Rasanya seperti ditampar keras oleh papanya sendiri. Elaina tak menyangka jika ucapan serendah itu diucapkan oleh papanya sendiri kepada dirinya.
“Papa ngomong gitu ke aku?” bisik Ela tak percaya. Papanya bisa mengeluarkan statement menyakitkan seperti itu tanpa beban. Justru tatapan matanya menyiratkan kemarahan yang ditujukan kepadanya.
“Itu fakta bukan? Kamu sudah tidur dengan pengawal itu semalam. Siapa yang bisa jamin kamu nggak akan hamil setelahnya.” Ela mereguk salivanya.
“Ini gila, Pa! Papa tega bicara seperti itu sama anak sendiri?” Pikirannya tiba-tiba blank. Tak tahu harus bagaimana bersikap setelah papanya sukses menyakiti hatinya bertubi-tubi sejak semalam. <
DIPTA “Maaf Pak, tapi kami tidak bisa membuka data CCTV sembarangan. Apalagi kepada pihak yang tidak berwenang dan berkepentingan.” Penolakan dari resepsionis hotel tempat mereka semalam dijebak menjawab dengan nada simpatik penuh profesionalitas. “Tapi kemarin di lantai dua puluh terjadi tindak kriminal! Ada penyekapan dan–” Dipta berkata menunjukkan nada frustrasi. “Mohon maaf Bapak Pradipta. Tak ada yang bisa kami lakukan untuk itu.” Kali ini rekan resepsionis pria yang menanggapi permintaannya. “Tapi saya menjadi korbannya!” ujar Dipta setengah mati menahan emosinya. “Kami sarankan Anda berkoordinasi dahulu dari pihak kepolisian,” tambal sang resepsionis yang masih bersikukuh dibalik senyumnya. “Tidak mungkin kalian tidak bisa membuka kalau ada tindak kriminal yang terjadi di hotel kalian.” Dipta berkilah. “Bapak Pradipta, kami tetap berpegang teguh pada SOP kami. Silakan koordinasikan dahulu dari pihak yang berwajib agar kami memiliki basis yang kuat membuka CCTV.” “Privac
“Bukan begitu, Mas. Kami dijebak,” sanggah Dipta dengan cepat. Menepis prasangka yang dilontarkan oleh sang bos. “Dijebak? Please tell me about it,” balas Mas Sultan, nadanya serius. Pria itu menaruh gelas martininya yang kosong di atas meja, menjaga kontak mata dengan bartender dan meminta seorang pelayan untuk datang ke booth semi privat mereka. “Tunggu dulu, kita pindah tempat aja. Jangan bicarakan masalah ini di ruang terbuka seperti ini.” Mas Sultan menahannya sejenak. Ketika Mas Sultan mengutarakan maksudnya, sang pelayan membantu menuntun mereka menuju sebuah ruang privat dan mengatakan kalau dia standby di dekat pintu jika dirinya dan Mas Sultan membutuhkan sesuatu sebelum akhirnya menutup kembali pintunya. Setelah keadaan kondusif dan sepi, barulah Dipta mengeluarkan tiga buah kamera dari dalam slingbag dan menyerahkan kepada atasannya. Alis kiri Mas Sultan naik sebelah, pertanda meminta penjelasan lebih dalam darinya. “Gue sama Elaina dicekoki obat perangsang, M
Dipta menerima keputusan bosnya dengan lapang dada. Jika boleh dibilang, dia begitu berterima kasih karena hukuman yang didapatkan tidak seberat yang dia duga. Skorsing dua bulan. Dipta bisa hidup dengan keputusan tersebut. “Thanks, Mas. Gue menerima keputusan lo dengan baik. Besok gue ke kantor untuk mengembalikan device dan tools kerjaan,” ujar Dipta disela tarikan rokoknya yang terakhir. Dia mematikan sisanya dan menenggak air mineral dingin yang tersaji di small bar ruang khusus ini. Sebenarnya banyak minuman berarkohol yang berjejer rapi di kabinet kaca belakang bar ini, namun Dipta sudah kapok minum minuman lain yang bukan air putih. Terakhir dia mencecap fresh orange juice, efeknya adalah afrodisiak–and it cost his career and reputation. Not to mention–now he is responsible for Elaina’s life as well. “Lo sama Ela gimana setelahnya? Gimana terus kelanjutan pertunangan Ela dan… siapa tunangannya? Anaknya Rahmat Trihadi, ‘kan?” “Ya batal. Dhanu dengan brengseknya membuang tun
ELA Ela menatap koper besar Rimowa miliknya yang terbuka lebar. Setengah space telah terisi dengan baju-bajunya yang masih terkait dengan hanger. Matanya mengerjap lambat. Ada yang mengganjal dalam hatinya selepas dia berdebat dengan papa tadi di ruang kerjanya. Mungkin hatinya pun tertinggal di ruang kerja papa. Semua terasa berbeda saat dia melangkah masuk kembali ke kamarnya. Semua terasa asing di matanya. Ruangan besar, lebar, wangi, elegan dan mewah beserta isinya yang begitu wah. Tak ada yang bisa menggugah perasaannya sekarang. Terasa hampa dan kosong.
