Sekuat-kuatnya Zia menahan agar tidak menangis, nyatanya ia tetap kalah. Dalam perjalanan pulang ke penthouse, dengan diantar oleh taksi, Zia terisak. Dadanya terasa sakit dengan apa yang ia lihat tadi. Ini bukan masalah sudah jatuh cinta atau belum pada Azka, akan tetapi tentang statusnya, tentang jalan hidupnya yang jadi tidak jelas seperti ini. Tidak pernah terbayangkan sama sekali, Zia yang dulunya hidup serba berkecukupan dengan limpahan kemewahan dari sang ayah, dan selalu diprioritaskan, kini tiba-tiba berstatus sebagai istri siri yang disembunyikan dari keluarga suami. Ini semua gara-gara rencana busuk ibu dan saudara tirinya. Zia tiba-tiba teringat dengan dua perempuan ular itu. Semenjak kehadiran Renata, dan Gea, hidup Zia selalu ada saja masalah. "Sudah sampai, Mbak," ucap sang supir taksi, membuat Zia sontak menghentikan isakannya, dan mengelap air matanya dengan tisu. Zia lantas melihat argo taksi, kemudian menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan pada supir taksi
"Kamu kenapa?" tanya Azka. Sungguh sikap Zia yang tiba-tiba ketus itu kini memenuhi isi otaknya. Zia tak menjawab pertanyaan Azka, ia justru memilih untuk meninggalkan ruang makan setelah makan malamnya selesai. Melihat Zia yang hanya diam saja, Azka tambah bingung. Sebenarnya ada apa dengan Zia? Atau mungkin, ia punya salah dengan istri sirinya itu? Azka mengikuti Zia yang kini berjalan ke arah kamar. Namun, saat di depan kamar, dan Azka hendak ikut masuk, pintu kamar segera Zia tutup, dan kunci. "Zia, buka pintunya, saya ingin bicara," ucap Azka. Masih berdiri di dekat pintu, Zia hanya memutar bola matanya. Ia masih dongkol dengan Azka. Tak mendapatkan respon apa-apa dari Zia, Azka pun menghela napas berat. Ia berbalik, lalu melangkah menuju sofa. Dua jam berlalu, dan kini sudah tengah malam, Zia masih belum bisa memejamkan mata. Ia memang tidak bisa tidur jika perutnya kekenyangan. Rasa kesalnya pada Azka tadi, sengaja ia luapkan pada makanan, sehingga tadi Zia memesan nasi
Suara ayam berkokok membangunkan Zia dari tidur lelapnya. Perlahan ia membuka kedua matanya, dan yang pertama kali terlihat adalah langit-langit kamar yang ia tempati. Sadar bahwa ia berada di kamar sebuah penthouse milik Azka, seketika membuat Zia teringat pertengkarannya dengan Azka semalam. Itu adalah pertengkaran pertama dalam pernikahan mereka, dan Zia merasa menyesal atas sikapnya tadi malam. Seharusnya ia tidak marah pada Azka, apalagi sampai merajuk, dan membuat Azka menyangka bahwa ia cemburu. Memang Zia mengakui bahwa ia cemburu melihat Azka makan malam bersama perempuan cantik, tapi Zia juga tidak mau jika Azka sampai mengetahui. "Sepertinya aku harus minta maaf," gumam Zia. Ia berencana untuk memperbaiki hubungannya dengan Azka. Zia meregang-regangkan badannya, kemudian ia menoleh pada jam digital yang terpasang di dinding kamarnya. Seketika Zia melotot, melihat jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi. "Jam sembilan? Astaga!" Sontak Zia bangun dari posisinya berbarin
"Totalnya satu juta tujuh ratus ribu, Kak," ucap seorang kasir perempuan yang baru saja selesai menghitung barang belanjaan Zia. Zia pun mengangguk, lalu mengeluarkan dompet dari tas selempang yang ia bawa. "Mau bayar pakai cash, kartu, atau qris, Kak?" Kasir itu kembali bertanya. "Pakai kartu," jawab Zia sembari membuka dompet bermerk miliknya. Dalam dompet itu terdapat lima kartu kredit. Tiga di antaranya adalah asli miliknya, sementara dua yang lainnya adalah milik Azka yang diberikan kepadanya beberapa hari yang lalu. Istri siri Azka itu kemudian mengambil salah satu kartu kredit miliknya. Ia tak berminat untuk memakai kartu kredit Azka, karena merasa itu tidak perlu. Zia kemudian menyerahkan kartu kreditnya kepada kasir untuk menyelesaikan proses pembayaran. Tak berapa lama, kasir itu mengembalikan kartu kredit tersebut. "Kenapa, Mbak?" tanya Zia heran. "Kartu ini tidak bisa digunakan, Kak," jawab sang kasir. "Coba yang ini." Zia menyerahkan kartu kredit miliknya yang lai
