Wisnu benar-benar dibuat pusing oleh Astri, istrinya itu sudah berubah drastis. Mungkinkah ini karma untuk Wisnu, yang telah tega menghianati istrinya sendiri. Tidak sadarkah jika selama ini Wisnu dan keluarganya menumpang hidup enak kepada Astri. Namun, dengan mudahnya mereka berbuat semaunya, bahkan berencana untuk menyingkirkan Astri.
Kali ini Wisnu kembali dibuat tak berkutik lagi oleh Astri, mau tidak mau Wisnu harus menuruti keinginan istrinya itu, yaitu menggunakan jasa pembantu. Sudah dapat dibayangkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan Wisnu untuk membayar mereka. Terlebih Astri tidak segan-segan mengambil empat sekaligus.waktu berjalan begitu cepat, sore harinya pembantu yang Astri pesan sudah datang. Saat ini wanita berjilbab itu sedang memberitahu apa saja tugas mereka. Sementara itu, Wisnu memilih untuk duduk santai di sofa ruang tengah, dengan leptop di pangkuannya, ada banyak e-mail masuk yang harus Wisnu periksa."Ok, apa kalian sudah paham?" tanya Astri."Sudah, Nyonya." Mereka menjawab serentak."Baik, Bi Minah bisa mulai memasak untuk makan malam nanti. Bahan makanan ada di kulkas," ujar Astri."Baik, Nyonya." Bi Minah mengangguk. Setelah itu Astri beranjak dari hadapan mereka.Astri berjalan menuju ruang tengah, terlihat jika suaminya sedang sibuk dengan laptopnya. Saat Astri hendak naik ke lantai atas, tiba-tiba suara Wisnu menghentikan langkahnya. Dengan terpaksa Astri membalikkan badannya, ia beranjak menghampiri suaminya dan ikut duduk di sofa."Astri ada yang ingin aku tanyakan," ujar Wisnu seraya menutup laptopnya."Apa, Mas." Astri membenarkan posisi duduknya."Apa kamu yang sudah mengambil uang di brangkas?" tanya Wisnu, tatapan matanya tajam seperti singa yang siap menerkam.Astri terdiam sejenak. "Kalau iya memangnya kenapa? Aku juga berhak kan. Apa kamu lupa, kalau perusahaan yang kamu kelola itu milik aku, Mas.""Tapi kenapa kamu ambil semuanya, apa tidak cukup uang yang ada di ATM." Dada Wisnu naik turun menahan amarah."Jangan emosi seperti itu, tidak baik loh." Astri tersenyum seraya membelai dada bidang Wisnu. Wanita berjilbab itu tahu apa kelemahan suaminya itu.Wisnu mencekal tangan Astri yang hendak melepas kancing kemejanya. "Kamu pikir dengan cara ini bisa mereda amarahku iya."Wisnu menatap tajam istrinya, tetapi lagi-lagi Astri hanya tersenyum untuk menanggapinya. "Laki-laki itu sama, aku tunggu di kamar, Mas."Astri bangkit dan beranjak pergi, Wisnu yang melihat istrinya naik ke lantai atas. Gegas ikut bangkit dan menyusulnya, setibanya di kamar. Terlihat Astri yang sudah duduk di sofa, Wisnu beranjak menghampiri istrinya lalu menjatuhkan bobotnya di sebelah Astri."Mas lihat ini." Astri menunjukkan deretan foto di ponselnya. Detik itu juga mata Wisnu melotot saat melihat foto pada ponsel istrinya itu."Maksud kamu apa nunjukin foto seperti itu?" tanya Wisnu. Detik itu juga raut wajah Wisnu menjadi tegang."Mau tanya, wanita di sebelah kamu itu siapa? Kok bajunya sama kamu bisa .... ""Dia teman kuliah aku, dan dia sepupu