Kakak perempuannya itu tertawa histeris, seakan ucapannya barusan merupakan hal terlucu yang pernah kakaknya dengar. Deshinta is the epitome of a mean girl. Bahkan tawanya saja seperti seorang antagonis di dalam film-film. “Aku punya tabungan,” tepis Ela dengan tenang. Dia mencoba mendorong tubuh kakaknya agar menjauhi pintu, tapi kakaknya tetap bergeming. Alih-alih gesturnya berubah menjadi berkacak pinggang dan menatap Ela sambil tersenyum mengejek. “From your paltry salary? Hah, bisa apa gaji sepuluh juta sebulan untuk gaya hidup lo? Dan bahkan gue dengar lo udah resign dari tempat kerja lo, bukan?” ujar kakaknya sambil tertawa kecil. “I mean your DNA Salmon treatment cost you a month's salary! You’re a joke!” Ela menghembuskan napasnya dengan berat. Dia meyakinkan dirinya jika dia bisa hidup tanpa kemewahan yang diterima sejak kecil. Wajahnya sudah cantik, she doesn’t need to splurge more to make it better. “I will manage, Mbak. Nggak usah ikut campur dengan masalah
Bisa-bisa dia tertahan lama jika satpamnya keras kepala seperti ini.“Terima kasih, Pak. Tapi beneran kok. Ini cuma mau drop ke rumah teman saja. Dekat kok. Nggak perlu khawatir.”Mungkin karena mendengar jika Ela hanya pergi ke rumah temannya, akhirnya sang satpam mengendurkan kewaspadaannya dan sedikit lebih rileks.Pak Iqbal kembali terdistraksi ketika ada jawaban kalau sudah ada taksi yang melaju ke rumahnya setelah dipesan dari depan gerbang kompleks perumahan elit mereka. Tak lama, salah satu satpam datang tergopoh ke dalam pos menemui Pak Iqbal dan mengutarakan satu hal yang cukup menarik perhatian Ela.“Mas Iqbal, ini ada Mas Dipta di g
DIPTAMereka tiba di kompleks perumahan Dipta yang pada malam hari ini sudah hening dan tenang. Dalam kompleks small gated community perumahannya ini. Kecil namun penuh privasi. Jika di total, mungkin hanya ada sekitar 50 hunian di kompleks perumahannya yang lengkap dengan mushola, jogging track, pusat kebugaran, kolam renang komunal dan juga taman di dalam kompleks. Dipta mati-matian membeli rumah ini dengan cara kredit sejak sepuluh tahun lalu, bahkan ketika komplek perumahan ini belum terbangun sempurna dan masih dalam tahap peletakan batu pertama. Tapi sepertinya itu merupakan hal terbaik yang Dipta lakukan pada masa itu karena kini nilai investasi properti rumahnya sudah mencapai puluhan kali dari harga saat pertama kali Dipta membelinya. Dipta dengan telaten membawa koper besar milik Ela dan menyampirkan tas gym di bahunya serta menunggu Ela yang berjalan di belakangnya untuk bisa berdiri bersisian di sampingnya. “Rumahnya nggak sebesar rumahmu, memang. Tapi saya yakin cukup
“Iya, kamu orangnya tertutup dan irit bicara,” ujar Ela menanggapi. Ela yang kini berada di hadapannya sambil memegang cangkir teh yang hangat terlihat sedikit lebih rileks dibandingkan ketika Dipta menemuinya tadi di halaman depan rumahnya saat gadis itu berniat kabur dari rumahnya. Ah, benar juga. Rasanya Dipta harus berbincang mengenai rencana Ela ke depannya. Apalagi kini Dipta perlu terlibat secara penuh karena baik langsung maupun tak langsung, kini kehidupannya akan terus bersinggungan dan terus berjalan