Langit malam memeluk bumi dengan sunyi yang pekat. Jam dinding di kamar Ayla berdetik pelan, hampir tenggelam oleh keheningan. Pukul sudah lewat tengah malam, dan kasur di sebelahnya tetap dingin.
Ayla menarik selimut lebih erat ke tubuhnya, mencoba menahan dingin yang menusuk, entah dari udara malam atau dari hatinya yang terasa semakin sepi.
Di bawah bias temaram lampu meja yang nyaris padam, wajah Ayla tampak tenang, meski pikirannya jauh dari kata itu. Bram tidak pulang lagi malam ini. Ia tidak perlu repot-repot mencari alasan—lembur, pekerjaan kantor yang menumpuk, atau klien yang tak bisa ditinggalkan.
Semua itu sudah menjadi bagian dari narasi yang biasa ia dengar.
Ayla sudah terbiasa, atau setidaknya ia mencoba membiasakan diri. Tapi tidak malam ini. Ada sesuatu yang berbeda. Sebuah perasaan asing merayap di dadanya, mencengkeram hatinya dengan dingin yang sulit dijelaskan.
Ia merapatkan selimutnya lebih erat lagi, menatap langit-langit kamar yang kosong, berharap kantuk datang dan membawa pergi perasaannya yang tak menentu.
Namun, ketika ia akhirnya terlelap, sesuatu yang tak biasa terjadi.
Kasur itu bergoyang pelan. Ayla setengah sadar, merasakan seseorang naik ke sisi tempat tidurnya. Aroma tubuh yang hangat dan khas langsung tercium, membuatnya sedikit rileks. Bram, pikirnya. Akhirnya suaminya pulang, meski tanpa kabar, seperti biasa. Ia bergeser sedikit ke sisi kasur, memberi ruang.
"Bram?" gumamnya pelan, suaranya serak karena kantuk. Tidak ada jawaban, hanya desahan napas yang terasa dekat sekali di telinganya.
Tubuh itu berbaring di sampingnya, dan tangan yang hangat menyentuh punggungnya pelan. Sentuhan itu lembut, penuh kehati-hatian, berbeda dengan Bram yang biasanya cenderung kasar dan tergesa-gesa. Ayla terdiam, tapi tidak bergerak.
Ia tidak tahu kenapa, tapi ia merasa lebih nyaman daripada yang pernah ia rasakan dalam waktu yang lama.
Mungkin ini hanya khayalannya saja, pikir Ayla. Mungkin Bram akhirnya berubah. Mungkin dia sadar bahwa selama ini ia terlalu jauh darinya. Ia menghela napas lega, merasakan ketenangan yang aneh. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ayla merasa tidak sendirian.
Cahaya matahari pagi merangkak masuk melalui celah tirai, menerpa wajah Ayla yang tertidur lelap. Ia menggeliat pelan, menarik selimut ke atas kepala untuk menghindari cahaya yang terlalu terang. Tapi ada sesuatu yang membuat tubuhnya kaku. Sebuah suara napas yang berat, dekat sekali. Terlalu dekat.
Perlahan, ia membuka matanya. Di sampingnya, seseorang masih tertidur dengan wajah damai, rambutnya sedikit berantakan. Mata Ayla melebar seketika, jantungnya berdegup kencang. Itu bukan Bram.
“Adrian?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Tubuhnya gemetar, tangannya memegang erat tepi selimut seolah itu bisa melindunginya dari kenyataan yang baru saja ia lihat. Adrian, adik kandung Bram, tidur di sebelahnya.
Ia membeku, pikiran dan tubuhnya seperti tidak terhubung. Napasnya terengah, sementara ia mencoba mencari alasan, jawaban, apa pun yang bisa menjelaskan ini semua.
Adrian bergerak pelan, mengerjap-ngerjap, perlahan bangun dari tidurnya. Mata cokelatnya yang teduh kini dipenuhi kebingungan. Ketika ia menyadari di mana dirinya, wajahnya langsung pucat.
