"Saya ada acara di luar kota, Eyang," jawab Azka. Ia mencoba tenang menghadapi sang eyang yang tampaknya ingin sekali memarahinya. "Tapi setidaknya kamu hubungi eyang, agar eyang bisa membatalkan acara makan malam dengan keluarga Sheila," kata sang eyang. Azka mengernyitkan dahi. Dari tadi sang eyang terus menyebut keluarga Sheila. Sebenarnya siapa mereka itu? "Keluarga Sheila yang mana, Eyang?" tanya Azka. Sang eyang pun mendengkus, seraya menatap sengit ke arah Azka. "Beberapa hari sebelum kamu pergi, eyang sempat bilang kan, kalau eyang akan memperkenalkan kamu dengan wanita yang menurut eyang cocok sebagai istri kamu? Makanya kalau eyang lagi ngomong, itu didengarkan!" Azka pun mencoba mengingat tentang pembicaraannya dengan sang eyang, sebelum akhirnya ia pergi ke Surabaya untuk menghadiri sebuah pesta rekan bisnisnya, hingga berakhir terjebak di kamar hotel yang sama dengan Zia. Sedikit mengingat, memang sang eyang ingin mengajaknya bertemu dengan seorang wanita yang katan
Azka merasa sedikit terkejut saat mendengar pernyataan dari sang eyang, yang ternyata eyangnya itu sudah memiliki rencana untuk menjodohkannya dengan Sheila. Ia saja tidak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan itu, tapi kini sang eyang justru menyuruh untuk menikah dengannya. Mungkin jika sang eyang membicarakan tentang hal ini jauh-jauh hari, bisa saja Azka akan mempertimbangkan tawaran dari sang eyang, lalu berusaha untuk mengenal Sheila lebih dulu. Namun, kini status Azka sudah menikah, meskipun baru pernikahan secara agama. Akan tetapi, Azka juga tidak bisa mengatakan pada sang eyang bahwa dirinya sudah menikah siri dengan Zia. Azka merasa dilema, bagaimana ia bisa menolak tawaran sang eyang itu, tanpa memberitahu alasan yang sebenarnya."Azka asal kamu tau, Sheila itu perempuan yang baik, cantik, dan pandai. Kamu nanti pasti akan mudah jatuh cinta padanya," ujar sang eyang."Kalau saya bilang, saya sudah punya pilihan sendiri, apa Eyang bisa terima?" tanya Azka dengan nada suar
"Bagaimana kalau aku panggil Anda dengan sebutan ... Mas Azka?" tanya Zia. Azka terdiam. Sebenarnya ia sedikit merasa geli jika dipanggil dengan sebutan 'mas'. 'Mas Azka'? Yang benar saja! Tidak ada yang aneh ataupun salah sebenarnya dengan panggilan 'mas Azka'. Namun bagi Azka, panggilan 'mas' dari Zia seakan-akan seperti mereka berdua adalah sepasang suami istri yang saling menyayangi, padahal kenyataannya tidak. "Maaf, tapi saya merasa tidak nyaman jika kamu memanggil saya dengan sebutan 'mas'," ujar Azka.Zia menatap Azka heran. Dipanggil 'tuan' tidak mau, sekarang dipanggil 'mas' pun katanya tidak nyaman. Lalu maunya dipanggil apa suami sirinya ini? Menghela napas, Zia mengalihkan pandangannya dari Azka yang sedari tadi fokus menyetir. Andai Azka tidak berbuat baik kepadanya, ingin rasanya kini Zia memaki suaminya itu. "Dipanggil 'tuan' nggak mau, dipanggil 'mas' juga nggak mau. Anda maunya dipanggil apa?" Akhirnya Zia menumpahkan isi pikirannya. Ia sudah tidak kuat lagi men
