Bisa-bisa dia tertahan lama jika satpamnya keras kepala seperti ini.“Terima kasih, Pak. Tapi beneran kok. Ini cuma mau drop ke rumah teman saja. Dekat kok. Nggak perlu khawatir.”Mungkin karena mendengar jika Ela hanya pergi ke rumah temannya, akhirnya sang satpam mengendurkan kewaspadaannya dan sedikit lebih rileks.Pak Iqbal kembali terdistraksi ketika ada jawaban kalau sudah ada taksi yang melaju ke rumahnya setelah dipesan dari depan gerbang kompleks perumahan elit mereka. Tak lama, salah satu satpam datang tergopoh ke dalam pos menemui Pak Iqbal dan mengutarakan satu hal yang cukup menarik perhatian Ela.“Mas Iqbal, ini ada Mas Dipta di g
DIPTAMereka tiba di kompleks perumahan Dipta yang pada malam hari ini sudah hening dan tenang. Dalam kompleks small gated community perumahannya ini. Kecil namun penuh privasi. Jika di total, mungkin hanya ada sekitar 50 hunian di kompleks perumahannya yang lengkap dengan mushola, jogging track, pusat kebugaran, kolam renang komunal dan juga taman di dalam kompleks. Dipta mati-matian membeli rumah ini dengan cara kredit sejak sepuluh tahun lalu, bahkan ketika komplek perumahan ini belum terbangun sempurna dan masih dalam tahap peletakan batu pertama. Tapi sepertinya itu merupakan hal terbaik yang Dipta lakukan pada masa itu karena kini nilai investasi properti rumahnya sudah mencapai puluhan kali dari harga saat pertama kali Dipta membelinya. Dipta dengan telaten membawa koper besar milik Ela dan menyampirkan tas gym di bahunya serta menunggu Ela yang berjalan di belakangnya untuk bisa berdiri bersisian di sampingnya. “Rumahnya nggak sebesar rumahmu, memang. Tapi saya yakin cukup
“Iya, kamu orangnya tertutup dan irit bicara,” ujar Ela menanggapi. Ela yang kini berada di hadapannya sambil memegang cangkir teh yang hangat terlihat sedikit lebih rileks dibandingkan ketika Dipta menemuinya tadi di halaman depan rumahnya saat gadis itu berniat kabur dari rumahnya. Ah, benar juga. Rasanya Dipta harus berbincang mengenai rencana Ela ke depannya. Apalagi kini Dipta perlu terlibat secara penuh karena baik langsung maupun tak langsung, kini kehidupannya akan terus bersinggungan dan terus berjalan beriringan dengan hidup Ela. Tapi tunggu dulu, sampai mana pembicaraan mereka tadi? Rasanya Dipta mudah sekali terdistraksi oleh hal-hal yang berkaitan dengan Ela akhir-akhir ini. Fokusnya jadi mudah terbagi. Ah, ya! Tentang dirinya yang irit bicara. “Kalau bekerja ya memang harus fokus, makanya nggak perlu banyak bicara,” ucap Dipta. Jawabannya sedikit lebih lambat dari yang seharusnya. “Tapi ternyata kalau bicara berdua begini, malah kelihatan lebih cerewet,” kikik
Malam ini dilalui Dipta dan Ela dengan sedikit kikuk selepas gadis itu curhat dan menangis di dalam pelukannya. Suasana melankolis pun mereda semakin malam, karena pada akhirnya Ela berhasil mengendalikan diri dengan baik dan sikapnya kembali tenang.Tapi ada yang berbeda dari gadis itu, karena kini senyumnya terlihat lebih ringan dan bias sedih di matanya menghilang sedikit demi sedikit.Seperti yang Dipta yakini, waktu pasti akan membantu menyembuhkan luka yang dirasakan Ela.“Ah, sebenarnya saya juga mau bicara satu hal sebelum kita tidur,” ujar Dipta tiba-tiba.Mereka berdua kini melanjutkan minum teh di ruang keluarga dengan berita bisnis malam hari yang disiarkan di televisi sebagai latar suara yang melingkupi mereka saat ini.&nb
