“Kau tak apa?”
Setelah kepergian Jorell, Harry memastikan Emily lebih dulu. Memperhatikan perempuan di depannya penuh seksama. Emily menggeleng seraya tersenyum kecil. “Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah membantuku.” Sesuatu yang mengganjal terpikir oleh Harry. Belum berniat berpindah tempat, Harry berniat untuk mengajukan sebuah pertanyaan. “Apa … dia?” “Hah?” Emily sedikit terkejut, mencoba memahami pertanyaan sang pria. “Ah, i-itu pria yang membuatmu mabuk kemarin malam dan berakhir denganku?” tanya Harry lagi. Bibir Emily terkatup rapat. Sedikit gugup, Emily menundukkan wajah seketika seraya menganggukkan kepala. “Benar. Aku tidak tahu kalau dia ada di sini.” “Kau perlu berhati-hati, Emily,” ujar Harry, sedikit merasa khawatir akan keberanian Jorell setelah menyakiti Emily. “Kau tidak tahu … apa yang dia inginkan darimu setelah mencampakkanmu kemarin.” Kedua orang yang baru saja ketemu kemarin malam hingga berbagi keringat serta kenikmatan dunia itu, tidak saling mengenal apa lagi dekat. Lalu, Harry, pria itu sangat peduli pikirnya. “Aku tak masalah,” jawabnya memecah keheningan. “Kau sudah boleh pergi, Harry. Terima kasih sudah membantuku.” “Baiklah,” Harry menarik satu tarikan nafas panjang, “Kalau begitu … sampai bertemu besok di perusahaan.” Emily mengangguk dan memperhatikan kepergian Harry menuju mobil. Bayangan pria bertubuh tinggi tegap itu menyisakan banyak pertanyaan dalam benak Emily. Bagaimana bisa pikirnya, ia terjebak dalam hubungan singkat yang panas hanya dalam semalam dengan bosnya sendiri. Benar-benar sial, pikir Emily. **** Keesokan harinya. Dengan langkah malas Emily memasuki kubikel, tempat di mana ia duduk setiap jam kerja. Tidak seperti hari biasa, Emily terasa berat. Sungguh sangat berat menghadapi kehidupan yang tak seperti biasa. Sebelum mengakhiri malam kemarin, ia dapati telepon dari ibu tiri yang meracau akan hubungannya dengan Jorell. Segila itukah Jorell? Dia mengadu dan menimbulkan masalah bagi Emily sendiri. “Emily,” sapa Salvina, sahabat baik Emily di perusahaan tempat mereka bekerja dari belakang. Emily yang tengah berpikir dalam diam itu menoleh. “Hah, Salv, kau sudah tiba.” “Hey, ada apa denganmu?” Salvina paham betul akan mood Emily. Dia tampak tidak baik-baik saja kini. “Aku?” “Ya, siapa lagi kalau bukan kau,” jawab Salvina, kini duduk di kursinya seraya meletakkan tas di atas meja. “Aku putus dengan Jorell, Salv,” aku Emily putus asa. “Apa? kau putus dengan Jorell?” Salvina memastikan dengan ekspresi terkejut. Emily mengangguk. “Dia selingkuh dan bermain panas di depan mataku.” Kembali Emily menundukkan wajah. Mengingat momen panas Jorell bersama selingkuhannya, bayangan Harry bersamanya pun ikut kembali muncul dalam ingatan. “Siala!” teriak Salvina seraya berdiri, membuat orang sekitar ikut menoleh padanya. “Salv!” ucapnya menahan malu dengan menyentuh lengan Salvina. “Kau duduklah.” Salvina sadar, dan langsung duduk kembali. “Maaf, Emily. Aku terkejut. Apa yang membuatnya seperti itu?” bisik Salvina hati-hati. “Dia—” “Perhatian semuanya. Sebentar lagi kita akan kedatangan CEO baru perusahaan. Mohon sambutannya,” ucap manajer bagian produksi, menghentikan obrolan keduanya. “Saya harap, kalian semua yang ada disini bersikap siap untuk menyambut beliau.” “CEO baru?” tanya Salvina, tak paham akan keadaan. Wajah Emily kembali meringis. Sebenarnya