beriringan dengan hidup Ela. Tapi tunggu dulu, sampai mana pembicaraan mereka tadi? Rasanya Dipta mudah sekali terdistraksi oleh hal-hal yang berkaitan dengan Ela akhir-akhir ini. Fokusnya jadi mudah terbagi. Ah, ya! Tentang dirinya yang irit bicara. “Kalau bekerja ya memang harus fokus, makanya nggak perlu banyak bicara,” ucap Dipta. Jawabannya sedikit lebih lambat dari yang seharusnya. “Tapi ternyata kalau bicara berdua begini, malah kelihatan lebih cerewet,” kikik
Kemarahan yang tak dapat Dipta tahan akhirnya meledak juga tatkala dirinya mendapati keadaan Ela di dalam ruang meeting bersama Hakim dan Dhanu. Hakim dengan santai memperhatikan Dhanu dan Ela yang bertengkar hebat ketika Dipta dan kedua rekannya menjejakkan kaki di dalam ruangan tersebut. Tanpa basa-basi, Dipta langsung menghambur menghampiri Ela. Prioritas utamanya, untuk memastikan istri tercintanya tak kurang satu apapun. Rambut Ela berantakan, lengannya yang halus berubah menjadi kemerahan. Sontak semuanya membuat Dipta gelap mata dan dia paham siapa yang menyebabkan keadaan Ela seperti sekarang. Dhanu, manusia brengsek yang terguling memegang selangkangannya sambil mencicit kesakitan seperti hama tikus. Tanpa pikir panjang, Dipta menarik kerah baju Dhanu dan mulai menghajarnya. Kegeramannya tak bisa ditahan-tahan lagi, dan Dhanu memang layak mendapatkan bogem mentah setelah semua hal gila yang dia lakukan kepada Ela. Even killing him in one go was still not enough for Dipta
Pagi hari dirinya dan Ela berpisah tujuan, sang istri ke galeri memulai kegiatannya dan Dipta berkumpul bersama Mas Sultan untuk pergi ke basecamp yang disewa Reza demi mengecek hasil buzzing mereka semalam. Turned out it went exceptionally well. Apalagi ketika muncul beberapa bukti tentang betapa bejatnya seorang Dhanu. Pria itu menggunakan kekuasaan ayahnya dengan serampangan, dan betapa mudah mengangkangi hukum. Terutama ketika narasi pria itu pernah mabuk sambil membawa mobil dan menabrak seseorang hingga meninggal dunia. Kasusnya sempat ramai beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya hilang terkubur begitu saja tanpa bekas. Tentu karena kekuasaan seorang Rahmat Trihadi yang berhasil membungkam semuanya dan membersihkan informasi tersebut, ditambah lagi Dhanu diungsikan ke luar negeri dengan dalih bersekolah di luar. Ketika berita lama itu kembali muncul ke permukaan, perbincangan dunia maya lambat laun beralih pada kapabilitas Rahmat Trihadi dalam bursa pemilihan presiden. Tagar k
Sejak kemarin malam, Dipta bersama Mas Sultan, Gala dan juga Reza–ketua tim elit Alfa yang dibentuk oleh Nero sibuk mengunjungi satu gedung perkantoran kecil dan tak mencolok yang rupanya dipakai sebagai salah satu basecamp kelompok buzzer yang berafiliasi dengan tim Alfa untuk operasi menjatuhkan reputasi Dhanu Trihadi. Suatu hal baru bagi Dipta berkecimpung di dunia abu-abu seperti ini. Namun, Dipta percaya kepada Mas Sultan dan Nero yang akan membantunya untuk melepaskan ikatan dirinya dengan Rustam serta memastikan keadilan untuk istrinya. Tentu saja buzzer yang dipakai oleh tim Reza adalah tim kualitas terbaik yang dibantu dengan teknologi mutakhir artificial intelligence dengan data set machine learning yang mumpuni. Jadi mereka tak perlu banyak orang dalam menggerakkan buzzer di dunia maya, karena akun-akun ternakan tersebut merupakan bot dengan kemampuan berbahasa yang lebih natural. Sehingga semua cuitan dan serangan online yang dilancarkan oleh tim buzzer ini berkualitas se
