“Aku nggak maksud bikin kamu susah,” katanya pelan, menunduk sedikit.
Deg!
Ayla menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia tidak tahu bagaimana mengakhiri percakapan ini tanpa membuat semuanya semakin canggung. “Aku tahu. Aku cuma… aku butuh waktu. Itu saja.”
Adrian mengangguk kecil, lalu perlahan melangkah mundur. “Oke,” katanya sebelum berbalik dan meninggalkan dapur.
Ketika ia sudah pergi, Ayla bersandar pada meja, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan.
Tatapan itu… tatapan Adrian yang tadi, entah bagaimana, terus terngiang di pikirannya. Seolah ada sesuatu di balik tatapan itu yang menolak pergi, sesuatu yang mencoba merengkuhnya meski ia berusaha menjauh.
*** Brak!Suara bantingan pintu depan menggema di rumah. Bram baru saja pulang, lebih awal dari biasanya, tapi bukan itu yang membuat Ayla terkejut.
Cara pintu itu terbanting, langkah kakinya yang berat di lantai kayu, dan nada kasarnya ketika memanggil nama Ayla dari ruang tamu—semuanya memberitahu bahwa ada badai yang akan datang.
"Ayla!" panggilnya dengan nada tinggi.
Ayla, yang sedang berada di dapur menyiapkan makan malam, terdiam. Sendok di tangannya berhenti bergerak di atas mangkuk sup yang hampir selesai ia aduk. Napasnya tertahan sejenak, lalu perlahan ia meletakkan sendok di piring kecil di sebelah kompor.
"Iya, aku di dapur," jawabnya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. Tapi, ia tahu betul, ini bukan pertanda baik.
Langkah kaki Bram mendekat dengan cepat. Ketika ia muncul di pintu dapur, wajahnya tampak tegang. Matanya tajam, seperti seseorang yang sedang menahan amarah yang siap meledak kapan saja.
“Kamu ngapain?” tanyanya, suaranya dingin.
Ayla menelan ludah. Ia tahu ini pertanyaan retorik, sesuatu yang tidak benar-benar membutuhkan jawaban. “Aku lagi masak makan malam,” katanya hati-hati, matanya melirik panci yang masih berisi sup.
“Makan malam?” Bram tertawa sinis. “Kamu pikir aku peduli soal makan malam sekarang?”
Ayla mengernyit, tapi ia tidak membalas. Tangannya sedikit gemetar saat mencoba melepas celemeknya. "Ada apa, Bram?" tanyanya pelan.
Bram mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya. Aroma alkohol samar tercium dari tubuhnya, meski tidak terlalu menyengat. “Ada apa? Serius kamu nanya itu?” Matanya melotot, rahangnya mengeras. “Kamu tahu nggak, Ayla, aku baru saja kena masalah besar di kantor! Dan kamu di sini cuma… masak?”
Ayla menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Ia sudah terbiasa dengan sikap ini. Bram yang selalu mencari pelampiasan untuk stresnya, entah itu di pekerjaannya, di rumah, atau pada dirinya.
“Bram, aku nggak tahu apa yang terjadi di kantor, tapi aku…”
“Apa?!” Bram memotong, suaranya meninggi. “Kamu nggak tahu? Tentu kamu nggak tahu! Kamu cuma duduk di rumah, masak, bersih-bersih, seolah itu cukup! Kamu nggak pernah ngerti apa yang aku alami!”
Ayla merasakan dadanya mencelos. Kata-kata itu menyakitkan, meski ini bukan pertama kalinya ia mendengar hal seperti itu. Tapi kali ini, ada sesuatu yang terasa berbeda. Sesuatu yang membuat hatinya semakin remuk.
Ia mencoba berkata sesuatu, tapi suaranya tercekat. Bram mendengus kesal, lalu berbalik meninggalkannya. “Jangan ganggu aku malam ini,” katanya sambil melangkah keluar dapur. “Dan tolong berhenti bikin rumah ini terasa seperti neraka.”
