Dengan sangat terpaksa, Wisnu harus merogoh kocek lagi untuk membayar mobil yang Astri beli. Wisnu benar-benar heran dengan sikap istrinya yang sekarang, Astri benar-benar sudah berubah. Wanita berjilbab itu sudah tidak seperti dulu lagi, penurut dan selalu menerima apa adanya.
"Senang bisa menguras uang suami?" tanya Wisnu, sementara Astri tengah sibuk dengan ponselnya."Senang lah, istri kan memang wajib untuk dibahagiakan. Oya, Mas nanti temenin aku beli handphone baru ya, yang ini udah .... ""Aku nggak mau, aku ada urusan yang lebih penting dari pada nemenin kamu." Wisnu memotong ucapan istrinya."Kalau begitu mana ATM-nya," pinta Astri."Untuk apa?" tanya Wisnu."Untuk beli handphone lah," jawab Astri.Wisnu menghembuskan napasnya, akan sangat percuma berdebat dengan seorang perempuan. Karena di mana-mana perempuan selalu benar, dan sekarang Astri sangat pintar menjawab setiap perkataan suaminya. Dengan terpaksa Wisnu memberikan ATM miliknya."Kenapa cuma satu, bukanya ada tiga," ujar Astri. Dengan terpaksa Wisnu memberikan semua ATM miliknya, ia tidak ingin berdebat."Kamu tidak malu pergi ke luar dengan wajah buruk seperti itu?" tanya Wisnu. Seketika Astri terdiam, jujur ucapannya amat menusuk hati.Astri tersenyum. "Enggak, untuk apa malu. Seharusnya kamu yang malu, Mas. Punya uang banyak tapi .... ""Sudahlah, aku mau pergi sekarang, percuma juga ngomong sama kamu. Assalamu'alaikum." Astri mencium punggung tangan suaminya. Setelah itu ia beranjak pergi."Arrgght, kenapa jadi seperti ini." Wisnu mengerang frustasi. Setelah itu ia mengambil ponselnya, Wisnu sampai lupa kalau pesan yang dari Lirna belum sempat ia balas.@Wisnu[Sayang maaf untuk yang semalam, aku janji besok kita akan menghabiskan waktu bersama]@Lirna[Ok, kali ini aku maafkan. Tapi tolong kamu transfer uang untuk ke salon, sama mau shopping]"Gimana mau nransfer, wong ATM aja dibawa Astri semua," gumam Wisnu. Ia benar-benar bingung dengan masalah yang menimpanya saat ini.@Wisnu[Nanti ya, memangnya uang yang kemarin sudah habis]@Lirna[Sudah, buat beli tas sama baju]"Huft, perempuan memang suka menghambur-hamburkan uang," gumamnya.@Wisnu[Ya sudah, nanti aku transfer]@Lirna[Ok, aku tunggu]Setelah itu Wisnu bangkit dari duduknya, ia beranjak masuk ke dalam kamar untuk mengambil uang cash. Setibanya di kamar, Wisnu langsung menuju brangkas tempat ia menyimpan uang selain di ATM. Wisnu segera membuka brangkas tersebut, setelah terbuka."Apa?! Kenapa kosong. Ke mana uangnya." Wisnu terkejut saat melihat brangkas kosong."Apa ini kerjaan, Astri. Tapi tidak mungkin, kalau Astri yang mengambilnya, untuk apa dia minta uang." Wisnu bermonolog sendiri."Benar-benar aneh, ah sial. Bagaimana aku bisa memberikan Lirna uang," umpatnya."Ini pasti perbuatan Astri, tapi bagaimana dia bisa membukanya," gumam Wisnu.Wisnu mengusap wajahnya dengan kasar, ia sudah dibohongi oleh Astri istrinya sendiri. Setelah itu Wisnu memutuskan untuk pergi menemui Lirna.