ia tak semangat untuk bekerja hari ini. Emily belum terbiasa dengan keadaan sekarang. Untuk berbagi cerita soal Harry ke Salvina saja ia belum mampu. “Apa CEO baru itu tampan?” “Masih jomblo kah?” “Semoga saja masih muda, ya. Seenggaknya kita bisa cuci mata di sini.” Suara sumbang itu berdatangan dari arah sekitar Emily menelusup masuk ke indera pendengarannya. Para gadis berstatus jomblo itu memang tampak antusias mendengar berita barusan. Jantung Emily berdegup kencang. Ia masih tak biasa berhadapan dengan Harry. Setelah apa yang mereka lakukan, dan perjodohan dari mendiang ibu keduanya. “Kenapa kau terlihat pucat, Emily?” tegur Salvina, memeriksa wajah sahabatnya itu. Emily menggeleng dan lekas berdiri. “Aku tidak apa-apa, Salv. Aku ke toilet dulu.” Setelah berkata demikian, Emily berjalan pergi dengan langkah lebar. Tak memperdulikan perkataan sang manajer, Emily mengambil tempat tersendiri di dalam toilet. Setibanya di toilet wanita, Emily memandang sedih pantulan dirinya di depan cermin. “Apa yang harus kulakukan?” Emily tahu, pertanyaan barusan tidak akan mendapatkan jawaban. Bukan hanya bayangan rasa sakit akan perbuatan Jorell saja yang harus ia tanggung . Ucapan Ibu tirinya pun kini turut memenuhi kepala Emily. ‘Kau harus berbaikan dengan Jorell, Emily. Apa pun kesalahannya, itu semua karena salahmu sendiri. Kau saja yang tidak paham keadaan Jorell. Jangan sampai membuatnya mara, dan kau tidak boleh putus dengannya, Emily. Apa pun masalahnya, kau harus tetap menikah dengan Jorell!’ Setelah panjang lebar membela Jorell, kata terakhir dari ibu tirinya semakin membuat diri Emily sesak. ‘Kau ingat, Emily! Jorell yang selama ini membantu hutang piutangku dan ayahmu! Kita berhutang banyak padanya. Aku memberitahukan mu, agar kau bisa berjaga-jaga soal ini.’ Bagaimana mungkin bisa seperti ini? Emily benar-benar sangat kalut. Ia hanya ingin lepas dari Jorell dan mencoba membuka hati untuk Harry. Bukankah itu keinginannya di basement? Entahlah. Kini Emily mulai meragu. Ia merasa dirinya tak pantas untuk bahagia. Air mata jatuh perlahan. Bagaimana bisa ia melanjutkan hubungan yang baru, jika hubungan yang lama saja belum selesai. Beban Emily bertambah kini. Getar ponsel dalam saku celana kerja menyadarkan Emily. Ia usap air mata di pipi seraya merogoh saku untuk mengambil ponsel. Menatap layar ponsel, Emily lihat nama Jorell di atas sana. “Mau apa lagi dia?” katanya, sebelum menjawab panggilan. “Mau apa lagi?” “Aku ingin bicara denganmu. Keluarlah. Aku di depan lift.” Gila saja! Emily langsung menutup panggilan, dan bergegas pergi menuju tempat yang dikatakan oleh Jorell, tanpa ia ketahui Harry baru saja memandang kepergiannya. “Kau mau apa?!” tanya Emily, berbisik penuh tekanan ke Jorell. “Aku ingin bicara dan menyelesaikan soal kemarin.” Emily yang tampak takut itu menoleh ke arah sekitar mereka untuk berjaga. Melangkah mendekati pintu lift, jarinya menyentuh tombol atas dan membawa Jorell pindah ke rooftop. Emily berdiri di depan Jorell. Rambut panjang hitam legamnya, kini terhembus angin. Bola matanya menatap tajam pria tak tahu malu itu. “Aku tidak akan mengulang ini, Jorell. Tolong jangan pernah hubungi aku lagi, datang ke apartemenku dan juga datang ke tempat kerjaanku. Kau tuli?!” Jorell tersenyum, “ayolah, Emily. Kita lupakan kejadian kemarin. Kita perbaiki semuanya. Aku masih ingin melanjutkan