Ayla menatap Adrian dengan mata yang penuh emosi. Untuk sesaat, ia merasakan sesuatu yang hangat di tengah semua dingin yang menyelimuti hatinya. Tapi ia juga tahu bahwa kehangatan itu hanya sementara.
“Adrian,” katanya pelan, suaranya hampir pecah. “Aku nggak tahu apakah aku cukup kuat untuk mengakhiri ini. Tapi aku juga nggak tahu apakah aku cukup kuat untuk melanjutkannya.”
Adrian mengangguk pelan, melepaskan genggamannya dengan hati-hati. “Aku ngerti,” katanya. “Kamu nggak perlu memutuskan sekarang. Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku ada di sini.”
Hening kembali menyelimuti mereka. Hanya suara jangkrik dan angin malam yang terdengar, seolah-olah dunia luar tidak tahu apa yang sedang terjadi di antara dua hati yang sedang berperang dengan dirinya sendiri.
Ayla berdiri
Adrian duduk di lantai, bersila di hadapan Ayla. Ia tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat, hanya menatap Ayla yang masih menggenggam bingkai foto itu erat-erat. Hening di antara mereka terasa berat, tapi bukan hening yang canggung.Itu adalah hening yang penuh dengan rasa peduli, hening yang memberi ruang bagi Ayla untuk membuka diri tanpa tekanan.“Kamu menangis,” kata Adrian akhirnya, matanya masih terfokus pada wajah Ayla.Ayla tertawa kecil, meski suara tawanya terdengar lebih seperti isak yang terputus. “Aku selalu menangis akhir-akhir ini,” katanya. “Sepertinya aku nggak bisa berhenti.”Adrian tidak langsung merespons. Ia meraih bingkai foto dari tangan Ayla dengan gerakan hati-hati, meletakkannya di lantai di samping mereka. Lalu ia menggenggam tangan Ayla, je
Pagi itu, mentari muncul perlahan di balik jendela dapur rumah Ayla. Cahaya keemasan menyelinap masuk melalui celah tirai, menyapu meja makan dan lantai keramik yang masih dingin. Aroma teh jahe hangat tercium samar, bercampur dengan suara gemerisik angin pagi.Ayla berdiri di depan wastafel, membiarkan air dingin mengalir membasahi jemarinya. Pikirannya melayang jauh, lebih jauh dari rumah yang ia tempati, lebih jauh dari apa yang seharusnya ia pikirkan.Di sudut dapur, Adrian berdiri bersandar di kusen pintu, mengamati Ayla tanpa suara. Kaosnya yang sedikit kusut menempel pas di tubuhnya, dan rambutnya terlihat acak-acakan, tanda ia baru bangun tidur. Tapi matanya—mata itu tidak pernah tampak lelah.Mereka memancarkan sesuatu yang lembut, hangat, tapi juga menyimpan kebimbangan yang sulit dijelaskan.
Namun, meski kebersamaan itu terasa indah, Ayla tidak bisa mengabaikan perasaan bersalah yang terus menghantuinya. Setiap kali ia menatap Adrian, ada dua hal yang muncul di benaknya—rasa cinta yang tumbuh semakin dalam, dan bayangan Bram yang perlahan mulai memudar.Di malam harinya, ketika Adrian hendak kembali ke kamar tamu, Ayla memanggilnya.“Adrian,” katanya pelan.Adrian berhenti di ambang pintu, menoleh. “Ya?”Ayla mendekatinya, berhenti hanya beberapa langkah darinya. Ia menatap mata Adrian, mencoba mencari kekuatan dalam tatapan itu.“Apa menurutmu kita bisa melewati ini?” tanyanya, suaranya nyaris pecah.Adrian menatap Ayla lama, seolah mencari jawaban di dalam dirinya s
Bram tertawa sinis, melangkah mundur dengan tangan yang gemetar. “Ini benar-benar lucu,” katanya. “Kamu, yang bahkan nggak punya rumah sendiri, mencoba memberi tahu aku bagaimana caranya menjalani pernikahan?”“Bram, cukup!” Ayla akhirnya berteriak. Suaranya pecah, tapi jelas membawa rasa sakit yang mendalam.Bram menoleh ke arahnya, terkejut dengan ledakan emosi itu. “Cukup?” tanyanya, wajahnya penuh dengan ekspresi yang tidak percaya. “Ini hidup aku, Ayla. Kamu pikir kamu bisa bicara seperti itu setelah apa yang kamu lakukan?”Ayla menatap Bram dengan mata yang penuh air mata. “Aku nggak melakukan apa-apa yang salah,” katanya dengan suara bergetar.“Tapi kamu? Kamu sudah menyakiti aku berkali-kali. Kamu mengabaikan aku, memperlakukan aku seperti aku nggak ada. Jadi jan