Pintu ruang kerjanya tertutup dengan keras, meninggalkan Ayla berdiri sendirian di dapur. Tangannya masih memegang celemek, tubuhnya kaku, matanya mulai memanas. Ia menunduk, mencoba mengendalikan napas yang mulai tersendat.
Adrian baru saja kembali dari luar rumah, membawa kantong plastik berisi beberapa bahan makanan yang Ayla titipkan padanya tadi pagi. Ketika ia masuk ke rumah, ia melihat Bram berjalan cepat ke ruang kerja dengan wajah gelap. Adrian tahu itu artinya ada masalah.
Langkahnya melambat saat ia mendekati dapur, dan di sana ia melihat Ayla. Wanita itu berdiri membelakangi pintu, punggungnya tampak tegang, bahunya sedikit gemetar. Plastik belanjaan di tangan Adrian hampir jatuh saat ia menyadari bahwa Ayla sedang menangis.
“Ayla?” panggilnya pelan.
Ayla tersentak sedikit, lalu cepat-cepat mengusap wajahnya dengan ujung lengan cardigan. Ia berbalik, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Oh, kamu sudah pulang," katanya, mencoba terdengar ceria. Tapi matanya yang merah membengkak tidak bisa menyembunyikan apa yang baru saja terjadi.
Adrian mengernyit, menaruh kantong plastik di meja dapur. “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada hati-hati.
“Nggak ada apa-apa,” jawab Ayla cepat. Ia berbalik lagi, pura-pura sibuk membersihkan meja. “Bram cuma… ya, dia stres di kantor. Itu saja.”
Adrian menatap punggung Ayla dengan tatapan penuh pertanyaan. Ia tahu Ayla tidak mengatakan semuanya. Tidak perlu kata-kata, karena sikap Ayla saja sudah cukup untuk memberitahu Adrian bahwa Bram telah melakukan sesuatu yang menyakitkan lagi.
“Ayla,” panggilnya lagi, kali ini lebih lembut.
Ayla menghentikan gerakannya, tapi ia tidak berbalik. Adrian mendekat perlahan, berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya. “Dia nyakitin kamu lagi, ya?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Ayla tetap diam, tapi Adrian bisa melihat dari cara tubuhnya membungkuk sedikit bahwa jawabannya adalah iya.
“Aku nggak apa-apa, Adrian,” akhirnya Ayla berkata, suaranya pelan, hampir berbisik. “Ini cuma… biasa saja.”
“Biasa saja?” Adrian mengulang dengan nada tidak percaya. “Ayla, ini nggak biasa. Kamu nggak seharusnya diperlakukan kayak gini. Apalagi oleh dia.”
Ayla menghela napas panjang, lalu berbalik, menatap Adrian dengan mata yang penuh kelelahan. "Bram cuma lagi stres. Aku ngerti dia."
Adrian menggeleng pelan, tatapannya semakin tajam. “Stres itu bukan alasan buat kasar sama kamu. Nggak pernah jadi alasan.”
Ayla menunduk, tidak mampu menatap mata Adrian lebih lama. "Ini pernikahan, Adrian. Kadang memang begini. Aku nggak bisa…” Ia berhenti, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak bisa menyerah cuma karena dia marah-marah.”
Adrian diam, rahangnya mengeras. Ia ingin membantah, ingin mengatakan sesuatu yang bisa menyadarkan Ayla, tapi ia tahu ini bukan saatnya. Ayla sudah cukup terluka, dan ia tidak ingin membuatnya semakin terpojok.
“Kalau kamu butuh sesuatu… apa saja…” Adrian akhirnya berkata, suaranya lebih pelan sekarang, penuh dengan kesungguhan. “Aku di sini, Ayla.”
Ayla menatapnya sejenak, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kehangatan yang begitu tulus di mata Adrian. Ada sesuatu di sana yang membuatnya merasa… aman. Tapi ia buru-buru mengalihkan pandangan, takut perasaan itu tumbuh lebih besar.
“Terima kasih,” katanya pelan, lalu kembali berbalik, pura-pura sibuk dengan masakannya.