***Waktu berjalan begitu cepat, pukul tiga sore Astri baru pulang, sesampainya di rumah ia melihat suaminya yang sedang duduk di sofa. Menyadari istrinya pulang, Wisnu mengalihkan pandangannya, ingin rasanya ia meluapkan amarahnya. Namun sebisa mungkin Wisnu menahannya."Astri, ada yang ingin aku tanyakan," ucap Wisnu."Ada apa." Astri menjatuhkan bobotnya di sofa."Oya, ini ATM-nya, Mas. Terima kasih ya." Astri mengembalikan ATM milik suaminya."Sama-sama, Astri apa kamu yang sudah .... " ucapan Wisnu terhenti saat mendengar bel rumah berbunyi."Siapa sih ganggu aja, jangan bilang itu orang yang ngantar barang belanjaan milik kamu terus aku disuruh bayar," ujar Wisnu penuh dengan kekesalan."Jangan suudzon." Astri bangkit dari duduknya dan beranjak menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.Setelah pintu terbuka, Astri sedikit terkejut saat melihat ibu mertuanya sudah berdiri di depan pintu. Hati Astri bertanya-tanya, lantaran tidak biasanya ibu mertuanya itu datang."Lama banget sih bukanya, lelet banget jadi orang." Ratna menerobos masuk ke dalam."Wisnu, Wisnu." Ratna berteriak memanggil putranya, seraya berjalan menuju ruang tengah.Ratna terkejut saat melihat ada beberapa paper bag yang tergeletak di atas sofa. Ia berjalan menghampiri putranya yang sedang duduk. Sementara itu, Astri bergegas menyusul ibu mertuanya yang kini sudah ada di ruang tengah."Ini punya siapa? Kamu habis belanja?" tanya Ratna. Tangannya menunjuk paper bag tersebut."Itu milik Astri," sahut Wisnu. Sementara Ratna hanya menyunggingkan senyumnya."Wisnu, besok malam kamu datang ke rumah ya. Mama mau ngajakin kamu makan malam bersama, tapi kamu tidak perlu mengajak perempuan tidak berguna itu." Mata Ratna melirik ke arah Astri.Wisnu menoleh istrinya sejenak. "Memangnya kenapa, Ma.""Malu-maluin, soalnya besok temen mama ada yang mau datang. Bisa-bisa mereka lari gara-gara melihat wajah istri kamu yang buruk itu," terangnya. Lagi-lagi mata Ratna melirik ke arah Astri."Iya, Ma. Lagi pula Wisnu juga malu pergi ngajak Astri," sahut Wisnu."Apa kamu lupa, mas. Kalau wajahku seperti ini gara-gara siapa," batin Astri. Ia berusaha untuk tetap tegar meski hatinya terasa nyeri."Kamu tidak perlu mengajakku untuk pergi, Mas. Pergi saja sesuka kamu, besok aku juga mau pergi kok," ungkap Astri. Detik itu juga Wisnu menatap istrinya."Pergi kemana?" tanya Wisnu, dengan tatapan mata yang tajam."Sudah-sudah, biarkan saja dia pergi. Paling-paling kalau keluar orang-orang pada menjauh, jijik melihat wajahnya yang seperti monster," sergahnya. Ratna muak bila harus membicarakan menantunya itu."Kamu buatkan saya minum saja sana, saya haus tahu," perintahnya."Nanti ya, Ma. Nunggu, bi Minah datang, orang yang akan bekerja di rumah ini," sahut Astri. Detik itu juga Wisnu terkejut."Apa kamu bilang, kamu jangan sembarangan ya. Jangan asal ambil orang untuk kerja di sini, eh bukannya tugas rumah itu kamu yang ngerjain," ujar Wisnu, pria itu terlihat kesal dengan apa yang Astri lakukan."Aku istri, Mas. Bukan pembantu, tugasku itu untuk mengurus kamu, bukan mengurus rumah. Lagi pula uang kamu kan banyak, jadi nggak masalah kan ambil pembantu," ungkap Astri.Wisnu menghembuskan napasnya, ia berusaha untuk mengontrol emosinya. "Ok, asal satu orang."Astri mengernyitkan keningnya. "Yah, tapi aku sudah ambil empat, Mas. Satu tukang kebun, satu supir pribadi, dan dua yang akan bertugas mengurus rumah ini.""Apa." Wisnu terkejut saat tahu, jika Astri mengambil pembantu empat sekaligus.Wisnu benar-benar dibuat pusing oleh