"Saya akan kesana sekarang, Paman.”
Emily mendapati panggilan penting ketika pagi menuju siang itu, setelah ia sadar akan dirinya yang terbaring di samping tubuh kekar pria asing yang bahkan ia tak tahu namanya itu. Meringis sakit pada beberapa bagian tubuh, sebab adegan penuh adegan yang diberikan Harry padanya meninggalkan bekas yang cukup tak tertahan rasanya. Benar saja, Emily mengacungkan jempol akan keterampilan Harry dalam memuaskannya. Apalagi … bagi Emily yang kurang pergaulan seperti yang dikatakan oleh Jorell, tentulah membuatnya kaget akan kenikmatan sesaat itu. Namun, ia rasanya sangat malu dan tak punya muka untuk menantikan Harry terbangun dari tidurnya yang lelap. Sebaiknya, Emily memang lebih baik kabur diam-diam menuju mall yang juga ada di hotel untuk membeli pakaian ganti. Mendapati panggilan penting dari perusahaan tempatnya bekerja di hari weekend, tentulah hal yang harus digaris bawahi, sebab yang membuat panggilan tersebut adalah orang terpenting di perusahaan. “Aku harus bergegas,” ucapnya, melangkah terburu-buru, pergi meninggalkan kamar hotel di mana hubungan satu malamnya sukses membuat hatinya sedikit terobati dan meninggalkan Harry. Selesai dari beberes dan bersih-bersih di kamar mandi umum, Emily sudah tampak lebih segar dari sebelumnya. Sudah memesan ojek online dan tak lagi berada di hotel megah itu, Emily kini sedang menantikan kedatangan pesanannya. “Apa dia sudah bangun?” Emily bertanya-tanya. Suara berat Harry yang memberikan nasihat padanya seusai bercinta, pun kembali datang mengisi kepalanya. ‘Kau tidak layak bersedih, Emily.’ ‘Jadilah gadis yang kuat. Kau juga layak untuk bahagia, Emily. Cukup hanya malam ini menangisi orang yang tidak menghargai kehadiranmu. Air matamu tak sepantasnya jatuh untuk orang yang sudah menyakitimu.’ Tenggelam dalam ucapan Harry, kedatangan ojek online membuyarkan lamunannya dan segera berlalu pergi meninggalkan tempat yang penuh kesedihan sekaligus kehangatan yang tak pernah Emily rasakan sekalipun. Berlalunya waktu mengantarkan Emily tiba di rumah megah dari petinggi perusahaan. Apa hubungannya dengan Emily? Tentulah keduanya sangat dekat, sebab itu disinilah Emily berdiri. Di depan rumah mewah bernuansa Eropa. Setelah dipersilahkan masuk, Emily dibawa ke ruang tamu oleh salah satu pekerja di rumah itu. “Tunggulah sebentar, Nona. Tuan akan segera turun,” kata wanita paruh baya, yang bisa Emily tebak orang kepercayaan di rumah itu. “Baiklah,” jawabnya ramah. Setelah ditinggal sendiri di ruangan tamu yang juga bergaya Eropa, Emily terdiam. Bola matanya bergerak silih berganti memandangi satu persatu lukisan yang ada di dinding. Seberapa mewah rumah ini, batinnya. Derap langkah terdengar dari arah lain seiring suara tawa mengudara. Seorang pria dewasa yang tak lagi muda itu, berjalan menghampiri Emily yang disambut olehnya penuh ramah dan kikuk. “Kau sudah tiba, Emily,” sambut Kendrick Herbert, petinggi perusahaan sekaligus kenalan Emily. Emily yang juga berdiri itu tersenyum lebar seraya membalas jabat tangan dari pria tua itu, “Terima kasih sudah mengundang saya, Paman.” “Tidak perlu berterima kasih, Emily. Selama ini, kau selalu menolak permintaanku yang satu ini. Dan sekarang, kau disini menerima permintaanku sejak beberapa bulan kemarin,” tutur Kendrick, masih dengan senyum lebar. “Ah, bukan seperti itu, Paman,” jawab Emily merasa tidak enakan. “Sudahlah, tidak perlu merasa sungkan denganku. Aku ingin mengundangmu sarapan pagi bersamaku, Emily. Selama ini, aku terbiasa sendiri untuk itu. Ayolah, ikuti aku ke ruang makan. Kau pasti sudah sangat lapar,” ajak Kendrick, yang langsung berbalik badan tanpa menantikan jawaban Emily. Emily merasa kikuk. Bagaimanapun, Kendrick adalah orang yang memberikannya pekerjaan setelah kepergian ibunya. Ya, Emily mengenal