Adrian tetap berdiri di sana untuk beberapa saat, menatap punggung Ayla dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu Ayla sedang berusaha keras menutupi luka-lukanya, tapi ia juga tahu bahwa luka itu semakin dalam setiap harinya.
Ia ingin melakukan sesuatu. Tapi ia juga tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil membawa risiko yang besar.
Malam itu, Ayla duduk di ruang tamu, mencoba menyelesaikan novel yang sama yang ia baca pagi tadi. Tapi seperti sebelumnya, pikirannya sulit fokus. Dari kamar kerja Bram, samar-samar terdengar suara ketikan keyboard dan sesekali suara langkah kaki yang mondar-mandir.
Adrian muncul dari dapur dengan segelas air di tangannya. Ia melihat Ayla di sofa, tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Kamu nggak tidur?” tanyanya sambil berjalan mendekat.
Ayla menoleh, memberikan senyum kecil. “Belum. Kamu juga?”
Adrian duduk di sofa yang berbeda, menyesap air dari gelasnya. “Nggak ngantuk.”
Mereka kembali diam. Hanya suara jam dinding dan gemerisik daun dari luar jendela yang mengisi keheningan.
Adrian akhirnya bicara lagi, suaranya pelan tapi serius. “Ayla, aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan tentang semua ini. Tapi aku benar-benar nggak suka cara Bram memperlakukan kamu.”
Ayla memandang Adrian dengan mata yang sedikit membesar. “Adrian, aku mohon, jangan ikut campur. Ini masalahku dengan Bram.”
“Tapi aku nggak bisa diam aja.” Tatapan Adrian tajam, tapi tidak menghakimi. “Aku nggak tahan lihat kamu terus-terusan disakitin.”
Ayla ingin membalas, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Di balik kata-kata Adrian, ia merasakan ketulusan yang begitu kuat.“Cuma…” Adrian melanjutkan, suaranya melembut. “Aku cuma ingin kamu tahu kalau kamu nggak sendirian.”Ayla menatap Adrian lebih lama kali ini. Ada sesuatu di matanya yang membuat hatinya bergetar. Ia ingin mengatakan terima kasih, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah gumaman pelan. Sayangnya, Ayla dilema.Cuaca bahkan mendukungnya dengan kembalinya hujan mengguyur di pagi hari. Di sana, Ayla tampak berdiri sambil memandangi panci yang mengepul di atas kompor.Tangannya dengan hati-hati mengaduk bubur ayam yang sedang ia masak, gerakan sendok kayunya pelan dan teratur. Di sebelahnya, ada piring-piring kecil berisi irisan daun bawang, bawang goreng, dan potongan cabai rawit.Semua itu tersusun rapi, seperti cerminan dari bagaimana Ayla selalu berusaha menjaga segala sesuatu di hidupnya tetap teratur—meski di dalam hatinya, semuanya sedang berantakan.Dari b
Ayla terdiam, menatap Adrian dengan mata yang penuh kebingungan. Kata-kata itu sederhana, tapi cara Adrian mengatakannya membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang jauh lebih besar di baliknya.“Adrian…” Ayla akhirnya membuka mulut, tapi suaranya terhenti. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.“Maaf,” potong Adrian cepat, tersenyum kecil. “Aku cuma mau bilang kalau aku ada di sini, itu saja.”Ayla tersenyum samar, lalu kembali ke pekerjaannya. Tapi di dalam hatinya, kata-kata Adrian terus terngiang.Sore harinya, hujan kembali turun, lebih deras dari sebelumnya. Ayla duduk di ruang tamu dengan selimut tipis melilit tubuhnya, menatap ke luar jendela. Adrian muncul dari dapur membawa dua cangkir teh, uapnya mengepul lembut di udara.“Ini buat kamu,” katanya sambil menyerahkan salah satu cangkir.Ayla menerimanya dengan hati-hati, merasakan hangatnya langsung menjalar ke telapak tangannya. “Terima kasih,” katanya pelan.Adrian duduk di sofa di sebelahnya, menjaga jarak yang cukup tapi