suami Vika." Wisnu memotong ucapan istrinya. Sementara Astri terus menatap wajah suaminya yang sudah pucat pasi."Oh, teman kuliah. Eh tunggu, bukannya waktu Vika nikah kamu di luar kota ya, Mas?" tanya Astri. Hal tersebut membuat Wisnu gelagapan harus menjawab apa."Oh, itu ... mama yang nelpon dan maksa aku pulang. Makanya aku pulang dan langsung ke rumah mama." Wisnu terus mencari alasan agar Astri tidak merasa curiga."Dasar pembohong, memang ya laki-laki kalau sekali berbohong. Ke depannya juga akan terus berbohong, aku kira cukup buat mas Wisnu mati kutu, kalau kelamaan takut jantungan," batin Astri."Oh ya sudah lah." Astri bangkit dan beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Wisnu bernapas lega, lantaran Astri tidak bertanya yang aneh-aneh lagi. Namun, ke depannya ia harus lebih waspada.***Hari telah berganti, pukul tujuh pagi Wisnu sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Usai memakai jas, Wisnu beranjak keluar dari kamarnya. Pria berjas hitam itu bergegas turun ke bawah, setibanya di bawah terlihat Astri sudah menunggu di meja makan. Dengan segera Wisnu menghampiri istrinya itu."Sarapan dulu, Mas." Astri menarik kursi untuk duduk suaminya. Dengan segera Wisnu menjatuhkan bobotnya di kursi tersebut."Mas mau sarapan pakai apa?" tanya Astri."Roti saja biar cepet," jawab Wisnu. Dengan segera Astri mengambil dua lembar roti, lalu diolesi dengan selai.Usai sarapan Wisnu bergegas untuk pergi, hari ini ia ada meeting dan juga pertemuan dengan kliennya. Setelah suaminya pergi, Astri beranjak masuk ke dalam kamar, tetapi tiba-tiba perutnya terasa mual. Gegas Astri berlari masuk ke dalam kamar mandi, wanita berjilbab itu memuntahkan semua isi perutnya, bahkan sarapan yang ia makan ikut keluar."Aku kenapa, tiba-tiba perut aku mual banget," gumamnya. Astri membasuh mulutnya dengan air."Astaghfirullah, biasanya kan tanggal sepuluh aku datang bulan. Dan sekarang sudah tanggal .... " Ucapan Astri terhenti saat mendengar ponselnya berdering. Takut ada yang penting Astri bergegas keluar dari kamar mandi.[Assalamu'alaikum, Astri bagaimana apa kamu sudah mengurus semuanya][Wa'alaikumsalam, alhamdulillah semuanya sudah beres, Kak. Semuanya sudah kembali menjadi atas namaku][Syukurlah, kakak senang mendengarnya. Oya, kapan kamu mau operasi, untuk mengembalikan wajahmu seperti dulu][Nanti, Kak. Setelah aku dan, mas Wisnu resmi bercerai. Kalau aku melakukan itu sekarang, percuma nanti, mas Wisnu malah nggak mau dicerai][Haha, kamu memang cerdik, ya sudah kakak lanjut kerja dulu ya. Kalau ada apa-apa hubungi kakak][Iya, Kak. Titip salam untuk, kak Nadia sama Afika][Iya, nanti aku sampaikan. Assalamu'alaikum][Wa'alaikumsalam]Baru saja sambungan telepon terputus, tiba-tiba terdengar suara teriakan ibu mertuanya. Astri menghela napas, setelah itu ia memutuskan untuk turun ke bawah. Setibanya di bawah, terlihat ibu mertuanya serta seorang perempuan yang tak lain adalah istri muda Wisnu sudah berdiri di ruang tengah."Ada apa, Ma?" tanya Astri."Mama disuruh