“Jadi,” katanya perlahan, “Apa buku terakhir yang kamu baca?”Ayla mengernyit, mengingat-ingat. “Aku… aku lupa,” jawabnya, sedikit malu. “Kayaknya sudah lama banget sejak aku baca buku sampai selesai.”Adrian tertawa kecil, matanya menatap Ayla dengan penuh perhatian. “Wah, itu artinya kita harus mulai lagi. Kamu mau pinjam salah satu dari koleksiku?”Ayla tertawa pelan. “Aku nggak tahu, Adrian. Buku-bukumu kelihatan terlalu serius buat aku.”Mereka berdua tertawa kecil, dan untuk pertama kalinya malam itu, Ayla merasa beban di dadanya sedikit berkurang. Percakapan sederhana itu membawa kehangatan yang sudah lama hilang dari hidupnya.Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Angin malam berhembus pelan melalui jendela ruang tamu ya
Adrian muncul dari dapur beberapa menit kemudian, membawa dua cangkir teh hangat. Ia melihat Ayla masih duduk di meja makan, memandangi cangkir kopinya yang belum tersentuh. Langkahnya melambat saat ia mendekat, dan senyumnya kecil muncul di wajahnya.“Kamu nggak minum kopi itu?” tanya Adrian, meletakkan salah satu cangkir teh di meja di depan Ayla.Ayla mendongak, menatap Adrian yang kini sudah duduk di kursi di seberangnya. “Aku lupa,” katanya pelan, mengangkat bahu. “Aku cuma… mikir.”Adrian memiringkan kepalanya, menatap Ayla dengan ekspresi yang penuh perhatian. “Mikir apa?”Ayla tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Aku nggak tahu. Mungkin mikir tentang semuanya.”Adrian mengangguk pelan, matanya ti
Pagi itu hujan turun dengan lembut, membasahi jalanan dan menyisakan bau tanah basah yang menyenangkan. Ayla duduk di meja dapur dengan secangkir teh di tangannya.Matanya menatap kosong ke arah jendela, di mana tetes-tetes hujan beradu dengan kaca, membentuk pola yang terus berubah. Hujan selalu membawa ketenangan untuknya, tapi pagi ini ketenangan itu terasa seperti sebuah ilusi.Ponselnya yang tergeletak di atas meja tiba-tiba bergetar. Ia melirik layar dan melihat nama Rita berkedip di sana. Sahabatnya. Ayla ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu."Halo?" suara Rita terdengar ceria di seberang sana, seperti biasa."Halo, Rita," jawab Ayla, suaranya pelan tapi hangat."Kamu di rumah? Aku lagi dekat rumah ka
Sore itu, Ayla sedang merapikan kamar tamu ketika suara langkah kaki Adrian terdengar mendekat. Ia mengetuk pintu pelan sebelum masuk, membawa setumpuk buku di tangannya."Kamu lagi sibuk?" tanyanya, senyumnya muncul seperti biasanya—hangat dan ramah.Ayla menggeleng, lalu tersenyum kecil. "Nggak, aku cuma merapikan ini sedikit."Adrian meletakkan buku-buku itu di meja kecil dekat jendela, lalu bersandar pada kusen pintu. "Aku bisa bantu kalau kamu butuh," katanya sambil menyilangkan tangannya di dada.Ayla menggeleng lagi, kali ini dengan senyum yang lebih tulus. "Nggak perlu, aku bisa sendiri. Lagipula, ini cuma pekerjaan kecil."Adrian memandang Ayla dengan tatapan yang sulit ditebak. Ia tahu ada sesuatu yang berbeda denga
