Ketika akhirnya ia sampai di tempat itu, Ayla duduk diam di dalam mobil selama beberapa detik. Ia menatap restoran yang terlihat hangat dari luar, dengan lampu kuning yang memancarkan cahaya lembut ke jalanan yang basah. Jantungnya berdegup kencang.
Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan di dalam, tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang.
Ayla melangkah masuk ke restoran dengan hati-hati, matanya langsung menyapu ruangan. Butuh waktu beberapa detik sebelum ia menemukannya—Bram duduk di meja dekat jendela, bersama seorang wanita muda berambut panjang.
Wanita itu tertawa kecil sambil menyentuh lengan Bram, dan Bram membalas dengan senyum yang tidak pernah Ayla lihat lagi di rumah.
Ayla berdiri terpaku di tempatnya. Rasanya seperti dunia di sekitarnya berhenti. Suar
Adrian tidak memaksa. Ia hanya duduk di sana, bahunya hampir menyentuh bahu Ayla, memberikan kehadiran yang tenang. Hening menyelimuti mereka selama beberapa menit, hanya suara hujan di luar yang terdengar mengisi ruang kosong di antara mereka.Akhirnya, Adrian berbicara. “Aku tahu ini berat buat kamu,” katanya pelan, matanya memandang lurus ke depan. “Dan aku nggak akan bilang aku ngerti sepenuhnya apa yang kamu rasain. Tapi… aku ada di sini, Ayla.”Ayla mengangkat wajahnya sedikit, menatap profil Adrian yang tampak tenang. Kata-katanya sederhana, tapi ada kejujuran yang membuat hati Ayla terasa sedikit lebih ringan.“Adrian,” katanya dengan suara bergetar, “Kenapa semua ini terjadi? Apa aku yang salah?”Adrian menoleh, menatap Ayla dengan mata yang penuh kesedihan dan
Malam itu, setelah Adrian pergi ke kamarnya, Ayla duduk sendirian di ruang tamu. Ia menatap jendela yang gelap, mendengarkan hujan yang masih terus turun di luar. Di dalam dirinya, ada sebuah perasaan yang sulit ia jelaskan—sebuah perasaan hangat yang begitu berbeda dari rasa sakit yang ia alami selama ini.Tapi di balik kehangatan itu, ada rasa bersalah yang terus mengintip. Ayla tahu bahwa apa yang ia rasakan terhadap Adrian tidak seharusnya ada. Tapi bagaimana caranya melawan sesuatu yang terus tumbuh, tanpa ia sadari, tanpa ia inginkan?Ia menarik napas panjang, menutup matanya. Untuk malam ini, ia membiarkan dirinya bersandar pada bayang yang salah. Ia tahu itu salah, tapi ia juga tahu bahwa di sana, ia menemukan sesuatu yang telah lama hilang—sebuah rasa yang selama ini ia cari.Langit malam gelap sempurna, ta
“…Aku takut kehilangan diriku sendiri,” lanjut Ayla, suaranya pecah di akhir kalimat.Adrian tidak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk, menyentuh tangan Ayla yang dingin dengan lembut. Sentuhan itu sederhana, tapi cukup untuk membuat Ayla merasa bahwa ia tidak sendirian.“Kamu nggak akan kehilangan dirimu sendiri, Ayla,” kata Adrian akhirnya, suaranya penuh dengan keyakinan. “Kamu hanya perlu menemukan dirimu lagi. Dan aku… aku di sini untuk membantu kamu.”Ayla menatap Adrian dengan mata yang berkaca-kaca. Kata-kata itu menyentuh sesuatu yang dalam di dalam dirinya, sesuatu yang selama ini ia coba abaikan. Ia tahu bahwa apa yang ia rasakan untuk Adrian bukan lagi sekadar rasa nyaman. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih nyata.Namun, di balik itu semua, a
Pintu depan terbuka dengan suara lembut, dan Bram masuk dengan langkah berat. Jasnya basah oleh gerimis, rambutnya sedikit berantakan. Tanpa melihat ke arah Ayla, ia melepas sepatunya dengan gerakan cepat, lalu berjalan ke ruang tamu sambil meraih ponselnya dari saku.“Aku sudah pulang,” katanya singkat, tanpa menatap Ayla.Ayla menelan ludah. Ia memerhatikan Bram selama beberapa detik, mencoba mengumpulkan keberanian. Ketika akhirnya ia berbicara, suaranya terdengar lebih kuat dari yang ia kira.“Kita perlu bicara.”Bram berhenti, menoleh dengan alis terangkat. “Tentang apa?” tanyanya, nada suaranya penuh kebosanan.Ayla menarik napas panjang. “Tentang kamu. Tentang aku. Tentang… perempuan itu.”
