“…Aku takut kehilangan diriku sendiri,” lanjut Ayla, suaranya pecah di akhir kalimat.
Adrian tidak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk, menyentuh tangan Ayla yang dingin dengan lembut. Sentuhan itu sederhana, tapi cukup untuk membuat Ayla merasa bahwa ia tidak sendirian.
“Kamu nggak akan kehilangan dirimu sendiri, Ayla,” kata Adrian akhirnya, suaranya penuh dengan keyakinan. “Kamu hanya perlu menemukan dirimu lagi. Dan aku… aku di sini untuk membantu kamu.”
Ayla menatap Adrian dengan mata yang berkaca-kaca. Kata-kata itu menyentuh sesuatu yang dalam di dalam dirinya, sesuatu yang selama ini ia coba abaikan. Ia tahu bahwa apa yang ia rasakan untuk Adrian bukan lagi sekadar rasa nyaman. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih nyata.
Namun, di balik itu semua, a
Pintu depan terbuka dengan suara lembut, dan Bram masuk dengan langkah berat. Jasnya basah oleh gerimis, rambutnya sedikit berantakan. Tanpa melihat ke arah Ayla, ia melepas sepatunya dengan gerakan cepat, lalu berjalan ke ruang tamu sambil meraih ponselnya dari saku.“Aku sudah pulang,” katanya singkat, tanpa menatap Ayla.Ayla menelan ludah. Ia memerhatikan Bram selama beberapa detik, mencoba mengumpulkan keberanian. Ketika akhirnya ia berbicara, suaranya terdengar lebih kuat dari yang ia kira.“Kita perlu bicara.”Bram berhenti, menoleh dengan alis terangkat. “Tentang apa?” tanyanya, nada suaranya penuh kebosanan.Ayla menarik napas panjang. “Tentang kamu. Tentang aku. Tentang… perempuan itu.”
Ketika suara mobil Bram menghilang di kejauhan, Ayla membiarkan dirinya jatuh ke lantai, lututnya tidak lagi mampu menopang tubuhnya. Adrian segera berlutut di sampingnya, menatap Ayla dengan penuh kekhawatiran.“Ayla,” katanya pelan, menyentuh bahu wanita itu.Ayla mengangkat wajahnya, air matanya jatuh tanpa henti. “Aku nggak tahu, Adrian. Aku nggak tahu bagaimana aku bisa terus menjalani ini.”Adrian tidak menjawab. Ia hanya menarik Ayla ke dalam pelukannya, memegangnya erat seolah-olah mencoba menyatukan kembali potongan-potongan hati Ayla yang hancur.“Kamu nggak harus menjalani ini sendirian,” bisik Adrian, suaranya rendah dan penuh dengan rasa sakit yang ia rasakan untuk Ayla. “Aku di sini. Aku akan selalu di sini.”Da
Ayla menatap Adrian dengan mata yang penuh emosi. Untuk sesaat, ia merasakan sesuatu yang hangat di tengah semua dingin yang menyelimuti hatinya. Tapi ia juga tahu bahwa kehangatan itu hanya sementara.“Adrian,” katanya pelan, suaranya hampir pecah. “Aku nggak tahu apakah aku cukup kuat untuk mengakhiri ini. Tapi aku juga nggak tahu apakah aku cukup kuat untuk melanjutkannya.”Adrian mengangguk pelan, melepaskan genggamannya dengan hati-hati. “Aku ngerti,” katanya. “Kamu nggak perlu memutuskan sekarang. Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku ada di sini.”Hening kembali menyelimuti mereka. Hanya suara jangkrik dan angin malam yang terdengar, seolah-olah dunia luar tidak tahu apa yang sedang terjadi di antara dua hati yang sedang berperang dengan dirinya sendiri.Ayla berdiri
Adrian duduk di lantai, bersila di hadapan Ayla. Ia tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat, hanya menatap Ayla yang masih menggenggam bingkai foto itu erat-erat. Hening di antara mereka terasa berat, tapi bukan hening yang canggung.Itu adalah hening yang penuh dengan rasa peduli, hening yang memberi ruang bagi Ayla untuk membuka diri tanpa tekanan.“Kamu menangis,” kata Adrian akhirnya, matanya masih terfokus pada wajah Ayla.Ayla tertawa kecil, meski suara tawanya terdengar lebih seperti isak yang terputus. “Aku selalu menangis akhir-akhir ini,” katanya. “Sepertinya aku nggak bisa berhenti.”Adrian tidak langsung merespons. Ia meraih bingkai foto dari tangan Ayla dengan gerakan hati-hati, meletakkannya di lantai di samping mereka. Lalu ia menggenggam tangan Ayla, je
Pagi itu, mentari muncul perlahan di balik jendela dapur rumah Ayla. Cahaya keemasan menyelinap masuk melalui celah tirai, menyapu meja makan dan lantai keramik yang masih dingin. Aroma teh jahe hangat tercium samar, bercampur dengan suara gemerisik angin pagi.Ayla berdiri di depan wastafel, membiarkan air dingin mengalir membasahi jemarinya. Pikirannya melayang jauh, lebih jauh dari rumah yang ia tempati, lebih jauh dari apa yang seharusnya ia pikirkan.Di sudut dapur, Adrian berdiri bersandar di kusen pintu, mengamati Ayla tanpa suara. Kaosnya yang sedikit kusut menempel pas di tubuhnya, dan rambutnya terlihat acak-acakan, tanda ia baru bangun tidur. Tapi matanya—mata itu tidak pernah tampak lelah.Mereka memancarkan sesuatu yang lembut, hangat, tapi juga menyimpan kebimbangan yang sulit dijelaskan.