"Kamu bilang itu mudah, tapi aku tahu ini nggak sesederhana itu. Bagaimana aku bisa membuat keputusan yang tidak akan menyakiti siapa pun? Aku tidak ingin melukai kamu, Adrian. Tapi aku juga tidak ingin terus menyakiti Bram, meskipun aku tahu dia juga sudah menyakiti aku lebih dulu."Adrian menghela napas, lalu duduk di lantai di depan Ayla. Ia mendongak untuk melihat wajah Ayla yang masih terlihat lelah."Ayla," katanya, suaranya rendah tapi penuh ketulusan, "Kadang dalam hidup, kita harus membuat pilihan yang memang akan menyakitkan seseorang. Tapi kamu juga harus ingat, kamu berhak memilih kebahagiaanmu sendiri. Itu bukan egois. Itu adalah hak kamu."Kata-kata itu menggema di dalam kepala Ayla. Ia tahu Adrian benar. Tapi bagaimana caranya ia bisa menghadapi kenyataan bahwa apa pun pilihannya, akan ada hati yang h
“Jadi, kamu mau sampai kapan kayak gini, Ay?” Suara Rita menggema di ruang tamu kecil yang dihiasi secangkir teh hangat di atas meja kayu. Wajah sahabatnya itu menatap lurus ke arahnya, penuh dengan rasa khawatir bercampur tuntutan. Ayla menghela napas pelan, jemarinya meremas ujung kain rok yang ia pakai.“Aku… aku nggak tahu, Rita,” jawab Ayla akhirnya, suaranya lirih. Pandangannya terarah pada bunga anggrek yang mulai layu di sudut ruangan. Seperti itulah hatinya sekarang—layu, kehilangan warna. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana.”Rita menyandarkan tubuhnya ke sofa, melipat tangan di depan dada. Matanya menyipit, menilai Ayla yang duduk di depannya seperti seorang hakim yang me
“Ayla.” Suara Bram terdengar dingin, menggema di antara hembusan angin malam. Ayla membeku, punggungnya kaku, sementara tangan Adrian mengepal erat di sisi tubuhnya. Bram melangkah mendekat, sorot matanya tajam seperti pisau yang menusuk langsung ke dadanya.“Apa yang kamu lakukan di sini… sama dia?” Bram melirik Adrian dengan tatapan penuh kecurigaan.Ayla membuka mulut, tapi tidak ada kata yang keluar. Suasana di antara mereka terasa berat, nyaris tak tertahankan. Adrian akhirnya melangkah maju, tubuhnya tegang seperti kawat yang tertarik.“Aku cuma… aku hanya memastikan Ayla baik-baik saja, Kak,” kata Adrian dengan suara yang dipaksaka
Malamnya, Ayla berdiri di depan lemari pakaiannya, menatap pakaian-pakaian yang berjejer rapi. Ia menarik sebuah sweater, lalu memeluknya. Itu adalah sweater yang Bram berikan padanya di ulang tahun pernikahan pertama mereka.Saat ia menutup lemari, sebuah kotak kecil di sudut rak menarik perhatiannya. Kotak itu berisi surat-surat lama dari Bram, tulisan tangan yang penuh janji-janji manis. Ayla membuka salah satu surat itu, membaca tulisan yang sudah mulai memudar.“Ayla, kamu adalah segalanya untukku. Aku janji nggak akan pernah berhenti mencintai kamu.”Air mata mengalir di pipinya. Janji itu pernah terasa nyata, tapi kini hanya menjadi bayangan masa lalu. Ayla menutup kotak itu dengan gemetar, lalu terduduk di lantai, terisak sendirian.Di luar, hujan mul
"Terima kasih," ucap Ayla tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh dengan rasa syukur yang mendalam.Adrian menoleh, keheranan tergambar dari alisnya yang terangkat. "Untuk apa?" tanyanya, rasa ingin tahu memenuhi suaranya."Untuk semuanya," lanjut Ayla, matanya menatap Adrian dengan penuh arti. "Untuk tetap di sini, untuk mencintai aku apa adanya... bahkan ketika aku merasa bukan siapa-siapa lagi." Suaranya semakin lembut, seolah-olah takut mengganggu kesunyian yang menyelimuti ruangan itu.Adrian tidak ragu-ragu, bangkit dari kursinya, dan duduk tepat di sebelah Ayla di sofa empuk itu. Dengan perlahan, ia menarik Ayla ke dalam pelukannya, sebuah pelukan yang memberikan kehangatan dan perlindungan."Kamu tidak pernah menjadi 'bukan siapa-siapa', Ay. Bagiku, kamu adalah segalanya. Kamu adalah rumahku. Kamu tahu itu, bukan?"Di bawah naungan pelukan itu, Ayla mengangguk, biarkan detak jantung Adrian, yang terdengar stabil dan menenangkan, menjadi iram