Ketika suara mobil Bram menghilang di kejauhan, Ayla membiarkan dirinya jatuh ke lantai, lututnya tidak lagi mampu menopang tubuhnya. Adrian segera berlutut di sampingnya, menatap Ayla dengan penuh kekhawatiran.“Ayla,” katanya pelan, menyentuh bahu wanita itu.Ayla mengangkat wajahnya, air matanya jatuh tanpa henti. “Aku nggak tahu, Adrian. Aku nggak tahu bagaimana aku bisa terus menjalani ini.”Adrian tidak menjawab. Ia hanya menarik Ayla ke dalam pelukannya, memegangnya erat seolah-olah mencoba menyatukan kembali potongan-potongan hati Ayla yang hancur.“Kamu nggak harus menjalani ini sendirian,” bisik Adrian, suaranya rendah dan penuh dengan rasa sakit yang ia rasakan untuk Ayla. “Aku di sini. Aku akan selalu di sini.”Da
Ayla menatap Adrian dengan mata yang penuh emosi. Untuk sesaat, ia merasakan sesuatu yang hangat di tengah semua dingin yang menyelimuti hatinya. Tapi ia juga tahu bahwa kehangatan itu hanya sementara.“Adrian,” katanya pelan, suaranya hampir pecah. “Aku nggak tahu apakah aku cukup kuat untuk mengakhiri ini. Tapi aku juga nggak tahu apakah aku cukup kuat untuk melanjutkannya.”Adrian mengangguk pelan, melepaskan genggamannya dengan hati-hati. “Aku ngerti,” katanya. “Kamu nggak perlu memutuskan sekarang. Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku ada di sini.”Hening kembali menyelimuti mereka. Hanya suara jangkrik dan angin malam yang terdengar, seolah-olah dunia luar tidak tahu apa yang sedang terjadi di antara dua hati yang sedang berperang dengan dirinya sendiri.Ayla berdiri
Adrian duduk di lantai, bersila di hadapan Ayla. Ia tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat, hanya menatap Ayla yang masih menggenggam bingkai foto itu erat-erat. Hening di antara mereka terasa berat, tapi bukan hening yang canggung.Itu adalah hening yang penuh dengan rasa peduli, hening yang memberi ruang bagi Ayla untuk membuka diri tanpa tekanan.“Kamu menangis,” kata Adrian akhirnya, matanya masih terfokus pada wajah Ayla.Ayla tertawa kecil, meski suara tawanya terdengar lebih seperti isak yang terputus. “Aku selalu menangis akhir-akhir ini,” katanya. “Sepertinya aku nggak bisa berhenti.”Adrian tidak langsung merespons. Ia meraih bingkai foto dari tangan Ayla dengan gerakan hati-hati, meletakkannya di lantai di samping mereka. Lalu ia menggenggam tangan Ayla, je
Pagi itu, mentari muncul perlahan di balik jendela dapur rumah Ayla. Cahaya keemasan menyelinap masuk melalui celah tirai, menyapu meja makan dan lantai keramik yang masih dingin. Aroma teh jahe hangat tercium samar, bercampur dengan suara gemerisik angin pagi.Ayla berdiri di depan wastafel, membiarkan air dingin mengalir membasahi jemarinya. Pikirannya melayang jauh, lebih jauh dari rumah yang ia tempati, lebih jauh dari apa yang seharusnya ia pikirkan.Di sudut dapur, Adrian berdiri bersandar di kusen pintu, mengamati Ayla tanpa suara. Kaosnya yang sedikit kusut menempel pas di tubuhnya, dan rambutnya terlihat acak-acakan, tanda ia baru bangun tidur. Tapi matanya—mata itu tidak pernah tampak lelah.Mereka memancarkan sesuatu yang lembut, hangat, tapi juga menyimpan kebimbangan yang sulit dijelaskan.