hubungan kita.” “Kau memang gila, Jorell. Kau pikir itu masalah sepele?” “Ya, tentu saja sepele. Kau tidak perlu marah soal itu. Cintaku hanya untukmu, Emily.” “Ck! cinta kau bilang? Aku tidak lagi sama seperti dua tahun kemarin, Jorell. Aku bukan Emily yang kau kenal lagi. Jadi tolong, lepaskan aku. Aku tidak ingin berhubungan denganmu lagi.” “Kenapa? apa karena pria kemarin?” tanyanya, kini berekspresi menyelidik. “Apa secepat itu kau menggantikanku, Emily?! Setelah dua tahun kita bersama dan hanya dengan satu kesalahanku, kau langsung menggantikan posisiku dengan pria itu? Apa dia lebih kaya dariku?!” Emily tertawa kecil seolah ada yang lucu saja. “Kaya? Kau sebut kaya?” “Ya, ibumu bilang kau hanya ingin dekat dengan pria kaya. Kau ingin merubah nasib keluargamu, bukan? Apa kau tahu keluargamu berhutang padaku?!” Emily terdiam. Jarinya saling bertaut untuk tampak tenang. Ia gelisah kini. Bagaimanapun ia ingin melawan Jorell, Emily tidak bisa. “Kau adalah jaminan ayah dan ibumu, Emily,” tambah Jorell lagi, disertai senyum kemenangan. “Kau tidak akan bisa lepas dariku.” “Kau disini, Emily,” tegur seseorang, membuat keduanya menoleh ke arah datangnya. Emily yang sempat menahan air mata agar tak jatuh di hadapan Jorell, pun akhir menetes juga saat ia pandangi kedatangan pria bertubuh tinggi dengan balutan jas hitam menutupi badannya yang kokoh. “Harry,” ucapnya spontan seolah berbisik. Jorell tak percaya. Harry ada dimana-mana, pikirnya. “Apa yang sedang kau lakukan disini?” Harry menatap dingin pada Jorell, setelah sukses berdiri tegak di samping Emily yang masih tak melepas pandangannya. “Bukankah kemarin sudah jelas kukatakan?” “Aku tak punya urusan denganmu! Yang kubutuhkan adalah Emily. Bukan kau!” kata Jorell tak suka. “Hah, begitu,” jawabnya, menoleh ke arah Emily, Harry kini berkata, “Kalau begitu, aku yang membutuhkan Emily. Pergilah dari perusahaanku.” “Aku tidak akan melepaskanmu, Emily,” kata Jorell, yang tak gentar sama sekali dan berlalu pergi. Jorell tak terkejut akan ucapan Harry yang terakhir. Pria itu anak dari pemilik perusahaan tempat Emily bekerja. Dia sudah mencari tahu latar belakang Harry. Berpindah pada Emily, tatapan Harry berubah sendu memandang wajah Emily yang penuh air mata. “Bukankah kau sudah tahu, Emily,” lanjut Harry lagi. “Kau tidak menyambutku di hari pertama kita. Aku menunggumu.” Tidak menunggu jawaban apa pun, Harry refleks menggenggam tangan Emily berniat untuk kembali ke bawah. Namun, siapa sangka, Emily memilih berhenti dan menarik telapak tangannya dari genggaman hangat tangan besar Harry. “Maaf, Harry,” katanya sungkan. Harry memutar penuh tubuhnya. “Kenapa?” “Aku belum bisa menerima—” “Tidak sekarang. Kau tidak perlu menjawab sekarang Emily. Kau boleh mengenalku lebih dulu.” Keduanya saling menyelami tatapan yang penuh arti. Harry tak berniat melepaskan Emily. Itu adalah janjinya setelah tahu siapa wanita pilihan ibunya. “Tapi Harry—” “Seperti yang dia katakan padamu. Aku juga tidak akan melepasmu, Emily. Aku turun lebih dulu.” Harry melangkah pergi meninggalkan Emily dengan rasa kesal. Emily tidak tahu bagaimana perasaan Harry padanya. Tentu saja mereka belum saling mengenal dengan baik. Mematung dalam diam dan sedihnya, Emily hanya tidak ingin membawa serta Harry dalam masalah keluarganya yang tak kunjung membaik.