"Ayla?" suara Adrian pecah, nyaris berbisik. "Ini… ini apa? Aku di mana?"
Ayla mundur sedikit, memegangi selimut seperti benteng pelindung. “Itu yang seharusnya aku tanyakan! Apa yang kamu lakukan di sini, Adrian?!”
Adrian menatap sekeliling, matanya memandang kamar yang jelas-jelas bukan miliknya. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba membangunkan dirinya dari mimpi buruk ini. "Aku... Aku nggak tahu. Aku..." suaranya terputus, ia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.
"Jangan bilang kamu nggak tahu!" Ayla menatapnya tajam, meski tubuhnya masih gemetar. "Kamu masuk ke kamarku! Di tempat tidurku!"
"Aku nggak sengaja!" Adrian berseru, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Ayla. "Aku... Aku mabuk tadi malam. Aku pikir aku masuk ke kamar tamu!"
Hening menyelimuti ruangan. Ayla memandangi Adrian, matanya dipenuhi rasa bingung dan cemas. “Mabuk? Adrian, kamu sadar nggak apa yang kamu lakukan? Kamu tidur di sini, di tempat tidurku!” suaranya bergetar, tapi ia berusaha keras untuk tetap terdengar tegas.
Adrian menunduk, kedua tangannya mengepal di atas lutut. "Aku nggak sadar, Ayla. Aku sumpah. Aku pikir aku masuk ke kamar tamu. Aku nggak pernah niat buat ini. Aku nggak pernah…"
Ayla tidak menjawab. Ia memalingkan wajah, mencoba mengatur napas yang terasa berat. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, lebih dari sekadar amarah atau kebingungan. Sentuhan tadi malam kembali terlintas di pikirannya, kehangatan itu, rasa nyaman yang membuatnya merasa tidak sendirian.
Ia menggelengkan kepala keras-keras, berusaha mengusir pikiran itu. Ini salah. Semua ini salah.
“Kamu harus pergi,” katanya akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Sebelum Bram pulang. Kita nggak boleh ada di situasi seperti ini lagi.”
Adrian menatapnya, matanya yang cokelat itu tampak penuh rasa bersalah. Tapi ia tidak membantah. Ia bangkit perlahan, tubuhnya masih sedikit kaku karena tidur di posisi yang salah. Tanpa sepatah kata pun lagi, ia berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Ayla dalam keheningan yang semakin mencekam.
Ayla duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah dinding. Pikirannya berputar, mencoba mengurai kejadian tadi malam. Ia mencoba mengingat, memutar ulang setiap detail, mencari sesuatu yang mungkin ia lewatkan.
Tapi tidak ada apa-apa. Yang tersisa hanya sentuhan hangat di punggungnya, suara napas yang tenang, dan rasa nyaman yang menghantuinya.
Ia merasa perasaan bersalah mulai merayap masuk. Bagaimana mungkin ia merasa nyaman dengan situasi yang seharusnya membuatnya marah? Adrian adalah adik suaminya, seseorang yang seharusnya tidak pernah melintasi batas itu.
Tapi, meski ia berusaha keras untuk menyangkal, kenyataan itu tetap ada. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa dihargai, bahkan jika itu hanya sesaat.
Sebuah suara pintu terbuka dari lantai bawah membuatnya tersentak. Bram. Ayla berdiri tergesa-gesa, mencoba menata dirinya sendiri sebelum suaminya mendapati wajahnya yang penuh kecemasan.
Bram melangkah masuk ke rumah dengan raut wajah lelah. Jas kerjanya tampak berantakan, dasinya longgar, dan rambutnya kusut. Ia menatap Ayla sekilas saat ia turun dari tangga, tapi tidak mengatakan apa-apa. Seperti biasa.
“Kamu nggak tidur lagi?” tanya Bram, suaranya datar, hampir tanpa emosi.
Ayla menelan ludah, mencoba menjawab dengan nada biasa. "Aku baru bangun."