"Saya tidak tahu pasti, Zia, tapi akan saya usahakan secepat mungkin bisa membawa kamu ke tempat yang nyaman untuk tinggal," ucap Azka. Dalam hati, ia sedikit merasa bersalah karena sampai saat ini belum juga menemukan tempat yang pas untuk ditinggali oleh istri sirinya itu. Zia mengangguk mengerti. Ia pun tidak mungkin bisa untuk menuntut Azka, meminta ini, dan itu. Kebaikan laki-laki itu padanya saja sudah termasuk keberkahan. "Maaf, Zia," lanjut Azka setelah melihat ada kekecewaan di wajah Zia. "Nggak perlu meminta maaf, Mas, karena Anda nggak salah. Aku akan coba untuk lebih mengerti," balas Zia. Setelahnya, ia pun memberikan senyuman manis pada Azka, yang sekilas membuat Azka terpana. =====Di ruang kerjanya, Azka merenung. Ia teringat pertanyaan Zia tadi. Jika Zia sudah menanyakan kapan akan dirinya akan keluar dari hotel, itu berarti Zia sudah tidak nyaman berada di sana bukan? Azka menghela napas, dan memejamkan mata cukup lama, mencoba mencari solusi yang tepat untuk pe
Pada akhirnya, Zia pun setuju saja dibawa Azka pindah yang katanya akan menempati sebuah penthouse. Suami sirinya itu terlalu tidak percaya bahwa Zia bisa hidup sederhana di sebuah kontrakan kecil. Mobil Azka berhenti di sebuah bangunan megah pencakar langit. Turun dari mobil, kemudian Azka membantu Zia menurunkan koper dari bagasi. Dari apa yang Zia lihat, ia dapat menyimpulkan bahwa tempat yang akan ditempatinya nanti pasti akan sangat bagus, mengingat dari depan bangunan ini saja sudah sangat menarik perhatian. Selain bagus, bangunan ini juga terkesan mewah. Zia berpikir, tidakkah Azka merasa sayang, telah menggelontorkan uang yang tidak sedikit untuk membeli tempat tinggal untuk istri sirinya ini? "Ikut saya, penthouse-nya ada di puncak gedung ini," ucap Azka seraya berjalan sembari membawa koper Zia. Zia memutarkan bola matanya, lalu mengikuti Azka. 'Semua orang juga tau kali, kalau di mana-mana penthouse letaknya di puncak gedung,' batin Zia. =====Pintu lift pun terbuka,
"Aku pengen Anda nginep di sini malam ini," lanjut Zia sebelum Azka menjawab. Sebelah alis Azka terangkat, seraya menatap Zia. Ada sedikit pengharapan di wajah istri sirinya yang cantik itu, membuat Azka menjadi tidak tega. Ditatap cukup lama oleh Azka membuat Zia salah tingkah. Ia pun berdehem, kemudian berkata, "mmm ... kalau Anda nggak mau, ya nggak papa." Ada raut kekecewaan yang dapat Azka tangkap dari wajah Zia. Padahal sedari tadi Azka belum memberi jawaban, tapi istri sirinya itu justru terlalu cepat menyimpulkan, dan mungkin jadi kecewa sendiri. "Saya akan menginap di sini malam ini. Mungkin saja kamu takut di tempat baru," putus Azka. "Eh? Nggak! Mmm ... maksudnya, aku nggak takut kok, Mas. Aku bukan penakut," kata Zia. "Kalau Anda keberatan untuk menginap, jangan dipaksakan, Mas." "Saya tidak keberatan kok, dan saya memang berniat untuk menginap," balas Azka. Zia tersenyum tipis. Ada sedikit rasa bahagia di hatinya. Setidaknya untuk malam ini ia tidak sendirian di te
Zia tadi sempat mendengar Azka bicara dengan menyebut kata eyang, dan kantor, sehingga Zia dapat menyimpulkan bahwa Azka tengah berbohong pada eyangnya. "Kamu berani?" Azka memastikan, dan Zia langsung mengangguk. "Iya, tentu aku berani. Udah dibilang kan, aku bukan penakut," balas Zia. Meski sebenarnya Zia sangat ingin sekali Azka menginap, tapi Zia tidak mau egois. Zia tidak mau hanya karena dirinya, hubungan Azka, dan sang eyang jadi tidak baik. "Baiklah, kalau begitu, saya akan pulang. Kamu hati-hati di sini, dan jika ada apa-apa, langsung hubungi saya," ujar Azka, yang diangguki oleh Zia. Zia mengantar Azka sampai ke depan pintu, dan menunggu Azka naik lift. Setelahnya, Zia pun menutup pintu penthouse, dan menguncinya dari dalam dengan sistem kunci elektronik. Kini rasa sepi mulai melanda. Zia sudah tidak bersemangat lagi seperti tadi. Keinginannya agar Azka menginap, menemaninya ternyata pupus. Sekali lagi Zia harus sadar posisinya yang hanya sebagai istri siri. Istri yang