“Darimana kau, Emily?” bisik Salvina, mendekati Emily yang baru saja duduk di sampingnya.Emily tak langsung menjawab. Ia hanya menatap kosong komputer yang ada di depannya.“Emily! Kau tak mendengarkanku? Kau dipanggil ke ruangan CEO,” lanjut Salvina, merasa sahabatnya itu dalam bahaya saja.Mendengar perkataan Salvina barusan, Emily menoleh padanya.“CEO baru itu memanggilku?” Emily mengulang.Mengangguk kecil, Salvina kemudian berkata, “ya, karena saat beliau memperkenalkan diri disini, kau pergi. Jadi, kau diminta untuk ke ruangannya.”‘Yang benar saja.’Emily semakin kalut sekarang. Bagaimana bisa Harry memintanya secara terang-terangan untuk ke ruangannya.“Emily,” panggil Pak Charles, manajer bagian produksi yang kini berjalan mendekati meja kerjanya.“Ya, Pak,” Emily refleks berdiri.“Kamu diminta ke ruangan CEO baru kita,” ucapnya seraya menatap Emily penuh selidik. “CEO baru itu ingin bertemu denganmu secara personal. Apa kalian saling mengenal?”Melihat suasana di sekitar t
Setelah merasa yakin untuk kembali bekerja, Emily pamit kepada Harry untuk kembali ke ruangannya dan bekerja. Diamnya Emily setelah bertemu dengan sang atasan baru, menyimpan tanda tanya besar dalam pikiran Salvina, sahabat dekat Emily.“Kita makan siang dimana, Emily?” tanya Salvina, saat jam makan siang hampir tiba.Emily berpindah tatapan dari layar komputer. “Makan di kantin perusahaan aja. Kau keberatan tidak?”Salvina membalas tatapan Emily sejenak.“Hemmmm … tidak masalah. Aku juga sedang malas keluar.”“Baiklah,” jawab Emily senang.Jam istirahat akhirnya datang. Beberapa karyawan sudah mulai memadati lorong kubikel. Emily dan Salvina pun bersiap untuk meninggalkan meja kerja masing-masin. Namun, siapa sangka Emily kedatangan rekan kerjanya.“Kau kenal Pak Harry, Emily?” Aretta, dia adalah senior di bagian produksi. Salah satu karyawan yang disegani oleh teman sejawatnya, dikarenakan kecantikan sekaligus jabatan serta keberadaan Aretta sebagai keluarga dari pemilik perusahaan
Harry: Aku tunggu di depan pintu basement.Sejak kemarin malam Harry tidak sabar untuk bertemu dengan Emily pagi ini. Ia berniat untuk mengejar Emily agar hubungan mereka semakin dekat dan akrab dengan cepat.Tidak peduli dengan ucapan Emily akan keputusannya saat terakhir kali di ruangan kerja Harry.Emily meminta waktu pada Harry agar memikirkan keputusan terbaik dalam memulai hubungan baru dengannya.Mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan sepatu pantofel hitam mengkilap, Harry penuh semangat berdiri di samping pintu keluar masuk basement untuk menantikan kedatangan wanita yang kini mengubah harinya.Hampir 15 menit lamanya, Harry mendapati kedatangan Emily ang kini mengenakan atasan putih motif bunga dengan rok ketat dengan tergesa-gesa seraya memandang padanya yang sudah mengulas senyum."Kau sudah lama di sini?' tanyanya dengan ekspresi khawatir.Harry mendekat. Ia tersenyum seraya menggeleng kepala. Harry sentuh rambut Emily yang sedikit berantakan."Aku baru saja tiba. K