Bram mengangguk kecil, melepaskan jasnya dan melemparnya begitu saja ke sofa. Ia tidak menoleh lagi ke arah Ayla, hanya berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air.
Ayla mengikutinya dengan pandangan, matanya mengamati setiap gerakan suaminya, mencoba mencari jejak kehangatan yang dulu pernah ada di antara mereka. Tapi tidak ada apa-apa. Hanya dingin.
Bram meneguk airnya, lalu berbalik, menatap Ayla sekilas. “Aku mungkin pulang malam lagi hari ini. Ada kerjaan tambahan.”
Ayla mengangguk kecil, tidak berkata apa-apa. Ia tahu percuma saja bertanya atau memprotes. Jawabannya akan tetap sama.
Ketika Bram akhirnya pergi ke kamar untuk mengganti pakaiannya, Ayla tetap berdiri di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu.
Pikirannya kembali melayang ke kejadian tadi malam.
"Apa yang harus kulakukan?" batinnya kebingungan.
Trang!Denting piring yang beradu dengan sendok menjadi satu-satunya suara di meja makan pagi itu. Bram, seperti biasa, duduk di kursi ujung, matanya terpaku pada layar ponselnya. Jarinya terus menggulir layar, sesekali mengetik sesuatu.Ayla duduk di seberangnya, memandang semangkuk bubur ayam di depannya yang sudah dingin tanpa pernah disentuh.Namun, yang membuat Ayla lebih canggung adalah sosok di sebelahnya—Adrian. Pria itu tampak sama gelisahnya. Ia memegang sendok, tetapi tidak benar-benar makan. Matanya menunduk, tidak berani mengangkat wajahnya dari mangkuk yang ia aduk-aduk dengan gerakan mekanis.Hening itu mencekam. Meski di luar matahari bersinar cerah dan burung-burung berkicau, udara di dalam rumah terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menggantung di antara mereka, sesuatu yang keduanya ingin lupakan, tapi tak tahu bagaimana caranya.“Ayla,” suara Bram tiba-tiba memecah keheningan. Mata Ayla langsung menoleh, tubuhnya menegang.“Iya?” suaranya terdengar lebih pelan dar
Ayla bahkan baru sadar jika hujan pagi itu berhenti sekitar pukul sembilan.Namun, udara dingin masih mengendap di setiap sudut rumah, membuat Ayla sedikit merapatkan cardigan abu-abunya.Ia duduk di ruang tamu, di sofa kecil dekat jendela, dengan secangkir teh hangat di tangannya. Dari tempatnya duduk, ia bisa mendengar suara Adrian dari ruang makan, entah sedang mengetik sesuatu di laptopnya atau hanya mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.Ayla mencoba fokus pada buku di tangannya, sebuah novel dengan sampul cokelat pudar yang sudah lama ingin ia baca. Tapi kalimat-kalimat di halaman itu terasa seperti tinta yang mengabur, sulit ia pahami.Ia membaca berulang-ulang satu paragraf yang sama, tapi pikirannya terus melayang ke arah suara di ruang makan."Jangan lihat," bisiknya pada dirinya sendiri, memaksa matanya tetap tertuju pada halaman buku. Tapi pikirannya terus bergulir tanpa henti.Ia membayangkan Adrian duduk di kursi itu, dengan rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan, alisnya
“Aku nggak maksud bikin kamu susah,” katanya pelan, menunduk sedikit.Deg!Ayla menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia tidak tahu bagaimana mengakhiri percakapan ini tanpa membuat semuanya semakin canggung. “Aku tahu. Aku cuma… aku butuh waktu. Itu saja.”Adrian mengangguk kecil, lalu perlahan melangkah mundur. “Oke,” katanya sebelum berbalik dan meninggalkan dapur.Ketika ia sudah pergi, Ayla bersandar pada meja, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan.Tatapan itu… tatapan Adrian yang tadi, entah bagaimana, terus terngiang di pikirannya. Seolah ada sesuatu di balik tatapan itu yang menolak pergi, sesuatu yang mencoba merengkuhnya meski ia berusaha menjauh.***Brak!Suara bantingan pintu depan menggema di rumah. Bram baru saja pulang, lebih awal dari biasanya, tapi bukan itu yang membuat Ayla terkejut.Cara pintu itu terbanting, langkah kakinya yang berat di lantai kayu, dan nada kasarnya ketik
