Beranda / CEO / Satu Malam dengan Bos Baruku / Keputusan Yang Benar

Share

Keputusan Yang Benar

Pertanyaan itu sangat serius, bukan?

Emily tak mampu berkata-kata. Masih memandang penuh Harry, pria itu berbeda kini. Sangat bersahabat lebih lembut dari sebelumnya.

“Hey,” panggil Harry, membuat lamunan Emily buyar.

“Hah, ma-maaf, Harry.”

“Tidak masalah. Aku yakin, kau sama kagetnya denganku. Aku tidak percaya akan bertemu lagi dengan gadis yang memintaku tidur dengannya. Jujur, ini kali pertama untukmu, bukan?”

Pertanyaan Harry membuat Emily tertangkap basah. Tentulah Harry tahu betul, bagaimana dia bersusah payah untuk memasuki tempat yang tak pernah disinggahi lelaki manapun. Emily gadis baik-baik, pikirnya.

“Dan terakhir … gadis itu memberikanku selembar uang merah sebagai bayaran akan permintaannya dan meninggalkanku begitu saja,” sindir Harry, ingin melihat reaksi Emily.

“Bu-bukan maksudku untuk membayarmu selembar itu,” jawab Emily malu. Wajah Emily merona sudah. “Aku tidak membawa uang lebih. Sungguh.”

Polos sekali Emily bagi Harry. Pantas saja, gadis sebaik Emily bisa diselingkuhi. Harry bisa merasakan semua kesedihan Emily kemarin, selama keduanya menikmati momen panas bersama. Di samping kenikmatan yang keluar dari mulut Emily, ada nama Jorell yang di udarakannya.

“Kau tidak ada disampingku, Emily.” Bersuara kembali, Harry kembali pada ingatan saat terbangun dari tidur indahnya. “Lalu, aku menemukan pesan yang kau tulis di secarik kertas. Kupikir kau meninggalkan nomor ponselmu, ternyata aku salah. Kau memberikanku selembar uang merah.”

Harry malah tertawa.

Emily mencerna semua momen baik ini. Ternyata Harry tak semengerikan yang ia pikirkan sejak pertama melihat kehadirannya di ruang makan.

“Kau tidak keberatan?” tanya Emily berhati-hati.

Sebelum membalas pertanyaan gadis unik itu, Harry kembali melaju pelan menyusuri jalanan kota siang itu. Tak sepadat jam kerja. Mungkin karena weekend.

“Aku keberatan?” ulang Harry, “itu seharusnya menjadi pertanyaanku, Emily. Kau bermain panas denganku kemarin. Bagaimana menurutmu? Kau tidak merasa rugi? atau … kau tidak ingin menuntut kerugian padaku?”

Siapa yang mau dituntut?

Itu kemauan Emily sendiri. Dibawa kemanapun, Emily-lah yang salah. Ia meminta dengan terang-terangan pada Harry malam itu, malam dimana ia diselingkuhi.

Emily menunduk wajah. Menyembunyikan rasa malu yang tidak bisa dibendung oleh apa pun.

“Tidak, Harry.”

Harry menoleh, “kau yakin?”

“Ya, karena itu mauku,” jawabnya dan membalas tatapan teduh Harry. “Aku yang memintamu. Seharusnya … kau yang rugi, bukan? Apa aku harus mengganti kerugian-mu, Harry?”

“Hmmm,” Harry berdehem tanpa menoleh, “aku ingin meminta ganti rugi padamu.”

Emily hampir saja tenggelam akan penilaiannya terhadap Harry. Seharusnya tidak perlu lagi mengatakan soal ganti rugi. Emily tentulah tak mampu menyanggupi. Gajinya saja tidak bersisa setengah dari gaji pokoknya tiap bulan. Ibu tiri dan sang ayah menjadi prioritas Emily selama bekerja. Belum lagi hutang piutang mereka yang menggunung.

“Kau ingin dibayar berapa?” ucap Emily setelah menjeda beberapa menit. “A-aku akan berusaha memenuhi itu jika sanggup.”

Kembali Harry menoleh ke Emily. Apa yang menjadi beban hidup gadis itu, pikirnya. Wajah cantik Emily tak tampak bahagia sejak kemarin.

“Kenapa kau ingin terus membayarku?”

“Hah?”

“Kau sudah kenal Papaku, Emily,” ucap Harry lagi. “Apa kau pikir aku kekurangan uang? Kau lihat kemarin malam, bukan? Apa aku sedang menjajakan diri di bar sana?”

Wah!

Kedengarannya Harry tersinggung akan perkataan Emily meskipun tak ada penekanan di setiap kata yang dia ucapkan. Emily benar-benar pusing dibuat Harry yang berubah-ubah. Penilaiannya pada Harry selalu salah.

“Hah, aku tidak bermaksud menyinggungmu, Harry. Maafkan, aku,” ujarnya, langsung memilih melengos kembali memandang pada jalan.

“Aku ingin kau membayarku dengan menerima perjodohan kita, Emily,” lanjut Harry, menarik atensi Emily. “Jangan menolak kemauan ibuku dan ibumu. Kau bisa menyanggupinya?”