Setibanya Emily di meja kerjanya, ia duduk dalam diam seraya memandang pada layar komputer, tak lama senyum mengembang membingkai wajah cantiknya kini.'Astaga. Apa aku mulai tertarik padanya?'Sempat membatin, Emily menggeleng-gelengkan kepala."Woi!"Seketika saja Emily terlonjak kaget. Suara itu berasal dari Salvina yang baru saja tiba di depan meja kerjanya dan hendak duduk."Kau benar-benar keji, Emily," bisik Salvina, seolah merasa kesal. Padahal perempuan itu merasa senang karena Emily sepertinya sedang bahagia.Ya, Salvina memang bertekad untuk mempersatukan Emily dengan Atasan mereka."Keji? Kenapa aku keji?"Salvina memberutkan bibir. "Kau pura-pura bodoh. Aku tahu kau dijemput sama atasan baru kita, 'kan? Kalian bermesraan di mana tadi?"Sontak saja Emily menempelkan jari telunjuknya di atas bibir dengan takut, ia meminta Salvina untuk tidak berkata sembarangan di tempat mereka bekerja."Jangan membicarakan hal itu di sini, Salv. Aku gak mau jadi bahan gosipan anak-anak di
"Duduklah denganku, Emily," ucap Salvina, kini menggenggam tangan Emily.Acara gathering dari perusahaan telah tiba. Hari yang ditunggu-tunggu oleh Harry."Bukankah kata Pak Hans kita memiliki nomor kursi masing-masing, Salv?"Salvina mengingat sejenak. "Astaga ... Aku lupa. Semoga saja, kita duduk bareng."Momen yang ditunggu oleh Emily maupun Salvina akhirnya datang juga. Keduanya memang ingin sekali berlibur bersama dengan teman-teman mereka. Mengenakan pakaian santai dengan sepatu kets kesukaannya, Emily sudah tampak sangat siap mengikuti rangkaian acara perusahaan tempat ia bekerja.Kedua Gadis itu sudah mendapati nomor tempat duduknya masing-masing, dan kini keduanya sedang berjalan menuju bus yang telah tersedia di halaman perusahaan untuk mengantarkan mereka ke tempat lokasi acara."Aku di sini, Emily," kata Salvina, yang menemukan lebih dulu tempat duduknya."Sepertinya aku di bagian—"Ucapan Emily harus terjedah. Ketika ia dapati sosok pria yang ia kenal duduk di salah satu
“Kau tidak lelah, ‘kan?” tanya Harry, kini memilih duduk di samping Emily.Mereka mengikuti acara inti dari gathering perusahaan. Setelah bersama tadi, Emily memilih kembali ke kamarnya sebelum menimbulkan gosip baru.Emily menggeleng dengan sebuah senyum. “Tidak. Aku suka dengan acara seperti ini sejak Paman Kendrick mengadakannya beberapa tahun lalu.”“Wow, kau memuji?”“Tentu saja,” jawab Emily sedikit mendekat ke Harry untuk berbisik. “Paman adalah pria terbaik yang kukenal, Harry.”Emily terang-terangan memuji Papa dari pria yang kini menjadi kekasihnya itu. Karena sejauh Emily mengenal keluarga dari Paman Kendrick tak pernah ada kekecewaan yang dibuat oleh keluarga tersebut terhadap ia, ayah, dan ibunya. Pun dengan mendiang dari ibu Harry."Dia sangat menyayangimu asal kau tahu, Emily," jawab Harry lagi dengan senang.Emily tak percaya begitu saja. "Bagaimana bisa kau tahu?"Harry mengulas sebuah senyum. "Nanti aku beritahu semuanya."Nama Harry terdengar dari depan sana. Pembaw
"Akhirnya kau pulang juga," kata Iriana, ibu tiri Emily yang baru saja menyambut kedatangan pulang ke tempat kediaman orang tuanya dulu. Emily menyoroti kedatangannya saat ia membawa tas. "Apa yang kau bawa dari kota?" Dia bertanya lagi tanpa memikirkan Emily yang sudah melakukan perjalanan selama 3 jam lamanya."Emily?" Sosok ayah muncul dari depan serta memandang Emily penuh kerinduan."Ayah," ucapnya, kini meletakkan tas di atas sofa kemudian mendekati sang ayah untuk memeluk.Emily berhamburan ke dalam pelukan sang ayah. Memeluk pria yang tak lagi muda itu dengan penuh kasih meskipun ia tahu rasa sakit dalam diri ditimbulkan dari hubungan yang diciptakan oleh ayahnya sendiri. Iriana yang melihat pemandangan seperti itu rasanya sangat jengkel. "Apa kabarmu, Ayah?" tanya Emily, melepaskan kini dekapannya untuk memandang wajah nya."Ayah sehat, Emily. Kenapa tidak kau katakan pulang hari ini? Ayah bisa menjemputmu, Nak," ucap Ayah Bens, kini mengusap puncak kepala Emily.Emily me