Mereka berkendara menuju sebuah danau kecil di pinggiran kota, tempat yang dulu kerap mereka singgahi sebelum kehadiran Aruna. Udara segar dan pemandangan yang berwarna-warni hijau itu menyambut mereka, menghadirkan kedamaian yang telah lama mereka idamkan.Adrian memandang ke sekeliling dengan rasa takjub. "Aku enggak percaya kamu masih ingat jalan ke tempat ini," ucapnya penuh keheranan."Tentu saja aku ingat," sahut Ayla sambil membuka keranjang piknik yang telah ia persiapkan dengan teliti. "Di sini, di tempat ini, kamu pertama kali mengungkapkan cintamu padaku."Sebuah tawa kecil terlepas dari bibir Adrian, wajahnya memerah seketika. "Itu adalah salah satu momen yang paling menggetarkan hatiku. Aku takut sekali kamu tidak akan membalas perasaanku," kenangnya."Namun aku membalasnya, bukan?" Ayla membalas dengan senyum menggoda yang memancar dari matanya.Adrian tertawa lagi, lalu dengan lembut duduk di samping Ayla. "Kamu lebih dari seka
Janji itu mulai diwujudkan Ayla beberapa hari kemudian. Dengan semangat baru, ia berusaha mengatur ulang jadwalnya, menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat sehingga malam-malamnya bisa dihabiskan bersama Adrian dan Aruna.Suasana rumah pun kini lebih hangat, setiap detik bersama terasa lebih berharga.Pada suatu malam yang dingin, Ayla menyiapkan kejutan manis untuk Adrian. Setelah Aruna terlelap, ia mengubah ruang tamu menjadi oasis kecil yang tenang dan romantis dengan lampu redup dan lilin aromaterapi yang memenuhi udara dengan wangi yang menenangkan.Di atas meja kecil, ia menata dua cangkir teh hangat yang menguap dan beberapa camilan ringan yang menggugah selera.Ketika Adrian melangkah keluar dari kamar Aruna, ia terkejut dan terpesona melihat transformasi ruang tamu mereka. “Ini apa?” tanyanya, bibirnya mengembang dalam senyum yang tak bisa disembunyikan.“Ini malam kita,” jawab Ayla lembut, matanya berbinar saat
Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela rumah kecil itu, menari-nari di antara aroma kopi yang baru saja diseduh. Ayla, dengan lengan blusnya yang tergulung rapi, tengah sibuk berkelana di dapur sambil sesekali memeriksa daftar tugas yang berderet di layar ponselnya.Di meja makan, suasana menjadi lebih hangat saat Adrian dengan lembut menyuapi Aruna, putri kecil mereka yang ceria, sambil sesekali membuat suara lucu, “aaaa… nyam!” yang selalu berhasil membuat Aruna tertawa gembira.“Aduh, Adrian, kamu nggak lihat file presentasiku di meja kerja, kan?” tanya Ayla, suaranya terdengar memantul dari dapur ke ruang tengah. “Kayaknya tadi malam aku taruh di sana deh.”Dengan alisnya yang sedikit terangkat, Adrian menoleh, “Yang file biru itu? Udah aku simpan di rak paling atas, biar Aruna nggak jadi mainan lagi.”“Ah, iya, benar sekali. Makasih ya,” sahut Ayla, sambil berlari kecil menuju rak
Pertemuan yang semula kikuk itu mulai mencair berkat usaha Nadya. Dengan nada ramah, ia memperkenalkan diri,"Namaku Nadya," ucapnya sambil menyunggingkan senyum hangat kepada Ayla dan Adrian. "Senang sekali bisa berjumpa dengan kalian berdua. Bram sering sekali menceritakan tentang kalian."Ayla, terbawa suasana hangat tersebut, membalas dengan senyum lembut. "Senang bertemu denganmu juga, Nadya. Kamu terlihat seperti seseorang yang hangat dan menyenangkan."Nadya tertawa kecil, matanya berbinar saat menoleh ke arah Bram dengan penuh kelembutan. "Terima kasih, Ayla. Mungkin itu juga pengaruh dari Bram, dia memang orang yang istimewa."Ayla memperhatikan senyum tipis yang tersungging di wajah Bram—sesuatu yang langka ia saksikan. Bram tampaknya lebih santai, lebih terbuka, seperti terbebas dari beban.Adrian, yang ingin memastikan percakapan tetap mengalir, bertanya, "Jadi, kapan kalian berencana menikah?""Dua bulan lagi," sahut Nadya
