“Kekasih baru?” ucap Emily sangat kecil, sehingga tak ada yang mendengarnya.
“Apa maksudmu, Harry? Bagaimana bisa … kau menuduh ku memiliki kekasih seperti Emily? Kau mabuk? Apa kau sudah gila? Yang benar saja kau ini. Kau-lah yang seharusnya memiliki kekasih seperti Emily,” celetuknya panjang lebar seolah tidak terima oleh tuduhan putranya. Kendrick ikut terkejut akan pikiran sang putra tunggal, pewaris kekayaannya itu. Bagaimana bisa, dia mengatakan Emily itu kekasihnya sementara Harry tahu betul, bagaimana dia kehilangan istri sekaligus ibunya yang tak pernah bisa Kendrick lupakan. Mendengar perkataan sang Papa, Harry hanya biasa saja. Tidak seperti Emily yang sudah mati ketakutan kini. “Emily … ini putraku, Harry,” Kendrick memperkenalkan. “Aku sudah memberitahukan padamu waktu itu, bukan? Dia baru saja pulang dari luar negeri. Kedepannya,dia akan ikut bekerja di perusahaan ku.” “A-ah, iya, Paman,” jawab Emily singkat seraya terbata-bata. Bola matanya melirik sekilas ke arah Harry. Emily bersumpah demi apa pun. Bagaimana bisa ujungnya seperti ini? Emily pikir, ia tidak akan bertemu lagi dengan Harry setelah melakukan malam panas kemarin. Lalu, apa ini? Bagaimana caranya untuk berpura-pura tidak kenal atau tidak terjadi apa pun di antara mereka. Baru berpisah beberapa jam saja, dan sekarang? Harry kembali muncul di hadapannya. Pikiran Emily sedang dipenuhi banyak pertanyaan. Seperti apa kedepannya, jika nanti mereka bekerja di satu perusahaan. Mau ditaruh dimana muka Emily? “Aku belum memutuskan soal itu, Pa,” jawab Harry sangat dingin. Harry mengubah pandangan untuk kembali bertemu tatapan dengan Emily. “Siapa gadis uang merah ini, Pa?” Astaga! Harry benar-benar membaca pesannya tadi, bukan? Gadis uang merah katanya? Sungguh, ini sangat memalukan bagi Emily. Sejak melihat kedatangan Harry disini, jantung Emily seolah mau lepas saja. Dia tampak sangat tampan ternyata. Sebab, kemarin malam, Emily tidak sejelas sekarang memandang penuh pada wajah Harry yang duduk di hadapannya kini. Kejadian tadi malam di antara mereka turut kembali datang memenuhi ingatan Emily. Bahkan, suara Harry yang mendesah penuh tekanan juga masih terekam jelas. Itu sungguh tak terlupakan bagi Emily pribadi. “Gadis uang merah?” Kendrick mengulang bingung. “Emily! Namanya Emily, Harry. Dia salah satu karyawan terbaik di perusahaanku. Kedepannya, kau akan sering bertemu dengannya,” ujar Kendrick, menggantung sebuah senyum. Dia sangat senang. Harry tak segan memandang penuh pada Emily yang sudah berubah tampilan itu. Berbeda sekarang dengan kemarin. Pagi ini, di kediaman orang tuanya, Emily tampak lebih casual berbalut kaos putih motif beruang. Rambut panjangnya yang kemarin tergerai, kini diikat rapi ke belakang. Emily cantik tanpa riasan. Tak sanggup terus ditatap, Emily menunduk wajah. Mengulum jarinya di atas paha, menandakan ia benar-benar sangat gugup. “Halo, Emily,” sapa Harry, mencoba menenangkan Emily yang terlihat jelas tak nyaman akan suasana ini. “Perkenalkan aku, Harry.” Segera Emily mengangkat wajah untuk membalas tatapan Harry yang tak sedingin tadi. “Ha-halo, Harry,” jawabnya, benar-benar gugup. “Iya. Aku karyawan Paman Kendrick.” “Kalau begitu … aku menerima tawaranmu, Pa,” ucap Harry tanpa ragu. “Tapi tidak dengan perjodohan yang Papa inginkan itu.” ‘Perjodohan?’ Kendrick tersenyum kecil. Meletakkan kedua alat makan di sisi piring, pria paruh baya itu melipat telapak tangan. “Kau yakin, Harry?” “Tentulah aku sangat yakin,” jawab Harry, masih melirik Emily seraya mengambil gelas bening berisi air putih. Dia meneguk tanpa melepas pandangan pada gadis di depan sana. “Aku tidak berpikir demikian,” Kendrick sangat yakin sekali lagi. “Nyatanya … kau sangat tertarik setelah tahu Emily merupakan karyawanku, Harry.” Kedua anak manusia itu bersama-sama mengarahkan pandangan pada Kendrick. Sepakat dalam hati, apa yang hendak diutarakan Kendrick dari ucapannya. “Aku ingin bekerja dengannya, Pa,” kata Harry jujur, penuh maksud terselubung. “Papa sendiri yang mengatakan … dia adalah karyawan terbaikmu,” tambahnya dan kembali memandang ke Emily, “aku ingin tahu, seberapa hebat karyawan pilihanmu, Pa.” Harry menarik kecil sudut-sudut bibirnya seraya menatap teduh manik coklat Emily yang sejak tadi diam membisu. Tentu saja Emily membisu. Ini di luar akal pikiran. “Kau harus menerima perjodohan itu, Harry. Sebabnya … untuk itu aku memanggil Emily datang ke rumah ini,” aku Kendrick akhirnya. Spontan saja, Emily maupun Harry menoleh bersama-sama. Bola mata yang membesar pun, tampak jelas memancarkan kekagetan di antara keduanya. “Apa yang barusan Papa katakan?” Pertanyaan yang sama ada di pikiran Emily kini. Kendrick tersenyum lebar. Mendorong tubuhnya untuk bersandar pada kursi, Kendrick memandang penuh Harry. “Anakku … kau ingin tempo hari, bukan? Wasiat ibumu memintaku untuk menjodohkanmu dengan gadis pilihannya. Dan kau marah besar padaku sampai tak pulang ke rumah setelah tiba di sini. Dan pagi ini, aku ingin memperkenalkan gadis itu secara langsung padamu,” Perlahan kedua bibir Harry terangkat. Rasa tak percaya turut melambung dalam pikiran keduanya. Emily sendiri semakin mematung akan fakta barusan. Bagaimana bisa ada perjodohan ini? “Emily?” tanya Harry, nyaris tak terdengar oleh siapapun. “Emily,” panggil Kendrick membuyarkan rasa kagetnya. “Ya, ya, Paman?” Kendrick tentula paham akan keadaan ini. Emily sama terkejutnya dengan Harry. “Wasiat mendiang ibunya Harry disalin oleh mendiang ibumu. Perjodohan ini, disepakati oleh kami berempat termasuk ayahmu. Jadi, aku berharap penuh padamu maupun Harry. Kalian tidak boleh menolak keinginan kedua orang yang sangat kami cintai.” Kedua orang itu terpana dalam keheningan. Pikiran mereka diisi dengan berbagai pertanyaan. Apakah semesta sedang membolak balikkan keadaan Emily? Batin Emily tak tahu harus menanggapi apa. Ini seperti drama yang harus berlanjut dengan pemeran pengganti pria dalam hidupnya. Setelah dicampakkan Jorell, Emily bertemu Harry dan melakukan hubungan panas satu malam dengannya. Lalu, setelah itu, ia kembali dipertemukan dengan Harry sebagai calon istri dari pewaris tunggal di keluarganya. Sungguh, Emily merasa sedang berada di alam mimpinya. Tak ada lagi percakapan yang serius setelah kata perjodohan diucapkan oleh Kendrick. Pria tua itu meminta Harry untuk mengantarkan Emily pulang ke apartemennya, dan sengaja membiarkan keduanya untuk saling mengenal. “Apa kau baik-baik saja, Emily?” tanya Harry, membelah keheningan di antara mereka. Duduk di samping Harry, di mobil mewah miliknya, membuat Emily ingin mati saja. Ini gila. Benar-benar sangat gila. Wangi citrus parfum yang dikenakan Harry, masih sama seperti kemarin malam. Bagaimana ini? Emily masih mengingat gagahnya Harry kemarin, hingga ia susah untuk bernafas kini. “A-aku baik-baik saja,” jawabnya, kembali menatap pada jalanan kota. Harry tersenyum, “kita bertemu lagi, Emily. Kupikir … kau bilang di suratmu kau takkan mengingat apa-apa