David berdiri di sudut jalan yang sedikit tersembunyi di balik pohon besar. Matanya tak lepas dari sosok Clara yang tengah duduk di teras rumahnya, tertawa bahagia bersama suaminya, Erick. Perut Clara yang mulai membuncit menjadi bukti nyata bahwa kebahagiaannya telah bertambah. David mengepalkan tangan, merasakan sesuatu yang tajam menusuk dadanya. Dulu, itu seharusnya menjadi hidupnya. Seharusnya dia yang duduk di sana, menggenggam tangan Clara, tertawa bersamanya, dan menantikan kelahiran anak mereka. Tapi kesalahannya sendiri telah membuat semua itu mustahil. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana Clara menangis di hadapannya saat mengetahui perselingkuhannya dengan Zoya. Betapa wajahnya penuh luka dan kekecewaan ketika menyerahkan surat cerai di tangannya. Saat itu, David mengira dia akan baik-baik saja, bahwa dia bisa melanjutkan hidupnya dengan Zoya. Tapi nyatanya, pernikahannya dengan Zoya berantakan. Wanita itu tidak seperti Clara. Tidak setulus, penyabar, dan sehangat Cl
🍁🍁🍁 Hujan turun deras di luar, menampar kaca jendela dengan irama yang kacau. Langit malam menghitam pekat, seakan turut menggambarkan suasana hati Clara yang diliputi kekecewaan. Dia berdiri di depan meja makan, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya, menahan gemetar yang perlahan merayap ke sekujur tubuhnya. Di hadapannya, David duduk dengan ekspresi kosong, matanya merah, bukan karena tangis, tetapi karena amarah yang dipendam terlalu lama. “David, aku sudah bilang padamu. Aku sudah periksa ke dokter spesialis. Tidak ada yang salah denganku, aku subur. Kita hanya perlu bersabar dan berusaha lebih keras lagi agar bisa punya anak,” suara Clara bergetar, mencoba menjelaskan untuk kesekian kalinya. David menegakkan tubuhnya, menatap istrinya dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Lima tahun, Clara. Lima tahun kita menikah, dan masih belum ada tanda-tanda. Kamu pikir aku bisa terus bersabar?” Clara menggigit bibirnya, menahan air mata yang mengancam jatuh. “Bersabarlah, D
🍁🍁🍁 Clara duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong, matanya terpaku pada jam dinding yang terus berdetak. Pukul sepuluh malam, dan sekali lagi David belum pulang. Ini bukan pertama kalinya—sudah berbulan-bulan pria itu sering menghabiskan malam di luar rumah, terutama saat akhir pekan. Dulu, mereka selalu menghabiskan waktu bersama, pergi makan malam, atau sekadar menonton film di rumah sambil berbincang ringan. Tapi sekarang, semua itu tinggal kenangan. David berubah. Dia menjadi dingin, cuek, dan seolah tak lagi peduli pada Clara. Saat di rumah pun, dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar kerja atau sibuk dengan ponselnya. Setiap kali Clara mencoba mendekatinya, pria itu selalu memiliki alasan untuk menghindar. Malam itu, saat Clara akhirnya mendengar suara kunci pintu diputar, hatinya berdebar. David masuk dengan wajah lelah, tanpa menatapnya, dia langsung berjalan menuju kamar. Clara menarik napas dalam, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Dia tak bisa terus ber
🍁🍁🍁 Sore itu, Clara masak makanan kesukaan David dalam jumlah banyak. Dia ingin memanjakan suaminya dimulai dari memasak makanan yang pria itu sukai. Saat David pulang kantor, dia langsung menyambut dan menggiringnya pergi ke ruang makan untuk makan bersama. "Sayang, aku sudah masak makanan kesukaan kamu loh. Ayo kita makan bersama," Clara menyunggingkan senyum manis. "Kamu saja dulu yang makan, aku sudah kenyang. Aku tadi mampir makan di luar bersama dengan teman-temanku," sahut David dengan nada malas dan datar. Matanya menyiratkan pesan kalau dia enggan mengobrol dengan Clara. Clara terdiam, dia duduk di sudut kamarnya dengan hati yang tak karuan. Sudah beberapa minggu terakhir, David berubah. Pria yang dulu penuh perhatian dan selalu membuatnya merasa istimewa kini terasa cuek juga dingin. Pertemuan mereka semakin jarang, dan bahkan ketika bersama, David lebih sering sibuk dengan ponselnya daripada berbincang dengannya. Awalnya, Clara mencoba mengabaikan perubahan itu.
