"Mas, bukannya kamu semalam pulang ke rumah eyang, kok tadi pagi udah di sini?" tanya Zia pada Azka yang kini tengah menyeruput kopi. Azka meletakkan cangkir kopinya ke meja, lalu menatap Zia. "Tengah malam saya ke sini lagi." Zia mengangguk. Sebenarnya ingin bertanya lagi, tapi takut Azka jadi tidak nyaman. Bangkit dari duduknya, Azka mendekat ke arah Zia, kemudian menyodorkan sebuah kartu kredit, dan kartu debit. "Untuk kamu." "Buat apa, Mas? Aku udah punya kok." Zia tak lantas menerima kartu kredit itu, karena menurutnya tidak perlu. "Sebagai suami, sudah seharusnya saya memberi nafkah bukan? Maka uang belanja kamu ada di sini. Terimalah," ucap Azka. Tidak mau berdebat, akhirnya Zia menerima dua kartu itu. Mau digunakan atau tidak, yang penting ia sudah menerimanya. Zia hanya ingin menghargai Azka saja. "Baiklah, terima kasih, Mas," ujar Zia seraya tersenyum. "Saya akan ke kantor. Kalau kamu bosan di sini, kamu bisa jalan-jalan. Mau saya sewakan tour guide?" tawar Azka. Zi
Sekuat-kuatnya Zia menahan agar tidak menangis, nyatanya ia tetap kalah. Dalam perjalanan pulang ke penthouse, dengan diantar oleh taksi, Zia terisak. Dadanya terasa sakit dengan apa yang ia lihat tadi. Ini bukan masalah sudah jatuh cinta atau belum pada Azka, akan tetapi tentang statusnya, tentang jalan hidupnya yang jadi tidak jelas seperti ini. Tidak pernah terbayangkan sama sekali, Zia yang dulunya hidup serba berkecukupan dengan limpahan kemewahan dari sang ayah, dan selalu diprioritaskan, kini tiba-tiba berstatus sebagai istri siri yang disembunyikan dari keluarga suami. Ini semua gara-gara rencana busuk ibu dan saudara tirinya. Zia tiba-tiba teringat dengan dua perempuan ular itu. Semenjak kehadiran Renata, dan Gea, hidup Zia selalu ada saja masalah. "Sudah sampai, Mbak," ucap sang supir taksi, membuat Zia sontak menghentikan isakannya, dan mengelap air matanya dengan tisu. Zia lantas melihat argo taksi, kemudian menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan pada supir taksi
"Kamu kenapa?" tanya Azka. Sungguh sikap Zia yang tiba-tiba ketus itu kini memenuhi isi otaknya. Zia tak menjawab pertanyaan Azka, ia justru memilih untuk meninggalkan ruang makan setelah makan malamnya selesai. Melihat Zia yang hanya diam saja, Azka tambah bingung. Sebenarnya ada apa dengan Zia? Atau mungkin, ia punya salah dengan istri sirinya itu? Azka mengikuti Zia yang kini berjalan ke arah kamar. Namun, saat di depan kamar, dan Azka hendak ikut masuk, pintu kamar segera Zia tutup, dan kunci. "Zia, buka pintunya, saya ingin bicara," ucap Azka. Masih berdiri di dekat pintu, Zia hanya memutar bola matanya. Ia masih dongkol dengan Azka. Tak mendapatkan respon apa-apa dari Zia, Azka pun menghela napas berat. Ia berbalik, lalu melangkah menuju sofa. Dua jam berlalu, dan kini sudah tengah malam, Zia masih belum bisa memejamkan mata. Ia memang tidak bisa tidur jika perutnya kekenyangan. Rasa kesalnya pada Azka tadi, sengaja ia luapkan pada makanan, sehingga tadi Zia memesan nasi
