Malam ini dilalui Dipta dan Ela dengan sedikit kikuk selepas gadis itu curhat dan menangis di dalam pelukannya. Suasana melankolis pun mereda semakin malam, karena pada akhirnya Ela berhasil mengendalikan diri dengan baik dan sikapnya kembali tenang.
Tapi ada yang berbeda dari gadis itu, karena kini senyumnya terlihat lebih ringan dan bias sedih di matanya menghilang sedikit demi sedikit.
Seperti yang Dipta yakini, waktu pasti akan membantu menyembuhkan luka yang dirasakan Ela.
“Ah, sebenarnya saya juga mau bicara satu hal sebelum kita tidur,” ujar Dipta tiba-tiba.
Mereka berdua kini melanjutkan minum teh di ruang keluarga dengan berita bisnis malam hari yang disiarkan di televisi sebagai latar suara yang melingkupi mereka saat ini.&nb
ELAEla bangun dalam keadaan disorientasi. Ketika membuka matanya, dia menatap langit-langit asing dan juga bantal dan ranjang yang rasanya berbeda dengan yang biasa dia pakai di rumah. Anehnya, Ela bisa mendengar suara derung motor dan mobil di luar secara samar-samar. Berbeda 180 derajat dengan kamarnya yang di-setting kedap suara demi kenyamanan maksimal saat Ela terlelap. Koper,cangkir teh, diskusi mendalam, Tangis dalam pelukan,Kepingan ingatan kembali menyeruak seiring peningkatan kesadarannya setelah dia bangun. Ela paham di mana dia sekarang. Dia berada di rumah Dipta, eks pengawal pribadinya. Dia duduk dan bersandar sejenak sembari stretching di pagi ini. Menikmati pagi yang lambat dengan menyusun rencana yang akan dilakukan pagi ini. Yang pertama, mencari tempat tinggal yang proper. Sepertinya apartemen adalah satu pilihan masuk akal saat ini. Yang kedua, membuka kembali portal linkedin-nya dan mulai aktif mencari lowongan pekerjaan agar dia bisa kembali bekerja.
Ela terdiam sejenak ketika mendengar pertanyaan lanjutan dari Dipta. ‘Kenapa kamu bertanya begitu?’Ela rasa pertanyaan Dipta bisa menciptakan satu wacana baru tentang hasil hubungan satu malam mereka. “Jujur aja, Mas Dipta… aku nggak pernah tahu kehidupan pribadi kamu, even I don’t know when is your birthday! Aku bahkan nggak tahu apa kamu sedang menjalin hubungan dengan orang lain–Oh gosh! Jangan bilang kamu punya pacar, Mas?” Ela menatap horor ke arah Dipta. Dia tak ingin dicap sebagai pelakor yang merebut laki-laki lain! Sudah cukup dia mendapatkan hinaan karena rumor dan fitnah tentang dirinya merebut Harsya dari Mbak Deshinta!Dipta hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil. “Nggak kok, saya nggak punya pacar–” jawab Dipta sebelum diselak oleh Ela yang sedang panik. “Istri juga nggak punya, kan?” bisik Ela penuh ketegangan. Dipta justru tersenyum semakin lebar menanggapi pertanyaan Ela. “Nggak, kok!” bantahnya sambil terkikik geli. “Pacar, istri, tunangan bena
“Masih butuh penjelasan lagi? Saya bisa membeberkan daftarnya sekarang kalau kamu mau, Ela.” Kedua manik mata Dipta menatapnya dengan intens. Pria itu sepertinya tahu jika Ela membutuhkan ruang dan jarak agar otaknya bisa berfungsi normal kembali. Ruang napasnya terasa semakin menyempit dan dia bernapas dengan berat. Dipta tak berkata apapun, dan dia hanya menaikkan sedikit alisnya saat mendapati Ela mundur beberapa langkah. The tension was high! Ela tak tahu kalau mereka bisa menciptakan suasana seperti ini hanya dari pembicaraan spontan di pagi hari ketika ingin sarapan. “Nggak, udah cukup, Mas.” Ela mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia tak tahu apa yang akan terjadi jika dia melanjutkan diskusi dengan tensi tinggi seperti ini. Dipta pun sepertinya menyadarinya, dan dia mengerutkan dahinya dan menghembuskan napas perlahan. “Ayo kita duduk dulu, sepertinya ini bukan pembicaraan yang bisa diselesaikan dengan kita berdiri seperti ini.” Dipta menunjuk kursi dengan gestur ke
