DIPTA
Sepertinya diskusi yang mereka lakukan pagi hari ini membawa tensi baru dalam hubungan mereka. Dipta tahu dia seharusnya lebih berhati-hati lagi dalam bertindak dan bersikap di hadapan Ela.
Tapi dia menganggap jika apa yang dilakukannya kini seperti menarik plester luka secara cepat dari luka dalam yang dirasakan Ela saat ini. Supaya luka yang dialami Ela tak akan membusuk jika didiamkan terlalu lama.
Dipta pun merasa seperti memiliki kewajiban moral untuk menuntun arah hubungan mereka menuju sesuatu yang lebih baik lagi dibanding dengan hubungan Ela yang telah kandas sebelumnya secara tiba-tiba, dengan cara yang cukup menyakitkan pula!
“Bicaramu cukup menyakitkan, Mas. Aku nggak menyangka ternyata kamu begitu blak-blakan dalam menunjukkan apa
“Mobilnya sudah selesai dipanaskan, kabari saya ya kalau kamu sudah siap,” ujar Dipta seraya melongok ke dalam rumah untuk mengabari Ela keadaan mobilnya sekarang.Mobil Toyota Rush bekas miliknya akhirnya bisa dioperasikan kembali. Dipta bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia memakai mobil ini kecuali bertujuan untuk memanaskan dan membawanya ke bengkel untuk servis rutin.Jika dia ingin bepergian, dia mengandalkan si Maryam–motor Honda CBR kesayangannya yang sudah menemaninya hampir empat tahun.“Oke, Mas! Sebentar lagi siap!” jawab Ela dari kamar tamu di lantai dua.Setelah sarapan ringan dengan diskusi berat tadi pagi, kini mereka sepakat untuk mengantar Ela mencari apartemen, makan siang bersama, mengantar Di
Ela sepertinya menaruh rasa iba kepadanya, makanya gadis itu akhirnya mengangguk dan menyanggupi ‘syarat’ darinya jika Ela ingin tinggal sendiri di apartemen. Rasanya kekhawatirannya merupakan hal yang lumrah, terlebih Ela mengalami kejadian traumatis malam itu di hotel. Dipta kembali mengingat ucapan keras Mas Sultan yang mengatakan untung saja ini bukan kasus pemerkosaan, dan Dipta semakin kalut jika memikirkan kemungkinan terburuk kasus penjebakan mereka berdua. “Ya udah, nanti aku kabari.” Ela bergumam kesal, meskipun sejurus kemudian gadis itu melempar senyum kepadanya. Menawarkan perdamaian agar perdebatan mereka tak terus berlarut-larut. Mereka melipir ke sebuah apartemen yang terletak di dekat kawasan bisnis M.H Thamrin. Tentu saja apartemen yang dipilih Ela adalah yang tipe premium dengan fasilitas nomor satu di kelasnya, dan privasi penuh menyeluruh yang membuat penghuninya merasa aman tinggal di apartemen mewah ini. Developer Luxe Haven Apartment ini adalah dari salah
“Kami ada CCTV di setiap sudut luar koridor apartemen. Tiap koridor hanya ada tiga unit untuk menjaga privasi para tenant. Ada pintu khusus yang hanya bisa dibuka dengan pindai sidik jari tenant yang mengarah langsung keluar koridor jika dibutuhkan. Misalnya tim housekeeper, security, atau tamu tanpa access card, bisa datang lewat sini. Namun semua harus lewat pre-approval list dari resepsionis dan tenant. Jadi aman, Pak.” “Dan sebagai informasi, semua tenant kami melewati pemeriksaan latar belakang dengan ketat, sesuai perintah paling atas, Pak. Nanti Ibu Elaina dan Pak Dipta juga akan melewati background check juga sebelum disetujui oleh tim manajemen atau tidak. Jadi kami tidak sembarangan menerima tenant begitu saja. Ada banyak yang kami tolak karena tidak sesuai dengan kriteria kami,” ucap Ratri panjang lebar dan ditambah dengan senyum sopan ke arah mereka berdua. “Okay, deal. Bisa saya pindah secepatnya?” Ela kemudian duduk di sofa dan menatap Ratri penuh tanya. Dipta beri
ELA “Saya bisa membantu, sekarang kita ‘kan berencana untuk bersama. You can share your burden to me,” celetuk Dipta sukses membuat Ela tertegun sejenak. Ucapan yang diutarakan oleh pria itu selalu bisa membuatnya kembali merasa tenang. Seakan-akan Ela bisa menumpukan harapan kepada Dipta, dan menyandarkan kepalanya ke arah Dipta ketika dia merasa penat. Tapi seperti yang Ela pikirkan sebelumnya, bersamaan dengan rasa tenang, tanduk keraguan muncul menampakkan rupanya yang buruk. “Benar, ya? Kamu nggak bakal ninggalin aku sendirian?” tuntutnya setengah bercanda. Terkadang dia ingin berharap, namun memori akan janji manis Dhanu senantiasa berputar, menjadi sebuah pembanding dan pemberat di setiap ucapan serupa yang diucapkan oleh Dipta. “Iya, saya siap pasang badan untuk kamu,” jawab Dipta dengan meyakinkan. Dipta menurunkan pandangannya dan kini menatap Ela penuh perhatian. Ela merasa tersanjung. Sebut saja jika dia terlalu geer, namun rasanya Dipta bisa menciptakan ilusi