Suara ayam berkokok membangunkan Zia dari tidur lelapnya. Perlahan ia membuka kedua matanya, dan yang pertama kali terlihat adalah langit-langit kamar yang ia tempati. Sadar bahwa ia berada di kamar sebuah penthouse milik Azka, seketika membuat Zia teringat pertengkarannya dengan Azka semalam. Itu adalah pertengkaran pertama dalam pernikahan mereka, dan Zia merasa menyesal atas sikapnya tadi malam. Seharusnya ia tidak marah pada Azka, apalagi sampai merajuk, dan membuat Azka menyangka bahwa ia cemburu. Memang Zia mengakui bahwa ia cemburu melihat Azka makan malam bersama perempuan cantik, tapi Zia juga tidak mau jika Azka sampai mengetahui. "Sepertinya aku harus minta maaf," gumam Zia. Ia berencana untuk memperbaiki hubungannya dengan Azka. Zia meregang-regangkan badannya, kemudian ia menoleh pada jam digital yang terpasang di dinding kamarnya. Seketika Zia melotot, melihat jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi. "Jam sembilan? Astaga!" Sontak Zia bangun dari posisinya berbarin
"Totalnya satu juta tujuh ratus ribu, Kak," ucap seorang kasir perempuan yang baru saja selesai menghitung barang belanjaan Zia. Zia pun mengangguk, lalu mengeluarkan dompet dari tas selempang yang ia bawa. "Mau bayar pakai cash, kartu, atau qris, Kak?" Kasir itu kembali bertanya. "Pakai kartu," jawab Zia sembari membuka dompet bermerk miliknya. Dalam dompet itu terdapat lima kartu kredit. Tiga di antaranya adalah asli miliknya, sementara dua yang lainnya adalah milik Azka yang diberikan kepadanya beberapa hari yang lalu. Istri siri Azka itu kemudian mengambil salah satu kartu kredit miliknya. Ia tak berminat untuk memakai kartu kredit Azka, karena merasa itu tidak perlu. Zia kemudian menyerahkan kartu kreditnya kepada kasir untuk menyelesaikan proses pembayaran. Tak berapa lama, kasir itu mengembalikan kartu kredit tersebut. "Kenapa, Mbak?" tanya Zia heran. "Kartu ini tidak bisa digunakan, Kak," jawab sang kasir. "Coba yang ini." Zia menyerahkan kartu kredit miliknya yang lai
Di walk in closet, Zia mencoba beberapa pakaian yang akan dikenakannya malam ini. Ia sudah berhasil membujuk Azka untuk pulang, maka kali ini ia akan berusaha berpenampilan terbaik demi menyambut suaminya itu. "Huh! Baju cuma ini ini aja," gerutu Zia, setelah merasa tidak ada yang cocok untuk dipakai malam ini. Sebenarnya Zia punya banyak pakaian. Mulai dari pakaian santai sehari-hari di rumah, pakaian kerja, sampai gaun pesta pun ia punya yang tentu saja semuanya bermerk, dan berharga mahal. Namun kini percuma, karena semua itu tidak ia bawa dari rumah sang ayah. Kepergiannya dari rumah setelah akad nikah waktu itu cukup mendadak, sehingga Zia tidak punya banyak waktu untuk membawa banyak pakaian. Setelah beberapa hari tinggal di kota ini pun ia belum sempat berbelanja pakaian. Pakaian yang ia bawa dari rumah ayahnya itu kebanyakan adalah pakaian formal untuk kerja, selebihnya baju santai. Menurut Zia, itu semua tidak cocok dipakai untuk makan malam bersama Azka. Membuka kopernya,
Azka terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya dari mulut Zia. Memaksanya untuk tetap tinggal, dan tak malu menawarkan hubungan suami istri. Menatap Zia dengan ekspresi bingung, Azka merasa harus segera menemukan kata-kata untuk menjawab perkataan istri sirinya tadi. "Ayo, Mas, kalau kamu mau, mari kita lakukan sekarang," ucap Zia, sebelum Azka sempat menjawab. Kini tangan Zia sudah menyentuh lengan Azka. Sudah tidak ada lagi rasa canggung ataupun merasa tidak enak. Di benak Zia sekarang adalah mempertahankan Azka agar tidak pulang ke rumah sang eyang, dan berakhir bertemu dengan perempuan bernama Sheila. Zia terlalu tidak rela. Suami siri Zia itu mengerjap. Ucapan Zia kembali membuatnya terkejut. Mengapa istrinya jadi blak-blakan sekarang? "Zia, apa yang kamu katakan?" Azka bertanya dengan hati-hati, mencoba meredakan ketegangan di sekitarnya, dan Zia. "Apa masih kurang jelas, Mas?" kata Zia dengan agak kesal. "Aku nggak bolehin kamu pergi malam ini. Dan aku juga menawarkan
