Mereka pun pergi dari kawasan taman demi memberikan kesempatan bagi siswa lain untuk melihat nilai mereka.Di dalam kerumunan itu, Felysia masih berusaha untuk mencapai barisan terdepan. Tanpa lelah, ia terus-menerus berusaha dan akhirnya bisa mencapai baris terdepan.Ia menatap di s
Mata Elvano membulat sempurna, saat ia merasa ada seorang menarik lengannya. Dan, betapa terkejut dirinya, saat kepalanya bersandar pada dada bidang laki-laki. Ia mulai mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa orang yang sudah melakukan itu semua. Dan, ternyata orang itu adalah Denis."Kamu hebat ... saya bangga sama kamu," lirih Denis sambil mengelus kepala Elvano.Dan, saat itu juga, Elvano menyadarinya. Denis sudah mendengar semua pembicaranya dengan Laura. Dan, Denis memeluknya untuk menenangkan dirinya."Sakit ... saya tidak mengira sesakit ini," lirih Elvano sambil mencengkeram dada sebelah kanannya.Denis tidak kuasa lagi. Ia juga bisa merasakan kesedihan muridnya itu. Murid yang selama ini selalu terlihat dengan senyuman. Sekarang, terlihat begitu lemah di dalam pelukannya."Maaf, tidak ada yang bisa lakuin buat ngilangin rasa sakit kamu," ucap Denis dengan penuh rasa sedih.Andai saja, ada hal yang bisa merubah kenyataan. Pasti, D
Jam 08.15. Felysia dan Brian sedang berada di dalam kelas XI MIPA-1. Felysia duduk di kursinya, sedangkan Brian berdiri tepat di samping Felysia. Felysia tidak tau pasti apa yang ingin Brian bicarakan dengannya. Tetapi, kelihatannya, laki-laki itu butuh waktu untuk menyampaikan isi hatinya."Kenapa? Ada masalah?" tanya Felysia sambil menatap manik mata Brian secara saksama."Aku mau ngasih kamu tau sesuatu," ucap Brian."Iya, mau ngasih tau apa?" tanya Felysia."Sebenarnya ak—" ucapan Brian terhenti karena tiba-tiba ada orang yang menendang tangan kirinya.Karena tendangan itu, Brian pun terpental ke arah kanan sambil memegangi tangan kirinya yang terasa sangat sakit. Dengan penuh emosi, Brian menatap orang yang telah menendangnya. Tetapi, sesaat, emosinya mereda tau, kalau orang yang menendangnya adalah Ardiansyah."Kita pergi dari sini," ucap Ardiansyah sambil menggenggam erat tangan Felysia."Apa maksud lo? Gua lagi bicara sama pacar gua,
Jam 20.00. Prata dan Reza sudah sampai di depan indekos Ardiansyah, dengan semua luka yang ada di wajahnya. Walau, wajah mereka berdua lebam, mereka masih sempat-sempatnya tersenyum lebar pada Arta yang sudah menunggu kepulangan mereka."Gimana?" tanya Arta pada Prata dan Reza yang baru saja sampai di hadapannya."Sempurna," jawab Reza.Arta pun mengangguk pelan. Ia tau betul, apa yang dimaksud sempurna oleh Reza. Ia yakin, kalau kedua orang itu bisa menyelesaikan masalah ini, tanpa membuat masalah baru lagi."Dia nggak keluar?" tanya Prata."Belum. Tapi, dia tadi sempat ngobrol sama gua. Dan, dia udah makan nasi bungkus dari Denis," jawab Arta."Baguslah kalau gitu. Setidaknya, dia sudah makan," ucap Reza.Tiba-tiba, ada sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan indekos Ardiansyah. Arta, Prata, dan Reza sudah sangat mengenali mobil itu. Dan, mereka tau pasti siapa pemilik mobil hitam itu. Pemilik mobil hitam itu adalah perempuan yang telah
Jam 19.00. Di rumah Laura. Atau lebih tepatnya, di ruang tamu. Sedang ada empat orang yang sedang duduk di sofa. Sepasang suami istri, anak perempuan satu-satunya, dan seorang laki-laki. Plak!...Suara tamparan itu terdengar jelas di telinga semua orang yang ada di ruang tamu. Tentu saja, Rizky lah yang membuat suara itu. Rizky lah yang menampar. Dan, Brian lah yang tertampar. Rizky sangat tidak percaya dengan apa yang sekarang ia alami. Ia tidak percaya, kalau anak perempuan yang selama ini ia jaga, ternyata sudah dirusak oleh laki-laki lain. Emosinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Sungguh, ia sangat membenci laki-laki itu. Andai saja, membunuh orang tidak berdosa. Pasti, Rizky sudah membunuh laki-laki itu sejak awal. "Laura. Bukannya kamu pacarnya Langit?" tanya Rizky sambil menatap Laura dengan tatapan tajam. "Bukan Laura yang salah, Om. Saya yang salah," sahut Brian. Plak!...Tamparan keras lagi. Tentu saja, Brian lah ya