"Mas, bukannya kamu semalam pulang ke rumah eyang, kok tadi pagi udah di sini?" tanya Zia pada Azka yang kini tengah menyeruput kopi. Azka meletakkan cangkir kopinya ke meja, lalu menatap Zia. "Tengah malam saya ke sini lagi." Zia mengangguk. Sebenarnya ingin bertanya lagi, tapi takut Azka jadi tidak nyaman. Bangkit dari duduknya, Azka mendekat ke arah Zia, kemudian menyodorkan sebuah kartu kredit, dan kartu debit. "Untuk kamu." "Buat apa, Mas? Aku udah punya kok." Zia tak lantas menerima kartu kredit itu, karena menurutnya tidak perlu. "Sebagai suami, sudah seharusnya saya memberi nafkah bukan? Maka uang belanja kamu ada di sini. Terimalah," ucap Azka. Tidak mau berdebat, akhirnya Zia menerima dua kartu itu. Mau digunakan atau tidak, yang penting ia sudah menerimanya. Zia hanya ingin menghargai Azka saja. "Baiklah, terima kasih, Mas," ujar Zia seraya tersenyum. "Saya akan ke kantor. Kalau kamu bosan di sini, kamu bisa jalan-jalan. Mau saya sewakan tour guide?" tawar Azka. Zi
Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan Azka, dan Zia digelar. Sang eyang benar-benar merealisasikan ucapannya waktu itu di rumah ayahnya Zia. Resepsi itu diadakan di salah satu hotel mewah di Yogyakarta milik eyangnya Azka. Zia sudah berhasil meyakinkan Zoni, bahwa ia bahagia menjadi istri Azka, bahagia dengan pernikahan mereka. Mendengar itu, Zoni pun tidak lagi menyuruh Zia, dan Azka untuk bercerai. Resepsi pernikahan itu digelar cukup megah dengan mengundang para rekan bisnis eyangnya Azka, juga relasi, dan teman-teman Azka. Zia juga mengundang beberapa temannya. Tak lupa juga semua karyawan di perusahaan tempat Azka memimpin sebagai CEO pun diundang. Hal itu membuat mereka tak percaya, bahwa Zia yang selama ini mereka kenal sebagai karyawan biasa, ternyata istri dari CEO mereka. "Kamu bener-bener ya, Zia. Tinggal bilang aja kalau kamu istrinya pak CEO, eh malah nyamar jadi karyawan biasa. Mana kerjanya satu divisi lagi sama aku," oceh Lisa. Ia kini tengah menemani Zia yang se
"Cerai? Memangnya papa sama mama ada masalah apa, Bi?" tanya Zia. "Panjang, Non, ceritanya. Lebih baik masuk dulu ke rumah," kata Sri, lalu beralih menoleh ke arah Azka, dan eyangnya yang sudah berdiri di belakang Zia. "Mari masuk, Den Azka sama Nyonya." Azka, dan eyangnya pun mengikuti Zia masuk ke rumah. Rumah yang kini hanya ditempati oleh ayahnya Zia, dan beberapa asisten rumah tangga serta para pengawal. Zia mempersilakan Azka, dan sang eyang untuk duduk di ruang tamu. Ia menyuruh Sri untuk membuatkan minuman, sementara ia sendiri pergi ke ruang kerja sang ayah. Tiba di depan pintu ruang kerja ayahnya, Zia mengetuk pintu. Tak lama kemudian terdengar perintah untuk masuk. Membuka pintu dengan pelan, Zia mencoba untuk menata hatinya. "Selamat siang, Pa," sapa Zia seraya tersenyum manis. Laki-laki paruh baya yang tengah mengenakan kacamata baca itu pun sontak terkejut dengan kedatangan Zia. Ia tak menyangka anak perempuannya ini akan pulang, setelah berbulan-bulan ikut suaminy