Ketika akhirnya ia sampai di tempat itu, Ayla duduk diam di dalam mobil selama beberapa detik. Ia menatap restoran yang terlihat hangat dari luar, dengan lampu kuning yang memancarkan cahaya lembut ke jalanan yang basah. Jantungnya berdegup kencang.Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan di dalam, tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang.Ayla melangkah masuk ke restoran dengan hati-hati, matanya langsung menyapu ruangan. Butuh waktu beberapa detik sebelum ia menemukannya—Bram duduk di meja dekat jendela, bersama seorang wanita muda berambut panjang.Wanita itu tertawa kecil sambil menyentuh lengan Bram, dan Bram membalas dengan senyum yang tidak pernah Ayla lihat lagi di rumah.Ayla berdiri terpaku di tempatnya. Rasanya seperti dunia di sekitarnya berhenti. Suar
Adrian tidak memaksa. Ia hanya duduk di sana, bahunya hampir menyentuh bahu Ayla, memberikan kehadiran yang tenang. Hening menyelimuti mereka selama beberapa menit, hanya suara hujan di luar yang terdengar mengisi ruang kosong di antara mereka.Akhirnya, Adrian berbicara. “Aku tahu ini berat buat kamu,” katanya pelan, matanya memandang lurus ke depan. “Dan aku nggak akan bilang aku ngerti sepenuhnya apa yang kamu rasain. Tapi… aku ada di sini, Ayla.”Ayla mengangkat wajahnya sedikit, menatap profil Adrian yang tampak tenang. Kata-katanya sederhana, tapi ada kejujuran yang membuat hati Ayla terasa sedikit lebih ringan.“Adrian,” katanya dengan suara bergetar, “Kenapa semua ini terjadi? Apa aku yang salah?”Adrian menoleh, menatap Ayla dengan mata yang penuh kesedihan dan
Malam itu, setelah Adrian pergi ke kamarnya, Ayla duduk sendirian di ruang tamu. Ia menatap jendela yang gelap, mendengarkan hujan yang masih terus turun di luar. Di dalam dirinya, ada sebuah perasaan yang sulit ia jelaskan—sebuah perasaan hangat yang begitu berbeda dari rasa sakit yang ia alami selama ini.Tapi di balik kehangatan itu, ada rasa bersalah yang terus mengintip. Ayla tahu bahwa apa yang ia rasakan terhadap Adrian tidak seharusnya ada. Tapi bagaimana caranya melawan sesuatu yang terus tumbuh, tanpa ia sadari, tanpa ia inginkan?Ia menarik napas panjang, menutup matanya. Untuk malam ini, ia membiarkan dirinya bersandar pada bayang yang salah. Ia tahu itu salah, tapi ia juga tahu bahwa di sana, ia menemukan sesuatu yang telah lama hilang—sebuah rasa yang selama ini ia cari.Langit malam gelap sempurna, ta
“…Aku takut kehilangan diriku sendiri,” lanjut Ayla, suaranya pecah di akhir kalimat.Adrian tidak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk, menyentuh tangan Ayla yang dingin dengan lembut. Sentuhan itu sederhana, tapi cukup untuk membuat Ayla merasa bahwa ia tidak sendirian.“Kamu nggak akan kehilangan dirimu sendiri, Ayla,” kata Adrian akhirnya, suaranya penuh dengan keyakinan. “Kamu hanya perlu menemukan dirimu lagi. Dan aku… aku di sini untuk membantu kamu.”Ayla menatap Adrian dengan mata yang berkaca-kaca. Kata-kata itu menyentuh sesuatu yang dalam di dalam dirinya, sesuatu yang selama ini ia coba abaikan. Ia tahu bahwa apa yang ia rasakan untuk Adrian bukan lagi sekadar rasa nyaman. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih nyata.Namun, di balik itu semua, a
Siang itu, di antara kehangatan matahari yang lembut, Adrian dan Aruna melangkah memasuki toko bunga. Mereka sepakat untuk menambahkan tanaman baru ke taman kecil di rumah, sebuah tempat yang selalu terasa seperti ruang istimewa untuk keluarga mereka.Rak-rak yang dipenuhi bunga warna-warni menyapa mereka dengan aroma segar dan pemandangan yang memanjakan mata.Saat melewati deretan bunga mawar, langkah Aruna terhenti di depan mawar putih yang tersusun rapi dalam keranjang rotan. Jemarinya dengan hati-hati menyentuh kelopak salah satu bunga, seolah takut merusaknya."Mama suka mawar putih, kan, Pa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Adrian, matanya penuh kenangan.Adrian tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Iya. Dia bilang mawar putih itu lambang cinta yang murni. Meja makan kita hampir selalu dihiasi bunga ini."Aruna tersenyum, seolah menemukan jawaban atas kerinduan yang samar. