Namun, meski kebersamaan itu terasa indah, Ayla tidak bisa mengabaikan perasaan bersalah yang terus menghantuinya. Setiap kali ia menatap Adrian, ada dua hal yang muncul di benaknya—rasa cinta yang tumbuh semakin dalam, dan bayangan Bram yang perlahan mulai memudar.
Di malam harinya, ketika Adrian hendak kembali ke kamar tamu, Ayla memanggilnya.
“Adrian,” katanya pelan.
Adrian berhenti di ambang pintu, menoleh. “Ya?”
Ayla mendekatinya, berhenti hanya beberapa langkah darinya. Ia menatap mata Adrian, mencoba mencari kekuatan dalam tatapan itu.
“Apa menurutmu kita bisa melewati ini?” tanyanya, suaranya nyaris pecah.
Adrian menatap Ayla lama, seolah mencari jawaban di dalam dirinya s
Bram tertawa sinis, melangkah mundur dengan tangan yang gemetar. “Ini benar-benar lucu,” katanya. “Kamu, yang bahkan nggak punya rumah sendiri, mencoba memberi tahu aku bagaimana caranya menjalani pernikahan?”“Bram, cukup!” Ayla akhirnya berteriak. Suaranya pecah, tapi jelas membawa rasa sakit yang mendalam.Bram menoleh ke arahnya, terkejut dengan ledakan emosi itu. “Cukup?” tanyanya, wajahnya penuh dengan ekspresi yang tidak percaya. “Ini hidup aku, Ayla. Kamu pikir kamu bisa bicara seperti itu setelah apa yang kamu lakukan?”Ayla menatap Bram dengan mata yang penuh air mata. “Aku nggak melakukan apa-apa yang salah,” katanya dengan suara bergetar.“Tapi kamu? Kamu sudah menyakiti aku berkali-kali. Kamu mengabaikan aku, memperlakukan aku seperti aku nggak ada. Jadi jan
"Kamu bilang itu mudah, tapi aku tahu ini nggak sesederhana itu. Bagaimana aku bisa membuat keputusan yang tidak akan menyakiti siapa pun? Aku tidak ingin melukai kamu, Adrian. Tapi aku juga tidak ingin terus menyakiti Bram, meskipun aku tahu dia juga sudah menyakiti aku lebih dulu."Adrian menghela napas, lalu duduk di lantai di depan Ayla. Ia mendongak untuk melihat wajah Ayla yang masih terlihat lelah."Ayla," katanya, suaranya rendah tapi penuh ketulusan, "Kadang dalam hidup, kita harus membuat pilihan yang memang akan menyakitkan seseorang. Tapi kamu juga harus ingat, kamu berhak memilih kebahagiaanmu sendiri. Itu bukan egois. Itu adalah hak kamu."Kata-kata itu menggema di dalam kepala Ayla. Ia tahu Adrian benar. Tapi bagaimana caranya ia bisa menghadapi kenyataan bahwa apa pun pilihannya, akan ada hati yang h
“Jadi, kamu mau sampai kapan kayak gini, Ay?” Suara Rita menggema di ruang tamu kecil yang dihiasi secangkir teh hangat di atas meja kayu. Wajah sahabatnya itu menatap lurus ke arahnya, penuh dengan rasa khawatir bercampur tuntutan. Ayla menghela napas pelan, jemarinya meremas ujung kain rok yang ia pakai.“Aku… aku nggak tahu, Rita,” jawab Ayla akhirnya, suaranya lirih. Pandangannya terarah pada bunga anggrek yang mulai layu di sudut ruangan. Seperti itulah hatinya sekarang—layu, kehilangan warna. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana.”Rita menyandarkan tubuhnya ke sofa, melipat tangan di depan dada. Matanya menyipit, menilai Ayla yang duduk di depannya seperti seorang hakim yang me
“Ayla.” Suara Bram terdengar dingin, menggema di antara hembusan angin malam. Ayla membeku, punggungnya kaku, sementara tangan Adrian mengepal erat di sisi tubuhnya. Bram melangkah mendekat, sorot matanya tajam seperti pisau yang menusuk langsung ke dadanya.“Apa yang kamu lakukan di sini… sama dia?” Bram melirik Adrian dengan tatapan penuh kecurigaan.Ayla membuka mulut, tapi tidak ada kata yang keluar. Suasana di antara mereka terasa berat, nyaris tak tertahankan. Adrian akhirnya melangkah maju, tubuhnya tegang seperti kawat yang tertarik.“Aku cuma… aku hanya memastikan Ayla baik-baik saja, Kak,” kata Adrian dengan suara yang dipaksaka