“Kamu ngerasa sendirian,” sambung Adrian, mengisi kekosongan itu. Suaranya lembut, tapi matanya tajam, seolah ia bisa membaca semua perasaan yang Ayla coba sembunyikan.Ayla mengangguk pelan, air matanya akhirnya jatuh. “Iya. Aku merasa sendirian, Adrian. Aku merasa seperti… aku hilang.”Adrian ingin mendekat, ingin meraih tangan Ayla dan meyakinkannya bahwa ia tidak sendirian. Tapi ia menahan dirinya. Ada batas yang tidak boleh ia lewati, tidak peduli seberapa besar keinginannya untuk melindungi Ayla.“Kamu nggak hilang, Ayla,” katanya pelan. “Kamu cuma lupa gimana rasanya jadi kamu yang sebenarnya. Dan itu nggak salah. Kadang kita butuh waktu untuk nemuin diri kita lagi.”Ayla menatap Adrian, matanya yang basah bertemu dengan tatapan penuh kepastian. Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa terasa seperti pelukan yang hangat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa seperti ada seseorang yang benar-benar memahaminya.“Terima kasih,” bisiknya, hampir tidak terdengar.
Setelah Bram kembali ke ruang kerjanya dan suasana rumah kembali hening, Adrian menghela napas panjang. Ia akhirnya melangkah pelan ke ruang tamu, menghapus jarak antara dirinya dan Ayla."Ayla?" panggilnya dengan nada lembut.Ayla tersentak kecil, buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan. Ia menoleh ke arah Adrian, mencoba memasang senyum yang tidak meyakinkan. “Adrian? Kamu belum tidur?”Adrian menggeleng pelan, tatapannya tetap melekat pada wajah Ayla yang tampak kusut dan letih. “Aku nggak bisa tidur.”Ia berjalan mendekat, lalu duduk di ujung sofa, menjaga jarak yang sopan. “Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya hampir seperti bisikan.Ayla tertawa kecil, suara yang lebih terdengar seperti isakan. "Aku baik-baik saja," jawabnya, meski matanya yang merah dan bengkak jelas mengatakan sebaliknya.Adrian menatap Ayla tanpa berkata-kata. Keheningan di antara mereka terasa berat, penuh dengan pertanyaan yang tidak terucap.“Aku nggak tahu, Adrian,” kata Ayla tiba-tib
Sementara itu, dari balik pintu dapur, Adrian memperhatikan mereka. Ia berdiri di sana dengan diam, menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, kedua tangannya menyilang di depan dada.Mata Adrian mengamati bagaimana Ayla duduk di meja itu, tubuhnya terlihat kecil dan kaku, seperti seseorang yang sedang berusaha keras menyembunyikan luka.Tatapan Adrian beralih ke Bram, yang tidak memberikan satu pun perhatian pada Ayla. Rahang Adrian mengencang, tapi ia menahan diri untuk tidak berbuat apa-apa.Sebuah dorongan muncul di hatinya—keinginan untuk menghentikan semua ini, untuk menarik Ayla keluar dari situasi yang begitu dingin dan menyakitkan. Tapi ia tahu, ada batas yang tidak bisa ia lewati.Setelah beberapa saat, Adrian melangkah masuk ke ruang makan, membuat kursi kayu di lantai sedikit berderit. Ayla menoleh, seperti baru sadar bahwa Adrian ada di sana. Matanya bertemu dengan mata Adrian, dan dalam sekejap, udara di antara mereka terasa berubah.“Pagi,” sapa Adrian lembut, suaranya terde
Namun, di balik kehangatan itu, Ayla tahu. Ia tahu bahwa apa yang sedang terjadi di antara mereka adalah sesuatu yang tidak seharusnya ada. Sesuatu yang salah, tapi terasa begitu benar.Adrian tersenyum kecil, lalu berkata, “Apa pun yang kamu butuhkan, Ayla… aku ada di sini.”Dan untuk saat itu, Ayla memutuskan untuk mempercayainya. Meskipun hatinya masih berperang, meskipun ia tahu bahwa semua ini akan membawa komplikasi yang lebih besar, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kehadiran Adrian. Hanya untuk saat ini. Hanya untuk sekali lagi.Malam itu, rumah terasa sepi. Sejak senja tadi, Bram mengirim pesan singkat kepada Ayla bahwa ia akan pulang larut malam. Seperti biasa, tidak ada alasan panjang, hanya sebuah pesan kaku yang lebih terdengar seperti perintah: "Jangan tunggu aku, lembur."Ayla memandang layar ponselnya cukup lama, membaca pesan itu berkali-kali meski ia tahu isinya tidak akan berubah. Ia tahu Bram akan pulang dengan wajah letih dan marah. Ia tahu, tidak akan ada per