🍁🍁🍁 Clara kembali ke rumah dengan hati hancur lebur, matanya bengkak karena terlalu lama menangis, tubuhnya lemas seperti tidak ada semangat untuk melanjutkan hidup. Dia baru saja melihat dengan mata kepalanya sendiri suaminya, David, masuk ke dalam sebuah hotel bersama seorang wanita. Wanita itu adalah Zoya, seseorang yang Clara kenal sebagai rekan kerja David. Tangannya gemetar saat menggenggam ponselnya, sementara dadanya terasa sesak. Ia tak ingin percaya, namun kenyataan terpampang jelas di depan matanya. Malam harinya, David pulang ke rumah, Clara langsung menghadangnya di ruang tamu. Matanya menatap penuh dendam dan emosi, suaranya bergetar saat ia berbicara. “David, aku melihatmu masuk ke sebuah hotel bersama Zoya lagi tadi.” suara Clara dipenuhi kemarahan dan kesedihan. David menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke sofa seolah lelah dengan semua ini. “Clara, aku bisa menjelaskan—” “Jelaskan apa? Aku melihatmu dengan Zoya begitu mesra. Kalian berdua berpel
🍁🍁🍁 Setelah dua malam tidak pulang ke rumah dan menghilang tanpa kabar. Akhirnya malam itu, David pulang ke rumah. Dia langsung masuk kamar, dan bersiap untuk mandi. Clara menyusul suaminya ke kamar, dia melihat pria itu melepas kemeja yang dikenakannya. Clara menatap suaminya dengan dada sesak. Matanya terpaku pada leher David yang penuh dengan bekas merah. Ada beberapa cakaran samar di lengan dan punggungnya. "Apa ini, David?" suara Clara bergetar, amarah bercampur dengan kepedihan. David, yang baru saja pulang, hanya melirik sekilas ke arah istrinya. Ia meletakkan tas kerja di meja dan menyesap air mineral dari botol yang diambil dari kulkas. "Kamu tahu apa ini, Clara. Jangan berpura-pura tidak mengerti." Clara mengepalkan tangannya. Dadanya bergemuruh, seakan jantungnya ingin meledak. "Jadi sekarang Zoya sudah berani meninggalkan tanda-tanda seperti ini di tubuhmu? Tanpa rasa malu? Tanpa rasa takut? Seolah dia yang lebih berhak atas dirimu dibanding aku, istrimu?" Da
🍁🍁🍁 Siang itu, Clara berdiri di depan pintu rumah Zoya dengan napas memburu. Tangannya terkepal, dadanya bergejolak. Amarah menguasai dirinya sejak ia tahu bahwa Zoya, sahabatnya sendiri, telah merebut David, suami dari sahabatnya, Rina. Tak ada yang bisa membenarkan pengkhianatan seperti ini. Tanpa basa-basi, Clara mengetuk pintu dengan keras. Tak lama, Zoya muncul dengan senyum tipis di bibirnya. Mata tajamnya menyorot Clara, seolah sudah tahu alasan kedatangannya. "Clara," sapanya dengan suara santai. "Ada apa?" Tanpa menunggu jawaban, Clara mendorong Zoya hingga perempuan itu terhuyung ke belakang. "Kamu benar-benar perempuan tak tahu malu!" bentaknya. "Dari semua pria yang ada di luar sana, kenapa kau harus merayu suamiku? Apa aku pernah berbuat salah padamu sampai kamu tega melakukan ini?" Zoya mengusap lengannya yang terkena dorongan tadi, namun ia tetap tersenyum. "David lebih menarik dibanding pria-pria lajang di luar sana. Dia memesona, dewasa, dan tahu bagaimana