Astri, istrinya itu sudah berubah drastis. Mungkinkah ini karma untuk Wisnu, yang telah tega menghianati istrinya sendiri. Tidak sadarkah jika selama ini Wisnu dan keluarganya menumpang hidup enak kepada Astri. Namun, dengan mudahnya mereka berbuat semaunya, bahkan berencana untuk menyingkirkan Astri. Kali ini Wisnu kembali dibuat tak berkutik lagi oleh Astri, mau tidak mau Wisnu harus menuruti keinginan istrinya itu, yaitu menggunakan jasa pembantu. Sudah dapat dibayangkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan Wisnu untuk membayar mereka. Terlebih Astri tidak segan-segan mengambil empat sekaligus. waktu berjalan begitu cepat, sore harinya pembantu yang Astri pesan sudah datang. Saat ini wanita berjilbab itu sedang memberitahu apa saja tugas mereka. Sementara itu, Wisnu memilih untuk duduk santai di sofa ruang tengah, dengan leptop di pangkuannya, ada banyak e-mail masuk yang harus Wisnu periksa. "Ok, apa kalian sudah paham?" tanya Astri. "
Setelah itu Ratna langsung menghubungi nomor putranya, cukup lama ia menunggu. Setelah hampir lima belas menit, akhirnya panggilan tersambung. Wisnu mengangkat telepon dari ibunya itu. [Halo, Wisnu tolong kamu transfer uang untuk bayar belanjaan yang mama beli][Aku sedang sibuk, Ma. Katanya, Mama belanja sama Astri][Astri pulang ninggalin mama sama Lirna. Belanjaan belum dibayar, mama nggak bawa uang, mobil juga ada di rumah kamu][Astaga, Mama. Ya sudah pakai uang Lirna dulu kan bisa. Nanti aku yang ganti][Masalahnya uang Lirna nggak cukup, udah buruan kamu transfer][Memangnya berapa, Ma][Cuma dua juta lima ratus ribu rupiah kok][Nanti aku transfer, Ma][Ya sudah, mama tunggu]Setelah itu Ratna mengakhiri panggilannya, selang beberapa menit, uang yang Wisnu transfer masuk. Dengan segera Ratna membayar barang belanjaannya, setelah itu mereka bergegas untuk pulang. Namun, sebelumnya Ratna harus mengambil mobilnya yang ada di rumah Wisnu. Sementara itu, di rumah Astri tengah dud
Pukul enam sore Wisnu tiba di rumah Lirna, wanita berhidung mancung itu menyambut kedatangan sang suami. Dengan tersenyum Lirna mengajak suaminya masuk ke dalam, setibanya di ruang tengah, Wisnu memilih untuk menjatuhkan bobotnya di sofa. "Ini bajunya." Wisnu menyerahkan paper bag yang ia bawa. Dengan semangat Lirna menerima paper bag tersebut. "Aku buka ya, Mas." Lirna tersenyum, lalu membuka dan mengambil isi paper bag tersebut. Mata Lirna terbelalak setelah melihat isi paper bag yang Wisnu kasih untuknya. Sebuah daster lusuh yang sudah berlubang, sudah tak layak pakai lagi. Lirna tidak habis pikir, bisa-bisanya Wisnu memberinya baju compang-camping seperti itu. Biasanya sang suami selalu membeli baju bermerek. "Mas apa-apaan ini, kenapa baju lusuh seperti ini yang kamu berikan." Lirna melempar daster tersebut tepat di pangkuan Wisnu. Detik itu juga Wisnu mengambil daster yang Lirna lempar. "Apa?! Kok jadi seperti ini sih. Tadi waktu aku beli gamis yang kamu minta." Wisnu bangk