“Jadi,” katanya perlahan, “Apa buku terakhir yang kamu baca?”Ayla mengernyit, mengingat-ingat. “Aku… aku lupa,” jawabnya, sedikit malu. “Kayaknya sudah lama banget sejak aku baca buku sampai selesai.”Adrian tertawa kecil, matanya menatap Ayla dengan penuh perhatian. “Wah, itu artinya kita harus mulai lagi. Kamu mau pinjam salah satu dari koleksiku?”Ayla tertawa pelan. “Aku nggak tahu, Adrian. Buku-bukumu kelihatan terlalu serius buat aku.”Mereka berdua tertawa kecil, dan untuk pertama kalinya malam itu, Ayla merasa beban di dadanya sedikit berkurang. Percakapan sederhana itu membawa kehangatan yang sudah lama hilang dari hidupnya.Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Angin malam berhembus pelan melalui jendela ruang tamu ya
Adrian muncul dari dapur beberapa menit kemudian, membawa dua cangkir teh hangat. Ia melihat Ayla masih duduk di meja makan, memandangi cangkir kopinya yang belum tersentuh. Langkahnya melambat saat ia mendekat, dan senyumnya kecil muncul di wajahnya.“Kamu nggak minum kopi itu?” tanya Adrian, meletakkan salah satu cangkir teh di meja di depan Ayla.Ayla mendongak, menatap Adrian yang kini sudah duduk di kursi di seberangnya. “Aku lupa,” katanya pelan, mengangkat bahu. “Aku cuma… mikir.”Adrian memiringkan kepalanya, menatap Ayla dengan ekspresi yang penuh perhatian. “Mikir apa?”Ayla tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Aku nggak tahu. Mungkin mikir tentang semuanya.”Adrian mengangguk pelan, matanya ti
Pagi itu, suasana apartemen Rita sedikit berbeda. Ayla berdiri ragu di depan pintu, menggigil bukan hanya karena udara pagi yang dingin, tapi juga karena beban yang ia pikul. Ia merapatkan mantel cokelat tua yang sudah lusuh, berusaha menahan dingin yang menyeruak ke tulang.Dengan tangan yang bergetar, ia mengetuk pintu dengan pelan, hati-hatinya dipenuhi kecemasan.Sejurus kemudian, terdengar suara langkah kaki dari dalam apartemen. Pintu perlahan terbuka, dan muncullah wajah Rita yang tampak terkejut dan rambutnya yang tergerai dengan bebas. Ekspresi terkejut terpahat di wajahnya saat ia melihat Ayla berdiri di ambang pintu.“Ayla?” Rita berkata dengan nada penuh tanya. “Apa kamu baik-baik saja?”Dengan kepala mengangguk perlahan, Ayla mencoba tersenyum, meski dari raut wajahnya jelas bahwa ia jauh dari kata baik-baik saja. “Rita, aku… boleh masuk?”“Tentu, masuklah,” jawab Rita sambil membu
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, tempat yang menawarkan ketenangan jauh dari keramaian. Di sana, Ayla memilih tempat duduk di pojok, sibuk memandangi secangkir kopi hitam yang menguap perlahan di depannya.Tak lama kemudian, Adrian datang, membawa aura kehangatan yang seketika membuat suasana hati Ayla sedikit lebih ringan.Adrian segera mengambil tempat duduk di hadapan Ayla, matanya menelusuri wajahnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Ada apa, Ayla?" tanyanya dengan suara yang langsung ke inti, tanpa membuang waktu.Dengan bahu terangkat pelan, Ayla mencoba tersenyum, namun bibirnya bergetar menahan sesuatu. "Hanya...gosip," jawabnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Gosip yang terasa terlalu nyata untuk bisa diabaikan begitu saja."Adrian mengerutkan kening, rasa penasarannya terpicu. "Gosip apa? Apa yang mereka bicarakan?"Mata Ayla tertunduk, berusaha menghindari tatapan tajam Adrian. "Tentang aku..