🍁🍁🍁 David masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat, matanya langsung mencari sosok Clara. Ia baru saja mendapat pesan dari Zoya bahwa istrinya telah menamparnya dan membuat keributan di rumahnya. Begitu David menemukan Clara di ruang tamu, duduk dengan wajah tanpa penyesalan, amarah David meledak begitu saja. "Apa yang sudah kamu lakukan, Clara?" suaranya meninggi, sorot matanya tajam menuntut penjelasan. Clara menoleh dengan tenang, menyilangkan tangannya di depan dada. "Aku hanya memberikan pelajaran untuk perempuan murahan seperti Zoya. Dia pantas mendapatkannya." David menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Itu bukan alasan untuk menampar dan memakinya secara kasar! Apa kamu tidak berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu?" Clara mendengus kesal. "Oh, jadi sekarang kamu membelanya? David, aku ini istrimu! Aku seharusnya menjadi prioritasmu, bukan dia!" Suaranya meninggi, kemarahannya terpancar jelas. "Ini bukan soal berpihak pada siapa. Ini soal baga
David berdiri di sudut jalan yang sedikit tersembunyi di balik pohon besar. Matanya tak lepas dari sosok Clara yang tengah duduk di teras rumahnya, tertawa bahagia bersama suaminya, Erick. Perut Clara yang mulai membuncit menjadi bukti nyata bahwa kebahagiaannya telah bertambah. David mengepalkan tangan, merasakan sesuatu yang tajam menusuk dadanya. Dulu, itu seharusnya menjadi hidupnya. Seharusnya dia yang duduk di sana, menggenggam tangan Clara, tertawa bersamanya, dan menantikan kelahiran anak mereka. Tapi kesalahannya sendiri telah membuat semua itu mustahil. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana Clara menangis di hadapannya saat mengetahui perselingkuhannya dengan Zoya. Betapa wajahnya penuh luka dan kekecewaan ketika menyerahkan surat cerai di tangannya. Saat itu, David mengira dia akan baik-baik saja, bahwa dia bisa melanjutkan hidupnya dengan Zoya. Tapi nyatanya, pernikahannya dengan Zoya berantakan. Wanita itu tidak seperti Clara. Tidak setulus, penyabar, dan sehangat Cl
“Siapa wanita tadi?” Danis bertanya saat kami baru saja masuk ke dalam apartemen. Zoya meletakkan tas di meja, kemudian duduk di sofa. Tatapannya tajam, menunggu jawaban. “Clara,” jawabnya singkat. “Mantan istri pertama David.” Danis mengangkat alisnya. “Mantan istri pertama? Berarti dia sudah menikah lagi setelah bercerai dari David?” Aku mengangguk pelan. “Ya. Tapi pernikahan keduanya sangat beruntung. Dia menikah dengan Erick, bujang kaya nomor lima di kota ini.” Denia terdiam sejenak, seolah mencerna informasi itu. “Kenapa dia melihatmu seperti itu?” Aku tersenyum tipis, menatap tanganku sendiri. “Mungkin dia terkejut melihatku seperti ini. Dulu aku bukan ibu rumah tangga biasa, Danis. Aku hidup dalam kemewahan, selalu tampil sempurna. Sekarang? Aku hanya seorang wanita biasa, dengan pakaian sederhana dan tanpa perhiasan mencolok.” Danis menghela napas, lalu bersandar di sofa. “Itu memang lebih baik,” gumamnya. Aku menoleh, menatapnya dalam. “Maksudmu?” Dia menata