Setelah makan malam, Azka dan Sheila duduk di ruang tamu untuk berbincang. Tentu saja itu pun karena disuruh oleh sang eyang. "Bagaimana masakanku tadi, Kak Azka? Suka nggak?" tanya Sheila sambil tersenyum ramah. Ia duduk di sofa bersebelahan dengan Azka. "Suka. Rasanya sangat enak. Terima kasih telah repot-repot memasaknya, Sheila," jawab Azka. Sheila tampak senang mendengar jawaban Azka. Ia kemudian mulai bercerita tentang bagaimana selama ia mempersiapkan makan malam itu bersama sang eyang. Sebaliknya, Azka justru tak fokus mendengar celotehan Sheila. Hati, dan pikirannya tertuju pada Zia, terlebih mengingat tingkah, dan ucapan Zia tadi yang mengajaknya berhubungan suami istri. "Aku harap kita bisa lebih dekat setelah ini, Kak Azka," ucap Sheila seraya menyentuh lengan Azka, yang sontak membuat Azka terkejut. Azka menolak sentuhan itu, dan sadar dari lamunannya. "Ya." Hanya itu yang keluar dari mulut Azka, tetapi Sheila justru kembali tersenyum senang. Sheila kini mulai bert
Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan Azka, dan Zia digelar. Sang eyang benar-benar merealisasikan ucapannya waktu itu di rumah ayahnya Zia. Resepsi itu diadakan di salah satu hotel mewah di Yogyakarta milik eyangnya Azka. Zia sudah berhasil meyakinkan Zoni, bahwa ia bahagia menjadi istri Azka, bahagia dengan pernikahan mereka. Mendengar itu, Zoni pun tidak lagi menyuruh Zia, dan Azka untuk bercerai. Resepsi pernikahan itu digelar cukup megah dengan mengundang para rekan bisnis eyangnya Azka, juga relasi, dan teman-teman Azka. Zia juga mengundang beberapa temannya. Tak lupa juga semua karyawan di perusahaan tempat Azka memimpin sebagai CEO pun diundang. Hal itu membuat mereka tak percaya, bahwa Zia yang selama ini mereka kenal sebagai karyawan biasa, ternyata istri dari CEO mereka. "Kamu bener-bener ya, Zia. Tinggal bilang aja kalau kamu istrinya pak CEO, eh malah nyamar jadi karyawan biasa. Mana kerjanya satu divisi lagi sama aku," oceh Lisa. Ia kini tengah menemani Zia yang se
"Cerai? Memangnya papa sama mama ada masalah apa, Bi?" tanya Zia. "Panjang, Non, ceritanya. Lebih baik masuk dulu ke rumah," kata Sri, lalu beralih menoleh ke arah Azka, dan eyangnya yang sudah berdiri di belakang Zia. "Mari masuk, Den Azka sama Nyonya." Azka, dan eyangnya pun mengikuti Zia masuk ke rumah. Rumah yang kini hanya ditempati oleh ayahnya Zia, dan beberapa asisten rumah tangga serta para pengawal. Zia mempersilakan Azka, dan sang eyang untuk duduk di ruang tamu. Ia menyuruh Sri untuk membuatkan minuman, sementara ia sendiri pergi ke ruang kerja sang ayah. Tiba di depan pintu ruang kerja ayahnya, Zia mengetuk pintu. Tak lama kemudian terdengar perintah untuk masuk. Membuka pintu dengan pelan, Zia mencoba untuk menata hatinya. "Selamat siang, Pa," sapa Zia seraya tersenyum manis. Laki-laki paruh baya yang tengah mengenakan kacamata baca itu pun sontak terkejut dengan kedatangan Zia. Ia tak menyangka anak perempuannya ini akan pulang, setelah berbulan-bulan ikut suaminy