Suara ketukan pintu tiba-tiba memecah keheningan. Adrian dan Ayla saling pandang, terkejut tergambar jelas di wajah mereka. Adrian bergerak cepat, menuju pintu dengan langkah mantap. Dia melemparkan pandangan singkat kepada Ayla, memberi isyarat agar tetap di tempat.Ketika pintu terbuka, seorang wanita muda berdiri di ambang. Wajahnya basah oleh hujan, rambut panjang menempel di pipinya, dan matanya tajam menatap Ayla di dalam ruangan.“Rita?” Adrian bertanya, terdengar ragu.Rita tidak menjawab. Dengan mantap, dia melangkah masuk tanpa permisi, berdiri di depan Ayla. Ekspresi aneh menghiasi wajahnya—campuran antara kecewa, marah, dan prihatin.“Aku tahu aku akan menemukanmu di sini,” katanya dengan suara lembut namun penuh dengan tekanan.Ayla berdiri perlahan, bibirnya bergetar. “Rita… aku bisa menjelaskan.”Rita mengangkat tangan, memotong Ayla sebelum ia bisa melanjutkan. &l
Lampu meja di sudut ruangan bersinar temaram, memancarkan cahaya hangat yang membelai dinding ruang tamu kecil di apartemen Adrian. Di sudut lain, alunan musik instrumental mengisi udara dengan nada lembut, melarutkan keheningan namun menyisakan atmosfer yang penuh tanda tanya.Ayla duduk di sofa abu-abu gelap, tangannya menggenggam cangkir teh hangat seolah mencari kenyamanan dari uap chamomile yang perlahan membubung. Tatapannya terpaku pada jendela besar di hadapannya, memperlihatkan kota yang terbenam dalam kilauan lampu-lampu malam.Adrian berdiri di dekat dapur, bersandar pada dinding dengan sikap santai yang tampak dipaksakan. Kedua lengannya terlipat di dada, tetapi matanya yang tak tenang mengkhianati ketenangan palsu itu.Ia memandangi Ayla dari jauh, seolah membaca tiap gerakan perempuan itu, yang selalu memancarkan kelembutan bahkan saat pikirannya mungkin sedang dihantui badai kekhawatiran.“Ayla…” Adrian akhirnya memecah k
Malam itu, mereka kembali ke apartemen Adrian. Sebuah keheningan menggantung di udara, seolah waktu berhenti untuk memberi ruang pada pikiran-pikiran yang berlarian di kepala mereka. Ayla duduk di sofa berlapis kain lembut, menggenggam secangkir teh yang sudah lama kehilangan kehangatannya.Tatapannya kosong, tenggelam dalam bayang-bayang cahaya kota yang memantul dari jendela. Sementara itu, Adrian berdiri di dekat jendela, memandangi lautan lampu di kejauhan, seperti mencari jawaban di antara k
Hari-hari berikutnya terasa seperti perjuangan tanpa akhir bagi Ayla dan Adrian. Gosip terus meluas, berhembus dari mulut ke mulut dan tersebar liar di media sosial.Komentar pedas—beberapa tersampaikan langsung, sebagian lagi bersembunyi di balik layar anonim—menghantam mereka tanpa ampun.Suatu malam, Ayla menerima sebuah pesan anonim di ponselnya:"Kau perusak keluarga. Kau tidak layak bahagia."Ia menatap layar ponselnya lama, seolah kata-kata itu menancap di benaknya seperti duri yang tak terlihat. Dengan tangan gemetar, ia meletakkan ponsel itu di atas meja. Adrian, yang tengah duduk di sofa di seberangnya, menangkap perubahan ekspresi di wajah Ayla.Tanpa berkata-kata, ia mendekat dan mengambil ponsel tersebut. Saat membaca pesan itu, rahangnya mengeras.“Kau tidak perlu membaca ini,” ujarnya tegas, mematikan layar ponsel dan menjauhkannya dari jangkauan Ayla. Suaranya terdengar seperti benteng kokoh,
