ELA
Ela menatap koper besar Rimowa miliknya yang terbuka lebar. Setengah space telah terisi dengan baju-bajunya yang masih terkait dengan hanger. Matanya mengerjap lambat.
Ada yang mengganjal dalam hatinya selepas dia berdebat dengan papa tadi di ruang kerjanya. Mungkin hatinya pun tertinggal di ruang kerja papa. Semua terasa berbeda saat dia melangkah masuk kembali ke kamarnya.
Semua terasa asing di matanya.
Ruangan besar, lebar, wangi, elegan dan mewah beserta isinya yang begitu wah. Tak ada yang bisa menggugah perasaannya sekarang. Terasa hampa dan kosong.
Kakak perempuannya itu tertawa histeris, seakan ucapannya barusan merupakan hal terlucu yang pernah kakaknya dengar. Deshinta is the epitome of a mean girl. Bahkan tawanya saja seperti seorang antagonis di dalam film-film. “Aku punya tabungan,” tepis Ela dengan tenang. Dia mencoba mendorong tubuh kakaknya agar menjauhi pintu, tapi kakaknya tetap bergeming. Alih-alih gesturnya berubah menjadi berkacak pinggang dan menatap Ela sambil tersenyum mengejek. “From your paltry salary? Hah, bisa apa gaji sepuluh juta sebulan untuk gaya hidup lo? Dan bahkan gue dengar lo udah resign dari tempat kerja lo, bukan?” ujar kakaknya sambil tertawa kecil. “I mean your DNA Salmon treatment cost you a month's salary! You’re a joke!” Ela menghembuskan napasnya dengan berat. Dia meyakinkan dirinya jika dia bisa hidup tanpa kemewahan yang diterima sejak kecil. Wajahnya sudah cantik, she doesn’t need to splurge more to make it better. “I will manage, Mbak. Nggak usah ikut campur dengan masalah
Bisa-bisa dia tertahan lama jika satpamnya keras kepala seperti ini.“Terima kasih, Pak. Tapi beneran kok. Ini cuma mau drop ke rumah teman saja. Dekat kok. Nggak perlu khawatir.”Mungkin karena mendengar jika Ela hanya pergi ke rumah temannya, akhirnya sang satpam mengendurkan kewaspadaannya dan sedikit lebih rileks.Pak Iqbal kembali terdistraksi ketika ada jawaban kalau sudah ada taksi yang melaju ke rumahnya setelah dipesan dari depan gerbang kompleks perumahan elit mereka. Tak lama, salah satu satpam datang tergopoh ke dalam pos menemui Pak Iqbal dan mengutarakan satu hal yang cukup menarik perhatian Ela.“Mas Iqbal, ini ada Mas Dipta di g
DIPTAMereka tiba di kompleks perumahan Dipta yang pada malam hari ini sudah hening dan tenang. Dalam kompleks small gated community perumahannya ini. Kecil namun penuh privasi. Jika di total, mungkin hanya ada sekitar 50 hunian di kompleks perumahannya yang lengkap dengan mushola, jogging track, pusat kebugaran, kolam renang komunal dan juga taman di dalam kompleks. Dipta mati-matian membeli rumah ini dengan cara kredit sejak sepuluh tahun lalu, bahkan ketika komplek perumahan ini belum terbangun sempurna dan masih dalam tahap peletakan batu pertama. Tapi sepertinya itu merupakan hal terbaik yang Dipta lakukan pada masa itu karena kini nilai investasi properti rumahnya sudah mencapai puluhan kali dari harga saat pertama kali Dipta membelinya. Dipta dengan telaten membawa koper besar milik Ela dan menyampirkan tas gym di bahunya serta menunggu Ela yang berjalan di belakangnya untuk bisa berdiri bersisian di sampingnya. “Rumahnya nggak sebesar rumahmu, memang. Tapi saya yakin cukup
“Iya, kamu orangnya tertutup dan irit bicara,” ujar Ela menanggapi. Ela yang kini berada di hadapannya sambil memegang cangkir teh yang hangat terlihat sedikit lebih rileks dibandingkan ketika Dipta menemuinya tadi di halaman depan rumahnya saat gadis itu berniat kabur dari rumahnya. Ah, benar juga. Rasanya Dipta harus berbincang mengenai rencana Ela ke depannya. Apalagi kini Dipta perlu terlibat secara penuh karena baik langsung maupun tak langsung, kini kehidupannya akan terus bersinggungan dan terus berjalan beriringan dengan hidup Ela. Tapi tunggu dulu, sampai mana pembicaraan mereka tadi? Rasanya Dipta mudah sekali terdistraksi oleh hal-hal yang berkaitan dengan Ela akhir-akhir ini. Fokusnya jadi mudah terbagi. Ah, ya! Tentang dirinya yang irit bicara. “Kalau bekerja ya memang harus fokus, makanya nggak perlu banyak bicara,” ucap Dipta. Jawabannya sedikit lebih lambat dari yang seharusnya. “Tapi ternyata kalau bicara berdua begini, malah kelihatan lebih cerewet,” kikik