Namun, meski kebersamaan itu terasa indah, Ayla tidak bisa mengabaikan perasaan bersalah yang terus menghantuinya. Setiap kali ia menatap Adrian, ada dua hal yang muncul di benaknya—rasa cinta yang tumbuh semakin dalam, dan bayangan Bram yang perlahan mulai memudar.Di malam harinya, ketika Adrian hendak kembali ke kamar tamu, Ayla memanggilnya.“Adrian,” katanya pelan.Adrian berhenti di ambang pintu, menoleh. “Ya?”Ayla mendekatinya, berhenti hanya beberapa langkah darinya. Ia menatap mata Adrian, mencoba mencari kekuatan dalam tatapan itu.“Apa menurutmu kita bisa melewati ini?” tanyanya, suaranya nyaris pecah.Adrian menatap Ayla lama, seolah mencari jawaban di dalam dirinya s
Bram tertawa sinis, melangkah mundur dengan tangan yang gemetar. “Ini benar-benar lucu,” katanya. “Kamu, yang bahkan nggak punya rumah sendiri, mencoba memberi tahu aku bagaimana caranya menjalani pernikahan?”“Bram, cukup!” Ayla akhirnya berteriak. Suaranya pecah, tapi jelas membawa rasa sakit yang mendalam.Bram menoleh ke arahnya, terkejut dengan ledakan emosi itu. “Cukup?” tanyanya, wajahnya penuh dengan ekspresi yang tidak percaya. “Ini hidup aku, Ayla. Kamu pikir kamu bisa bicara seperti itu setelah apa yang kamu lakukan?”Ayla menatap Bram dengan mata yang penuh air mata. “Aku nggak melakukan apa-apa yang salah,” katanya dengan suara bergetar.“Tapi kamu? Kamu sudah menyakiti aku berkali-kali. Kamu mengabaikan aku, memperlakukan aku seperti aku nggak ada. Jadi jan
"Kamu bilang itu mudah, tapi aku tahu ini nggak sesederhana itu. Bagaimana aku bisa membuat keputusan yang tidak akan menyakiti siapa pun? Aku tidak ingin melukai kamu, Adrian. Tapi aku juga tidak ingin terus menyakiti Bram, meskipun aku tahu dia juga sudah menyakiti aku lebih dulu."Adrian menghela napas, lalu duduk di lantai di depan Ayla. Ia mendongak untuk melihat wajah Ayla yang masih terlihat lelah."Ayla," katanya, suaranya rendah tapi penuh ketulusan, "Kadang dalam hidup, kita harus membuat pilihan yang memang akan menyakitkan seseorang. Tapi kamu juga harus ingat, kamu berhak memilih kebahagiaanmu sendiri. Itu bukan egois. Itu adalah hak kamu."Kata-kata itu menggema di dalam kepala Ayla. Ia tahu Adrian benar. Tapi bagaimana caranya ia bisa menghadapi kenyataan bahwa apa pun pilihannya, akan ada hati yang h
Siang itu, di antara kehangatan matahari yang lembut, Adrian dan Aruna melangkah memasuki toko bunga. Mereka sepakat untuk menambahkan tanaman baru ke taman kecil di rumah, sebuah tempat yang selalu terasa seperti ruang istimewa untuk keluarga mereka.Rak-rak yang dipenuhi bunga warna-warni menyapa mereka dengan aroma segar dan pemandangan yang memanjakan mata.Saat melewati deretan bunga mawar, langkah Aruna terhenti di depan mawar putih yang tersusun rapi dalam keranjang rotan. Jemarinya dengan hati-hati menyentuh kelopak salah satu bunga, seolah takut merusaknya."Mama suka mawar putih, kan, Pa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Adrian, matanya penuh kenangan.Adrian tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Iya. Dia bilang mawar putih itu lambang cinta yang murni. Meja makan kita hampir selalu dihiasi bunga ini."Aruna tersenyum, seolah menemukan jawaban atas kerinduan yang samar. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, memeluknya dengan lembut sepe