Ela ragu bagaimana dia harus bersikap di hadapan Hakim dan Dhanu sekarang untuk membalas ancaman dan juga ucapan mereka yang tak Ela mengerti satu pun. Yang bisa Ela tanggapi hanyalah tentang video privat dirinya dan Dipta yang sialnya… mungkin sudah jatuh ke tangan Hakim dan Dhanu. Badannya seketika menggigil. Ela merasa ditelanjangi dan dipermalukan oleh kedua pria kurang ajar ini. “Kalian cuma bisa mengancam perempuan untuk menyelesaikan masalah seperti ini? You? All of the people?” Ela mengejek dan memprovokasi mereka. Sikapnya yang seperti ini semata dilakukan untuk melindungi diri agar tak diinjak-injak lebih dalam lagi. “Siapa sih konsultan politik kalian? They can’t even navigate and cool down the negative news?” tambalnya dengan nada dingin. Kali ini Hakim yang terlihat jengkel, dan Dhanu geram karena diskak oleh Ela. “How was it, sleeping with Dipta? Better than Dhanu?” Tapi Hakim justru membalas ucapan Ela dengan remark yang merendahkan martabatnya sebagai perempuan.
Baru saja Ela keluar dari galeri, dia sudah dihadang oleh dua orang pria yang tidak Ela kenali. “Ibu Elaina? Pak Hakim sudah menyiapkan mobil,” ujar seorang pria yang kini beralih pindah ke sebelah Ela. Satu orang lagi bergerak di belakang Ela. “Saya bawa mobil sendiri.” Dia mencoba menghindar dan memperlebar jarak dari keduanya. Tapi sayang, mereka sudah mengepungnya dan memaksanya untuk ikut ke dalam mobil. “Pergi atau saya teriak–” ancam Ela dengan sungguh-sungguh. Kedua pria itu saling menatap, berkomunikasi tanpa kata hingga salah seorang pria menganggukkan kepalanya. “Saya ikut dalam mobil Anda. Rekan saya akan mengikuti dari belakang.”Itu bukanlah balasan yang Ela ingin dengar. Tetap saja berbahaya baginya. “Nggak bisa!” tolaknya dengan keras. “Jangan mempersulit, Bu. Kami tidak akan melukai Anda. Kami hanya butuh mengantar Anda sesuai tujuan. Lebih cepat lebih baik. Pak Hakim berkata jangan main-main,” ancamnya yang membuat Ela semakin frustasi dan ketakutan. Mereka
“Ela, semua bahan press udah naik tayang ya di beberapa media? Dari komunitas lelang, charity dan donor sendiri gimana? Apa feedback dari mereka? Dan untuk komunitas dari luar negeri sudah beres di handle? Perwakilan mereka sudah ada LO masing-masing, kan?” Mbak Rengganis memberikan daftar panjang checklist hal-hal yang harus Ela persiapkan menjelang pembukaan art exhibition yang sudah semakin dekat. “Aman, Mbak. Kita udah sebar juga ke komunitas, artists, dan art influencer di beberapa media sosial seperti Tiktok, i*******m, vlogger dan blogger. All good, dan hype di media juga cukup oke kalau saya pantau,” jawab Ela untuk satu pertanyaan Mbak Rengganis. Rengganis mengangguk mendengar penjelasannya. “Lalu untuk badan amal, charity sudah cukup banyak yang RSVP, dan beberapa donor pun sudah RSVP untuk acara pembukaan. Mereka sudah siap dengan bidding lot beberapa karya yang akan dilepas untuk lelang,” lanjutnya sambil mengecek buku agendanya. Mengecek secara detail pertanyaan dari