ELAEla bangun dalam keadaan disorientasi. Ketika membuka matanya, dia menatap langit-langit asing dan juga bantal dan ranjang yang rasanya berbeda dengan yang biasa dia pakai di rumah. Anehnya, Ela bisa mendengar suara derung motor dan mobil di luar secara samar-samar. Berbeda 180 derajat dengan kamarnya yang di-setting kedap suara demi kenyamanan maksimal saat Ela terlelap. Koper,cangkir teh, diskusi mendalam, Tangis dalam pelukan,Kepingan ingatan kembali menyeruak seiring peningkatan kesadarannya setelah dia bangun. Ela paham di mana dia sekarang. Dia berada di rumah Dipta, eks pengawal pribadinya. Dia duduk dan bersandar sejenak sembari stretching di pagi ini. Menikmati pagi yang lambat dengan menyusun rencana yang akan dilakukan pagi ini. Yang pertama, mencari tempat tinggal yang proper. Sepertinya apartemen adalah satu pilihan masuk akal saat ini. Yang kedua, membuka kembali portal linkedin-nya dan mulai aktif mencari lowongan pekerjaan agar dia bisa kembali bekerja.
Ela terdiam sejenak ketika mendengar pertanyaan lanjutan dari Dipta. ‘Kenapa kamu bertanya begitu?’Ela rasa pertanyaan Dipta bisa menciptakan satu wacana baru tentang hasil hubungan satu malam mereka. “Jujur aja, Mas Dipta… aku nggak pernah tahu kehidupan pribadi kamu, even I don’t know when is your birthday! Aku bahkan nggak tahu apa kamu sedang menjalin hubungan dengan orang lain–Oh gosh! Jangan bilang kamu punya pacar, Mas?” Ela menatap horor ke arah Dipta. Dia tak ingin dicap sebagai pelakor yang merebut laki-laki lain! Sudah cukup dia mendapatkan hinaan karena rumor dan fitnah tentang dirinya merebut Harsya dari Mbak Deshinta!Dipta hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil. “Nggak kok, saya nggak punya pacar–” jawab Dipta sebelum diselak oleh Ela yang sedang panik. “Istri juga nggak punya, kan?” bisik Ela penuh ketegangan. Dipta justru tersenyum semakin lebar menanggapi pertanyaan Ela. “Nggak, kok!” bantahnya sambil terkikik geli. “Pacar, istri, tunangan bena
“Masih butuh penjelasan lagi? Saya bisa membeberkan daftarnya sekarang kalau kamu mau, Ela.” Kedua manik mata Dipta menatapnya dengan intens. Pria itu sepertinya tahu jika Ela membutuhkan ruang dan jarak agar otaknya bisa berfungsi normal kembali. Ruang napasnya terasa semakin menyempit dan dia bernapas dengan berat. Dipta tak berkata apapun, dan dia hanya menaikkan sedikit alisnya saat mendapati Ela mundur beberapa langkah. The tension was high! Ela tak tahu kalau mereka bisa menciptakan suasana seperti ini hanya dari pembicaraan spontan di pagi hari ketika ingin sarapan. “Nggak, udah cukup, Mas.” Ela mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia tak tahu apa yang akan terjadi jika dia melanjutkan diskusi dengan tensi tinggi seperti ini. Dipta pun sepertinya menyadarinya, dan dia mengerutkan dahinya dan menghembuskan napas perlahan. “Ayo kita duduk dulu, sepertinya ini bukan pembicaraan yang bisa diselesaikan dengan kita berdiri seperti ini.” Dipta menunjuk kursi dengan gestur ke