Meski pernikahannya dengan Azka sudah diketahui, dan mendapat restu dari eyangnya Azka, tapi Zia belum mau hubungannya itu diketahui orang-orang kantor. Ia sudah sepakat dengan Azka agar tetap menyembunyikan status mereka di kantor. Biarlah orang-orang kantor tahu setelah resepsi pernikahan mereka. Menjadi karyawan di kantor Azka pun cukup membuat Zia bahagia. Hari demi hari ia sudah mampu beradaptasi dengan baik, dan ia pun bekerja dengan rajin hingga membuat rekan-rekannya menyukainya. Sebenarnya ada beberapa pria di kantornya yang secara terang-terangan menyukai Zia, dan Zia tahu itu. Namun, Zia berusaha untuk memberi jarak dan secara halus menolak. Statusnya sudah menjadi istri, dan ia sudah mencintai suaminya. Tidak ada alasan baginya untuk memberi ruang di hati untuk laki-laki lain. Siang hari di kantor Azka, tiba-tiba Sheila datang dengan berjalan tergesa-gesa ke ruangan Azka. Wajah Sheila juga menampilkan raut kejengkelan. Melihat wanita yang akhir-akhir ini digosipkan den
"Eyang tadi ke sini, Mas," ucap Zia seraya membantu Azka melepaskan jasnya. "Oh ya? Pantas saja tadi sore eyang menelpon saya, dan menanyakan apakah kamu ada di rumah atau tidak," balas Azka. Zia mendengkus. "Kamu udah ngasih tau tentang pernikahan kita ke eyang, tapi kamu nggak cerita ke aku. Aku udah bertingkah bodoh tadi dengan pura-pura jadi pembantu kamu." Azka terkekeh. Lucu sekali mendengar nada suara merajuk dari istrinya itu. Ditambah lagi wajah Zia yang kesal ini terlihat semakin cantik saja. "Siapa suruh untuk terus berpura-pura? Saya bahkan tidak pernah menyuruh kamu untuk pura-pura jadi pembantu," kata Azka. "Iih, nyebelin!" Zia memukul-mukul lengan Azka. "Udah salah, bukannya minta maaf malah ngeledek." "Ya sudah, saya minta maaf. Selesai kan?" Azka mencubit gemas pipi Zia. "Sebenarnya aku pengen marah sama kamu, tapi kata pak ustadz yang aku denger ceramahnya di y**t***, nggak baik marah-marah sama suami. Jadi, terpaksa aku maafin kamu," ujar Zia yang entah menga
"Se-selamat sore," sapa Zia dengan gugup, dan tersenyum canggung. Ia tidak pernah menyangka bahwa eyangnya Azka akan berkunjung ke penthouse ini. Eyangnya Azka memindai Zia dari atas sampai bawah. Memang cantik, dan berpenampilan cukup berkelas. Rasanya ia juga pernah melihat istri Azka ini, tapi tidak ingat di mana. "Saya eyangnya Azka. Boleh saya masuk?" "Bo-boleh, Nyonya. Silakan." Dengan gemetar, Zia membukakan pintu lebih lebar agar eyangnya Azka itu bisa masuk. "Tapi tuan Azka belum pulang dari kantor. Mmm ... perkenalkan, saya ART di sini, Nyonya." Wanita lanjut usia itu menatap tidak percaya pada Zia. Bisa-bisanya istrinya Azka ini masih berpura-pura. Apakah Azka belum bercerita bahwa sang eyang sudah mengetahui pernikahan mereka? "Panggil 'eyang' saja," ucap sang eyang. Ia memasuki ruang tamu seraya memindai seisi ruangan itu. "Ba-baik, Eyang," balas Zia. Jantungnya masih berdetak kencang, entah apa tujuan eyangnya Azka datang kemari. "Silakan duduk, Eyang. Mau saya bua
Hari demi hari telah terlewati. Kini hubungan Azka, dan Zia menjadi semakin dekat. Mereka menjalani kehidupan pernikahan siri itu dengan diselimuti kebahagiaan. Zia kini juga sudah pandai memasak. Setiap pulang kerja, ia akan memasak, dan menyiapkan makanan untuk Azka. Ia juga rajin membersihkan penthouse, meski kadang masih memanggil jasa kebersihan, jika merasa sangat lelah, dan tidak sanggup untuk beberes. Azka sebenarnya sering menawarkan untuk menyewa asisten rumah tangga, tapi Zia selalu menolak. Zia beralasan bahwa ia tak ingin ada orang asing, yang mungkin saja akan mengganggu jika mereka tengah berduaan. Sebagai istri yang baik, Zia selalu memberi perhatian pada Azka. Hubungan mereka juga semakin panas seiring Azka yang sudah jatuh cinta pada Zia, meskipun belum menyatakannya. Setiap sehabis makan malam, Zia akan bermanja-manja pada Azka, menghabiskan waktu untuk saling bercerita, dan tertawa bersama ketika dirasa ada yang lucu. Kehangatan seperti inilah yang sangat Azka