Wisnu untuk minta uang sama kamu. Soalnya mama mau belanja untuk makan malam nanti," jawab Astri."Aku nggak salah denger, aku kerjain baru tahu rasa," batin Astri."Aku nggak ada uang cash, Ma. Adanya di ATM," sahut Astri."Ya sudah sini ATM-nya, biar mama bawa aja," pinta Ratna."Aku temenin ya, Ma. Aku juga mau beli beberapa barang," ucap Astri. Sontak Ratna terkesiap, mendengar jika Astri akan pergi bersamanya."Kalau, Mama nggak mau ya nggak apa-apa. Mama bisa belanja sendiri, dan bayar sendiri," lanjutnya. Astri tahu apa yang sedang ibu mertuanya itu pikirkan.Ratna terdiam sejenak. "Ya sudah, ayo. Tapi awas kalau kamu deket-deket sama mama. Dan satu lagi, jangan pernah kamu mengaku sebagai menantuku."Astri hanya mengangguk, setelah itu mereka bergegas pergi tentunya menggunakan mobil Astri. Tidak butuh waktu lama, mereka tiba di supermarket, setelah di dalam Astri langsung menyuruh ibu mertuanya untuk mengambil barang yang dibutuhkan. Sementara dirinya memilih untuk menunggu.Satu jam telah berlalu, Ratna dan menantu barunya itu sudah selesai memilih barang. Keduanya bergegas menuju kasir untuk dihitung berapa total semuanya. Ratna tersenyum, ia sengaja membeli barang banyak, dengan tujuan untuk menguras uang Astri."Berapa semuanya, Mbak?" tanya Ratna."Semuanya menjadi dua juta lima ratus ribu rupiah, Bu." Kasir itu menjawab dengan sopan."Sebentar ya, Mbak." Ratna menoleh ke arah di mana Astri duduk. Namun, menantunya itu sudah tidak ada."Lirna, kamu lihat Astri nggak?" tanya Ratna."Nggak, Ma. Tadi kan duduk di sana." Lirna menunjuk kursi yang di duduki Astri tadi.Tiba-tiba ponsel Ratna berdering, dengan segera perempuan setengah abad itu mengambil benda pipihnya. Mata Ratna menyipit saat nana Astri tertera pada layar ponselnya. Takut ada yang penting Ratna langsung mengangkatnya.[Assalamu'alaikum, Ma. Maaf ya, aku pulang duluan. Soalnya perut aku mules banget, kebanyakan makan sambel kemarin. Nanti mama bayar sendiri ya, atau minta uang sama, mas Wisnu. Assalamu'alaikum]Ratna terkejut mendengar hal itu, niat hati ingin memoroti uang menantunya. Justru ia sendiri yang terkena imbasnya, senjata makan tuan.Setelah itu Ratna langsung menghubungi nomor putranya, cukup lama ia menunggu. Setelah hampir lima belas menit, akhirnya panggilan tersambung. Wisnu mengangkat telepon dari ibunya itu. [Halo, Wisnu tolong kamu transfer uang untuk bayar belanjaan yang mama beli][Aku sedang sibuk, Ma. Katanya, Mama belanja sama Astri][Astri pulang ninggalin mama sama Lirna. Belanjaan belum dibayar, mama nggak bawa uang, mobil juga ada di rumah kamu][Astaga, Mama. Ya sudah pakai uang Lirna dulu kan bisa. Nanti aku yang ganti][Masalahnya uang Lirna nggak cukup, udah buruan kamu transfer][Memangnya berapa, Ma][Cuma dua juta lima ratus ribu rupiah kok][Nanti aku transfer, Ma][Ya sudah, mama tunggu]Setelah itu Ratna mengakhiri panggilannya, selang beberapa menit, uang yang Wisnu transfer masuk. Dengan segera Ratna membayar barang belanjaannya, setelah itu mereka bergegas untuk pulang. Namun, sebelumnya Ratna harus mengambil mobilnya yang ada di rumah Wisnu. Sementara itu, di rumah Astri tengah dud