Meski pernikahannya dengan Azka sudah diketahui, dan mendapat restu dari eyangnya Azka, tapi Zia belum mau hubungannya itu diketahui orang-orang kantor. Ia sudah sepakat dengan Azka agar tetap menyembunyikan status mereka di kantor. Biarlah orang-orang kantor tahu setelah resepsi pernikahan mereka. Menjadi karyawan di kantor Azka pun cukup membuat Zia bahagia. Hari demi hari ia sudah mampu beradaptasi dengan baik, dan ia pun bekerja dengan rajin hingga membuat rekan-rekannya menyukainya. Sebenarnya ada beberapa pria di kantornya yang secara terang-terangan menyukai Zia, dan Zia tahu itu. Namun, Zia berusaha untuk memberi jarak dan secara halus menolak. Statusnya sudah menjadi istri, dan ia sudah mencintai suaminya. Tidak ada alasan baginya untuk memberi ruang di hati untuk laki-laki lain. Siang hari di kantor Azka, tiba-tiba Sheila datang dengan berjalan tergesa-gesa ke ruangan Azka. Wajah Sheila juga menampilkan raut kejengkelan. Melihat wanita yang akhir-akhir ini digosipkan den
"Eyang tadi ke sini, Mas," ucap Zia seraya membantu Azka melepaskan jasnya. "Oh ya? Pantas saja tadi sore eyang menelpon saya, dan menanyakan apakah kamu ada di rumah atau tidak," balas Azka. Zia mendengkus. "Kamu udah ngasih tau tentang pernikahan kita ke eyang, tapi kamu nggak cerita ke aku. Aku udah bertingkah bodoh tadi dengan pura-pura jadi pembantu kamu." Azka terkekeh. Lucu sekali mendengar nada suara merajuk dari istrinya itu. Ditambah lagi wajah Zia yang kesal ini terlihat semakin cantik saja. "Siapa suruh untuk terus berpura-pura? Saya bahkan tidak pernah menyuruh kamu untuk pura-pura jadi pembantu," kata Azka. "Iih, nyebelin!" Zia memukul-mukul lengan Azka. "Udah salah, bukannya minta maaf malah ngeledek." "Ya sudah, saya minta maaf. Selesai kan?" Azka mencubit gemas pipi Zia. "Sebenarnya aku pengen marah sama kamu, tapi kata pak ustadz yang aku denger ceramahnya di y**t***, nggak baik marah-marah sama suami. Jadi, terpaksa aku maafin kamu," ujar Zia yang entah menga
"Se-selamat sore," sapa Zia dengan gugup, dan tersenyum canggung. Ia tidak pernah menyangka bahwa eyangnya Azka akan berkunjung ke penthouse ini. Eyangnya Azka memindai Zia dari atas sampai bawah. Memang cantik, dan berpenampilan cukup berkelas. Rasanya ia juga pernah melihat istri Azka ini, tapi tidak ingat di mana. "Saya eyangnya Azka. Boleh saya masuk?" "Bo-boleh, Nyonya. Silakan." Dengan gemetar, Zia membukakan pintu lebih lebar agar eyangnya Azka itu bisa masuk. "Tapi tuan Azka belum pulang dari kantor. Mmm ... perkenalkan, saya ART di sini, Nyonya." Wanita lanjut usia itu menatap tidak percaya pada Zia. Bisa-bisanya istrinya Azka ini masih berpura-pura. Apakah Azka belum bercerita bahwa sang eyang sudah mengetahui pernikahan mereka? "Panggil 'eyang' saja," ucap sang eyang. Ia memasuki ruang tamu seraya memindai seisi ruangan itu. "Ba-baik, Eyang," balas Zia. Jantungnya masih berdetak kencang, entah apa tujuan eyangnya Azka datang kemari. "Silakan duduk, Eyang. Mau saya bua
Hari demi hari telah terlewati. Kini hubungan Azka, dan Zia menjadi semakin dekat. Mereka menjalani kehidupan pernikahan siri itu dengan diselimuti kebahagiaan. Zia kini juga sudah pandai memasak. Setiap pulang kerja, ia akan memasak, dan menyiapkan makanan untuk Azka. Ia juga rajin membersihkan penthouse, meski kadang masih memanggil jasa kebersihan, jika merasa sangat lelah, dan tidak sanggup untuk beberes. Azka sebenarnya sering menawarkan untuk menyewa asisten rumah tangga, tapi Zia selalu menolak. Zia beralasan bahwa ia tak ingin ada orang asing, yang mungkin saja akan mengganggu jika mereka tengah berduaan. Sebagai istri yang baik, Zia selalu memberi perhatian pada Azka. Hubungan mereka juga semakin panas seiring Azka yang sudah jatuh cinta pada Zia, meskipun belum menyatakannya. Setiap sehabis makan malam, Zia akan bermanja-manja pada Azka, menghabiskan waktu untuk saling bercerita, dan tertawa bersama ketika dirasa ada yang lucu. Kehangatan seperti inilah yang sangat Azka