Malam ini dilalui Dipta dan Ela dengan sedikit kikuk selepas gadis itu curhat dan menangis di dalam pelukannya. Suasana melankolis pun mereda semakin malam, karena pada akhirnya Ela berhasil mengendalikan diri dengan baik dan sikapnya kembali tenang.Tapi ada yang berbeda dari gadis itu, karena kini senyumnya terlihat lebih ringan dan bias sedih di matanya menghilang sedikit demi sedikit.Seperti yang Dipta yakini, waktu pasti akan membantu menyembuhkan luka yang dirasakan Ela.“Ah, sebenarnya saya juga mau bicara satu hal sebelum kita tidur,” ujar Dipta tiba-tiba.Mereka berdua kini melanjutkan minum teh di ruang keluarga dengan berita bisnis malam hari yang disiarkan di televisi sebagai latar suara yang melingkupi mereka saat ini.&nb
ELAEla bangun dalam keadaan disorientasi. Ketika membuka matanya, dia menatap langit-langit asing dan juga bantal dan ranjang yang rasanya berbeda dengan yang biasa dia pakai di rumah. Anehnya, Ela bisa mendengar suara derung motor dan mobil di luar secara samar-samar. Berbeda 180 derajat dengan kamarnya yang di-setting kedap suara demi kenyamanan maksimal saat Ela terlelap. Koper,cangkir teh, diskusi mendalam, Tangis dalam pelukan,Kepingan ingatan kembali menyeruak seiring peningkatan kesadarannya setelah dia bangun. Ela paham di mana dia sekarang. Dia berada di rumah Dipta, eks pengawal pribadinya. Dia duduk dan bersandar sejenak sembari stretching di pagi ini. Menikmati pagi yang lambat dengan menyusun rencana yang akan dilakukan pagi ini. Yang pertama, mencari tempat tinggal yang proper. Sepertinya apartemen adalah satu pilihan masuk akal saat ini. Yang kedua, membuka kembali portal linkedin-nya dan mulai aktif mencari lowongan pekerjaan agar dia bisa kembali bekerja.
Ela terdiam sejenak ketika mendengar pertanyaan lanjutan dari Dipta. ‘Kenapa kamu bertanya begitu?’Ela rasa pertanyaan Dipta bisa menciptakan satu wacana baru tentang hasil hubungan satu malam mereka. “Jujur aja, Mas Dipta… aku nggak pernah tahu kehidupan pribadi kamu, even I don’t know when is your birthday! Aku bahkan nggak tahu apa kamu sedang menjalin hubungan dengan orang lain–Oh gosh! Jangan bilang kamu punya pacar, Mas?” Ela menatap horor ke arah Dipta. Dia tak ingin dicap sebagai pelakor yang merebut laki-laki lain! Sudah cukup dia mendapatkan hinaan karena rumor dan fitnah tentang dirinya merebut Harsya dari Mbak Deshinta!Dipta hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil. “Nggak kok, saya nggak punya pacar–” jawab Dipta sebelum diselak oleh Ela yang sedang panik. “Istri juga nggak punya, kan?” bisik Ela penuh ketegangan. Dipta justru tersenyum semakin lebar menanggapi pertanyaan Ela. “Nggak, kok!” bantahnya sambil terkikik geli. “Pacar, istri, tunangan bena
“Masih butuh penjelasan lagi? Saya bisa membeberkan daftarnya sekarang kalau kamu mau, Ela.” Kedua manik mata Dipta menatapnya dengan intens. Pria itu sepertinya tahu jika Ela membutuhkan ruang dan jarak agar otaknya bisa berfungsi normal kembali. Ruang napasnya terasa semakin menyempit dan dia bernapas dengan berat. Dipta tak berkata apapun, dan dia hanya menaikkan sedikit alisnya saat mendapati Ela mundur beberapa langkah. The tension was high! Ela tak tahu kalau mereka bisa menciptakan suasana seperti ini hanya dari pembicaraan spontan di pagi hari ketika ingin sarapan. “Nggak, udah cukup, Mas.” Ela mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia tak tahu apa yang akan terjadi jika dia melanjutkan diskusi dengan tensi tinggi seperti ini. Dipta pun sepertinya menyadarinya, dan dia mengerutkan dahinya dan menghembuskan napas perlahan. “Ayo kita duduk dulu, sepertinya ini bukan pembicaraan yang bisa diselesaikan dengan kita berdiri seperti ini.” Dipta menunjuk kursi dengan gestur ke