tentang malam itu, dan kini kau ada di sampingku?” “Hah, a-ku juga tak percaya dengan ini, Harry,” balasnya singkat, bersamaan dengan mobil yang terhenti sebab adanya lampu merah. Sepertinya ini kesempatan baik buat Harry memastikan. Menghentikan mobil, Harry menarik sedikit tubuhnya untuk bisa memandang sempurna pada gadis yang tak bersuara banyak sehebat tadi malam itu. “Emily,” panggilnya lebih dulu, untuk mendapatkan Emily menatapnya. “Ya?” “Apakah kau serius mau menikah denganku?”Pertanyaan itu sangat serius, bukan?Emily tak mampu berkata-kata. Masih memandang penuh Harry, pria itu berbeda kini. Sangat bersahabat lebih lembut dari sebelumnya.“Hey,” panggil Harry, membuat lamunan Emily buyar. “Hah, ma-maaf, Harry.”“Tidak masalah. Aku yakin, kau sama kagetnya denganku. Aku tidak percaya akan bertemu lagi dengan gadis yang memintaku tidur dengannya. Jujur, ini kali pertama untukmu, bukan?”Pertanyaan Harry membuat Emily tertangkap basah. Tentulah Harry tahu betul, bagaimana dia bersusah payah untuk memasuki tempat yang tak pernah disinggahi lelaki manapun. Emily gadis baik-baik, pikirnya.“Dan terakhir … gadis itu memberikanku selembar uang merah sebagai bayaran akan permintaannya dan meninggalkanku begitu saja,” sindir Harry, ingin melihat reaksi Emily.“Bu-bukan maksudku untuk membayarmu selembar itu,” jawab Emily malu. Wajah Emily merona sudah. “Aku tidak membawa uang lebih. Sungguh.”Polos sekali Emily bagi Harry. Pantas saja, gadis sebaik Emily bisa dise
“Kau tak apa?”Setelah kepergian Jorell, Harry memastikan Emily lebih dulu. Memperhatikan perempuan di depannya penuh seksama.Emily menggeleng seraya tersenyum kecil.“Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah membantuku.”Sesuatu yang mengganjal terpikir oleh Harry. Belum berniat berpindah tempat, Harry berniat untuk mengajukan sebuah pertanyaan.“Apa … dia?”“Hah?” Emily sedikit terkejut, mencoba memahami pertanyaan sang pria.“Ah, i-itu pria yang membuatmu mabuk kemarin malam dan berakhir denganku?” tanya Harry lagi.Bibir Emily terkatup rapat. Sedikit gugup, Emily menundukkan wajah seketika seraya menganggukkan kepala.“Benar. Aku tidak tahu kalau dia ada di sini.”“Kau perlu berhati-hati, Emily,” ujar Harry, sedikit merasa khawatir akan keberanian Jorell setelah menyakiti Emily. “Kau tidak tahu … apa yang dia inginkan darimu setelah mencampakkanmu kemarin.”Kedua orang yang baru saja ketemu kemarin malam hingga berbagi keringat serta kenikmatan dunia itu, tidak saling mengenal apa l
“Darimana kau, Emily?” bisik Salvina, mendekati Emily yang baru saja duduk di sampingnya.Emily tak langsung menjawab. Ia hanya menatap kosong komputer yang ada di depannya.“Emily! Kau tak mendengarkanku? Kau dipanggil ke ruangan CEO,” lanjut Salvina, merasa sahabatnya itu dalam bahaya saja.Mendengar perkataan Salvina barusan, Emily menoleh padanya.“CEO baru itu memanggilku?” Emily mengulang.Mengangguk kecil, Salvina kemudian berkata, “ya, karena saat beliau memperkenalkan diri disini, kau pergi. Jadi, kau diminta untuk ke ruangannya.”‘Yang benar saja.’Emily semakin kalut sekarang. Bagaimana bisa Harry memintanya secara terang-terangan untuk ke ruangannya.“Emily,” panggil Pak Charles, manajer bagian produksi yang kini berjalan mendekati meja kerjanya.“Ya, Pak,” Emily refleks berdiri.“Kamu diminta ke ruangan CEO baru kita,” ucapnya seraya menatap Emily penuh selidik. “CEO baru itu ingin bertemu denganmu secara personal. Apa kalian saling mengenal?”Melihat suasana di sekitar t