Ingin rasanya Astri menghampiri suaminya dan menanyakan sedang apa, lalu siapa wanita muda yang bersamanya. Namun, Astri urungkan, di benaknya terdapat ide, dengan segera ia mengambil ponsel lalu memotret dua manusia itu. Astri teringat tentang surat kehamilan yang ia temukan di tas suaminya. Itu artinya wanita yang bersama Wisnu itu tengah hamil. "Apa hubungan mereka, mungkinkah mas Wisnu sudah menghamilinya, atau mereka punya hubungan khusus," batin Astri. Ia harus segera mencari tahu siapa wanita muda itu. "Aku nggak nyangka, ternyata kamu tak lebih dari seorang playboy. Tidak cukup dengan satu pasangan, sudah seperti piala bergil*r," gumamnya. Setelah itu Astri nanti akan mencari tahu siapa wanita tersebut. Cukup lama Astri berada di rumah sakit, setelah melakukan pemeriksaan, akhirnya ia yakin dan percaya jika Allah telah memberikannya kepercayaan untuk menjadi seorang ibu. Astri akan merahasiakan hal tersebut, ia tidak akan memberitahukan Wisnu tentang kehamilannya itu. Setel
"Dari mana Lirna mendapat foto itu," batin Wisnu. "Itu bisa aku jelaskan, sekarang ikut aku pulang." Wisnu menarik tangan istrinya, tetapi niatnya terhenti saat Romi ikut menarik tangan Lirna. "Mau dibawa kemana." Romi mencekal pergelangan tangan kiri Lirna. "Itu bukan urusanmu." Wisnu menarik paksa tangan Lirna, lalu membawanya masuk ke dalam mobilnya. Romi memilih untuk diam, percuma juga ikut campur, masalah akan menjadi panjang. Sementara itu, Lirna berusaha untuk memberontak, tetapi tenaga Wisnu jauh lebih kuat. Setelah masuk ke dalam, Wisnu langsung melaju meninggalkan tempat itu. Dalam perjalanan, Lirna memilih untuk diam, kesal dan marah menjadi satu. Lirna tidak menyangka kalau dirinya akan kepergok dalam hotel. Saat ini Lirna harus memikirkan untuk mencari alasan, agar Wisnu percaya dengan ucapannya. Sementara itu, Wisnu masih tidak percaya, tentang foto dirinya bersama dengan Vina, wanita simpanannya. Setelah cukup lama dalam perjalanan kini mereka tiba di rumah. Wisn
Cukup lama Lirna serta Vina bertengkar dan menjadi tontonan banyak orang. Malu itu yang Wisnu rasakan, setelah berhasil melerai mereka, Wisnu langsung membawa Lirna pulang. Jujur, Vina merasa sakit hati saat pria yang dicintainya, lebih memilih wanita lain. Bagi Vina, Lirna adalah wanita lain, tapi dia adalah istri Wisnu. "Lepas, Mas. Turunkan aku di sini!" teriak Lirna. Saat ini mereka dalam perjalanan pulang. Wisnu sama sekali tidak peduli dengan permintaan Lirna yang meminta untuk turun. Pria berkemeja navy itu terus melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Wisnu tidak suka bertengkar saat dalam perjalanan, itu sebabnya ia memilih untuk diam. Setelah cukup lama dalam perjalanan, kini mereka tiba di rumah. Setelah mobil terparkir, Wisnu langsung membawa Lirna masuk ke dalam rumah. Lirna terus memberontak dan melampiaskan amarahnya, hal tersebut membuat Wisnu sedikit kewalahan. "Lepas, Mas." Lirna mengibaskan tangan suaminya dengan kasar."Sekarang jelaskan, siapa peremp
Kini Astri sudah tiba di rumah, tidak lama kemudian terdengar suara deru mobil. Sudah dapat dipastikan jika itu adalah Wisnu, dan benar saja, pria berjas hitam itu berjalan cepat menghampiri istrinya yang hendak naik ke lantai atas. Dengan cepat Wisnu mencekal pergelangan tangan Astri. "Astri aku bisa jelasin ini semua, tolong kamu jangan salah paham," ujar Wisnu. Astri menatap wajah Wisnu. "Ini bukan salah paham, tapi ini fakta. Aku bukan anak kecil yang bisa kamu bodohi terus menerus, Mas. Mungkin dulu aku diam, tapi sekarang tidak."Wisnu menggelengkan kepalanya. "Astri aku melakukan ini karena .... ""Karena terpaksa, sudah basi alasan seperti itu. Kamu tidak perlu khawatir, setelah ini kamu bebas mau menjalin hubungan dengan siapa saja, mau menikah dengan siapa saja, aku tidak akan melarangnya." Setelah mengatakan itu Astri berlalu dari hadapan Wisnu yang masih terdiam. Setibanya di kamar, Astri menghempaskan tubuhnya di ranjang. Pilihannya sudah mantap, yaitu bercerai, sudah