DIPTASepertinya diskusi yang mereka lakukan pagi hari ini membawa tensi baru dalam hubungan mereka. Dipta tahu dia seharusnya lebih berhati-hati lagi dalam bertindak dan bersikap di hadapan Ela.Tapi dia menganggap jika apa yang dilakukannya kini seperti menarik plester luka secara cepat dari luka dalam yang dirasakan Ela saat ini. Supaya luka yang dialami Ela tak akan membusuk jika didiamkan terlalu lama.Dipta pun merasa seperti memiliki kewajiban moral untuk menuntun arah hubungan mereka menuju sesuatu yang lebih baik lagi dibanding dengan hubungan Ela yang telah kandas sebelumnya secara tiba-tiba, dengan cara yang cukup menyakitkan pula!“Bicaramu cukup menyakitkan, Mas. Aku nggak menyangka ternyata kamu begitu blak-blakan dalam menunjukkan apa
Kemarahan yang tak dapat Dipta tahan akhirnya meledak juga tatkala dirinya mendapati keadaan Ela di dalam ruang meeting bersama Hakim dan Dhanu. Hakim dengan santai memperhatikan Dhanu dan Ela yang bertengkar hebat ketika Dipta dan kedua rekannya menjejakkan kaki di dalam ruangan tersebut. Tanpa basa-basi, Dipta langsung menghambur menghampiri Ela. Prioritas utamanya, untuk memastikan istri tercintanya tak kurang satu apapun. Rambut Ela berantakan, lengannya yang halus berubah menjadi kemerahan. Sontak semuanya membuat Dipta gelap mata dan dia paham siapa yang menyebabkan keadaan Ela seperti sekarang. Dhanu, manusia brengsek yang terguling memegang selangkangannya sambil mencicit kesakitan seperti hama tikus. Tanpa pikir panjang, Dipta menarik kerah baju Dhanu dan mulai menghajarnya. Kegeramannya tak bisa ditahan-tahan lagi, dan Dhanu memang layak mendapatkan bogem mentah setelah semua hal gila yang dia lakukan kepada Ela. Even killing him in one go was still not enough for Dipta
Pagi hari dirinya dan Ela berpisah tujuan, sang istri ke galeri memulai kegiatannya dan Dipta berkumpul bersama Mas Sultan untuk pergi ke basecamp yang disewa Reza demi mengecek hasil buzzing mereka semalam. Turned out it went exceptionally well. Apalagi ketika muncul beberapa bukti tentang betapa bejatnya seorang Dhanu. Pria itu menggunakan kekuasaan ayahnya dengan serampangan, dan betapa mudah mengangkangi hukum. Terutama ketika narasi pria itu pernah mabuk sambil membawa mobil dan menabrak seseorang hingga meninggal dunia. Kasusnya sempat ramai beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya hilang terkubur begitu saja tanpa bekas. Tentu karena kekuasaan seorang Rahmat Trihadi yang berhasil membungkam semuanya dan membersihkan informasi tersebut, ditambah lagi Dhanu diungsikan ke luar negeri dengan dalih bersekolah di luar. Ketika berita lama itu kembali muncul ke permukaan, perbincangan dunia maya lambat laun beralih pada kapabilitas Rahmat Trihadi dalam bursa pemilihan presiden. Tagar k
Sejak kemarin malam, Dipta bersama Mas Sultan, Gala dan juga Reza–ketua tim elit Alfa yang dibentuk oleh Nero sibuk mengunjungi satu gedung perkantoran kecil dan tak mencolok yang rupanya dipakai sebagai salah satu basecamp kelompok buzzer yang berafiliasi dengan tim Alfa untuk operasi menjatuhkan reputasi Dhanu Trihadi. Suatu hal baru bagi Dipta berkecimpung di dunia abu-abu seperti ini. Namun, Dipta percaya kepada Mas Sultan dan Nero yang akan membantunya untuk melepaskan ikatan dirinya dengan Rustam serta memastikan keadilan untuk istrinya. Tentu saja buzzer yang dipakai oleh tim Reza adalah tim kualitas terbaik yang dibantu dengan teknologi mutakhir artificial intelligence dengan data set machine learning yang mumpuni. Jadi mereka tak perlu banyak orang dalam menggerakkan buzzer di dunia maya, karena akun-akun ternakan tersebut merupakan bot dengan kemampuan berbahasa yang lebih natural. Sehingga semua cuitan dan serangan online yang dilancarkan oleh tim buzzer ini berkualitas se