“Oh, itu,” Emily menggantung suaranya. “Apa aku harus menjawabnya sekarang?”

Harry langsung memutar kepala guna memandang lurus pada Emily. Harry mencoba mengamati ekspresi dan mengartikan wajah perempuan itu. Namun, Harry sulit untuk menebaknya. Bukankah permintaan itu tidak sulit untuk dijawab.

“Kau ingin berpikir lebih dulu?”

Emily bukan tidak ingin memberikan jawaban pasti. Ia tak ingin terburu-buru, apalagi ia baru saja putus cinta. Hubungan yang sudah dibangun selama dua tahun seperti hidup yang sia-sia saja.

“Ya, Harry. Kau tahu sendiri bagaimana kondisiku saat ini. Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku diselingkuhi kekasihku. Kami sudah dua tahun menjalin hubungan. Itu bukan waktu yang singkat bagiku. Selama ini, aku berpikir hubungan kami sehat dan baik-baik saja. Faktanya tidak. Dia bilang, aku egois. Aku hanya peduli dengan pekerjaanku tanpa tahu dia kesepian. Jadi, aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama. Berikan aku waktu untuk berpikir, Harry.”

Apakah benar semua itu?

Harry tak yakin soal ucapan Emily barusan. Bagaimana bisa seorang Emily egois? Dia sangat terluka di mata Harry kemarin malam.

“Baiklah,” jawabnya singkat, “aku menantikan jawaban pasti darimu. Kau tidak boleh menyalahkan dirimu akan kesalahan orang lain, Emily.”

Perkataan Harry menjadi penutup obrolan keduanya, dalam perjalanan menuju apartemen Emily.

Sesampainya di basement apartemen, Harry hendak mengantarkan Emily ke unit miliknya untuk memastikan gadis itu tiba dengan selamat. Namun, Emily menolak. Ia keberatan membuat Harry repot karena nya.

“Terima kasih, Harry.”

“Tidak perlu sungkan, Emily. Aku berharap … senin nanti akan menjadi pertemuan pertama kita yang lebih baik lagi.”

Emily mengangguk dan menarik sebuah senyum. “Sampai bertemu nanti, Harry.”

Setelah salam perpisahan menjadi penutup perjumpaan mereka, Emily turun dari mobil Harry dan berlalu pergi menuju pintu masuk basement, tanpa tahu Harry masih tak melepas Emily dari pandangannya.

Sebuah telapak tangan besar tiba-tiba menarik lengan Emily, ketika kedua kakinya hampir sampai di pintu. Sontak saja, langkah kakinya harus terhenti seraya menoleh.

“Dari mana saja kau, Emily?”

“Jorell?”

“Kau sengaja menghindar dariku, bukan? Kau tidak menyalakan ponselmu. Dari mana saja kau baru kembali? Dan siapa yang mengantarmu pulang!”

Dicecar banyak pertanyaan dari pria yang kini sudah berstatus mantan kekasih, membangkitkan emosi Emily kembali menyala.

“Lepaskan aku!” perintah Emily seraya menarik tangannya. “Kau pikir kau siapa sekarang? Jangan mengaturku!”

Bukannya melepas tangannya, Jorell semakin mencengkram keras tangan Emily.

“Kau masih punya urusan denganku, Emily.”

“Urusan? Urusanku denganmu? Kau sudah gila, Jorell. Aku tidak punya urusan apa pun lagi denganmu setelah kemarin malam. Pergi dari sini dan jangan datang lagi.”

“Kau tidak tahu selama ini, ‘kan? Aku belum mengatakan semua yang tidak kau tahu, Emily.”

“Sakit, Jorell! Lepaskan tanganku.”

“Lepaskan dia!”

Kedatangan Harry mengejutkan Emily dan Jorell. Emily pikir, pria itu sudah pergi dengan mobilnya.

“Kau siapa?!” bentak Jorell tak suka.

“Kubilang lepaskan tangannya!” Harry memanas, dan mencoba menarik paksa tangan Emily yang tampak memerah sudah.

Melihat Harry yang semakin ikut campur, Jorell akhirnya melepaskan tangan gadis yang dikhianatinya.

“Apa kau baik-baik saja, Emily?” Harry sentuh kulit yang memerah.

“Kau siapa?” tanya Jorell merasa risih akan perhatian Harry pada Emily. Mereka juga saling mengenal. Itu membuat Jorell gusar.

Harry menoleh membalas pandangan penasaran Jorell seraya mengambil dompet dalam kantong celana yang dia kenakan. Mengeluarkan satu kartu nama, Harry menyerahkannya ke Jorell.

“Mulai sekarang, semua yang berurusan dengan Emily menjadi urusanku,” kata Harry, bersuara tegas.

Tepat saat Harry maju untuk melindungi Emily, Emily dengan cepat menyadari satu hal. Satu hal yang pasti, bahwa keputusannya untuk menikah dengan pria itu, mungkin adalah keputusan yang benar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status