Setelah merasa yakin untuk kembali bekerja, Emily pamit kepada Harry untuk kembali ke ruangannya dan bekerja. Diamnya Emily setelah bertemu dengan sang atasan baru, menyimpan tanda tanya besar dalam pikiran Salvina, sahabat dekat Emily.“Kita makan siang dimana, Emily?” tanya Salvina, saat jam makan siang hampir tiba.Emily berpindah tatapan dari layar komputer. “Makan di kantin perusahaan aja. Kau keberatan tidak?”Salvina membalas tatapan Emily sejenak.“Hemmmm … tidak masalah. Aku juga sedang malas keluar.”“Baiklah,” jawab Emily senang.Jam istirahat akhirnya datang. Beberapa karyawan sudah mulai memadati lorong kubikel. Emily dan Salvina pun bersiap untuk meninggalkan meja kerja masing-masin. Namun, siapa sangka Emily kedatangan rekan kerjanya.“Kau kenal Pak Harry, Emily?” Aretta, dia adalah senior di bagian produksi. Salah satu karyawan yang disegani oleh teman sejawatnya, dikarenakan kecantikan sekaligus jabatan serta keberadaan Aretta sebagai keluarga dari pemilik perusahaan
Harry: Aku tunggu di depan pintu basement.Sejak kemarin malam Harry tidak sabar untuk bertemu dengan Emily pagi ini. Ia berniat untuk mengejar Emily agar hubungan mereka semakin dekat dan akrab dengan cepat.Tidak peduli dengan ucapan Emily akan keputusannya saat terakhir kali di ruangan kerja Harry.Emily meminta waktu pada Harry agar memikirkan keputusan terbaik dalam memulai hubungan baru dengannya.Mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan sepatu pantofel hitam mengkilap, Harry penuh semangat berdiri di samping pintu keluar masuk basement untuk menantikan kedatangan wanita yang kini mengubah harinya.Hampir 15 menit lamanya, Harry mendapati kedatangan Emily ang kini mengenakan atasan putih motif bunga dengan rok ketat dengan tergesa-gesa seraya memandang padanya yang sudah mengulas senyum."Kau sudah lama di sini?' tanyanya dengan ekspresi khawatir.Harry mendekat. Ia tersenyum seraya menggeleng kepala. Harry sentuh rambut Emily yang sedikit berantakan."Aku baru saja tiba. K
Setibanya Emily di meja kerjanya, ia duduk dalam diam seraya memandang pada layar komputer, tak lama senyum mengembang membingkai wajah cantiknya kini.'Astaga. Apa aku mulai tertarik padanya?'Sempat membatin, Emily menggeleng-gelengkan kepala."Woi!"Seketika saja Emily terlonjak kaget. Suara itu berasal dari Salvina yang baru saja tiba di depan meja kerjanya dan hendak duduk."Kau benar-benar keji, Emily," bisik Salvina, seolah merasa kesal. Padahal perempuan itu merasa senang karena Emily sepertinya sedang bahagia.Ya, Salvina memang bertekad untuk mempersatukan Emily dengan Atasan mereka."Keji? Kenapa aku keji?"Salvina memberutkan bibir. "Kau pura-pura bodoh. Aku tahu kau dijemput sama atasan baru kita, 'kan? Kalian bermesraan di mana tadi?"Sontak saja Emily menempelkan jari telunjuknya di atas bibir dengan takut, ia meminta Salvina untuk tidak berkata sembarangan di tempat mereka bekerja."Jangan membicarakan hal itu di sini, Salv. Aku gak mau jadi bahan gosipan anak-anak di