Hello readers, Maaf ya hari ini aku belum bisa update. Dua hari ini nggak tahu kenapa setiap mau nulis cuma bisa bikin 1 paragraf terus hapus lagi, gitu-gitu terus. Makanya author coba rileks sejenak dan istirahat dulu biar bisa balikin mood nulis lagi. Semoga aja besok suasana hati dan lingkungan sudah kondusif untuk melanjutkan cerita Ela dan Dipta yaa. Anyway, jangan lupa cek socmed author untuk cek visual, moodboard dan playlist Ela dan Dipta. Siapa tau sambil dengerin musik dan baca novel ini imajinasinya semakin menggila yaa hahaThanks a lot for your kind understanding and patience. Love you all,Take care dan jaga kesehatan yaa
“Kok pesanan kamu lebih enak, sih, kelihatannya?” Ela melirik piring di hadapan Dipta dengan wajah memelas. Lihat bagaimana satu porsi steak filet mignon itu menggugah seleranya. Perutnya kini tiba-tiba keroncongan. Dia menatap kecut pesanannya–caesar salad dengan dressing on the side yang terlihat menyedihkan. “Mau?” Dipta menawari Ela sambil tersenyum kecil. Belum sempat Ela mencari alasan untuk menutupi rasa malunya, Dipta kembali berkomentar. “Tadi kenapa nggak pesan ini saja?” “Ya aku nggak tahu kalau ternyata pesananmu lebih menarik ketika disajikan,” jawab Ela malu-malu. “Mau tukeran aja?” tanya Dipta sebelum akhirnya pria itu berinisiatif menukar pesanan mereka. “Boleh?” Ela menatap Dipta penuh harap. Senyum pria itu terulas manis dan sukses membuat hati Ela menghangat seketika. Kini terhidang di depan Ela sepiring filet mignon yang wanginya begitu menggoda, dan di hadapan Dipta tersaji semangkuk caesar salad yang terlihat begitu–sehat, jika dibandingkan denga
Ela menatap sebuah kantor minimalis modern tiga lantai yang didapuk sebagai kantor agensi keamanan tempat Dipta bernaung. Noble Safeguard Partners. Begitu sebuah signage elegan yang terpampang di dinding depan sebelum mereka berdua masuk ke dalam dan disambut oleh resepsionis yang begitu akrab dengan Dipta.“Tunggu di sini sebentar ya, aku perlu urus beberapa hal administratif sebelum kita bertemu Mas Sultan, atasanku.” Dipta meremas lengan Ela sejenak sebelum meninggalkan Ela di ruang tunggu tamu. Mungkin sekitar lima belas menit kemudian Dipta datang bersama seorang pria yang Ela taksir berumur sekitar empat puluh tahun yang berjalan penuh kharisma. Sepertinya pria itu adalah atasan Dipta, the famous Sultan Soewarno. Kini Ela mengerti kenapa Dipta memberikan peringatan agar tidak dekat-dekat dengan atasannya yang bernama Sultan Soewarno. Sultan adalah pengejawantahan pria matang, tampan, mapan, menawan, dan berkharisma. Itu adalah kesan yang Ela dapatkan saat dia menjabat tanga
Trigger warning : Revenge Porn, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) Harap membaca dengan penuh kebijaksanaan dan pertimbangan pribadi Anda dengan baik. DIPTA “Gue dapat kabar dari anak-anak kalau hotel tetap bersikeras untuk meminta surat dari kepolisian untuk membuka CCTV.” Mas Sultan tiba-tiba masuk ke dalam ruangan tempat Ela dan Dipta duduk tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ponsel Mas Sultan baru saja dimatikan dan dia kembali menaruh benda kecil itu ke dalam saku celananya sebelum duduk di hadapan Ela dan menatap lekat gadis itu, sebelum akhirnya memindahkan pandangannya kepada Dipta. “Jadi untuk CCTV masih kita usahakan cari cara legal, jika nggak bisa… kita akan putar otak cari cara lainnya,” ujar Mas Sultan menambahkan. Dipta tahu implikasi dari ucapan atasannya tersebut. Ada jalur ilegal untuk menggali informasi lainnya. Sebuah cara yang timnya jarang gunakan, namun dalam keadaan ekstrim Mas Sultan mengizinkannya demi tercapainya tujuan atau misi mereka di pekerjaa