Malam itu di apartemen Adrian, Ayla duduk di sofa, matanya terpaku pada layar ponsel yang terus bergetar. Pesan-pesan berdatangan tanpa henti—beberapa dari teman lama, sebagian besar dari kerabat Bram. Semua mengandung kata-kata tajam, tuduhan, dan penghinaan yang membakar.“Kenapa kau tidak memblokir saja mereka?” tanya Adrian. Ia duduk di lantai dekat meja kecil, sibuk memperbaiki sesuatu, tapi jelas perhatiannya tidak teralihkan dari Ayla.Ayla menggeleng pelan, pandangannya tetap tertuju pada layar. “Aku tidak tahu. Mungkin aku berharap ada seseorang yang akhirnya mau mengerti. Tapi... sepertinya itu hanya angan-angan.”Adrian meletakkan alat di tangannya, menatap Ayla dengan serius. Ia bangkit, lalu duduk di sampingnya. “Ayla, kau tidak perlu pembuktian dari mereka. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Kau sudah cukup kuat untuk melewati semua ini.”Ayla menoleh, menatap mata Adrian yang penuh ketulus
Setelah perdebatan panjang yang penuh emosi, Ayla dan Adrian meninggalkan rumah itu. Langkah mereka perlahan, seperti menanggung beban yang baru saja mereka lepaskan. Mereka berjalan menuju mobil dalam diam, tapi bukan diam yang canggung—melainkan diam yang sarat makna.Tanpa perlu kata-kata, mereka memahami satu hal: keputusan yang baru saja diambil adalah sesuatu yang tak bisa ditarik kembali.Di dalam mobil, Adrian memecah keheningan. “Kau luar biasa tadi,” katanya dengan nada lembut. Ia menatap Ayla, matanya memancarkan kekaguman yang tulus.Ayla tersenyum kecil, meskipun matanya berkaca-kaca. “Aku tidak tahu dari mana keberanian itu datang. Tapi yang jelas, aku tahu aku tidak bisa kembali ke hidup yang dulu.”Adrian mengangguk pelan, lalu meraih tangan Ayla yang tergeletak di atas pangkuannya. “Kita akan melewati ini bersama. Apa pun yang terjadi.”Saat mobil mulai melaju meninggalkan rumah itu, Ayla m
Pagi itu, Ayla duduk di tepi ranjang penginapan, memandangi tirai yang setengah terbuka. Sinar matahari mengintip malu-malu di sela-sela lipatan kain, seolah-olah terlalu ragu untuk benar-benar menembus ruang itu.Namun, kehangatannya tidak cukup untuk mengusir dingin yang mengendap di dalam hatinya. Napas Ayla terdengar pendek-pendek, pikirannya terus berputar pada satu hal yang sama: pertemuan dengan keluarga Bram.Di sudut ruangan, Adrian duduk di kursi dekat meja kecil, wajahnya dipenuhi guratan khawatir. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa begitu panjang, ia akhirnya angkat bicara, suaranya rendah tapi tegas.“Kau tidak perlu menghadapi ini sendirian,” katanya, menatap Ayla dengan mata yang sarat tekad. “Aku akan ada di sisimu.”Ayla menoleh, menatapnya dengan mata yang sembab namun menyimpan kilatan rasa syukur. “Adrian,” katanya lirih, suaranya hampir pecah. “Ini bukan hanya tentang aku. Keluargamu