Ayla ingin membalas, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Di balik kata-kata Adrian, ia merasakan ketulusan yang begitu kuat.“Cuma…” Adrian melanjutkan, suaranya melembut. “Aku cuma ingin kamu tahu kalau kamu nggak sendirian.”Ayla menatap Adrian lebih lama kali ini. Ada sesuatu di matanya yang membuat hatinya bergetar. Ia ingin mengatakan terima kasih, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah gumaman pelan. Sayangnya, Ayla dilema.Cuaca bahkan mendukungnya dengan kembalinya hujan mengguyur di pagi hari. Di sana, Ayla tampak berdiri sambil memandangi panci yang mengepul di atas kompor.Tangannya dengan hati-hati mengaduk bubur ayam yang sedang ia masak, gerakan sendok kayunya pelan dan teratur. Di sebelahnya, ada piring-piring kecil berisi irisan daun bawang, bawang goreng, dan potongan cabai rawit.Semua itu tersusun rapi, seperti cerminan dari bagaimana Ayla selalu berusaha menjaga segala sesuatu di hidupnya tetap teratur—meski di dalam hatinya, semuanya sedang berantakan.Dari b
Ayla terdiam, menatap Adrian dengan mata yang penuh kebingungan. Kata-kata itu sederhana, tapi cara Adrian mengatakannya membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang jauh lebih besar di baliknya.“Adrian…” Ayla akhirnya membuka mulut, tapi suaranya terhenti. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.“Maaf,” potong Adrian cepat, tersenyum kecil. “Aku cuma mau bilang kalau aku ada di sini, itu saja.”Ayla tersenyum samar, lalu kembali ke pekerjaannya. Tapi di dalam hatinya, kata-kata Adrian terus terngiang.Sore harinya, hujan kembali turun, lebih deras dari sebelumnya. Ayla duduk di ruang tamu dengan selimut tipis melilit tubuhnya, menatap ke luar jendela. Adrian muncul dari dapur membawa dua cangkir teh, uapnya mengepul lembut di udara.“Ini buat kamu,” katanya sambil menyerahkan salah satu cangkir.Ayla menerimanya dengan hati-hati, merasakan hangatnya langsung menjalar ke telapak tangannya. “Terima kasih,” katanya pelan.Adrian duduk di sofa di sebelahnya, menjaga jarak yang cukup tapi
“Kamu ngerasa sendirian,” sambung Adrian, mengisi kekosongan itu. Suaranya lembut, tapi matanya tajam, seolah ia bisa membaca semua perasaan yang Ayla coba sembunyikan.Ayla mengangguk pelan, air matanya akhirnya jatuh. “Iya. Aku merasa sendirian, Adrian. Aku merasa seperti… aku hilang.”Adrian ingin mendekat, ingin meraih tangan Ayla dan meyakinkannya bahwa ia tidak sendirian. Tapi ia menahan dirinya. Ada batas yang tidak boleh ia lewati, tidak peduli seberapa besar keinginannya untuk melindungi Ayla.“Kamu nggak hilang, Ayla,” katanya pelan. “Kamu cuma lupa gimana rasanya jadi kamu yang sebenarnya. Dan itu nggak salah. Kadang kita butuh waktu untuk nemuin diri kita lagi.”Ayla menatap Adrian, matanya yang basah bertemu dengan tatapan penuh kepastian. Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa terasa seperti pelukan yang hangat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa seperti ada seseorang yang benar-benar memahaminya.“Terima kasih,” bisiknya, hampir tidak terdengar.