Sore itu, ketika Ayla melangkah pulang, hembusan angin sejuk menerpa wajahnya, memberikan kesegaran yang tak terduga. Langkahnya terasa sedikit lebih ringan dibanding biasanya.Meski beban rasa bersalah masih menggelayut di hatinya, dukungan yang diberikan Rita telah menumbuhkan kekuatan baru dalam dirinya, sebuah kekuatan yang sebelumnya tak pernah ia sadari.Sesampainya di rumah, kesunyian menyambut kedatangannya. Bram tidak ada di rumah—mungkin masih lembur di kantor atau mungkin juga sedang menghindari pertemuan dengan dirinya. Ayla melepaskan mantelnya dengan gerakan lembut dan melangkah ke dapur untuk membuat secangkir teh.Ketika ia menyalakan teko, aroma teh melati mulai memenuhi ruangan, mengingatkannya pada percakapan hangat yang ia lalui bersama Adrian di sebuah kafe yang nyaman.Ponselnya bergetar lembut di atas meja dapur. Layar menampilkan nama Adrian. Dengan napas yang sedikit tertahan, ia menjawab, "Halo?" Suaranya keluar lebih lembu
Pagi itu, suasana apartemen Rita sedikit berbeda. Ayla berdiri ragu di depan pintu, menggigil bukan hanya karena udara pagi yang dingin, tapi juga karena beban yang ia pikul. Ia merapatkan mantel cokelat tua yang sudah lusuh, berusaha menahan dingin yang menyeruak ke tulang.Dengan tangan yang bergetar, ia mengetuk pintu dengan pelan, hati-hatinya dipenuhi kecemasan.Sejurus kemudian, terdengar suara langkah kaki dari dalam apartemen. Pintu perlahan terbuka, dan muncullah wajah Rita yang tampak terkejut dan rambutnya yang tergerai dengan bebas. Ekspresi terkejut terpahat di wajahnya saat ia melihat Ayla berdiri di ambang pintu.“Ayla?” Rita berkata dengan nada penuh tanya. “Apa kamu baik-baik saja?”Dengan kepala mengangguk perlahan, Ayla mencoba tersenyum, meski dari raut wajahnya jelas bahwa ia jauh dari kata baik-baik saja. “Rita, aku… boleh masuk?”“Tentu, masuklah,” jawab Rita sambil membu
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, tempat yang menawarkan ketenangan jauh dari keramaian. Di sana, Ayla memilih tempat duduk di pojok, sibuk memandangi secangkir kopi hitam yang menguap perlahan di depannya.Tak lama kemudian, Adrian datang, membawa aura kehangatan yang seketika membuat suasana hati Ayla sedikit lebih ringan.Adrian segera mengambil tempat duduk di hadapan Ayla, matanya menelusuri wajahnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Ada apa, Ayla?" tanyanya dengan suara yang langsung ke inti, tanpa membuang waktu.Dengan bahu terangkat pelan, Ayla mencoba tersenyum, namun bibirnya bergetar menahan sesuatu. "Hanya...gosip," jawabnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Gosip yang terasa terlalu nyata untuk bisa diabaikan begitu saja."Adrian mengerutkan kening, rasa penasarannya terpicu. "Gosip apa? Apa yang mereka bicarakan?"Mata Ayla tertunduk, berusaha menghindari tatapan tajam Adrian. "Tentang aku..
Suara ketukan pintu tiba-tiba memecah keheningan. Adrian dan Ayla saling pandang, terkejut tergambar jelas di wajah mereka. Adrian bergerak cepat, menuju pintu dengan langkah mantap. Dia melemparkan pandangan singkat kepada Ayla, memberi isyarat agar tetap di tempat.Ketika pintu terbuka, seorang wanita muda berdiri di ambang. Wajahnya basah oleh hujan, rambut panjang menempel di pipinya, dan matanya tajam menatap Ayla di dalam ruangan.“Rita?” Adrian bertanya, terdengar ragu.Rita tidak menjawab. Dengan mantap, dia melangkah masuk tanpa permisi, berdiri di depan Ayla. Ekspresi aneh menghiasi wajahnya—campuran antara kecewa, marah, dan prihatin.“Aku tahu aku akan menemukanmu di sini,” katanya dengan suara lembut namun penuh dengan tekanan.Ayla berdiri perlahan, bibirnya bergetar. “Rita… aku bisa menjelaskan.”Rita mengangkat tangan, memotong Ayla sebelum ia bisa melanjutkan. &l