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, memeluknya dengan lembut sepe
Sore itu, Adrian dan Aruna duduk di ruang kerja Ayla, sebuah sudut kecil yang seakan menyimpan jiwa pemiliknya. Rak-rak penuh buku berjajar rapi, dihiasi benda-benda kecil yang seolah berbicara tentang kenangan masa lalu.Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, memantulkan rona keemasan di dinding ruangan.Aruna, yang sedang menelusuri rak buku, tiba-tiba menemukan sebuah jurnal tua dengan nama Ayla tertulis di sampulnya. Tulisan tangan itu sederhana, tetapi penuh makna.“Ini jurnal Mama?” tanya Aruna dengan nada ingin tahu sambil membuka halaman pertama.Adrian yang duduk di sofa dekat jendela mengangguk perlahan. “Iya. Mama kamu selalu suka menulis. Baginya, itu cara terbaik untuk menyampaikan apa yang tidak sempat diungkapkan dengan kata-kata.”Dengan hati-hati, Aruna mulai membaca halaman demi halaman. Tulisan Ayla mencatat berbagai momen penting dalam hidupnya—dari pertemuan pertamanya dengan Adrian hingga keb
Malam itu, setelah Aruna kembali ke rumahnya sendiri, Adrian duduk sendirian di ruang keluarga. Di hadapannya tergeletak sebuah album foto yang penuh dengan jejak-jejak masa lalu.Jari-jarinya perlahan membuka halaman demi halaman, menghidupkan kembali senyum Ayla yang terbingkai dalam setiap gambar. Setiap potret adalah pengingat akan cinta dan kebahagiaan yang pernah memenuhi hidupnya.Tangannya terhenti pada sebuah foto pernikahan. Ayla tampak memukau dalam balutan gaun putih yang anggun, sementara Adrian di sampingnya terlihat muda, penuh semangat, dan percaya diri. Ia memandang gambar itu lama, seolah ingin menangkap kembali momen kebahagiaan yang tak tergantikan.“Ayla,” bisiknya dengan suara yang serak oleh emosi. “Aku harap kamu tahu... aku selalu mencintai kamu. Setiap hari. Setiap detik.”Ia memejamkan mata, membiarkan arus kenangan membanjiri pikirannya. Meski dadanya terasa sesak oleh rasa rindu yang menusuk, ada kehang
Hari-hari setelah kepergian Ayla adalah masa yang sulit bagi Adrian. Kesedihan seperti bayangan yang selalu mengikutinya, tetapi ia tahu, Ayla tidak pernah benar-benar pergi. Setiap sudut rumah mereka menyimpan kenangan; dindingnya seolah berbisik tentang tawa dan percakapan mereka.Setiap bunga yang mekar di taman menjadi peringatan akan cinta yang mereka bangun dengan penuh kasih sayang.Di malam-malam sunyi, Adrian sering duduk di kursi goyang di teras belakang, memandang bintang-bintang yang berkelip di langit gelap. Ada rasa damai sekaligus rindu yang melingkupi hatinya."Aku nggak akan lupa janji kita, Ay," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desir angin. "Aku akan terus hidup dengan bahagia, untukmu."Cinta mereka tidak berhenti di situ. Cinta itu tetap hidup, bersemayam dalam setiap kenangan yang mereka ciptakan, dalam napas Aruna—putri kecil mereka yang menjadi buah hati dari kisah cinta yang tak tergantikan.