Setelah Bram kembali ke ruang kerjanya dan suasana rumah kembali hening, Adrian menghela napas panjang. Ia akhirnya melangkah pelan ke ruang tamu, menghapus jarak antara dirinya dan Ayla."Ayla?" panggilnya dengan nada lembut.Ayla tersentak kecil, buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan. Ia menoleh ke arah Adrian, mencoba memasang senyum yang tidak meyakinkan. “Adrian? Kamu belum tidur?”Adrian menggeleng pelan, tatapannya tetap melekat pada wajah Ayla yang tampak kusut dan letih. “Aku nggak bisa tidur.”Ia berjalan mendekat, lalu duduk di ujung sofa, menjaga jarak yang sopan. “Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya hampir seperti bisikan.Ayla tertawa kecil, suara yang lebih terdengar seperti isakan. "Aku baik-baik saja," jawabnya, meski matanya yang merah dan bengkak jelas mengatakan sebaliknya.Adrian menatap Ayla tanpa berkata-kata. Keheningan di antara mereka terasa berat, penuh dengan pertanyaan yang tidak terucap.“Aku nggak tahu, Adrian,” kata Ayla tiba-tib
Sementara itu, dari balik pintu dapur, Adrian memperhatikan mereka. Ia berdiri di sana dengan diam, menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, kedua tangannya menyilang di depan dada.Mata Adrian mengamati bagaimana Ayla duduk di meja itu, tubuhnya terlihat kecil dan kaku, seperti seseorang yang sedang berusaha keras menyembunyikan luka.Tatapan Adrian beralih ke Bram, yang tidak memberikan satu pun perhatian pada Ayla. Rahang Adrian mengencang, tapi ia menahan diri untuk tidak berbuat apa-apa.Sebuah dorongan muncul di hatinya—keinginan untuk menghentikan semua ini, untuk menarik Ayla keluar dari situasi yang begitu dingin dan menyakitkan. Tapi ia tahu, ada batas yang tidak bisa ia lewati.Setelah beberapa saat, Adrian melangkah masuk ke ruang makan, membuat kursi kayu di lantai sedikit berderit. Ayla menoleh, seperti baru sadar bahwa Adrian ada di sana. Matanya bertemu dengan mata Adrian, dan dalam sekejap, udara di antara mereka terasa berubah.“Pagi,” sapa Adrian lembut, suaranya terde
Pagi itu, suasana apartemen Rita sedikit berbeda. Ayla berdiri ragu di depan pintu, menggigil bukan hanya karena udara pagi yang dingin, tapi juga karena beban yang ia pikul. Ia merapatkan mantel cokelat tua yang sudah lusuh, berusaha menahan dingin yang menyeruak ke tulang.Dengan tangan yang bergetar, ia mengetuk pintu dengan pelan, hati-hatinya dipenuhi kecemasan.Sejurus kemudian, terdengar suara langkah kaki dari dalam apartemen. Pintu perlahan terbuka, dan muncullah wajah Rita yang tampak terkejut dan rambutnya yang tergerai dengan bebas. Ekspresi terkejut terpahat di wajahnya saat ia melihat Ayla berdiri di ambang pintu.“Ayla?” Rita berkata dengan nada penuh tanya. “Apa kamu baik-baik saja?”Dengan kepala mengangguk perlahan, Ayla mencoba tersenyum, meski dari raut wajahnya jelas bahwa ia jauh dari kata baik-baik saja. “Rita, aku… boleh masuk?”“Tentu, masuklah,” jawab Rita sambil membu
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, tempat yang menawarkan ketenangan jauh dari keramaian. Di sana, Ayla memilih tempat duduk di pojok, sibuk memandangi secangkir kopi hitam yang menguap perlahan di depannya.Tak lama kemudian, Adrian datang, membawa aura kehangatan yang seketika membuat suasana hati Ayla sedikit lebih ringan.Adrian segera mengambil tempat duduk di hadapan Ayla, matanya menelusuri wajahnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Ada apa, Ayla?" tanyanya dengan suara yang langsung ke inti, tanpa membuang waktu.Dengan bahu terangkat pelan, Ayla mencoba tersenyum, namun bibirnya bergetar menahan sesuatu. "Hanya...gosip," jawabnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Gosip yang terasa terlalu nyata untuk bisa diabaikan begitu saja."Adrian mengerutkan kening, rasa penasarannya terpicu. "Gosip apa? Apa yang mereka bicarakan?"Mata Ayla tertunduk, berusaha menghindari tatapan tajam Adrian. "Tentang aku..