Sore itu, Adrian dan Aruna duduk di ruang kerja Ayla, sebuah sudut kecil yang seakan menyimpan jiwa pemiliknya. Rak-rak penuh buku berjajar rapi, dihiasi benda-benda kecil yang seolah berbicara tentang kenangan masa lalu.Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, memantulkan rona keemasan di dinding ruangan.Aruna, yang sedang menelusuri rak buku, tiba-tiba menemukan sebuah jurnal tua dengan nama Ayla tertulis di sampulnya. Tulisan tangan itu sederhana, tetapi penuh makna.“Ini jurnal Mama?” tanya Aruna dengan nada ingin tahu sambil membuka halaman pertama.Adrian yang duduk di sofa dekat jendela mengangguk perlahan. “Iya. Mama kamu selalu suka menulis. Baginya, itu cara terbaik untuk menyampaikan apa yang tidak sempat diungkapkan dengan kata-kata.”Dengan hati-hati, Aruna mulai membaca halaman demi halaman. Tulisan Ayla mencatat berbagai momen penting dalam hidupnya—dari pertemuan pertamanya dengan Adrian hingga keb
Malam itu, setelah Aruna kembali ke rumahnya sendiri, Adrian duduk sendirian di ruang keluarga. Di hadapannya tergeletak sebuah album foto yang penuh dengan jejak-jejak masa lalu.Jari-jarinya perlahan membuka halaman demi halaman, menghidupkan kembali senyum Ayla yang terbingkai dalam setiap gambar. Setiap potret adalah pengingat akan cinta dan kebahagiaan yang pernah memenuhi hidupnya.Tangannya terhenti pada sebuah foto pernikahan. Ayla tampak memukau dalam balutan gaun putih yang anggun, sementara Adrian di sampingnya terlihat muda, penuh semangat, dan percaya diri. Ia memandang gambar itu lama, seolah ingin menangkap kembali momen kebahagiaan yang tak tergantikan.“Ayla,” bisiknya dengan suara yang serak oleh emosi. “Aku harap kamu tahu... aku selalu mencintai kamu. Setiap hari. Setiap detik.”Ia memejamkan mata, membiarkan arus kenangan membanjiri pikirannya. Meski dadanya terasa sesak oleh rasa rindu yang menusuk, ada kehang
Hari-hari setelah kepergian Ayla adalah masa yang sulit bagi Adrian. Kesedihan seperti bayangan yang selalu mengikutinya, tetapi ia tahu, Ayla tidak pernah benar-benar pergi. Setiap sudut rumah mereka menyimpan kenangan; dindingnya seolah berbisik tentang tawa dan percakapan mereka.Setiap bunga yang mekar di taman menjadi peringatan akan cinta yang mereka bangun dengan penuh kasih sayang.Di malam-malam sunyi, Adrian sering duduk di kursi goyang di teras belakang, memandang bintang-bintang yang berkelip di langit gelap. Ada rasa damai sekaligus rindu yang melingkupi hatinya."Aku nggak akan lupa janji kita, Ay," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desir angin. "Aku akan terus hidup dengan bahagia, untukmu."Cinta mereka tidak berhenti di situ. Cinta itu tetap hidup, bersemayam dalam setiap kenangan yang mereka ciptakan, dalam napas Aruna—putri kecil mereka yang menjadi buah hati dari kisah cinta yang tak tergantikan.