DIPTASepertinya diskusi yang mereka lakukan pagi hari ini membawa tensi baru dalam hubungan mereka. Dipta tahu dia seharusnya lebih berhati-hati lagi dalam bertindak dan bersikap di hadapan Ela.Tapi dia menganggap jika apa yang dilakukannya kini seperti menarik plester luka secara cepat dari luka dalam yang dirasakan Ela saat ini. Supaya luka yang dialami Ela tak akan membusuk jika didiamkan terlalu lama.Dipta pun merasa seperti memiliki kewajiban moral untuk menuntun arah hubungan mereka menuju sesuatu yang lebih baik lagi dibanding dengan hubungan Ela yang telah kandas sebelumnya secara tiba-tiba, dengan cara yang cukup menyakitkan pula!“Bicaramu cukup menyakitkan, Mas. Aku nggak menyangka ternyata kamu begitu blak-blakan dalam menunjukkan apa
“Mobilnya sudah selesai dipanaskan, kabari saya ya kalau kamu sudah siap,” ujar Dipta seraya melongok ke dalam rumah untuk mengabari Ela keadaan mobilnya sekarang.Mobil Toyota Rush bekas miliknya akhirnya bisa dioperasikan kembali. Dipta bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia memakai mobil ini kecuali bertujuan untuk memanaskan dan membawanya ke bengkel untuk servis rutin.Jika dia ingin bepergian, dia mengandalkan si Maryam–motor Honda CBR kesayangannya yang sudah menemaninya hampir empat tahun.“Oke, Mas! Sebentar lagi siap!” jawab Ela dari kamar tamu di lantai dua.Setelah sarapan ringan dengan diskusi berat tadi pagi, kini mereka sepakat untuk mengantar Ela mencari apartemen, makan siang bersama, mengantar Di
Ela sepertinya menaruh rasa iba kepadanya, makanya gadis itu akhirnya mengangguk dan menyanggupi ‘syarat’ darinya jika Ela ingin tinggal sendiri di apartemen. Rasanya kekhawatirannya merupakan hal yang lumrah, terlebih Ela mengalami kejadian traumatis malam itu di hotel. Dipta kembali mengingat ucapan keras Mas Sultan yang mengatakan untung saja ini bukan kasus pemerkosaan, dan Dipta semakin kalut jika memikirkan kemungkinan terburuk kasus penjebakan mereka berdua. “Ya udah, nanti aku kabari.” Ela bergumam kesal, meskipun sejurus kemudian gadis itu melempar senyum kepadanya. Menawarkan perdamaian agar perdebatan mereka tak terus berlarut-larut. Mereka melipir ke sebuah apartemen yang terletak di dekat kawasan bisnis M.H Thamrin. Tentu saja apartemen yang dipilih Ela adalah yang tipe premium dengan fasilitas nomor satu di kelasnya, dan privasi penuh menyeluruh yang membuat penghuninya merasa aman tinggal di apartemen mewah ini. Developer Luxe Haven Apartment ini adalah dari salah
“Kami ada CCTV di setiap sudut luar koridor apartemen. Tiap koridor hanya ada tiga unit untuk menjaga privasi para tenant. Ada pintu khusus yang hanya bisa dibuka dengan pindai sidik jari tenant yang mengarah langsung keluar koridor jika dibutuhkan. Misalnya tim housekeeper, security, atau tamu tanpa access card, bisa datang lewat sini. Namun semua harus lewat pre-approval list dari resepsionis dan tenant. Jadi aman, Pak.” “Dan sebagai informasi, semua tenant kami melewati pemeriksaan latar belakang dengan ketat, sesuai perintah paling atas, Pak. Nanti Ibu Elaina dan Pak Dipta juga akan melewati background check juga sebelum disetujui oleh tim manajemen atau tidak. Jadi kami tidak sembarangan menerima tenant begitu saja. Ada banyak yang kami tolak karena tidak sesuai dengan kriteria kami,” ucap Ratri panjang lebar dan ditambah dengan senyum sopan ke arah mereka berdua. “Okay, deal. Bisa saya pindah secepatnya?” Ela kemudian duduk di sofa dan menatap Ratri penuh tanya. Dipta beri
ELA “Saya bisa membantu, sekarang kita ‘kan berencana untuk bersama. You can share your burden to me,” celetuk Dipta sukses membuat Ela tertegun sejenak. Ucapan yang diutarakan oleh pria itu selalu bisa membuatnya kembali merasa tenang. Seakan-akan Ela bisa menumpukan harapan kepada Dipta, dan menyandarkan kepalanya ke arah Dipta ketika dia merasa penat. Tapi seperti yang Ela pikirkan sebelumnya, bersamaan dengan rasa tenang, tanduk keraguan muncul menampakkan rupanya yang buruk. “Benar, ya? Kamu nggak bakal ninggalin aku sendirian?” tuntutnya setengah bercanda. Terkadang dia ingin berharap, namun memori akan janji manis Dhanu senantiasa berputar, menjadi sebuah pembanding dan pemberat di setiap ucapan serupa yang diucapkan oleh Dipta. “Iya, saya siap pasang badan untuk kamu,” jawab Dipta dengan meyakinkan. Dipta menurunkan pandangannya dan kini menatap Ela penuh perhatian. Ela merasa tersanjung. Sebut saja jika dia terlalu geer, namun rasanya Dipta bisa menciptakan ilusi