“Kau sangat manis, Alice.”“Kau juga, Sayang. Aku benar-benar sangat beruntung, di hari ulang tahunmu ini, akulah orang pertama yang datang memberikan kejutan spesial untukmu.”“Hemmmm … kau benar-benar sangat legit, seperti cake yang kau bawakan untukku tadi.”“Lebih kencang, Jorrell.”Obrolan romantis dan suara kenikmatan dunia itu sejak tadi menyapa gendang telinga seorang Emily, gadis berambut panjang sepinggang dengan bola mata kecoklatan saat ia tiba, dan harus berhenti tepat di depan pintu kamar hotel milik kekasihnya, Jorell.Siapa sangkah, Emily yang sudah mempersiapkan segala embel-embel untuk surprise ulang tahun Jorell, kekasihnya, yang sudah dipacari selama 2 tahun lamanya harus berakhir dengan kekecewaan seperti di hadapannya kini. Ya, Emily dengan jelas melihat apa yang sedang Jorell lakukan sampai detik itu. Gerakan serta segala jenis suara dari dalam sana, pun Emily ingat betul. Tampak api amarah mulai menyala-nyala. Matanya membesar. Dada mula kembang kempis sepert
"Akhirnya kau pulang juga," kata Iriana, ibu tiri Emily yang baru saja menyambut kedatangan pulang ke tempat kediaman orang tuanya dulu. Emily menyoroti kedatangannya saat ia membawa tas. "Apa yang kau bawa dari kota?" Dia bertanya lagi tanpa memikirkan Emily yang sudah melakukan perjalanan selama 3 jam lamanya."Emily?" Sosok ayah muncul dari depan serta memandang Emily penuh kerinduan."Ayah," ucapnya, kini meletakkan tas di atas sofa kemudian mendekati sang ayah untuk memeluk.Emily berhamburan ke dalam pelukan sang ayah. Memeluk pria yang tak lagi muda itu dengan penuh kasih meskipun ia tahu rasa sakit dalam diri ditimbulkan dari hubungan yang diciptakan oleh ayahnya sendiri. Iriana yang melihat pemandangan seperti itu rasanya sangat jengkel. "Apa kabarmu, Ayah?" tanya Emily, melepaskan kini dekapannya untuk memandang wajah nya."Ayah sehat, Emily. Kenapa tidak kau katakan pulang hari ini? Ayah bisa menjemputmu, Nak," ucap Ayah Bens, kini mengusap puncak kepala Emily.Emily me
“Kau tidak lelah, ‘kan?” tanya Harry, kini memilih duduk di samping Emily.Mereka mengikuti acara inti dari gathering perusahaan. Setelah bersama tadi, Emily memilih kembali ke kamarnya sebelum menimbulkan gosip baru.Emily menggeleng dengan sebuah senyum. “Tidak. Aku suka dengan acara seperti ini sejak Paman Kendrick mengadakannya beberapa tahun lalu.”“Wow, kau memuji?”“Tentu saja,” jawab Emily sedikit mendekat ke Harry untuk berbisik. “Paman adalah pria terbaik yang kukenal, Harry.”Emily terang-terangan memuji Papa dari pria yang kini menjadi kekasihnya itu. Karena sejauh Emily mengenal keluarga dari Paman Kendrick tak pernah ada kekecewaan yang dibuat oleh keluarga tersebut terhadap ia, ayah, dan ibunya. Pun dengan mendiang dari ibu Harry."Dia sangat menyayangimu asal kau tahu, Emily," jawab Harry lagi dengan senang.Emily tak percaya begitu saja. "Bagaimana bisa kau tahu?"Harry mengulas sebuah senyum. "Nanti aku beritahu semuanya."Nama Harry terdengar dari depan sana. Pembaw