"Selamat pagi," sapa Zia. Orang itu membalikkan badan, dan dibuat terkejut melihat Zia. "Kamu siapa?" Zia terpaku di tempatnya, setelah tahu siapa yang datang. Orang itu adalah ... Sheila. Untuk apa wanita yang akan dijodohkan dengan suaminya itu datang ke sini? Zia bertanya-tanya dalam hati. "Halo, permisi," ucap Sheila, membuat Zia tersadar. "Eh iya. Cari siapa ya, Mbak?" "Saya cari kak Azka. Kamu siapa, kok bisa di penthouse kak Azka?" Sheila heran dengan adanya perempuan asing di kediaman laki-laki yang ia yakin akan menjadi calon suaminya. Selain itu, Sheila juga merasa pernah melihat perempuan ini, tapi lupa di mana. "Mmm ... saya ... saya ...." Zia tidak tahu harus menjawab apa. Tak mungkin juga memberitahu bahwa ia adalah istri Azka, di saat semua orang tidak ada yang tahu tentang pernikahan mereka. "Siapa yang datang, Zia?" Azka tiba-tiba menyusul. Laki-laki itu kemudian berdiri di sisi Zia, dan cukup terkejut melihat siapa yang berkunjung. Dari mana Sheila bisa tahu
"Zia, bangun! Sudah subuh, ayo sholat." Azka mengguncang-guncang tubuh Zia. "Nanti," jawab Zia dengan suara serak, dan mata yang masih tertutup. Tubuhnya merasa lelah, dan sakit karena kejadian semalam. Sementara itu, Azka tersenyum dengan reaksi Zia yang menurutnya sangat menggemaskan. Terlebih saat Azka kembali mengingat apa yang sudah ia, dan Zia lakukan sebelum tidur. Ya, setelah menggoda Zia di depan televisi tadi malam, Azka lalu membopong istrinya itu ke kamar, lalu mereka menghabiskan malam-malam panjang di ranjang yang sama. Kamar ini adalah saksi percintaan pertama mereka yang cukup panas. "Baiklah, kalau begitu, saya akan mandi dulu. Setelah selesai, giliran kamu yang mandi," ucap Azka. "Hmm." Hanya itu balasan Zia, tapi mampu membuat Azka kembali tersenyum. Suami Zia itu kemudian menuju ke kamar mandi yang berada di dalam kamar mereka untuk melakukan mandi wajib sebelum melaksanakan sholat subuh. Sedangkan Zia, setelah ia mendengar derap langkah Azka yang semakin
Zia tak pernah menyangka sebelumnya bahwa CEO di tempatnya bekerja adalah Azka, suaminya sendiri. Entah permainan takdir seperti apa lagi yang harus ia jalani. "Woi, bengong aja kamu ini semenjak pak CEO keluar dari divisi kita. Kenapa? Naksir ya sama pak CEO?" ledek Lisa seraya menepuk pundak Zia. Zia menoleh ke arah Lisa, lalu berkata. "Kamu tau di mana ruangan pak CEO, Lis?" "Weh, selow, Zia, selow! Naksir sama pak CEO sih boleh-boleh aja, tapi jangan langsung ugal-ugalan gini dong, pake nanyain ruangannya segala," balas Lisa. "Mau apa emang ke sana? Karyawan biasa kayak kita, jarang dapat akses bisa ke ruangan CEO." "Aku nggak naksir dia, Lis," elak Zia, sedikit berdusta, meski sebenarnya ia sudah naksir Azka bahkan setelah tahu dirinya dijebak di kamar hotel yang sama dengan laki-laki itu. "Ada yang mau aku sampein ke dia. Ini penting." "Nyampein soal apa? Kamu udah pernah kenal sebelumnya sama pak CEO?" Lisa menatap Zia penuh selidik. Zia buru-buru menaruh jari telunjuknya