ELA“Kamu mau sampai kapan tiduran terus, Sayang? Memang nggak pusing?” Suara bariton khas suaminya membuat Ela semakin nyaman bergelung di dalam selimutnya. “Hmm,” protesnya tanpa membuka matanya yang masih terasa berat. “Nanti kamu malam malah nggak bisa tidur, lho. Kacau semua jadwal tidurmu nanti. Terus nanti kamu malah nenggak espresso dan makin jadi itu GERD-nya! Ayo bangun dulu!” Kini Dipta tak hanya memintanya bangun. namun tangan lelaki itu sudah sibuk menjawil pipinya dan menggelitiki perutnya dengan leluasa. “Mas!” Suara protesnya semakin membesar.Susah payah Ela menepis tangan Dipta yang sudah mulai usil mengganggu kesenangan tidurnya pagi ini. Eh, ini masih pagi, bukan? Astaga, Ela masih begitu ngantuk! A little more sleep couldn’t hurt, ‘kan?Acara soiree semalam sukses membuatnya seperti zombie hidup hingga lepas tengah malam. Mereka berdua baru bisa kembali ke rumah hingga jam tiga dini hari. Bahkan Ela tak ingat apa yang dia lakukan setelah melepaskan sepatu yan
“Gue udah dapat lead tentang video itu. Setelah pengembangan investigasi dari informasi Grace Hariman, kita bisa tracing di mana mereka menyimpan file tersebut. Kemungkinan besar ada di kediaman Dhanu.” Nero bergumam. “Gue udah coba trace sisa-sisa file dari device Grace dan komplotannya. Sejauh ini memang tidak ada, tapi memang gue sejujurnya masih khawatir kalau gue melewatkan hal krusial,” ujar Mas Sultan menimpali. “Double confirm. Gue juga udah nyuruh anak buah gue–Reza, untuk mengecek kembali seluruh device Grace dan anak buahnya. Sudah bersih. Gue hampir yakin master file ada di tangan Dhanu.” Nero mengangguk setuju. Dipta menoleh ke arah Nero yang bersedekap. “Kita bagi tugas, gimana?” celetuk Nero tiba-tiba. Mas Sultan menaikkan sebelah alisnya. “Tell us, I am all ears.” “Tugas pertama adalah tarik master file dari Dhanu. By all means necessary. Bahkan sampai harus pakai jalan hacking, bribery, and well, you know–” Dipta mengangguk, mengerti ke mana arah pembicaraan Ner
“Lho? Sudah selesai rapatnya toh?” Dewi Sastrowilogo terperangah ketika melihat gerombolan pria yang berdiri di depan lift dengan beragam ekspresi yang tercipta di wajah mereka masing-masing. Raka yang kepalang kesal, Darius dan Nero yang getol ngecengin Raka, serta dirinya dan Mas Sultan yang kebingungan di tengah internal joke yang saling dilemparkan tiga serangkai ini. Mereka berlima memberikan jalan kepada tiga perempuan itu untuk keluar dari lift, dan menutup kembali pintu lift. Membatalkan rencana untuk turun demi berbincang dengan Bu Dewi dan rombongan kecilnya. “Mau ke mana kalian?” todong Bu Dewi. “Ke bawah, Tante. Mau ngerokok–” Darius menjawab sebelum berhenti ketika melihat istrinya melotot ke arahnya. “Err… cari angin di luar,” ralatnya buru-buru. “Temani kami saja, ini Ibu mau tunjukkan koleksi spesial Ibu kepada Amira dan Prajna, supaya mereka tahu beberapa pusaka dari Sastrowilogo,” tutur Bu Dewi yang membuat para lelaki mati kutu di tempat mereka berdiri. Amira