Pukul enam sore Wisnu tiba di rumah Lirna, wanita berhidung mancung itu menyambut kedatangan sang suami. Dengan tersenyum Lirna mengajak suaminya masuk ke dalam, setibanya di ruang tengah, Wisnu memilih untuk menjatuhkan bobotnya di sofa. "Ini bajunya." Wisnu menyerahkan paper bag yang ia bawa. Dengan semangat Lirna menerima paper bag tersebut. "Aku buka ya, Mas." Lirna tersenyum, lalu membuka dan mengambil isi paper bag tersebut. Mata Lirna terbelalak setelah melihat isi paper bag yang Wisnu kasih untuknya. Sebuah daster lusuh yang sudah berlubang, sudah tak layak pakai lagi. Lirna tidak habis pikir, bisa-bisanya Wisnu memberinya baju compang-camping seperti itu. Biasanya sang suami selalu membeli baju bermerek. "Mas apa-apaan ini, kenapa baju lusuh seperti ini yang kamu berikan." Lirna melempar daster tersebut tepat di pangkuan Wisnu. Detik itu juga Wisnu mengambil daster yang Lirna lempar. "Apa?! Kok jadi seperti ini sih. Tadi waktu aku beli gamis yang kamu minta." Wisnu bangk
Ingin rasanya Astri menghampiri suaminya dan menanyakan sedang apa, lalu siapa wanita muda yang bersamanya. Namun, Astri urungkan, di benaknya terdapat ide, dengan segera ia mengambil ponsel lalu memotret dua manusia itu. Astri teringat tentang surat kehamilan yang ia temukan di tas suaminya. Itu artinya wanita yang bersama Wisnu itu tengah hamil. "Apa hubungan mereka, mungkinkah mas Wisnu sudah menghamilinya, atau mereka punya hubungan khusus," batin Astri. Ia harus segera mencari tahu siapa wanita muda itu. "Aku nggak nyangka, ternyata kamu tak lebih dari seorang playboy. Tidak cukup dengan satu pasangan, sudah seperti piala bergil*r," gumamnya. Setelah itu Astri nanti akan mencari tahu siapa wanita tersebut. Cukup lama Astri berada di rumah sakit, setelah melakukan pemeriksaan, akhirnya ia yakin dan percaya jika Allah telah memberikannya kepercayaan untuk menjadi seorang ibu. Astri akan merahasiakan hal tersebut, ia tidak akan memberitahukan Wisnu tentang kehamilannya itu. Setel
"Dari mana Lirna mendapat foto itu," batin Wisnu. "Itu bisa aku jelaskan, sekarang ikut aku pulang." Wisnu menarik tangan istrinya, tetapi niatnya terhenti saat Romi ikut menarik tangan Lirna. "Mau dibawa kemana." Romi mencekal pergelangan tangan kiri Lirna. "Itu bukan urusanmu." Wisnu menarik paksa tangan Lirna, lalu membawanya masuk ke dalam mobilnya. Romi memilih untuk diam, percuma juga ikut campur, masalah akan menjadi panjang. Sementara itu, Lirna berusaha untuk memberontak, tetapi tenaga Wisnu jauh lebih kuat. Setelah masuk ke dalam, Wisnu langsung melaju meninggalkan tempat itu. Dalam perjalanan, Lirna memilih untuk diam, kesal dan marah menjadi satu. Lirna tidak menyangka kalau dirinya akan kepergok dalam hotel. Saat ini Lirna harus memikirkan untuk mencari alasan, agar Wisnu percaya dengan ucapannya. Sementara itu, Wisnu masih tidak percaya, tentang foto dirinya bersama dengan Vina, wanita simpanannya. Setelah cukup lama dalam perjalanan kini mereka tiba di rumah. Wisn