Kendrick dari sang ibu. Tanpa tahu sebenarnya ada kisah di balik kedekatan mereka. Mengikuti langkah kaki Kendrick yang tampak masih kuat, Emily mengedarkan pandangan. Rumah itu benar-benar sangat mewah. Bagaimana pikirnya, Kendrick hanya makan sendiri setiap pagi. Kemana penghuni lain dari rumah itu. Emily benar-benar bingung akan hidup orang kaya seperti mereka. “Ambilah tempat duduk yang kau suka, Emily,” perintah Kendrick, setibanya mereka di ruang makan dan disambut dengan beberapa pelayan rumah. Menganggukkan kepala, Emily dibantu seorang gadis yang umurnya tak jauh darinya. Pelayan yang menyajikan sarapan sang atasan. “Silahkan duduk, Nona,” katanya, sudah menarik bangku untuk Emily duduki. “Ah, te-terima kasih.” Emily segera duduk, tepat di depan Kendrick. Pria tua itu tersenyum sejak tadi. Dia benar-benar sangat senang akan kedatangan Emily untuk pertama kalinya. Ada hal yang sangat penting untuk dibicarakan Kendrick ke Emily pagi ini. “Makanlah. Makan saja yang bisa kau makan, tidak perlu sungkan, Emily,” ucapnya lagi, suara itu benar-benar sangat khas menurut Emily. “Hah, baiklah, Paman.” Suara sendok menyentuh piring mengudara memenuhi ruang makan. Tampak para pelayan pun masih berdiri di tempat masing-masing. Bagi seorang Emily yang hidup sebatang kara di kota perantauan tak terbiasa dengan gaya hidup mewah seperti ini. Rasanya dia tak nyaman, tapi semampunya untuk bersikap baik-baik saja. “Aku sangat senang kau disini, Emily,” kata Kendrick, membelah keheningan di antara mereka yang sejak tadi sibuk dengan makanan. “Aku ingin kau sering datang kesini untuk menemaniku makan ataupun sekadar minum teh atau kopi denganku.” Emily tercengang sejenak. “Hah, baiklah, Paman. Aku akan mengingat permintaanmu.” “Kau tentu harus sering mengunjungiku di sini, sebab kau merasa sangat sungkan, kalau kita ngobrol di perusahaan.” Emily mengangguk, membenarkan soal perkataan Kendrick barusan. “Ya, Paman, banyak sekali rumor kedekatan antara kita di perusahaan, Paman. Tapi—” “Kau sudah pulang, Harry?” Perkataan Kendrick barusan mengubah atensi Emily ke arah kedatangan Harry sejak tadi. Pria itu mendengar semua obrolan keduanya sedari tiba di ruang makan. Benar saja, Harry terkejut akan kehadiran Emily di kediaman orang tuanya. Kedua mata mereka bertemu tatap kini. Manik hitam legam yang Emily lihat kemarin malam dari pria asing itu, kini tampaknya berbeda. Itu tidak teduh. “Duduklah dulu,” ajak Kendrick, bersuara lebih dulu. Kedua kaki pria tegap itu kini melangkah ke arah tempat duduk di sebelah Kendrick, dia tak mengubah pandangan bingung pada Emily yang kini kembali datang di hadapannya. Siapa sebenarnya gadis ini, pikir Harry. Apakah dia kekasih papanya? Tapi itu tidak mungkin. Bukankah kemarin malam dia dicampakkan oleh kekasihnya? Entahlah. Harry benar-benar tak yakin soal ini. “Kau dari mana saja semalaman? Kau tidak pulang, Harry?” Kendrick langsung mencecar pertanyaan, setelah Harry sukses duduk dengan sempurna tepat di sampingnya. Harry memutus kontak mata lebih dulu dari Emily, sebelum akhirnya dia memandang ke sang Papa. “Aku pergi mengunjungi teman-temanku, Pa. Bukankah itu sudah sangat lama?” ‘Temannya?’ Emily bertanya dalam hati. Bagaimana bisa dia bertemu dengan temannya. Padahal, mereka kemarin malam melakukan cinta satu malam dan bertukar keringat di hotel. “Kau masih marah soal kemarin?” Kendrick kembali bertanya. “Jangan berbicara soal kemarin, Pa,” cetus Harry tak suka, “ada orang lain di antara kita. Siapa dia?” Suara itu menusuk di gendang telinga Emily. Seperti tak suka saja. “Hah, aku hampir lupa. Kenalkan … dia—” “Apa dia kekasih barumu, Pa?”“Kekasih baru?” ucap Emily sangat kecil, sehingga tak ada yang mendengarnya.