Suara ketukan pintu tiba-tiba memecah keheningan. Adrian dan Ayla saling pandang, terkejut tergambar jelas di wajah mereka. Adrian bergerak cepat, menuju pintu dengan langkah mantap. Dia melemparkan pandangan singkat kepada Ayla, memberi isyarat agar tetap di tempat.Ketika pintu terbuka, seorang wanita muda berdiri di ambang. Wajahnya basah oleh hujan, rambut panjang menempel di pipinya, dan matanya tajam menatap Ayla di dalam ruangan.“Rita?” Adrian bertanya, terdengar ragu.Rita tidak menjawab. Dengan mantap, dia melangkah masuk tanpa permisi, berdiri di depan Ayla. Ekspresi aneh menghiasi wajahnya—campuran antara kecewa, marah, dan prihatin.“Aku tahu aku akan menemukanmu di sini,” katanya dengan suara lembut namun penuh dengan tekanan.Ayla berdiri perlahan, bibirnya bergetar. “Rita… aku bisa menjelaskan.”Rita mengangkat tangan, memotong Ayla sebelum ia bisa melanjutkan. &l
Lampu meja di sudut ruangan bersinar temaram, memancarkan cahaya hangat yang membelai dinding ruang tamu kecil di apartemen Adrian. Di sudut lain, alunan musik instrumental mengisi udara dengan nada lembut, melarutkan keheningan namun menyisakan atmosfer yang penuh tanda tanya.Ayla duduk di sofa abu-abu gelap, tangannya menggenggam cangkir teh hangat seolah mencari kenyamanan dari uap chamomile yang perlahan membubung. Tatapannya terpaku pada jendela besar di hadapannya, memperlihatkan kota yang terbenam dalam kilauan lampu-lampu malam.Adrian berdiri di dekat dapur, bersandar pada dinding dengan sikap santai yang tampak dipaksakan. Kedua lengannya terlipat di dada, tetapi matanya yang tak tenang mengkhianati ketenangan palsu itu.Ia memandangi Ayla dari jauh, seolah membaca tiap gerakan perempuan itu, yang selalu memancarkan kelembutan bahkan saat pikirannya mungkin sedang dihantui badai kekhawatiran.“Ayla…” Adrian akhirnya memecah k
Malam itu, mereka kembali ke apartemen Adrian. Sebuah keheningan menggantung di udara, seolah waktu berhenti untuk memberi ruang pada pikiran-pikiran yang berlarian di kepala mereka. Ayla duduk di sofa berlapis kain lembut, menggenggam secangkir teh yang sudah lama kehilangan kehangatannya.Tatapannya kosong, tenggelam dalam bayang-bayang cahaya kota yang memantul dari jendela. Sementara itu, Adrian berdiri di dekat jendela, memandangi lautan lampu di kejauhan, seperti mencari jawaban di antara k
Hari-hari berikutnya terasa seperti perjuangan tanpa akhir bagi Ayla dan Adrian. Gosip terus meluas, berhembus dari mulut ke mulut dan tersebar liar di media sosial.Komentar pedas—beberapa tersampaikan langsung, sebagian lagi bersembunyi di balik layar anonim—menghantam mereka tanpa ampun.Suatu malam, Ayla menerima sebuah pesan anonim di ponselnya:"Kau perusak keluarga. Kau tidak layak bahagia."Ia menatap layar ponselnya lama, seolah kata-kata itu menancap di benaknya seperti duri yang tak terlihat. Dengan tangan gemetar, ia meletakkan ponsel itu di atas meja. Adrian, yang tengah duduk di sofa di seberangnya, menangkap perubahan ekspresi di wajah Ayla.Tanpa berkata-kata, ia mendekat dan mengambil ponsel tersebut. Saat membaca pesan itu, rahangnya mengeras.“Kau tidak perlu membaca ini,” ujarnya tegas, mematikan layar ponsel dan menjauhkannya dari jangkauan Ayla. Suaranya terdengar seperti benteng kokoh,