Hujan turun perlahan, butirannya meliuk-liuk di kaca jendela kamar Ayla dan Adrian, seakan menari dalam kesunyian malam.Udara dingin menembus hingga ke tulang, namun di dalam kamar itu, kehangatan terasa begitu nyata—kehangatan yang berasal dari cinta yang telah mereka rawat bersama selama bertahun-tahun. Ayla terbaring di tempat tidur, tubuh mungilnya dibalut selimut tebal.Wajahnya tampak pucat, tapi sorot matanya tetap memancarkan kelembutan yang menjadi ciri khasnya, kelembutan yang selalu membuat Adrian jatuh cinta.Adrian duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, sebuah buku terbuka di tangannya. Suaranya lembut saat ia membacakan cerita, setiap kata meluncur seperti irama yang menenangkan. Ia seolah ingin menjadikan kata-kata itu jubah hangat yang membungkus hati Ayla.“...dan akhirnya, sang putri menemukan kebahagiaan di tempat yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebuah akhir yang mungkin tak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya
Di meja makan, aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat memenuhi udara pagi itu. Adrian duduk di seberang Ayla, mengaduk kopinya dengan gerakan pelan, sesekali melirik istrinya yang tengah menikmati sarapannya.Keheningan di antara mereka terasa nyaman, seolah tak perlu ada kata-kata untuk mengisi ruang. Namun tiba-tiba, Adrian membuka suara, suaranya lembut namun cukup jelas memecah kesunyian."Aku ingat," katanya, senyuman tipis menghiasi wajahnya.Ayla mengangkat alis, meletakkan sendoknya dengan hati-hati. Tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Ingat apa?" tanyanya lembut.Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Ayla dengan sorot yang sulit diartikan. "Waktu pertama kali aku sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu," ucapnya pelan, seperti berbicara langsung dari hatinya.Kata-kata itu membuat Ayla tertegun. Dia tidak menduga Adrian akan mengungkit kenangan itu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman, tapi s
Adrian terdiam. Tatapannya mengabur, diselimuti emosi yang terus ia tahan agar tak tumpah. "Ay, aku nggak mau membicarakan itu sekarang," ucapnya pelan, nyaris berbisik."Tapi aku perlu kamu dengar, Din," balas Ayla, suaranya tegas namun tetap lembut, seperti angin sore yang menyentuh kulit tanpa melukai. "Aku tahu kamu mencintaiku. Aku tahu kamu rela melakukan apa saja untukku. Tapi, Din, aku juga ingin kamu tahu… kebahagiaanmu penting buatku. Sama pentingnya."Adrian menatap Ayla lama, seolah-olah sedang mencari sesuatu di dalam matanya—sebuah harapan, mungkin. Matanya, yang biasa penuh dengan ketenangan, kini berkilat, dihiasi air mata yang menunggu untuk jatuh."Aku nggak bisa bayangkan hidup tanpa kamu, Ay," gumamnya akhirnya, suaranya nyaris pecah.Ayla tersenyum, walaupun air mata mulai menitik di pipinya. "Aku nggak akan pernah benar-benar pergi, Din. Aku akan selalu ada di sini." Jemarinya perlahan menyent
Sesampainya di rumah, Adrian langsung mengantar Ayla ke kamar. Dengan penuh perhatian, ia merapikan bantal dan menyelimuti tubuh istrinya yang tampak kelelahan. Ayla hanya bisa tertawa kecil, senyumnya menghangatkan suasana."Din, aku bukan anak kecil," ucap Ayla lembut, tangannya menyentuh pipi Adrian dengan kehangatan yang membuatnya sejenak terhenti.Adrian mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Tatapannya penuh kasih. "Aku tahu kamu bukan anak kecil. Tapi kamu istriku, Ay, dan aku akan selalu memastikan kamu baik-baik saja."Nada suaranya—tenang namun tegas—membuat Ayla terdiam. Ia meraih tangan Adrian, menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu tahu, Din? Aku nggak pernah merasa seaman ini sebelumnya. Terima kasih karena selalu ada untukku."Adrian tersenyum lembut. Ia membawa tangan Ayla ke bibirnya, mengecupnya dengan perlahan. "Aku nggak akan pernah pergi, Ay. Kita sudah melewati banyak hal bersama. Nggak ada yang bisa mem
Hari itu berlalu dalam kehangatan yang sederhana, namun begitu membekas di hati. Setelah sarapan bersama—ritual pagi yang selalu mereka nikmati dengan tawa kecil dan obrolan ringan—Ayla mengusulkan ide untuk mencoba resep baru yang ia temukan di buku masak lamanya.Adrian, yang awalnya ragu, akhirnya setuju untuk ikut terjun ke dapur.“Duh, ini kayaknya kebanyakan gula, deh,” keluh Adrian sambil mengaduk adonan kue dengan raut penuh keraguan.Ayla tertawa kecil, melirik suaminya dengan tatapan geli sembari tangannya cekatan memotong cokelat hitam. “Nggak apa-apa, kalau terlalu manis, kita kasih aja ke anak-anak tetangga. Mereka pasti suka.”Adrian mengangguk pelan, meski garis ragu di keningnya belum juga sirna. Ia mencuri pandang ke arah Ayla, yang tengah sibuk bekerja dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kamu tahu nggak, Ay? Ada satu hal lagi yang bikin aku bangga selain Aruna."Ayla berhenti sejenak, alisn