Malamnya, Ayla berdiri di depan lemari pakaiannya, menatap pakaian-pakaian yang berjejer rapi. Ia menarik sebuah sweater, lalu memeluknya. Itu adalah sweater yang Bram berikan padanya di ulang tahun pernikahan pertama mereka.Saat ia menutup lemari, sebuah kotak kecil di sudut rak menarik perhatiannya. Kotak itu berisi surat-surat lama dari Bram, tulisan tangan yang penuh janji-janji manis. Ayla membuka salah satu surat itu, membaca tulisan yang sudah mulai memudar.“Ayla, kamu adalah segalanya untukku. Aku janji nggak akan pernah berhenti mencintai kamu.”Air mata mengalir di pipinya. Janji itu pernah terasa nyata, tapi kini hanya menjadi bayangan masa lalu. Ayla menutup kotak itu dengan gemetar, lalu terduduk di lantai, terisak sendirian.Di luar, hujan mul
Setelah Adrian pergi, Ayla duduk lama di sofa. Ia memandangi bayangan dirinya di cermin besar di sudut ruangan, mencoba mengenali sosok yang ada di sana. Apakah ia masih Ayla yang dulu? Atau ia sudah menjadi orang lain, seseorang yang bahkan tidak ia kenali?Ia membuka ponselnya dan mengetik pesan pada Rita."Aku nggak tahu lagi, Rit. Semuanya terlalu sulit."Tak lama, Rita membalas."Kamu harus tanya ke diri kamu sendiri, Ay. Apa yang sebenarnya kamu mau? Kalau kamu nggak tahu, nggak ada yang bisa bantu kamu."Ayla membaca pesan itu berulang kali. Kata-kata Rita benar, tapi mencari jawabannya tidak semudah itu.Di tempat lain, Adrian duduk di kamarnya, memandangi foto lama diriny
Untuk sesaat, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Ayla menatap suaminya, berharap ada pengakuan, atau mungkin… penyesalan. Tapi yang ia dapatkan hanyalah ekspresi keras dan dingin.“Kamu nggak punya hak untuk ngomong seperti itu,” kata Bram akhirnya. “Kamu istri aku, Ayla. Dan selama kamu masih istri aku, kamu nggak punya alasan buat mencampuri urusan aku.”Ayla tertegun. Kata-kata itu seperti pisau tajam yang menusuk tepat di hatinya. Ia menatap Bram, berharap ini hanyalah mimpi buruk. Tapi tidak. Ini kenyataan.Tanpa berkata apa-apa lagi, Bram melangkah pergi ke kamar, meninggalkan Ayla sendirian di dapur yang dingin.Pukul satu dini hari, Ayla duduk di sofa ruang tamu. Matanya bengkak karena menangis, tapi ia tak mampu berhenti. Ia
Malam itu, Ayla duduk di meja makan dengan piring yang kosong di depannya. Bram belum pulang, seperti biasa. Pikirannya terus berputar, mengingat kata-kata Adrian, juga janji-janji yang pernah dibuat Bram bertahun lalu.Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nama Rita muncul di layar.“Ay, kamu di rumah?” tanya Rita begitu Ayla menjawab.“Iya. Ada apa, Rit?”“Aku baru balik dari supermarket. Aku lihat Bram… sama dia.” Suara Rita terdengar pelan, seperti enggan menyakiti.Ayla terdiam. Perasaannya campur aduk—antara kecewa, marah, dan sedih yang tak terbendung. “Mereka di mana?” tanyanya akhirnya, nadanya nyaris berbisik.“D