"Duduklah denganku, Emily," ucap Salvina, kini menggenggam tangan Emily.Acara gathering dari perusahaan telah tiba. Hari yang ditunggu-tunggu oleh Harry."Bukankah kata Pak Hans kita memiliki nomor kursi masing-masing, Salv?"Salvina mengingat sejenak. "Astaga ... Aku lupa. Semoga saja, kita duduk bareng."Momen yang ditunggu oleh Emily maupun Salvina akhirnya datang juga. Keduanya memang ingin sekali berlibur bersama dengan teman-teman mereka. Mengenakan pakaian santai dengan sepatu kets kesukaannya, Emily sudah tampak sangat siap mengikuti rangkaian acara perusahaan tempat ia bekerja.Kedua Gadis itu sudah mendapati nomor tempat duduknya masing-masing, dan kini keduanya sedang berjalan menuju bus yang telah tersedia di halaman perusahaan untuk mengantarkan mereka ke tempat lokasi acara."Aku di sini, Emily," kata Salvina, yang menemukan lebih dulu tempat duduknya."Sepertinya aku di bagian—"Ucapan Emily harus terjedah. Ketika ia dapati sosok pria yang ia kenal duduk di salah satu
Setibanya Emily di meja kerjanya, ia duduk dalam diam seraya memandang pada layar komputer, tak lama senyum mengembang membingkai wajah cantiknya kini.'Astaga. Apa aku mulai tertarik padanya?'Sempat membatin, Emily menggeleng-gelengkan kepala."Woi!"Seketika saja Emily terlonjak kaget. Suara itu berasal dari Salvina yang baru saja tiba di depan meja kerjanya dan hendak duduk."Kau benar-benar keji, Emily," bisik Salvina, seolah merasa kesal. Padahal perempuan itu merasa senang karena Emily sepertinya sedang bahagia.Ya, Salvina memang bertekad untuk mempersatukan Emily dengan Atasan mereka."Keji? Kenapa aku keji?"Salvina memberutkan bibir. "Kau pura-pura bodoh. Aku tahu kau dijemput sama atasan baru kita, 'kan? Kalian bermesraan di mana tadi?"Sontak saja Emily menempelkan jari telunjuknya di atas bibir dengan takut, ia meminta Salvina untuk tidak berkata sembarangan di tempat mereka bekerja."Jangan membicarakan hal itu di sini, Salv. Aku gak mau jadi bahan gosipan anak-anak di
Harry: Aku tunggu di depan pintu basement.Sejak kemarin malam Harry tidak sabar untuk bertemu dengan Emily pagi ini. Ia berniat untuk mengejar Emily agar hubungan mereka semakin dekat dan akrab dengan cepat.Tidak peduli dengan ucapan Emily akan keputusannya saat terakhir kali di ruangan kerja Harry.Emily meminta waktu pada Harry agar memikirkan keputusan terbaik dalam memulai hubungan baru dengannya.Mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan sepatu pantofel hitam mengkilap, Harry penuh semangat berdiri di samping pintu keluar masuk basement untuk menantikan kedatangan wanita yang kini mengubah harinya.Hampir 15 menit lamanya, Harry mendapati kedatangan Emily ang kini mengenakan atasan putih motif bunga dengan rok ketat dengan tergesa-gesa seraya memandang padanya yang sudah mengulas senyum."Kau sudah lama di sini?' tanyanya dengan ekspresi khawatir.Harry mendekat. Ia tersenyum seraya menggeleng kepala. Harry sentuh rambut Emily yang sedikit berantakan."Aku baru saja tiba. K
Setelah merasa yakin untuk kembali bekerja, Emily pamit kepada Harry untuk kembali ke ruangannya dan bekerja. Diamnya Emily setelah bertemu dengan sang atasan baru, menyimpan tanda tanya besar dalam pikiran Salvina, sahabat dekat Emily.“Kita makan siang dimana, Emily?” tanya Salvina, saat jam makan siang hampir tiba.Emily berpindah tatapan dari layar komputer. “Makan di kantin perusahaan aja. Kau keberatan tidak?”Salvina membalas tatapan Emily sejenak.“Hemmmm … tidak masalah. Aku juga sedang malas keluar.”“Baiklah,” jawab Emily senang.Jam istirahat akhirnya datang. Beberapa karyawan sudah mulai memadati lorong kubikel. Emily dan Salvina pun bersiap untuk meninggalkan meja kerja masing-masin. Namun, siapa sangka Emily kedatangan rekan kerjanya.“Kau kenal Pak Harry, Emily?” Aretta, dia adalah senior di bagian produksi. Salah satu karyawan yang disegani oleh teman sejawatnya, dikarenakan kecantikan sekaligus jabatan serta keberadaan Aretta sebagai keluarga dari pemilik perusahaan