"Duduklah denganku, Emily," ucap Salvina, kini menggenggam tangan Emily.Acara gathering dari perusahaan telah tiba. Hari yang ditunggu-tunggu oleh Harry."Bukankah kata Pak Hans kita memiliki nomor kursi masing-masing, Salv?"Salvina mengingat sejenak. "Astaga ... Aku lupa. Semoga saja, kita duduk bareng."Momen yang ditunggu oleh Emily maupun Salvina akhirnya datang juga. Keduanya memang ingin sekali berlibur bersama dengan teman-teman mereka. Mengenakan pakaian santai dengan sepatu kets kesukaannya, Emily sudah tampak sangat siap mengikuti rangkaian acara perusahaan tempat ia bekerja.Kedua Gadis itu sudah mendapati nomor tempat duduknya masing-masing, dan kini keduanya sedang berjalan menuju bus yang telah tersedia di halaman perusahaan untuk mengantarkan mereka ke tempat lokasi acara."Aku di sini, Emily," kata Salvina, yang menemukan lebih dulu tempat duduknya."Sepertinya aku di bagian—"Ucapan Emily harus terjedah. Ketika ia dapati sosok pria yang ia kenal duduk di salah satu
“Kau tidak lelah, ‘kan?” tanya Harry, kini memilih duduk di samping Emily.Mereka mengikuti acara inti dari gathering perusahaan. Setelah bersama tadi, Emily memilih kembali ke kamarnya sebelum menimbulkan gosip baru.Emily menggeleng dengan sebuah senyum. “Tidak. Aku suka dengan acara seperti ini sejak Paman Kendrick mengadakannya beberapa tahun lalu.”“Wow, kau memuji?”“Tentu saja,” jawab Emily sedikit mendekat ke Harry untuk berbisik. “Paman adalah pria terbaik yang kukenal, Harry.”Emily terang-terangan memuji Papa dari pria yang kini menjadi kekasihnya itu. Karena sejauh Emily mengenal keluarga dari Paman Kendrick tak pernah ada kekecewaan yang dibuat oleh keluarga tersebut terhadap ia, ayah, dan ibunya. Pun dengan mendiang dari ibu Harry."Dia sangat menyayangimu asal kau tahu, Emily," jawab Harry lagi dengan senang.Emily tak percaya begitu saja. "Bagaimana bisa kau tahu?"Harry mengulas sebuah senyum. "Nanti aku beritahu semuanya."Nama Harry terdengar dari depan sana. Pembaw
"Akhirnya kau pulang juga," kata Iriana, ibu tiri Emily yang baru saja menyambut kedatangan pulang ke tempat kediaman orang tuanya dulu. Emily menyoroti kedatangannya saat ia membawa tas. "Apa yang kau bawa dari kota?" Dia bertanya lagi tanpa memikirkan Emily yang sudah melakukan perjalanan selama 3 jam lamanya."Emily?" Sosok ayah muncul dari depan serta memandang Emily penuh kerinduan."Ayah," ucapnya, kini meletakkan tas di atas sofa kemudian mendekati sang ayah untuk memeluk.Emily berhamburan ke dalam pelukan sang ayah. Memeluk pria yang tak lagi muda itu dengan penuh kasih meskipun ia tahu rasa sakit dalam diri ditimbulkan dari hubungan yang diciptakan oleh ayahnya sendiri. Iriana yang melihat pemandangan seperti itu rasanya sangat jengkel. "Apa kabarmu, Ayah?" tanya Emily, melepaskan kini dekapannya untuk memandang wajah nya."Ayah sehat, Emily. Kenapa tidak kau katakan pulang hari ini? Ayah bisa menjemputmu, Nak," ucap Ayah Bens, kini mengusap puncak kepala Emily.Emily me
“Kau tidak lelah, ‘kan?” tanya Harry, kini memilih duduk di samping Emily.Mereka mengikuti acara inti dari gathering perusahaan. Setelah bersama tadi, Emily memilih kembali ke kamarnya sebelum menimbulkan gosip baru.Emily menggeleng dengan sebuah senyum. “Tidak. Aku suka dengan acara seperti ini sejak Paman Kendrick mengadakannya beberapa tahun lalu.”“Wow, kau memuji?”“Tentu saja,” jawab Emily sedikit mendekat ke Harry untuk berbisik. “Paman adalah pria terbaik yang kukenal, Harry.”Emily terang-terangan memuji Papa dari pria yang kini menjadi kekasihnya itu. Karena sejauh Emily mengenal keluarga dari Paman Kendrick tak pernah ada kekecewaan yang dibuat oleh keluarga tersebut terhadap ia, ayah, dan ibunya. Pun dengan mendiang dari ibu Harry."Dia sangat menyayangimu asal kau tahu, Emily," jawab Harry lagi dengan senang.Emily tak percaya begitu saja. "Bagaimana bisa kau tahu?"Harry mengulas sebuah senyum. "Nanti aku beritahu semuanya."Nama Harry terdengar dari depan sana. Pembaw