“Ini bukan hanya tentang keluarga, Bram. Ini lebih kepada kamu yang tidak mau mengakui kesalahanmu sendiri,” ujar Adrian dengan suara yang bergetar penuh emosi. Cahaya lampu ruangan itu menciptakan bayangan pada wajahnya yang tegang. “Aku tahu kamu sudah mengkhianati Ayla sejak lama.”Bram terdiam, wajahnya berubah seketika menjadi pucat, namun dia tidak membantah kata-kata Adrian. Sebaliknya, ia mendekati adiknya dengan langkah yang berat dan terukur, menatap tajam ke dalam mata Adrian yang penuh dengan kekecewaan.“Mungkin aku tidak sempurna sebagai suami,” ucap Bram dengan suara rendah namun tegas, “tapi Ayla adalah istriku. Dan kamu tidak punya hak untuk merebutnya dari saya.”“Ayla bukan barang yang bisa dimiliki, Bram,” Adrian membalas dengan nada yang sama tajamnya. “Dia berhak untuk memilih kebahagiaannya sendiri.”Pada saat itu, Farida, ibu mereka, bangkit dari kursinya. Raut
Sore itu, ketika Ayla melangkah pulang, hembusan angin sejuk menerpa wajahnya, memberikan kesegaran yang tak terduga. Langkahnya terasa sedikit lebih ringan dibanding biasanya.Meski beban rasa bersalah masih menggelayut di hatinya, dukungan yang diberikan Rita telah menumbuhkan kekuatan baru dalam dirinya, sebuah kekuatan yang sebelumnya tak pernah ia sadari.Sesampainya di rumah, kesunyian menyambut kedatangannya. Bram tidak ada di rumah—mungkin masih lembur di kantor atau mungkin juga sedang menghindari pertemuan dengan dirinya. Ayla melepaskan mantelnya dengan gerakan lembut dan melangkah ke dapur untuk membuat secangkir teh.Ketika ia menyalakan teko, aroma teh melati mulai memenuhi ruangan, mengingatkannya pada percakapan hangat yang ia lalui bersama Adrian di sebuah kafe yang nyaman.Ponselnya bergetar lembut di atas meja dapur. Layar menampilkan nama Adrian. Dengan napas yang sedikit tertahan, ia menjawab, "Halo?" Suaranya keluar lebih lembu
Pagi itu, suasana apartemen Rita sedikit berbeda. Ayla berdiri ragu di depan pintu, menggigil bukan hanya karena udara pagi yang dingin, tapi juga karena beban yang ia pikul. Ia merapatkan mantel cokelat tua yang sudah lusuh, berusaha menahan dingin yang menyeruak ke tulang.Dengan tangan yang bergetar, ia mengetuk pintu dengan pelan, hati-hatinya dipenuhi kecemasan.Sejurus kemudian, terdengar suara langkah kaki dari dalam apartemen. Pintu perlahan terbuka, dan muncullah wajah Rita yang tampak terkejut dan rambutnya yang tergerai dengan bebas. Ekspresi terkejut terpahat di wajahnya saat ia melihat Ayla berdiri di ambang pintu.“Ayla?” Rita berkata dengan nada penuh tanya. “Apa kamu baik-baik saja?”Dengan kepala mengangguk perlahan, Ayla mencoba tersenyum, meski dari raut wajahnya jelas bahwa ia jauh dari kata baik-baik saja. “Rita, aku… boleh masuk?”“Tentu, masuklah,” jawab Rita sambil membu
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, tempat yang menawarkan ketenangan jauh dari keramaian. Di sana, Ayla memilih tempat duduk di pojok, sibuk memandangi secangkir kopi hitam yang menguap perlahan di depannya.Tak lama kemudian, Adrian datang, membawa aura kehangatan yang seketika membuat suasana hati Ayla sedikit lebih ringan.Adrian segera mengambil tempat duduk di hadapan Ayla, matanya menelusuri wajahnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Ada apa, Ayla?" tanyanya dengan suara yang langsung ke inti, tanpa membuang waktu.Dengan bahu terangkat pelan, Ayla mencoba tersenyum, namun bibirnya bergetar menahan sesuatu. "Hanya...gosip," jawabnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Gosip yang terasa terlalu nyata untuk bisa diabaikan begitu saja."Adrian mengerutkan kening, rasa penasarannya terpicu. "Gosip apa? Apa yang mereka bicarakan?"Mata Ayla tertunduk, berusaha menghindari tatapan tajam Adrian. "Tentang aku..