Hujan turun perlahan, butirannya meliuk-liuk di kaca jendela kamar Ayla dan Adrian, seakan menari dalam kesunyian malam.Udara dingin menembus hingga ke tulang, namun di dalam kamar itu, kehangatan terasa begitu nyata—kehangatan yang berasal dari cinta yang telah mereka rawat bersama selama bertahun-tahun. Ayla terbaring di tempat tidur, tubuh mungilnya dibalut selimut tebal.Wajahnya tampak pucat, tapi sorot matanya tetap memancarkan kelembutan yang menjadi ciri khasnya, kelembutan yang selalu membuat Adrian jatuh cinta.Adrian duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, sebuah buku terbuka di tangannya. Suaranya lembut saat ia membacakan cerita, setiap kata meluncur seperti irama yang menenangkan. Ia seolah ingin menjadikan kata-kata itu jubah hangat yang membungkus hati Ayla.“...dan akhirnya, sang putri menemukan kebahagiaan di tempat yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebuah akhir yang mungkin tak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya
Di meja makan, aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat memenuhi udara pagi itu. Adrian duduk di seberang Ayla, mengaduk kopinya dengan gerakan pelan, sesekali melirik istrinya yang tengah menikmati sarapannya.Keheningan di antara mereka terasa nyaman, seolah tak perlu ada kata-kata untuk mengisi ruang. Namun tiba-tiba, Adrian membuka suara, suaranya lembut namun cukup jelas memecah kesunyian."Aku ingat," katanya, senyuman tipis menghiasi wajahnya.Ayla mengangkat alis, meletakkan sendoknya dengan hati-hati. Tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Ingat apa?" tanyanya lembut.Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Ayla dengan sorot yang sulit diartikan. "Waktu pertama kali aku sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu," ucapnya pelan, seperti berbicara langsung dari hatinya.Kata-kata itu membuat Ayla tertegun. Dia tidak menduga Adrian akan mengungkit kenangan itu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman, tapi s
Adrian terdiam. Tatapannya mengabur, diselimuti emosi yang terus ia tahan agar tak tumpah. "Ay, aku nggak mau membicarakan itu sekarang," ucapnya pelan, nyaris berbisik."Tapi aku perlu kamu dengar, Din," balas Ayla, suaranya tegas namun tetap lembut, seperti angin sore yang menyentuh kulit tanpa melukai. "Aku tahu kamu mencintaiku. Aku tahu kamu rela melakukan apa saja untukku. Tapi, Din, aku juga ingin kamu tahu… kebahagiaanmu penting buatku. Sama pentingnya."Adrian menatap Ayla lama, seolah-olah sedang mencari sesuatu di dalam matanya—sebuah harapan, mungkin. Matanya, yang biasa penuh dengan ketenangan, kini berkilat, dihiasi air mata yang menunggu untuk jatuh."Aku nggak bisa bayangkan hidup tanpa kamu, Ay," gumamnya akhirnya, suaranya nyaris pecah.Ayla tersenyum, walaupun air mata mulai menitik di pipinya. "Aku nggak akan pernah benar-benar pergi, Din. Aku akan selalu ada di sini." Jemarinya perlahan menyent
Sesampainya di rumah, Adrian langsung mengantar Ayla ke kamar. Dengan penuh perhatian, ia merapikan bantal dan menyelimuti tubuh istrinya yang tampak kelelahan. Ayla hanya bisa tertawa kecil, senyumnya menghangatkan suasana."Din, aku bukan anak kecil," ucap Ayla lembut, tangannya menyentuh pipi Adrian dengan kehangatan yang membuatnya sejenak terhenti.Adrian mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Tatapannya penuh kasih. "Aku tahu kamu bukan anak kecil. Tapi kamu istriku, Ay, dan aku akan selalu memastikan kamu baik-baik saja."Nada suaranya—tenang namun tegas—membuat Ayla terdiam. Ia meraih tangan Adrian, menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu tahu, Din? Aku nggak pernah merasa seaman ini sebelumnya. Terima kasih karena selalu ada untukku."Adrian tersenyum lembut. Ia membawa tangan Ayla ke bibirnya, mengecupnya dengan perlahan. "Aku nggak akan pernah pergi, Ay. Kita sudah melewati banyak hal bersama. Nggak ada yang bisa mem
Hari itu berlalu dalam kehangatan yang sederhana, namun begitu membekas di hati. Setelah sarapan bersama—ritual pagi yang selalu mereka nikmati dengan tawa kecil dan obrolan ringan—Ayla mengusulkan ide untuk mencoba resep baru yang ia temukan di buku masak lamanya.Adrian, yang awalnya ragu, akhirnya setuju untuk ikut terjun ke dapur.“Duh, ini kayaknya kebanyakan gula, deh,” keluh Adrian sambil mengaduk adonan kue dengan raut penuh keraguan.Ayla tertawa kecil, melirik suaminya dengan tatapan geli sembari tangannya cekatan memotong cokelat hitam. “Nggak apa-apa, kalau terlalu manis, kita kasih aja ke anak-anak tetangga. Mereka pasti suka.”Adrian mengangguk pelan, meski garis ragu di keningnya belum juga sirna. Ia mencuri pandang ke arah Ayla, yang tengah sibuk bekerja dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kamu tahu nggak, Ay? Ada satu hal lagi yang bikin aku bangga selain Aruna."Ayla berhenti sejenak, alisn