Ela ragu bagaimana dia harus bersikap di hadapan Hakim dan Dhanu sekarang untuk membalas ancaman dan juga ucapan mereka yang tak Ela mengerti satu pun. Yang bisa Ela tanggapi hanyalah tentang video privat dirinya dan Dipta yang sialnya… mungkin sudah jatuh ke tangan Hakim dan Dhanu. Badannya seketika menggigil. Ela merasa ditelanjangi dan dipermalukan oleh kedua pria kurang ajar ini. “Kalian cuma bisa mengancam perempuan untuk menyelesaikan masalah seperti ini? You? All of the people?” Ela mengejek dan memprovokasi mereka. Sikapnya yang seperti ini semata dilakukan untuk melindungi diri agar tak diinjak-injak lebih dalam lagi. “Siapa sih konsultan politik kalian? They can’t even navigate and cool down the negative news?” tambalnya dengan nada dingin. Kali ini Hakim yang terlihat jengkel, dan Dhanu geram karena diskak oleh Ela. “How was it, sleeping with Dipta? Better than Dhanu?” Tapi Hakim justru membalas ucapan Ela dengan remark yang merendahkan martabatnya sebagai perempuan.
Baru saja Ela keluar dari galeri, dia sudah dihadang oleh dua orang pria yang tidak Ela kenali. “Ibu Elaina? Pak Hakim sudah menyiapkan mobil,” ujar seorang pria yang kini beralih pindah ke sebelah Ela. Satu orang lagi bergerak di belakang Ela. “Saya bawa mobil sendiri.” Dia mencoba menghindar dan memperlebar jarak dari keduanya. Tapi sayang, mereka sudah mengepungnya dan memaksanya untuk ikut ke dalam mobil. “Pergi atau saya teriak–” ancam Ela dengan sungguh-sungguh. Kedua pria itu saling menatap, berkomunikasi tanpa kata hingga salah seorang pria menganggukkan kepalanya. “Saya ikut dalam mobil Anda. Rekan saya akan mengikuti dari belakang.”Itu bukanlah balasan yang Ela ingin dengar. Tetap saja berbahaya baginya. “Nggak bisa!” tolaknya dengan keras. “Jangan mempersulit, Bu. Kami tidak akan melukai Anda. Kami hanya butuh mengantar Anda sesuai tujuan. Lebih cepat lebih baik. Pak Hakim berkata jangan main-main,” ancamnya yang membuat Ela semakin frustasi dan ketakutan. Mereka
“Ela, semua bahan press udah naik tayang ya di beberapa media? Dari komunitas lelang, charity dan donor sendiri gimana? Apa feedback dari mereka? Dan untuk komunitas dari luar negeri sudah beres di handle? Perwakilan mereka sudah ada LO masing-masing, kan?” Mbak Rengganis memberikan daftar panjang checklist hal-hal yang harus Ela persiapkan menjelang pembukaan art exhibition yang sudah semakin dekat. “Aman, Mbak. Kita udah sebar juga ke komunitas, artists, dan art influencer di beberapa media sosial seperti Tiktok, i*******m, vlogger dan blogger. All good, dan hype di media juga cukup oke kalau saya pantau,” jawab Ela untuk satu pertanyaan Mbak Rengganis. Rengganis mengangguk mendengar penjelasannya. “Lalu untuk badan amal, charity sudah cukup banyak yang RSVP, dan beberapa donor pun sudah RSVP untuk acara pembukaan. Mereka sudah siap dengan bidding lot beberapa karya yang akan dilepas untuk lelang,” lanjutnya sambil mengecek buku agendanya. Mengecek secara detail pertanyaan dari