Zoya baru saja keluar dari minimarket, satu tangan menenteng kantong plastik berisi susu formula, sementara tangan lainnya menopang tubuh kecil putrinya yang terlelap di gendongan. Wajahnya tampak lelah, tapi ada kelembutan dalam setiap gerakannya. Langit senja mulai meredup, dan angin sore yang berembus membawa aroma hujan yang tertahan di awan. Dia berjalan menuju halte bus, berniat segera pulang sebelum langit benar-benar runtuh menumpahkan gerimis. Namun, langkahnya terhenti ketika suara seseorang memanggil namanya. “Zoya?” Zoya menoleh dan melihat seorang wanita berdiri tak jauh darinya. Clara. Mantan sahabatnya yang dulu selalu bersamanya di masa-masa awal pernikahannya dengan David. Namun, setelah perceraian, semua orang seperti perlahan menghilang dari hidupnya, termasuk Clara. Clara mendekat, matanya menelusuri sosok Zoya dengan ekspresi sulit ditebak. Dia tampak terkejut sekaligus iba. Zoya masih seperti dulu—sederhana, tapi kali ini lebih bersahaja. Ia mengenakan ga
Kemala melangkah masuk ke dalam kafe dengan wajah muram. Matanya menyapu ruangan hingga menemukan sosok kakaknya, Thomas, yang sudah duduk di pojok dekat jendela. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke arahnya dan duduk di kursi seberang. Thomas melirik adiknya sekilas lalu mendesah. "Kenapa mukamu kusut begitu?" tanyanya sambil mengaduk kopi hitamnya. Kemala tidak langsung menjawab. Ia hanya menopang dagu dan menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya membuka suara. "Aku baru saja bertemu mantanku," katanya lemah. Thomas mengangkat alisnya. "Dan?" Kemala menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Aku mencoba bicara dengannya, ingin memperbaiki hubungan kami. Tapi dia malah mengomeli ku, berkata bahwa aku mengganggu hidupnya, menyuruhku berhenti mendekatinya." Thomas meletakkan sendok kopinya dan menatap Kemala dengan ekspresi tidak percaya. "Serius, Kemala? Kamu masih saja mengejar dia? Bukankah sudah jelas dia tidak mengingink
Clara menatap suaminya dengan saksama, mencoba membaca ekspresi di wajahnya yang tenang. Sejak mereka bertemu dengan wanita itu di butik sore tadi, pikirannya terusik. Erick hanya memberi jawaban singkat ketika Clara bertanya siapa dia, tetapi perasaan tidak enak masih menyelimuti hatinya. Saat ini, mereka sudah berada di kamar, bersiap untuk tidur. Namun, rasa penasaran Clara belum juga reda. Ia duduk di tepi ranjang, memainkan ujung selimut dengan gelisah sebelum akhirnya bertanya, "Erick, siapa sebenarnya Kamelia?" Pria itu, yang tengah melepas jam tangannya, terdiam sejenak. Ia menatap Clara, seolah mempertimbangkan sesuatu. "Kamu benar-benar ingin tahu?" tanyanya lembut. Clara mengangguk mantap. "Ya. Dia bukan sekadar teman sekolah atau teman kerja, kan?" Erick menarik napas dalam. "Tidak. Dia lebih dari itu," akhirnya ia mengakui. "Kamelia adalah wanita yang dulu pernah dijodohkan denganku oleh mendiang Ibu." Clara merasakan sesuatu mencelos di dadanya. Matanya membu
Clara memejamkan mata erat-erat, menahan rasa mual yang kembali menyerang. Tangannya menggenggam erat selimut, tubuhnya terasa lemas, sementara keringat dingin membasahi pelipisnya. Sudah tiga bulan usia kehamilannya, dan bukannya membaik, justru semakin berat. Mual datang tanpa aba-aba, kepala terasa berat seperti dihimpit beban, dan nafsu makannya turun drastis. "Sayang, kamu masih mual?" Erick duduk di sisi ranjang, menatapnya dengan wajah cemas. Tangannya terulur, mengusap lembut punggung Clara, berusaha memberikan kenyamanan. Clara membuka mata perlahan, bibirnya pucat. "Iya… kayaknya makin parah." Erick menarik napas, lalu dengan sigap mengambil segelas air putih dari nakas. "Coba minum sedikit, biar tidak dehidrasi." Clara meneguknya pelan, tapi baru beberapa detik kemudian, perutnya bergejolak lagi. Ia buru-buru menyingkap selimut dan berlari menuju kamar mandi. Erick sigap mengikuti, membantunya menahan rambut saat Clara kembali muntah. "Ya Tuhan, aku capek sekali,