Malam itu di apartemen Adrian, Ayla duduk di sofa, matanya terpaku pada layar ponsel yang terus bergetar. Pesan-pesan berdatangan tanpa henti—beberapa dari teman lama, sebagian besar dari kerabat Bram. Semua mengandung kata-kata tajam, tuduhan, dan penghinaan yang membakar.“Kenapa kau tidak memblokir saja mereka?” tanya Adrian. Ia duduk di lantai dekat meja kecil, sibuk memperbaiki sesuatu, tapi jelas perhatiannya tidak teralihkan dari Ayla.Ayla menggeleng pelan, pandangannya tetap tertuju pada layar. “Aku tidak tahu. Mungkin aku berharap ada seseorang yang akhirnya mau mengerti. Tapi... sepertinya itu hanya angan-angan.”Adrian meletakkan alat di tangannya, menatap Ayla dengan serius. Ia bangkit, lalu duduk di sampingnya. “Ayla, kau tidak perlu pembuktian dari mereka. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Kau sudah cukup kuat untuk melewati semua ini.”Ayla menoleh, menatap mata Adrian yang penuh ketulus
Setelah perdebatan panjang yang penuh emosi, Ayla dan Adrian meninggalkan rumah itu. Langkah mereka perlahan, seperti menanggung beban yang baru saja mereka lepaskan. Mereka berjalan menuju mobil dalam diam, tapi bukan diam yang canggung—melainkan diam yang sarat makna.Tanpa perlu kata-kata, mereka memahami satu hal: keputusan yang baru saja diambil adalah sesuatu yang tak bisa ditarik kembali.Di dalam mobil, Adrian memecah keheningan. “Kau luar biasa tadi,” katanya dengan nada lembut. Ia menatap Ayla, matanya memancarkan kekaguman yang tulus.Ayla tersenyum kecil, meskipun matanya berkaca-kaca. “Aku tidak tahu dari mana keberanian itu datang. Tapi yang jelas, aku tahu aku tidak bisa kembali ke hidup yang dulu.”Adrian mengangguk pelan, lalu meraih tangan Ayla yang tergeletak di atas pangkuannya. “Kita akan melewati ini bersama. Apa pun yang terjadi.”Saat mobil mulai melaju meninggalkan rumah itu, Ayla m
Pagi itu, Ayla duduk di tepi ranjang penginapan, memandangi tirai yang setengah terbuka. Sinar matahari mengintip malu-malu di sela-sela lipatan kain, seolah-olah terlalu ragu untuk benar-benar menembus ruang itu.Namun, kehangatannya tidak cukup untuk mengusir dingin yang mengendap di dalam hatinya. Napas Ayla terdengar pendek-pendek, pikirannya terus berputar pada satu hal yang sama: pertemuan dengan keluarga Bram.Di sudut ruangan, Adrian duduk di kursi dekat meja kecil, wajahnya dipenuhi guratan khawatir. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa begitu panjang, ia akhirnya angkat bicara, suaranya rendah tapi tegas.“Kau tidak perlu menghadapi ini sendirian,” katanya, menatap Ayla dengan mata yang sarat tekad. “Aku akan ada di sisimu.”Ayla menoleh, menatapnya dengan mata yang sembab namun menyimpan kilatan rasa syukur. “Adrian,” katanya lirih, suaranya hampir pecah. “Ini bukan hanya tentang aku. Keluargamu