ELA“Kamu mau sampai kapan tiduran terus, Sayang? Memang nggak pusing?” Suara bariton khas suaminya membuat Ela semakin nyaman bergelung di dalam selimutnya. “Hmm,” protesnya tanpa membuka matanya yang masih terasa berat. “Nanti kamu malam malah nggak bisa tidur, lho. Kacau semua jadwal tidurmu nanti. Terus nanti kamu malah nenggak espresso dan makin jadi itu GERD-nya! Ayo bangun dulu!” Kini Dipta tak hanya memintanya bangun. namun tangan lelaki itu sudah sibuk menjawil pipinya dan menggelitiki perutnya dengan leluasa. “Mas!” Suara protesnya semakin membesar.Susah payah Ela menepis tangan Dipta yang sudah mulai usil mengganggu kesenangan tidurnya pagi ini. Eh, ini masih pagi, bukan? Astaga, Ela masih begitu ngantuk! A little more sleep couldn’t hurt, ‘kan?Acara soiree semalam sukses membuatnya seperti zombie hidup hingga lepas tengah malam. Mereka berdua baru bisa kembali ke rumah hingga jam tiga dini hari. Bahkan Ela tak ingat apa yang dia lakukan setelah melepaskan sepatu yan
“Gue udah dapat lead tentang video itu. Setelah pengembangan investigasi dari informasi Grace Hariman, kita bisa tracing di mana mereka menyimpan file tersebut. Kemungkinan besar ada di kediaman Dhanu.” Nero bergumam. “Gue udah coba trace sisa-sisa file dari device Grace dan komplotannya. Sejauh ini memang tidak ada, tapi memang gue sejujurnya masih khawatir kalau gue melewatkan hal krusial,” ujar Mas Sultan menimpali. “Double confirm. Gue juga udah nyuruh anak buah gue–Reza, untuk mengecek kembali seluruh device Grace dan anak buahnya. Sudah bersih. Gue hampir yakin master file ada di tangan Dhanu.” Nero mengangguk setuju. Dipta menoleh ke arah Nero yang bersedekap. “Kita bagi tugas, gimana?” celetuk Nero tiba-tiba. Mas Sultan menaikkan sebelah alisnya. “Tell us, I am all ears.” “Tugas pertama adalah tarik master file dari Dhanu. By all means necessary. Bahkan sampai harus pakai jalan hacking, bribery, and well, you know–” Dipta mengangguk, mengerti ke mana arah pembicaraan Ner
“Lho? Sudah selesai rapatnya toh?” Dewi Sastrowilogo terperangah ketika melihat gerombolan pria yang berdiri di depan lift dengan beragam ekspresi yang tercipta di wajah mereka masing-masing. Raka yang kepalang kesal, Darius dan Nero yang getol ngecengin Raka, serta dirinya dan Mas Sultan yang kebingungan di tengah internal joke yang saling dilemparkan tiga serangkai ini. Mereka berlima memberikan jalan kepada tiga perempuan itu untuk keluar dari lift, dan menutup kembali pintu lift. Membatalkan rencana untuk turun demi berbincang dengan Bu Dewi dan rombongan kecilnya. “Mau ke mana kalian?” todong Bu Dewi. “Ke bawah, Tante. Mau ngerokok–” Darius menjawab sebelum berhenti ketika melihat istrinya melotot ke arahnya. “Err… cari angin di luar,” ralatnya buru-buru. “Temani kami saja, ini Ibu mau tunjukkan koleksi spesial Ibu kepada Amira dan Prajna, supaya mereka tahu beberapa pusaka dari Sastrowilogo,” tutur Bu Dewi yang membuat para lelaki mati kutu di tempat mereka berdiri. Amira