Lampu meja di sudut ruangan bersinar temaram, memancarkan cahaya hangat yang membelai dinding ruang tamu kecil di apartemen Adrian. Di sudut lain, alunan musik instrumental mengisi udara dengan nada lembut, melarutkan keheningan namun menyisakan atmosfer yang penuh tanda tanya.Ayla duduk di sofa abu-abu gelap, tangannya menggenggam cangkir teh hangat seolah mencari kenyamanan dari uap chamomile yang perlahan membubung. Tatapannya terpaku pada jendela besar di hadapannya, memperlihatkan kota yang terbenam dalam kilauan lampu-lampu malam.Adrian berdiri di dekat dapur, bersandar pada dinding dengan sikap santai yang tampak dipaksakan. Kedua lengannya terlipat di dada, tetapi matanya yang tak tenang mengkhianati ketenangan palsu itu.Ia memandangi Ayla dari jauh, seolah membaca tiap gerakan perempuan itu, yang selalu memancarkan kelembutan bahkan saat pikirannya mungkin sedang dihantui badai kekhawatiran.“Ayla…” Adrian akhirnya memecah k
Malam itu, mereka kembali ke apartemen Adrian. Sebuah keheningan menggantung di udara, seolah waktu berhenti untuk memberi ruang pada pikiran-pikiran yang berlarian di kepala mereka. Ayla duduk di sofa berlapis kain lembut, menggenggam secangkir teh yang sudah lama kehilangan kehangatannya.Tatapannya kosong, tenggelam dalam bayang-bayang cahaya kota yang memantul dari jendela. Sementara itu, Adrian berdiri di dekat jendela, memandangi lautan lampu di kejauhan, seperti mencari jawaban di antara k
Hari-hari berikutnya terasa seperti perjuangan tanpa akhir bagi Ayla dan Adrian. Gosip terus meluas, berhembus dari mulut ke mulut dan tersebar liar di media sosial.Komentar pedas—beberapa tersampaikan langsung, sebagian lagi bersembunyi di balik layar anonim—menghantam mereka tanpa ampun.Suatu malam, Ayla menerima sebuah pesan anonim di ponselnya:"Kau perusak keluarga. Kau tidak layak bahagia."Ia menatap layar ponselnya lama, seolah kata-kata itu menancap di benaknya seperti duri yang tak terlihat. Dengan tangan gemetar, ia meletakkan ponsel itu di atas meja. Adrian, yang tengah duduk di sofa di seberangnya, menangkap perubahan ekspresi di wajah Ayla.Tanpa berkata-kata, ia mendekat dan mengambil ponsel tersebut. Saat membaca pesan itu, rahangnya mengeras.“Kau tidak perlu membaca ini,” ujarnya tegas, mematikan layar ponsel dan menjauhkannya dari jangkauan Ayla. Suaranya terdengar seperti benteng kokoh,
Malam itu di apartemen Adrian, Ayla duduk di sofa, matanya terpaku pada layar ponsel yang terus bergetar. Pesan-pesan berdatangan tanpa henti—beberapa dari teman lama, sebagian besar dari kerabat Bram. Semua mengandung kata-kata tajam, tuduhan, dan penghinaan yang membakar.“Kenapa kau tidak memblokir saja mereka?” tanya Adrian. Ia duduk di lantai dekat meja kecil, sibuk memperbaiki sesuatu, tapi jelas perhatiannya tidak teralihkan dari Ayla.Ayla menggeleng pelan, pandangannya tetap tertuju pada layar. “Aku tidak tahu. Mungkin aku berharap ada seseorang yang akhirnya mau mengerti. Tapi... sepertinya itu hanya angan-angan.”Adrian meletakkan alat di tangannya, menatap Ayla dengan serius. Ia bangkit, lalu duduk di sampingnya. “Ayla, kau tidak perlu pembuktian dari mereka. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Kau sudah cukup kuat untuk melewati semua ini.”Ayla menoleh, menatap mata Adrian yang penuh ketulus
Setelah perdebatan panjang yang penuh emosi, Ayla dan Adrian meninggalkan rumah itu. Langkah mereka perlahan, seperti menanggung beban yang baru saja mereka lepaskan. Mereka berjalan menuju mobil dalam diam, tapi bukan diam yang canggung—melainkan diam yang sarat makna.Tanpa perlu kata-kata, mereka memahami satu hal: keputusan yang baru saja diambil adalah sesuatu yang tak bisa ditarik kembali.Di dalam mobil, Adrian memecah keheningan. “Kau luar biasa tadi,” katanya dengan nada lembut. Ia menatap Ayla, matanya memancarkan kekaguman yang tulus.Ayla tersenyum kecil, meskipun matanya berkaca-kaca. “Aku tidak tahu dari mana keberanian itu datang. Tapi yang jelas, aku tahu aku tidak bisa kembali ke hidup yang dulu.”Adrian mengangguk pelan, lalu meraih tangan Ayla yang tergeletak di atas pangkuannya. “Kita akan melewati ini bersama. Apa pun yang terjadi.”Saat mobil mulai melaju meninggalkan rumah itu, Ayla m