"Selamat pagi," sapa Zia. Orang itu membalikkan badan, dan dibuat terkejut melihat Zia. "Kamu siapa?" Zia terpaku di tempatnya, setelah tahu siapa yang datang. Orang itu adalah ... Sheila. Untuk apa wanita yang akan dijodohkan dengan suaminya itu datang ke sini? Zia bertanya-tanya dalam hati. "Halo, permisi," ucap Sheila, membuat Zia tersadar. "Eh iya. Cari siapa ya, Mbak?" "Saya cari kak Azka. Kamu siapa, kok bisa di penthouse kak Azka?" Sheila heran dengan adanya perempuan asing di kediaman laki-laki yang ia yakin akan menjadi calon suaminya. Selain itu, Sheila juga merasa pernah melihat perempuan ini, tapi lupa di mana. "Mmm ... saya ... saya ...." Zia tidak tahu harus menjawab apa. Tak mungkin juga memberitahu bahwa ia adalah istri Azka, di saat semua orang tidak ada yang tahu tentang pernikahan mereka. "Siapa yang datang, Zia?" Azka tiba-tiba menyusul. Laki-laki itu kemudian berdiri di sisi Zia, dan cukup terkejut melihat siapa yang berkunjung. Dari mana Sheila bisa tahu
"Zia, bangun! Sudah subuh, ayo sholat." Azka mengguncang-guncang tubuh Zia. "Nanti," jawab Zia dengan suara serak, dan mata yang masih tertutup. Tubuhnya merasa lelah, dan sakit karena kejadian semalam. Sementara itu, Azka tersenyum dengan reaksi Zia yang menurutnya sangat menggemaskan. Terlebih saat Azka kembali mengingat apa yang sudah ia, dan Zia lakukan sebelum tidur. Ya, setelah menggoda Zia di depan televisi tadi malam, Azka lalu membopong istrinya itu ke kamar, lalu mereka menghabiskan malam-malam panjang di ranjang yang sama. Kamar ini adalah saksi percintaan pertama mereka yang cukup panas. "Baiklah, kalau begitu, saya akan mandi dulu. Setelah selesai, giliran kamu yang mandi," ucap Azka. "Hmm." Hanya itu balasan Zia, tapi mampu membuat Azka kembali tersenyum. Suami Zia itu kemudian menuju ke kamar mandi yang berada di dalam kamar mereka untuk melakukan mandi wajib sebelum melaksanakan sholat subuh. Sedangkan Zia, setelah ia mendengar derap langkah Azka yang semakin
Zia tak pernah menyangka sebelumnya bahwa CEO di tempatnya bekerja adalah Azka, suaminya sendiri. Entah permainan takdir seperti apa lagi yang harus ia jalani. "Woi, bengong aja kamu ini semenjak pak CEO keluar dari divisi kita. Kenapa? Naksir ya sama pak CEO?" ledek Lisa seraya menepuk pundak Zia. Zia menoleh ke arah Lisa, lalu berkata. "Kamu tau di mana ruangan pak CEO, Lis?" "Weh, selow, Zia, selow! Naksir sama pak CEO sih boleh-boleh aja, tapi jangan langsung ugal-ugalan gini dong, pake nanyain ruangannya segala," balas Lisa. "Mau apa emang ke sana? Karyawan biasa kayak kita, jarang dapat akses bisa ke ruangan CEO." "Aku nggak naksir dia, Lis," elak Zia, sedikit berdusta, meski sebenarnya ia sudah naksir Azka bahkan setelah tahu dirinya dijebak di kamar hotel yang sama dengan laki-laki itu. "Ada yang mau aku sampein ke dia. Ini penting." "Nyampein soal apa? Kamu udah pernah kenal sebelumnya sama pak CEO?" Lisa menatap Zia penuh selidik. Zia buru-buru menaruh jari telunjuknya