Cukup lama Lirna serta Vina bertengkar dan menjadi tontonan banyak orang. Malu itu yang Wisnu rasakan, setelah berhasil melerai mereka, Wisnu langsung membawa Lirna pulang. Jujur, Vina merasa sakit hati saat pria yang dicintainya, lebih memilih wanita lain. Bagi Vina, Lirna adalah wanita lain, tapi dia adalah istri Wisnu. "Lepas, Mas. Turunkan aku di sini!" teriak Lirna. Saat ini mereka dalam perjalanan pulang. Wisnu sama sekali tidak peduli dengan permintaan Lirna yang meminta untuk turun. Pria berkemeja navy itu terus melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Wisnu tidak suka bertengkar saat dalam perjalanan, itu sebabnya ia memilih untuk diam. Setelah cukup lama dalam perjalanan, kini mereka tiba di rumah. Setelah mobil terparkir, Wisnu langsung membawa Lirna masuk ke dalam rumah. Lirna terus memberontak dan melampiaskan amarahnya, hal tersebut membuat Wisnu sedikit kewalahan. "Lepas, Mas." Lirna mengibaskan tangan suaminya dengan kasar."Sekarang jelaskan, siapa peremp
Kini Astri sudah tiba di rumah, tidak lama kemudian terdengar suara deru mobil. Sudah dapat dipastikan jika itu adalah Wisnu, dan benar saja, pria berjas hitam itu berjalan cepat menghampiri istrinya yang hendak naik ke lantai atas. Dengan cepat Wisnu mencekal pergelangan tangan Astri. "Astri aku bisa jelasin ini semua, tolong kamu jangan salah paham," ujar Wisnu. Astri menatap wajah Wisnu. "Ini bukan salah paham, tapi ini fakta. Aku bukan anak kecil yang bisa kamu bodohi terus menerus, Mas. Mungkin dulu aku diam, tapi sekarang tidak."Wisnu menggelengkan kepalanya. "Astri aku melakukan ini karena .... ""Karena terpaksa, sudah basi alasan seperti itu. Kamu tidak perlu khawatir, setelah ini kamu bebas mau menjalin hubungan dengan siapa saja, mau menikah dengan siapa saja, aku tidak akan melarangnya." Setelah mengatakan itu Astri berlalu dari hadapan Wisnu yang masih terdiam. Setibanya di kamar, Astri menghempaskan tubuhnya di ranjang. Pilihannya sudah mantap, yaitu bercerai, sudah
Wisnu masih diam dengan seribu bahasa, terlalu syok saat tahu kebenarannya. Ia tidak menyangka jika istrinya diam-diam telah mengambil alih yang seharusnya menjadi miliknya. Wisnu tak ada hak secuil pun atas harta yang Astri miliki, karena semua itu adalah milik Astri, bukan Wisnu. "Kamu licik," desisnya. Astri mengernyitkan keningnya. "Apa aku tidak salah dengar, yang licik aku atau kamu, Mas.""Sudahlah, lagi pula wanita hamil tidak dianjurkan untuk mendonorkan darah. Jadi kamu percuma saja datang ke sini, Mas. Lebih baik kamu cari ke tempat lain," ungkap Astri. Detik itu juga Wisnu terdiam, apa yang istrinya itu katakan benar adanya, jika wanita hamil dilarang untuk melakukan donor darah. Wisnu menjatuhkan bobotnya di sofa, pria itu tampak mengusap wajahnya dengan gusar. "Aku sudah mencarinya ke tempat lain. Tapi sampai sekarang belum ada yang cocok."Astri menghela napas. "Semoga cepat nemu ya, Mas. Kamu sudah makan atau belum? Kalau belum makan dulu.""Aku belum lapar, aku mau