"Duduklah denganku, Emily," ucap Salvina, kini menggenggam tangan Emily.Acara gathering dari perusahaan telah tiba. Hari yang ditunggu-tunggu oleh Harry."Bukankah kata Pak Hans kita memiliki nomor kursi masing-masing, Salv?"Salvina mengingat sejenak. "Astaga ... Aku lupa. Semoga saja, kita duduk bareng."Momen yang ditunggu oleh Emily maupun Salvina akhirnya datang juga. Keduanya memang ingin sekali berlibur bersama dengan teman-teman mereka. Mengenakan pakaian santai dengan sepatu kets kesukaannya, Emily sudah tampak sangat siap mengikuti rangkaian acara perusahaan tempat ia bekerja.Kedua Gadis itu sudah mendapati nomor tempat duduknya masing-masing, dan kini keduanya sedang berjalan menuju bus yang telah tersedia di halaman perusahaan untuk mengantarkan mereka ke tempat lokasi acara."Aku di sini, Emily," kata Salvina, yang menemukan lebih dulu tempat duduknya."Sepertinya aku di bagian—"Ucapan Emily harus terjedah. Ketika ia dapati sosok pria yang ia kenal duduk di salah satu
Setibanya Emily di meja kerjanya, ia duduk dalam diam seraya memandang pada layar komputer, tak lama senyum mengembang membingkai wajah cantiknya kini.'Astaga. Apa aku mulai tertarik padanya?'Sempat membatin, Emily menggeleng-gelengkan kepala."Woi!"Seketika saja Emily terlonjak kaget. Suara itu berasal dari Salvina yang baru saja tiba di depan meja kerjanya dan hendak duduk."Kau benar-benar keji, Emily," bisik Salvina, seolah merasa kesal. Padahal perempuan itu merasa senang karena Emily sepertinya sedang bahagia.Ya, Salvina memang bertekad untuk mempersatukan Emily dengan Atasan mereka."Keji? Kenapa aku keji?"Salvina memberutkan bibir. "Kau pura-pura bodoh. Aku tahu kau dijemput sama atasan baru kita, 'kan? Kalian bermesraan di mana tadi?"Sontak saja Emily menempelkan jari telunjuknya di atas bibir dengan takut, ia meminta Salvina untuk tidak berkata sembarangan di tempat mereka bekerja."Jangan membicarakan hal itu di sini, Salv. Aku gak mau jadi bahan gosipan anak-anak di
Harry: Aku tunggu di depan pintu basement.Sejak kemarin malam Harry tidak sabar untuk bertemu dengan Emily pagi ini. Ia berniat untuk mengejar Emily agar hubungan mereka semakin dekat dan akrab dengan cepat.Tidak peduli dengan ucapan Emily akan keputusannya saat terakhir kali di ruangan kerja Harry.Emily meminta waktu pada Harry agar memikirkan keputusan terbaik dalam memulai hubungan baru dengannya.Mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan sepatu pantofel hitam mengkilap, Harry penuh semangat berdiri di samping pintu keluar masuk basement untuk menantikan kedatangan wanita yang kini mengubah harinya.Hampir 15 menit lamanya, Harry mendapati kedatangan Emily ang kini mengenakan atasan putih motif bunga dengan rok ketat dengan tergesa-gesa seraya memandang padanya yang sudah mengulas senyum."Kau sudah lama di sini?' tanyanya dengan ekspresi khawatir.Harry mendekat. Ia tersenyum seraya menggeleng kepala. Harry sentuh rambut Emily yang sedikit berantakan."Aku baru saja tiba. K
Setelah merasa yakin untuk kembali bekerja, Emily pamit kepada Harry untuk kembali ke ruangannya dan bekerja. Diamnya Emily setelah bertemu dengan sang atasan baru, menyimpan tanda tanya besar dalam pikiran Salvina, sahabat dekat Emily.“Kita makan siang dimana, Emily?” tanya Salvina, saat jam makan siang hampir tiba.Emily berpindah tatapan dari layar komputer. “Makan di kantin perusahaan aja. Kau keberatan tidak?”Salvina membalas tatapan Emily sejenak.“Hemmmm … tidak masalah. Aku juga sedang malas keluar.”“Baiklah,” jawab Emily senang.Jam istirahat akhirnya datang. Beberapa karyawan sudah mulai memadati lorong kubikel. Emily dan Salvina pun bersiap untuk meninggalkan meja kerja masing-masin. Namun, siapa sangka Emily kedatangan rekan kerjanya.“Kau kenal Pak Harry, Emily?” Aretta, dia adalah senior di bagian produksi. Salah satu karyawan yang disegani oleh teman sejawatnya, dikarenakan kecantikan sekaligus jabatan serta keberadaan Aretta sebagai keluarga dari pemilik perusahaan