Acara pertunangan itu berlangsung dengan gemerlap dan penuh tawa, namun bagi Ayla, sorotan malam itu bukanlah pada Bram dan Nadya.Sorotan itu tertuju pada kesadaran mendalam yang muncul di antara dia dan Adrian, tentang bagaimana mereka telah tumbuh dan berkembang bersama sebagai sepasang kekasih.Di sebuah sudut ruangan yang tenang, mereka berdua duduk bersisian di meja kecil, menikmati seiris kue yang lezat sambil terlibat dalam percakapan yang ringan namun penuh makna.Adrian dengan lembut menyeka sisa krim yang terselip di sudut bibir Ayla menggunakan ibu jarinya, suatu gerakan kecil yang mengundang tawa lembut dari Ayla."Kamu ini, selalu saja punya cara untuk membuatku tersipu," ujar Ayla sembari memberikan tepukan ringan di lengan Adrian.Adrian hanya tersenyum simpul, matanya berbinar dengan keseriusan. "Aku hanya ingin kamu tahu betapa berharganya kamu di hatiku. Sayang, kita sudah melewati banyak hal bersama. Terkadang aku bertanya-tanya
Hari pernikahan Bram tiba lebih cepat dari yang Ayla bayangkan. Setelah memutar berbagai pertimbangan dalam pikirannya, ia akhirnya memutuskan untuk absen. Baginya, hadir hanya akan membuka kembali luka lama yang telah ia usahakan untuk sembuh.Namun, pada malam yang sama, suasana di ruang tamu rumah Ayla terasa hangat dan nyaman. Ayla dan Adrian tenggelam dalam dunia film yang mereka tonton, ditemani tawa riang Aruna yang sesekali terdengar.Suasana itu sempat terhenti ketika Adrian tiba-tiba bertanya dengan nada penuh perhatian, "Kamu yakin dengan keputusanmu itu?"Ayla menoleh, matanya menatap Adrian dengan tatapan yang mengandung kebulatan tekad. "Yakin," jawabnya, mantap. "Aku sudah melangkah terlalu jauh untuk mundur. Bram sekarang punya kehidupannya, dan aku juga. Tidak perlu aku membuktikan sesuatu dengan kehadiranku di sana."Senyum mengembang di wajah Adrian, dia kemudian meraih tangan Ayla, menggenggamnya erat. "Kamu sudah melangkah sangat jauh
Pagi itu, semerbak aroma kopi yang baru diseduh memenuhi setiap sudut dapur kecil mereka. Ayla, sambil menyajikan kopi, mengamati Aruna yang asyik bermain dengan balok-balok berwarna cerah di lantai.Di sisi lain, Adrian tampak serius memandangi layar ponselnya, dahi berkerut menandakan ada sesuatu yang mengganggunya."Ada yang tidak beres?" Ayla bertanya, penuh kekhawatiran, seraya menaruh secangkir kopi hangat di depan Adrian. Ia lantas duduk di samping suaminya, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.Adrian meletakkan ponselnya, lalu dengan gerak yang ragu, mengusap tengkuknya. "Hmm, ada berita yang mungkin akan membuatmu terkejut," ujarnya dengan nada yang mencoba menenangkan.Ayla mengernyit, rasa penasaran terpampang jelas di wajahnya. "Berita apa itu?"Mengambil napas dalam, Adrian akhirnya berbicara, "Bram, dia baru saja mengumumkan pertunangannya."Kabar itu jatuh seperti petir di siang bolong, meresap pelan ke dalam dada Ayl
Saat Ayla melangkah ke dalam kantor kliennya—sebuah perusahaan kecil yang tengah menyegarkan kembali ruang kerjanya—perasaan gugup bercampur dengan gelora semangat menyelinap dalam dirinya.Langkahnya mungkin terlihat ragu, tetapi begitu dia mulai berinteraksi dengan tim di sana, semangatnya kembali membara. Instingnya sebagai desainer interior terpicu, memandu setiap langkah dan keputusan yang diambilnya dengan cermat.Dengan penuh keyakinan, ia memperkenalkan beberapa sketsa desain yang telah ia rancang, menguraikan tiap detail dengan jelas dan percaya diri. Setiap kali ada masukan atau pertanyaan dari hadirin, Ayla menanggapinya dengan tenang dan penuh pertimbangan.Di tengah presentasi, sebuah realisasi menghampirinya—betapa ia merindukan momen-momen seperti ini. Baginya, ini seperti kembali ke rumah, ke tempat di mana ia dapat sepenuhnya menjadi diri sendiri.Setelah hari yang panjang, Ayla pulang dengan langkah yang lebih ringan, m