Di rumah sakit dokter langsung menangani Astri, sayangnya bayi yang di dalam kandungan tidak bisa diselamatkan. Nadia ikut merasa sedih mendengar kabar itu, sebisa mungkin Nadia menguatkan adik iparnya itu. "Astri kamu yang sabar ya, semua ini pasti ada hikmahnya." Nadia memeluk tubuh Astri, tak lupa tangan kanannya mengusap punggung adik iparnya itu. "Sekarang sekarang pikirkan saja kesehatan kamu, setelah ini kakak akan membawamu ke luar negeri untuk melakukan operasi. Kakak serta mas Ferdy ingin wajahmu seperti semula," ungkap Nadia. "Tapi, Kak. Aku takut," sahut Astri, ia merasa takut jika operasinya gagal. Bukan bertambah cantik, justru malah semakin rusak. "Kamu tidak perlu takut, dokternya sudah berpengalaman, dan tidak bisa diragukan lagi. Dokternya itu teman mas Ferdy." Nadia terus membujuk serta memenangkan hati dan perasaan adik iparnya. "Sekarang kamu istirahat saja ya, biar badan kamu cepat pulih. Biar kita cepat terbang ke luar negeri." Nadia melepas pelukannya, dan
Tidak terasa bulan demi bulan terus berjalan, dan tahun pun telah berganti. Selama ini rumah tangga Astri dan Steven semakin hari semakin romantis dan juga harmonis. Masalah memang selalu ada, akan tetapi keduanya selalu menghadapinya dengan otak dan kepala yang dingin. Dan sekarang usia Naira menginjak lima tahun, Naira tumbuh menjadi gadis yang cantik seperti ibunya. Kecantikan serta lemah lembutnya menurun dari ibunya, tapi di balik itu, Naira memiliki sifat yang menurun dari ayahnya, yaitu manja, dan gampang ngambek. Tatapan matanya pun sama seperti mata Steven, tapi wajah, hidung serta bibir sama seperti Astri. Hari adalah hari senin, dan seperti biasanya Astri akan memulai kesibukannya usai shalat subuh. "Sayang jam tangan aku di mana!" teriak Steven dari dalam kamar. Pria itu tengah mencari jam tangannya yang selalu ia pakai. "Iya sebentar." Astri ikut berteriak. Saat ini Astri tengah sibuk menyiapkan bekal untuk Naira. Setelah selesai, Astri bergegas naik ke lantai atas di
Hari demi hari telah berganti, minggu demi minggu telah berlalu, bahkan bulan pun terus berjalan. Tidak terasa kini usia kandungan Astri sudah sembilan bulan, mereka tinggal menanti kelahiran malaikat kecil yang telah dinanti-nanti. Yang akan menjadi pelengkap kebahagiaan mereka. Kini Steven sudah standby di rumah, karena mereka tidak tahu kapan Astri akan melahirkan, entah itu siang, pagi ataupun malam. Meski sudah ada perkiraan dari dokter, tetap saja mereka tidak tahu, bisa lebih cepat atau mungkin sebaliknya. Pagi ini Astri tengah duduk di depan televisi, tak lupa di pangkuannya terdapat satu toples cemilan. Wanita berjilbab itu tengah asyik menonton televisi sembari memakan cemilan. Selang berapa menit Steven datang, pria itu menjatuhkan bobotnya di sebelah sang istri. "Sayang lihat tuh, tangan sama kaki, paha, muka udah bulat macam bola saja, tapi ngemil nggak mau berhenti." Steven menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. "Biarin, soalnya enak, Mas," sahut Astri. Tiba-tiba