“Darimana kau, Emily?” bisik Salvina, mendekati Emily yang baru saja duduk di sampingnya.Emily tak langsung menjawab. Ia hanya menatap kosong komputer yang ada di depannya.“Emily! Kau tak mendengarkanku? Kau dipanggil ke ruangan CEO,” lanjut Salvina, merasa sahabatnya itu dalam bahaya saja.Mendengar perkataan Salvina barusan, Emily menoleh padanya.“CEO baru itu memanggilku?” Emily mengulang.Mengangguk kecil, Salvina kemudian berkata, “ya, karena saat beliau memperkenalkan diri disini, kau pergi. Jadi, kau diminta untuk ke ruangannya.”‘Yang benar saja.’Emily semakin kalut sekarang. Bagaimana bisa Harry memintanya secara terang-terangan untuk ke ruangannya.“Emily,” panggil Pak Charles, manajer bagian produksi yang kini berjalan mendekati meja kerjanya.“Ya, Pak,” Emily refleks berdiri.“Kamu diminta ke ruangan CEO baru kita,” ucapnya seraya menatap Emily penuh selidik. “CEO baru itu ingin bertemu denganmu secara personal. Apa kalian saling mengenal?”Melihat suasana di sekitar t
“Kau tak apa?”Setelah kepergian Jorell, Harry memastikan Emily lebih dulu. Memperhatikan perempuan di depannya penuh seksama.Emily menggeleng seraya tersenyum kecil.“Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah membantuku.”Sesuatu yang mengganjal terpikir oleh Harry. Belum berniat berpindah tempat, Harry berniat untuk mengajukan sebuah pertanyaan.“Apa … dia?”“Hah?” Emily sedikit terkejut, mencoba memahami pertanyaan sang pria.“Ah, i-itu pria yang membuatmu mabuk kemarin malam dan berakhir denganku?” tanya Harry lagi.Bibir Emily terkatup rapat. Sedikit gugup, Emily menundukkan wajah seketika seraya menganggukkan kepala.“Benar. Aku tidak tahu kalau dia ada di sini.”“Kau perlu berhati-hati, Emily,” ujar Harry, sedikit merasa khawatir akan keberanian Jorell setelah menyakiti Emily. “Kau tidak tahu … apa yang dia inginkan darimu setelah mencampakkanmu kemarin.”Kedua orang yang baru saja ketemu kemarin malam hingga berbagi keringat serta kenikmatan dunia itu, tidak saling mengenal apa l
Pertanyaan itu sangat serius, bukan?Emily tak mampu berkata-kata. Masih memandang penuh Harry, pria itu berbeda kini. Sangat bersahabat lebih lembut dari sebelumnya.“Hey,” panggil Harry, membuat lamunan Emily buyar. “Hah, ma-maaf, Harry.”“Tidak masalah. Aku yakin, kau sama kagetnya denganku. Aku tidak percaya akan bertemu lagi dengan gadis yang memintaku tidur dengannya. Jujur, ini kali pertama untukmu, bukan?”Pertanyaan Harry membuat Emily tertangkap basah. Tentulah Harry tahu betul, bagaimana dia bersusah payah untuk memasuki tempat yang tak pernah disinggahi lelaki manapun. Emily gadis baik-baik, pikirnya.“Dan terakhir … gadis itu memberikanku selembar uang merah sebagai bayaran akan permintaannya dan meninggalkanku begitu saja,” sindir Harry, ingin melihat reaksi Emily.“Bu-bukan maksudku untuk membayarmu selembar itu,” jawab Emily malu. Wajah Emily merona sudah. “Aku tidak membawa uang lebih. Sungguh.”Polos sekali Emily bagi Harry. Pantas saja, gadis sebaik Emily bisa dise