Di walk in closet, Zia mencoba beberapa pakaian yang akan dikenakannya malam ini. Ia sudah berhasil membujuk Azka untuk pulang, maka kali ini ia akan berusaha berpenampilan terbaik demi menyambut suaminya itu. "Huh! Baju cuma ini ini aja," gerutu Zia, setelah merasa tidak ada yang cocok untuk dipakai malam ini. Sebenarnya Zia punya banyak pakaian. Mulai dari pakaian santai sehari-hari di rumah, pakaian kerja, sampai gaun pesta pun ia punya yang tentu saja semuanya bermerk, dan berharga mahal. Namun kini percuma, karena semua itu tidak ia bawa dari rumah sang ayah. Kepergiannya dari rumah setelah akad nikah waktu itu cukup mendadak, sehingga Zia tidak punya banyak waktu untuk membawa banyak pakaian. Setelah beberapa hari tinggal di kota ini pun ia belum sempat berbelanja pakaian. Pakaian yang ia bawa dari rumah ayahnya itu kebanyakan adalah pakaian formal untuk kerja, selebihnya baju santai. Menurut Zia, itu semua tidak cocok dipakai untuk makan malam bersama Azka. Membuka kopernya,
Azka terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya dari mulut Zia. Memaksanya untuk tetap tinggal, dan tak malu menawarkan hubungan suami istri. Menatap Zia dengan ekspresi bingung, Azka merasa harus segera menemukan kata-kata untuk menjawab perkataan istri sirinya tadi. "Ayo, Mas, kalau kamu mau, mari kita lakukan sekarang," ucap Zia, sebelum Azka sempat menjawab. Kini tangan Zia sudah menyentuh lengan Azka. Sudah tidak ada lagi rasa canggung ataupun merasa tidak enak. Di benak Zia sekarang adalah mempertahankan Azka agar tidak pulang ke rumah sang eyang, dan berakhir bertemu dengan perempuan bernama Sheila. Zia terlalu tidak rela. Suami siri Zia itu mengerjap. Ucapan Zia kembali membuatnya terkejut. Mengapa istrinya jadi blak-blakan sekarang? "Zia, apa yang kamu katakan?" Azka bertanya dengan hati-hati, mencoba meredakan ketegangan di sekitarnya, dan Zia. "Apa masih kurang jelas, Mas?" kata Zia dengan agak kesal. "Aku nggak bolehin kamu pergi malam ini. Dan aku juga menawarkan
Setelah makan malam, Azka dan Sheila duduk di ruang tamu untuk berbincang. Tentu saja itu pun karena disuruh oleh sang eyang. "Bagaimana masakanku tadi, Kak Azka? Suka nggak?" tanya Sheila sambil tersenyum ramah. Ia duduk di sofa bersebelahan dengan Azka. "Suka. Rasanya sangat enak. Terima kasih telah repot-repot memasaknya, Sheila," jawab Azka. Sheila tampak senang mendengar jawaban Azka. Ia kemudian mulai bercerita tentang bagaimana selama ia mempersiapkan makan malam itu bersama sang eyang. Sebaliknya, Azka justru tak fokus mendengar celotehan Sheila. Hati, dan pikirannya tertuju pada Zia, terlebih mengingat tingkah, dan ucapan Zia tadi yang mengajaknya berhubungan suami istri. "Aku harap kita bisa lebih dekat setelah ini, Kak Azka," ucap Sheila seraya menyentuh lengan Azka, yang sontak membuat Azka terkejut. Azka menolak sentuhan itu, dan sadar dari lamunannya. "Ya." Hanya itu yang keluar dari mulut Azka, tetapi Sheila justru kembali tersenyum senang. Sheila kini mulai bert
Belum menyingkir dari dekat Zia, eyangnya Azka tiba-tiba melihat Azka, dan Sheila dengan tatapan bahagia, lalu tanpa diduga, eyangnya Azka setengah berteriak. "Azka, Sheila." Eyangnya Azka melambaikan tangan. Hal itu membuat Zia sontak melebarkan matanya, dan tanpa sengaja tatapannya dan tatapan Azka bertemu. Azka tak menyangka bahwa ia akan melihat Zia di sini, dan yang lebih mengejutkan adalah saat ini Zia berada di dekat sang eyang. Mungkinkah istri sirinya itu, dan sang eyang sudah saling mengenal sekarang? Atau mungkin bisa saja Zia nekat mendatangi sang eyang dan mengatakan semua rahasia pernikahan siri mereka karena Zia sakit hati dengannya tadi malam. "Kak, itu ada eyang di sana," kata Sheila seraya menyentuh lengan Azka, dan itu tak luput dari pandangan Zia. "Ayo kita samperin." Anehnya, Azka hanya pasrah saat Sheila menyeretnya menghampiri sang eyang. Tatapan Azka masih tertuju pada Zia. Merasa Azka akan mendatangi tempatnya saat ini, Zia pun buru-buru pergi. Namun sebe