Seminggu telah berlalu, sejak kejadian di mana Vina datang untuk menuntut balas, sejak saat itu Steven semakin memperketat penjagaan di rumahnya. Ia tidak ingin sampai kejadian buruk menimpa istrinya itu, terlebih saat ini Astri tengah mengandung. "Mas keluar yuk, aku bosen di rumah terus. Hari ini kamu libur kan, Mas?" tanya Astri. Pagi ini mereka tengah duduk santai di ruang tengah. "Memangnya mau pergi ke mana, hem." Steven balik bertanya. "Nyari baju hamil, Mas. Baju yang ada di lemari udah nggak muat," sahut Astri. "Ya udah mandi dulu sana," titah Steven. "Ish aku kan udah mandi," sahut Astri. "Iya mandi kemarin, udah buruan sana," kata Steven. "Mandiin ya," sahut Astri. Seketika ia bangkit dan beranjak dari ruang tengah sebelum suaminya itu benar-benar menyetujui ucapannya itu. Setibanya di kamar, Astri bergegas masuk ke dalam kamar mandi, untuk membersihkan diri. Dua puluh menit kemudian, Astri keluar dengan memakai handuk kimono. Wanita hamil itu berjalan menuju lemari
Semua rahasia yang Irvan sembunyikan kini telah terbongkar, awalnya Irvan ingin tetap merahasiakan siapa dirinya sebenarnya. Namun ibunya terus mendesak, alhasil saudara kembar Wisnu mau mengaku juga. Ratna sempat syok mendengar hal itu, tetapi ia berusaha untuk menerima kenyataan itu. "Andai saja Wisnu masih ada di sini, mungkin kebahagiaan mama akan lebih lengkap. Tapi Wisnu sudah lebih dulu meninggalkan kita." Ratna mulai terisak, dengan cepat Irvan memenangkannya. Ia tidak ingin ibunya kembar depresi karena kepergian putranya yang selama ini bersamanya. "Sudah, Ma. Wisnu sekarang sudah tenang, walaupun Wisnu tidak bersama kita. Irvan yakin, Wisnu akan bahagia, jika melihat kita juga bahagia." Irvan mendekap erat tubuh ibunya, hal tersebut yang puluhan tahun Irvan rindukan. "Irvan, tolong jaga tinggalkan mama lagi, sudah cukup mama kehilangan Wisnu," pinta Ratna. "Mama tidak perlu khawatir, mulai sekarang Irvan yang akan menjaga, Mama." Irvan semakin mempererat dekapannya itu.
Satu bulan sudah sejak kejadian Astri diculik, sejak saat ini Steven lebih ketat lagi untuk menjaga istrinya itu. Terlebih Astri saat ini tengah mengandung, bahkan Steven rela mengeluarkan uang banyak untuk membayar bodyguard demi melindungi sang istri. Setelah kejadian itu juga, Ferdy membebaskan adiknya itu dari urusan kantor. Ferdy tidak ingin kejadian buruk itu kembali menimpa sang adik. Astri memang sangat beruntung memiliki kakak seperti Ferdy, dan ia juga beruntung memiliki suami seperti Steven. "Mas sarapannya sudah siap," ucap Astri seraya berjalan menghampiri suaminya yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. "Iya sebentar lagi aku turun," sahut Steven. Setelah itu Astri memutuskan untuk turun terlebih dahulu. Selang beberapa menit, Steven turun, pria berkulit putih itu melangkahkan kakinya menghampiri sang istri yang telah menunggunya di meja makan. Melihat suaminya datang, Astri langsung menarik kursi untuk duduk suaminya itu. "Mau sarapan pakai apa, Mas?"