Wisnu masih diam dengan seribu bahasa, terlalu syok saat tahu kebenarannya. Ia tidak menyangka jika istrinya diam-diam telah mengambil alih yang seharusnya menjadi miliknya. Wisnu tak ada hak secuil pun atas harta yang Astri miliki, karena semua itu adalah milik Astri, bukan Wisnu. "Kamu licik," desisnya. Astri mengernyitkan keningnya. "Apa aku tidak salah dengar, yang licik aku atau kamu, Mas.""Sudahlah, lagi pula wanita hamil tidak dianjurkan untuk mendonorkan darah. Jadi kamu percuma saja datang ke sini, Mas. Lebih baik kamu cari ke tempat lain," ungkap Astri. Detik itu juga Wisnu terdiam, apa yang istrinya itu katakan benar adanya, jika wanita hamil dilarang untuk melakukan donor darah. Wisnu menjatuhkan bobotnya di sofa, pria itu tampak mengusap wajahnya dengan gusar. "Aku sudah mencarinya ke tempat lain. Tapi sampai sekarang belum ada yang cocok."Astri menghela napas. "Semoga cepat nemu ya, Mas. Kamu sudah makan atau belum? Kalau belum makan dulu.""Aku belum lapar, aku mau
Tidak terasa bulan demi bulan terus berjalan, dan tahun pun telah berganti. Selama ini rumah tangga Astri dan Steven semakin hari semakin romantis dan juga harmonis. Masalah memang selalu ada, akan tetapi keduanya selalu menghadapinya dengan otak dan kepala yang dingin. Dan sekarang usia Naira menginjak lima tahun, Naira tumbuh menjadi gadis yang cantik seperti ibunya. Kecantikan serta lemah lembutnya menurun dari ibunya, tapi di balik itu, Naira memiliki sifat yang menurun dari ayahnya, yaitu manja, dan gampang ngambek. Tatapan matanya pun sama seperti mata Steven, tapi wajah, hidung serta bibir sama seperti Astri. Hari adalah hari senin, dan seperti biasanya Astri akan memulai kesibukannya usai shalat subuh. "Sayang jam tangan aku di mana!" teriak Steven dari dalam kamar. Pria itu tengah mencari jam tangannya yang selalu ia pakai. "Iya sebentar." Astri ikut berteriak. Saat ini Astri tengah sibuk menyiapkan bekal untuk Naira. Setelah selesai, Astri bergegas naik ke lantai atas di
Hari demi hari telah berganti, minggu demi minggu telah berlalu, bahkan bulan pun terus berjalan. Tidak terasa kini usia kandungan Astri sudah sembilan bulan, mereka tinggal menanti kelahiran malaikat kecil yang telah dinanti-nanti. Yang akan menjadi pelengkap kebahagiaan mereka. Kini Steven sudah standby di rumah, karena mereka tidak tahu kapan Astri akan melahirkan, entah itu siang, pagi ataupun malam. Meski sudah ada perkiraan dari dokter, tetap saja mereka tidak tahu, bisa lebih cepat atau mungkin sebaliknya. Pagi ini Astri tengah duduk di depan televisi, tak lupa di pangkuannya terdapat satu toples cemilan. Wanita berjilbab itu tengah asyik menonton televisi sembari memakan cemilan. Selang berapa menit Steven datang, pria itu menjatuhkan bobotnya di sebelah sang istri. "Sayang lihat tuh, tangan sama kaki, paha, muka udah bulat macam bola saja, tapi ngemil nggak mau berhenti." Steven menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. "Biarin, soalnya enak, Mas," sahut Astri. Tiba-tiba