“Apa maksudmu, Harry? Bagaimana bisa … kau menuduh ku memiliki kekasih seperti Emily? Kau mabuk? Apa kau sudah gila? Yang benar saja kau ini. Kau-lah yang seharusnya memiliki kekasih seperti Emily,” celetuknya panjang lebar seolah tidak terima oleh tuduhan putranya.Kendrick ikut terkejut akan pikiran sang putra tunggal, pewaris kekayaannya itu. Bagaimana bisa, dia mengatakan Emily itu kekasihnya sementara Harry tahu betul, bagaimana dia kehilangan istri sekaligus ibunya yang tak pernah bisa Kendrick lupakan.Mendengar perkataan sang Papa, Harry hanya biasa saja. Tidak seperti Emily yang sudah mati ketakutan kini.“Emily … ini putraku, Harry,” Kendrick memperkenalkan. “Aku sudah memberitahukan padamu waktu itu, bukan? Dia baru saja pulang dari luar negeri. Kedepannya,dia akan ikut bekerja di perusahaan ku.”“A-ah, iya, Paman,” jawab Emily singkat seraya terbata-bata. Bola matanya melirik sekilas ke arah Harry
Pertanyaan itu sangat serius, bukan?Emily tak mampu berkata-kata. Masih memandang penuh Harry, pria itu berbeda kini. Sangat bersahabat lebih lembut dari sebelumnya.“Hey,” panggil Harry, membuat lamunan Emily buyar. “Hah, ma-maaf, Harry.”“Tidak masalah. Aku yakin, kau sama kagetnya denganku. Aku tidak percaya akan bertemu lagi dengan gadis yang memintaku tidur dengannya. Jujur, ini kali pertama untukmu, bukan?”Pertanyaan Harry membuat Emily tertangkap basah. Tentulah Harry tahu betul, bagaimana dia bersusah payah untuk memasuki tempat yang tak pernah disinggahi lelaki manapun. Emily gadis baik-baik, pikirnya.“Dan terakhir … gadis itu memberikanku selembar uang merah sebagai bayaran akan permintaannya dan meninggalkanku begitu saja,” sindir Harry, ingin melihat reaksi Emily.“Bu-bukan maksudku untuk membayarmu selembar itu,” jawab Emily malu. Wajah Emily merona sudah. “Aku tidak membawa uang lebih. Sungguh.”Polos sekali Emily bagi Harry. Pantas saja, gadis sebaik Emily bisa dise
“Kau sangat manis, Alice.”“Kau juga, Sayang. Aku benar-benar sangat beruntung, di hari ulang tahunmu ini, akulah orang pertama yang datang memberikan kejutan spesial untukmu.”“Hemmmm … kau benar-benar sangat legit, seperti cake yang kau bawakan untukku tadi.”“Lebih kencang, Jorrell.”Obrolan romantis dan suara kenikmatan dunia itu sejak tadi menyapa gendang telinga seorang Emily, gadis berambut panjang sepinggang dengan bola mata kecoklatan saat ia tiba, dan harus berhenti tepat di depan pintu kamar hotel milik kekasihnya, Jorell.Siapa sangkah, Emily yang sudah mempersiapkan segala embel-embel untuk surprise ulang tahun Jorell, kekasihnya, yang sudah dipacari selama 2 tahun lamanya harus berakhir dengan kekecewaan seperti di hadapannya kini. Ya, Emily dengan jelas melihat apa yang sedang Jorell lakukan sampai detik itu. Gerakan serta segala jenis suara dari dalam sana, pun Emily ingat betul. Tampak api amarah mulai menyala-nyala. Matanya membesar. Dada mula kembang kempis sepert
"Aku ingin menghabiskan malam ini denganmu.”Spontan saja, pria bernama Harry sedikit menjauh. Raut wajah kaget tercetak jelas di sana. Bagaimana mungkin dua orang asing harus menghabiskan malam bersama. Mereka tidak saling mengenal, itu poin pentingnya.“Menghabiskan malam denganmu? Memangnya, kau pikir siapa kau ini, Nona?”Emily terdiam sejenak sebelum berkata, “Apa kau keberatan? Aku ingin menghabiskan malam panas denganmu. Tidakkah itu sangat jelas kukatakan?”Pria asing itu memasang wajah bingung, setelah tahu permintaan Emily. Harapan besar juga terpancar jelas di kedua bola mata Emily. “Aku terlalu sibuk untuk melakukan hal itu,” jawab Harry santai, kini kedua tangannya bersedekap di atas bidang dada tegapnya. “Coba beritahu apa yang bisa kau janjikan padaku hingga aku mau melakukannya denganmu, Nona.”Bukankah itu sebuah tawar menawar?Emily kemudian berpikir. Apa yang harus diberikan agar pria asing itu mau memenuhi keinginannya malam ini. Emily tidak bisa kehilangan kesemp