Astri mengerjapkan matanya, perlahan ia membuka matanya, setelah kelopak matanya terbuka sempurna. Astri terkejut saat melihat ke sekelilingnya yang terlihat menyeramkan. "Ya Allah aku ada di mana," gumamnya. Mata Astri terus menyapu setiap sudut ruangan tersebut. Gelap dan juga pengap. "Mas tolong aku," batin Astri. Berharap semoga ada yang segera menolongnya. Tiba-tiba saja pintu terbuka, seorang wanita berjalan masuk ke dalam. Wanita itu tersenyum, lalu berjalan mendekat. "Siapa kamu, tolong lepaskan aku," ujar Astri yang memohon agar wanita itu mau melepaskan dirinya. Wanita itu menyunggingkan senyumnya. "Jangan harap, sebelum kamu mendapatkan balasan yang setimpal dariku. Gara-gara kamu ayah dari anakku tiada."Astri diam mendengar hal itu. "Maksud kamu apa, aku tidak mengerti.""Apa kamu lupa dengan mantan suamimu yang tiada karena ulahmu itu," ujar wanita tersebut. Detik itu juga Astri diam. Mantan suami itu artinya mas Wisnu. "Maksud kamu, Mas Wisnu," sahut Astri."Dia a
Astri memundurkan langkahnya saat pria itu bangkit, rasa takut serta khawatir berubah menjadi satu. Pria itu yang tak lain adalah Irvan, kini berjalan semakin mendekat. "Si-siapa kamu." Ucapan Astri terbata-bata. "Kamu pasti sudah tahu siapa aku bukan." Irvan menatap mata indah Astri. Astri menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin, tidak mungkin orang yang sudah meninggal terus hidup lagi. Kamu pasti hanya orang iseng iya kan.""Hahaha, apa aku terlihat seperti orang iseng? Lihat wajahku baik-baik," ujar Irvan. Mata hitamnya terus menatap wajah wanita yang ada di hadapannya itu. "Astri sangat cantik, pantas saja Wisnu sangat mencintainya," batin Irvan, jujur ia terpesona oleh kecantikan Astri. "Ya Allah, tolong selamatkan aku dari orang yang berniat jahat padaku," batin Astri. "Rasanya aku tidak tega kalau harus melukainya," batin Irvan. "Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak akan melukaimu, aku juga tidak akan menyakiti kamu. Justru aku akan melindungimu," ungkap Irvan. Detik it
Pria itu tersenyum lalu melenggang masuk ke dalam, sementara itu. Astri masih diam mematung, rasanya ia tidak percaya dengan yang baru saja dilihatnya. Menyadari akan pria itu, mata Astri berkeliaran mencarinya. Namun sosok pria yang ia temui sudah pergi. "Ya Allah, ini tidak mungkin. Pasti aku hanya salah lihat. Tidak mungkin orang yang sudah meninggal terus hidup lagi. Enggak mungkin, dia pasti hanya mirip saha." Astri terus beristighfar, ia berusaha untuk berpikir positif. "Tapi wajah dan senyumnya sangat mirip dengan, Mas Wisnu. Tapi ini tidak mungkin, aku hanya salah lihat." Astri melangkah pergi meninggalkan tempat tersebut, rasanya ia ingin segera sampai ke rumah. "Jalan, Pak. Langsung pulang saja," titah Astri pada supir pribadinya. "Baik, Nyonya." Mang Ujang mengangguk. Setelahnya mobil melaju meninggalkan pelataran rumah sakit. Dalam perjalanan pulang, Astri tidak henti-hentinya memikirkan kejadian tadi saat di rumah sakit. Sangat sulit untuk dimengerti, dan rasanya tid
Astri berteriak begitu kencang membuat Steven yang berada di kamar mandi panik. Ia keluar dan melihat jika istrinya tengah berteriak dengan mata yang masih terpejam. Dengan rasa panik Steven naik ke atas ranjang dan mencoba membangunkan sang istri. Steven menepuk pelan pipi Astri, bahkan digoncangkan tubuh istrinya agar cepat bangun.Seketika Astri terbangun dan terduduk dengan napas yang memburu. Seketika ia menghambur ke pelukan suaminya dengan tangis yang pecah. Steven membalas pelukan istrinya dengan erat, ia merasa jika Astri dalam ketakutan, entah apa yang terjadi. Steven semakin mempererat pelukannya, ia terus berusaha memberi ketenangan pada sang istri.Setelah cukup lama, Steven melepas pelukannya dan menangkup wajah sang istri. "Ada apa, hem? Apa kamu mimpi buruk.""Bayi aku." Astri memegangi perutnya, dengan air mata yang terus mengalir. "Ada apa?" tanya Steven dengan raut wajah khawatir.Astri kembali menghambur ke pelukan suaminya. "Aku mimpi kalau ... aku takut, Mas. Ak