Seminggu telah berlalu, sejak kejadian di mana Vina datang untuk menuntut balas, sejak saat itu Steven semakin memperketat penjagaan di rumahnya. Ia tidak ingin sampai kejadian buruk menimpa istrinya itu, terlebih saat ini Astri tengah mengandung. "Mas keluar yuk, aku bosen di rumah terus. Hari ini kamu libur kan, Mas?" tanya Astri. Pagi ini mereka tengah duduk santai di ruang tengah. "Memangnya mau pergi ke mana, hem." Steven balik bertanya. "Nyari baju hamil, Mas. Baju yang ada di lemari udah nggak muat," sahut Astri. "Ya udah mandi dulu sana," titah Steven. "Ish aku kan udah mandi," sahut Astri. "Iya mandi kemarin, udah buruan sana," kata Steven. "Mandiin ya," sahut Astri. Seketika ia bangkit dan beranjak dari ruang tengah sebelum suaminya itu benar-benar menyetujui ucapannya itu. Setibanya di kamar, Astri bergegas masuk ke dalam kamar mandi, untuk membersihkan diri. Dua puluh menit kemudian, Astri keluar dengan memakai handuk kimono. Wanita hamil itu berjalan menuju lemari
Semua rahasia yang Irvan sembunyikan kini telah terbongkar, awalnya Irvan ingin tetap merahasiakan siapa dirinya sebenarnya. Namun ibunya terus mendesak, alhasil saudara kembar Wisnu mau mengaku juga. Ratna sempat syok mendengar hal itu, tetapi ia berusaha untuk menerima kenyataan itu. "Andai saja Wisnu masih ada di sini, mungkin kebahagiaan mama akan lebih lengkap. Tapi Wisnu sudah lebih dulu meninggalkan kita." Ratna mulai terisak, dengan cepat Irvan memenangkannya. Ia tidak ingin ibunya kembar depresi karena kepergian putranya yang selama ini bersamanya. "Sudah, Ma. Wisnu sekarang sudah tenang, walaupun Wisnu tidak bersama kita. Irvan yakin, Wisnu akan bahagia, jika melihat kita juga bahagia." Irvan mendekap erat tubuh ibunya, hal tersebut yang puluhan tahun Irvan rindukan. "Irvan, tolong jaga tinggalkan mama lagi, sudah cukup mama kehilangan Wisnu," pinta Ratna. "Mama tidak perlu khawatir, mulai sekarang Irvan yang akan menjaga, Mama." Irvan semakin mempererat dekapannya itu.
Satu bulan sudah sejak kejadian Astri diculik, sejak saat ini Steven lebih ketat lagi untuk menjaga istrinya itu. Terlebih Astri saat ini tengah mengandung, bahkan Steven rela mengeluarkan uang banyak untuk membayar bodyguard demi melindungi sang istri. Setelah kejadian itu juga, Ferdy membebaskan adiknya itu dari urusan kantor. Ferdy tidak ingin kejadian buruk itu kembali menimpa sang adik. Astri memang sangat beruntung memiliki kakak seperti Ferdy, dan ia juga beruntung memiliki suami seperti Steven. "Mas sarapannya sudah siap," ucap Astri seraya berjalan menghampiri suaminya yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. "Iya sebentar lagi aku turun," sahut Steven. Setelah itu Astri memutuskan untuk turun terlebih dahulu. Selang beberapa menit, Steven turun, pria berkulit putih itu melangkahkan kakinya menghampiri sang istri yang telah menunggunya di meja makan. Melihat suaminya datang, Astri langsung menarik kursi untuk duduk suaminya itu. "Mau sarapan pakai apa, Mas?"