“Darimana kau, Emily?” bisik Salvina, mendekati Emily yang baru saja duduk di sampingnya.Emily tak langsung menjawab. Ia hanya menatap kosong komputer yang ada di depannya.“Emily! Kau tak mendengarkanku? Kau dipanggil ke ruangan CEO,” lanjut Salvina, merasa sahabatnya itu dalam bahaya saja.Mendengar perkataan Salvina barusan, Emily menoleh padanya.“CEO baru itu memanggilku?” Emily mengulang.Mengangguk kecil, Salvina kemudian berkata, “ya, karena saat beliau memperkenalkan diri disini, kau pergi. Jadi, kau diminta untuk ke ruangannya.”‘Yang benar saja.’Emily semakin kalut sekarang. Bagaimana bisa Harry memintanya secara terang-terangan untuk ke ruangannya.“Emily,” panggil Pak Charles, manajer bagian produksi yang kini berjalan mendekati meja kerjanya.“Ya, Pak,” Emily refleks berdiri.“Kamu diminta ke ruangan CEO baru kita,” ucapnya seraya menatap Emily penuh selidik. “CEO baru itu ingin bertemu denganmu secara personal. Apa kalian saling mengenal?”Melihat suasana di sekitar t
“Kau tak apa?”Setelah kepergian Jorell, Harry memastikan Emily lebih dulu. Memperhatikan perempuan di depannya penuh seksama.Emily menggeleng seraya tersenyum kecil.“Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah membantuku.”Sesuatu yang mengganjal terpikir oleh Harry. Belum berniat berpindah tempat, Harry berniat untuk mengajukan sebuah pertanyaan.“Apa … dia?”“Hah?” Emily sedikit terkejut, mencoba memahami pertanyaan sang pria.“Ah, i-itu pria yang membuatmu mabuk kemarin malam dan berakhir denganku?” tanya Harry lagi.Bibir Emily terkatup rapat. Sedikit gugup, Emily menundukkan wajah seketika seraya menganggukkan kepala.“Benar. Aku tidak tahu kalau dia ada di sini.”“Kau perlu berhati-hati, Emily,” ujar Harry, sedikit merasa khawatir akan keberanian Jorell setelah menyakiti Emily. “Kau tidak tahu … apa yang dia inginkan darimu setelah mencampakkanmu kemarin.”Kedua orang yang baru saja ketemu kemarin malam hingga berbagi keringat serta kenikmatan dunia itu, tidak saling mengenal apa l
Pertanyaan itu sangat serius, bukan?Emily tak mampu berkata-kata. Masih memandang penuh Harry, pria itu berbeda kini. Sangat bersahabat lebih lembut dari sebelumnya.“Hey,” panggil Harry, membuat lamunan Emily buyar. “Hah, ma-maaf, Harry.”“Tidak masalah. Aku yakin, kau sama kagetnya denganku. Aku tidak percaya akan bertemu lagi dengan gadis yang memintaku tidur dengannya. Jujur, ini kali pertama untukmu, bukan?”Pertanyaan Harry membuat Emily tertangkap basah. Tentulah Harry tahu betul, bagaimana dia bersusah payah untuk memasuki tempat yang tak pernah disinggahi lelaki manapun. Emily gadis baik-baik, pikirnya.“Dan terakhir … gadis itu memberikanku selembar uang merah sebagai bayaran akan permintaannya dan meninggalkanku begitu saja,” sindir Harry, ingin melihat reaksi Emily.“Bu-bukan maksudku untuk membayarmu selembar itu,” jawab Emily malu. Wajah Emily merona sudah. “Aku tidak membawa uang lebih. Sungguh.”Polos sekali Emily bagi Harry. Pantas saja, gadis sebaik Emily bisa dise