Waktu berlalu, dan kebahagiaan itu akhirnya tiba. Setelah sembilan bulan penuh perjuangan, Clara berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Tangisannya yang nyaring memenuhi ruang bersalin, seolah menjadi nyanyian kebahagiaan bagi Erick yang setia menunggu di luar ruangan. Saat dokter akhirnya keluar dan memberi kabar bahwa Clara dan bayinya baik-baik saja, Erick merasa lega. Ia segera masuk dan melihat istrinya yang terbaring lelah, namun wajahnya bersinar penuh kebahagiaan. "Terima kasih, Sayang. Kamu sudah berjuang," bisik Erick sambil menggenggam tangan Clara dengan erat. Matanya menatap penuh cinta pada bayi mungil yang berada dalam pelukan istrinya. Clara tersenyum lemah, lalu menggeser sedikit kain yang menyelimuti bayinya. "Lihat, Erick. Dia sangat mirip denganmu," katanya pelan. Erick menatap wajah kecil itu—hidung mungil, bibir tipis, dan pipi yang masih kemerahan. Hatinya meleleh seketika. Ia menyentuh lembut dahi anaknya, seolah tak percaya bahwa kini ia
Tomi menyesap kopinya perlahan, menikmati setiap tetes yang menghangatkan tenggorokannya. Hari ini, pagi terasa lebih cerah dari biasanya. Bukan karena cuaca, melainkan karena berita yang baru saja didengarnya. David dan Zoya bercerai. Pria itu tersenyum puas. Akhirnya, pria sombong itu merasakan bagaimana rasanya jatuh ke dasar jurang keterpurukan. Seumur hidup, David selalu berada di atas, menikmati kesuksesan yang seakan disajikan di atas nampan emas. Sementara Tomi harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan setitik kebahagiaan. Sejak SMA, Tomi sudah menaruh benci pada David. Bukan hanya karena pria itu selalu menjadi pusat perhatian, tetapi juga karena sifat congkaknya. David suka merendahkan orang lain, dan Tomi menjadi salah satu korban favoritnya. Berkali-kali dia dihina di depan teman-temannya, dianggap pecundang, seseorang yang tidak akan pernah berhasil dalam hidup. Kata-kata David terus terngiang di benaknya. *"Orang seperti kamu, Tom, cuma bisa jadi bayang-bayang
Maria menyesap jus buahnya perlahan, duduk di sudut restoran yang cukup tersembunyi. Matanya tajam mengamati dua sosok yang tengah berbincang di meja dekat jendela. Zoya, menantunya, terlihat begitu akrab dengan seorang pria yang tak dikenalnya. Mereka berbincang sambil tersenyum, sesekali tertawa kecil. Maria mengangkat ponselnya, mengatur sudut agar bisa menangkap momen kebersamaan mereka tanpa menarik perhatian. Klik! Satu foto diambil. Dia memperbesar gambarnya, memastikan wajah Zoya dan pria itu terlihat jelas. Klik! Beberapa gambar lain menyusul. Tanpa menunda, Maria membuka aplikasi pesan dan mengirimkan foto itu kepada David, anaknya. _"Lihat ini. Apa yang sebenarnya sedang dilakukan istrimu? Ini diambil barusan di restoran dekat rumah. Kamu pikir mereka hanya teman biasa?"_ Maria tersenyum puas setelah mengirimkan pesan itu. Dia tidak pernah benar-benar percaya pada Zoya sejak awal. Wanita itu selalu tampak menyimpan sesuatu, dan sekarang Maria merasa punya bukti yang