Astri mengerjapkan matanya, perlahan ia membuka matanya, setelah kelopak matanya terbuka sempurna. Astri terkejut saat melihat ke sekelilingnya yang terlihat menyeramkan. "Ya Allah aku ada di mana," gumamnya. Mata Astri terus menyapu setiap sudut ruangan tersebut. Gelap dan juga pengap. "Mas tolong aku," batin Astri. Berharap semoga ada yang segera menolongnya. Tiba-tiba saja pintu terbuka, seorang wanita berjalan masuk ke dalam. Wanita itu tersenyum, lalu berjalan mendekat. "Siapa kamu, tolong lepaskan aku," ujar Astri yang memohon agar wanita itu mau melepaskan dirinya. Wanita itu menyunggingkan senyumnya. "Jangan harap, sebelum kamu mendapatkan balasan yang setimpal dariku. Gara-gara kamu ayah dari anakku tiada."Astri diam mendengar hal itu. "Maksud kamu apa, aku tidak mengerti.""Apa kamu lupa dengan mantan suamimu yang tiada karena ulahmu itu," ujar wanita tersebut. Detik itu juga Astri diam. Mantan suami itu artinya mas Wisnu. "Maksud kamu, Mas Wisnu," sahut Astri."Dia a
Astri memundurkan langkahnya saat pria itu bangkit, rasa takut serta khawatir berubah menjadi satu. Pria itu yang tak lain adalah Irvan, kini berjalan semakin mendekat. "Si-siapa kamu." Ucapan Astri terbata-bata. "Kamu pasti sudah tahu siapa aku bukan." Irvan menatap mata indah Astri. Astri menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin, tidak mungkin orang yang sudah meninggal terus hidup lagi. Kamu pasti hanya orang iseng iya kan.""Hahaha, apa aku terlihat seperti orang iseng? Lihat wajahku baik-baik," ujar Irvan. Mata hitamnya terus menatap wajah wanita yang ada di hadapannya itu. "Astri sangat cantik, pantas saja Wisnu sangat mencintainya," batin Irvan, jujur ia terpesona oleh kecantikan Astri. "Ya Allah, tolong selamatkan aku dari orang yang berniat jahat padaku," batin Astri. "Rasanya aku tidak tega kalau harus melukainya," batin Irvan. "Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak akan melukaimu, aku juga tidak akan menyakiti kamu. Justru aku akan melindungimu," ungkap Irvan. Detik it
Pria itu tersenyum lalu melenggang masuk ke dalam, sementara itu. Astri masih diam mematung, rasanya ia tidak percaya dengan yang baru saja dilihatnya. Menyadari akan pria itu, mata Astri berkeliaran mencarinya. Namun sosok pria yang ia temui sudah pergi. "Ya Allah, ini tidak mungkin. Pasti aku hanya salah lihat. Tidak mungkin orang yang sudah meninggal terus hidup lagi. Enggak mungkin, dia pasti hanya mirip saha." Astri terus beristighfar, ia berusaha untuk berpikir positif. "Tapi wajah dan senyumnya sangat mirip dengan, Mas Wisnu. Tapi ini tidak mungkin, aku hanya salah lihat." Astri melangkah pergi meninggalkan tempat tersebut, rasanya ia ingin segera sampai ke rumah. "Jalan, Pak. Langsung pulang saja," titah Astri pada supir pribadinya. "Baik, Nyonya." Mang Ujang mengangguk. Setelahnya mobil melaju meninggalkan pelataran rumah sakit. Dalam perjalanan pulang, Astri tidak henti-hentinya memikirkan kejadian tadi saat di rumah sakit. Sangat sulit untuk dimengerti, dan rasanya tid
Astri berteriak begitu kencang membuat Steven yang berada di kamar mandi panik. Ia keluar dan melihat jika istrinya tengah berteriak dengan mata yang masih terpejam. Dengan rasa panik Steven naik ke atas ranjang dan mencoba membangunkan sang istri. Steven menepuk pelan pipi Astri, bahkan digoncangkan tubuh istrinya agar cepat bangun.Seketika Astri terbangun dan terduduk dengan napas yang memburu. Seketika ia menghambur ke pelukan suaminya dengan tangis yang pecah. Steven membalas pelukan istrinya dengan erat, ia merasa jika Astri dalam ketakutan, entah apa yang terjadi. Steven semakin mempererat pelukannya, ia terus berusaha memberi ketenangan pada sang istri.Setelah cukup lama, Steven melepas pelukannya dan menangkup wajah sang istri. "Ada apa, hem? Apa kamu mimpi buruk.""Bayi aku." Astri memegangi perutnya, dengan air mata yang terus mengalir. "Ada apa?" tanya Steven dengan raut wajah khawatir.Astri kembali menghambur ke pelukan suaminya. "Aku mimpi kalau ... aku takut, Mas. Ak