Suara ketukan pintu tiba-tiba memecah keheningan. Adrian dan Ayla saling pandang, terkejut tergambar jelas di wajah mereka. Adrian bergerak cepat, menuju pintu dengan langkah mantap. Dia melemparkan pandangan singkat kepada Ayla, memberi isyarat agar tetap di tempat.Ketika pintu terbuka, seorang wanita muda berdiri di ambang. Wajahnya basah oleh hujan, rambut panjang menempel di pipinya, dan matanya tajam menatap Ayla di dalam ruangan.“Rita?” Adrian bertanya, terdengar ragu.Rita tidak menjawab. Dengan mantap, dia melangkah masuk tanpa permisi, berdiri di depan Ayla. Ekspresi aneh menghiasi wajahnya—campuran antara kecewa, marah, dan prihatin.“Aku tahu aku akan menemukanmu di sini,” katanya dengan suara lembut namun penuh dengan tekanan.Ayla berdiri perlahan, bibirnya bergetar. “Rita… aku bisa menjelaskan.”Rita mengangkat tangan, memotong Ayla sebelum ia bisa melanjutkan. &l
Lampu meja di sudut ruangan bersinar temaram, memancarkan cahaya hangat yang membelai dinding ruang tamu kecil di apartemen Adrian. Di sudut lain, alunan musik instrumental mengisi udara dengan nada lembut, melarutkan keheningan namun menyisakan atmosfer yang penuh tanda tanya.Ayla duduk di sofa abu-abu gelap, tangannya menggenggam cangkir teh hangat seolah mencari kenyamanan dari uap chamomile yang perlahan membubung. Tatapannya terpaku pada jendela besar di hadapannya, memperlihatkan kota yang terbenam dalam kilauan lampu-lampu malam.Adrian berdiri di dekat dapur, bersandar pada dinding dengan sikap santai yang tampak dipaksakan. Kedua lengannya terlipat di dada, tetapi matanya yang tak tenang mengkhianati ketenangan palsu itu.Ia memandangi Ayla dari jauh, seolah membaca tiap gerakan perempuan itu, yang selalu memancarkan kelembutan bahkan saat pikirannya mungkin sedang dihantui badai kekhawatiran.“Ayla…” Adrian akhirnya memecah k
Malam itu, mereka kembali ke apartemen Adrian. Sebuah keheningan menggantung di udara, seolah waktu berhenti untuk memberi ruang pada pikiran-pikiran yang berlarian di kepala mereka. Ayla duduk di sofa berlapis kain lembut, menggenggam secangkir teh yang sudah lama kehilangan kehangatannya.Tatapannya kosong, tenggelam dalam bayang-bayang cahaya kota yang memantul dari jendela. Sementara itu, Adrian berdiri di dekat jendela, memandangi lautan lampu di kejauhan, seperti mencari jawaban di antara k
Hari-hari berikutnya terasa seperti perjuangan tanpa akhir bagi Ayla dan Adrian. Gosip terus meluas, berhembus dari mulut ke mulut dan tersebar liar di media sosial.Komentar pedas—beberapa tersampaikan langsung, sebagian lagi bersembunyi di balik layar anonim—menghantam mereka tanpa ampun.Suatu malam, Ayla menerima sebuah pesan anonim di ponselnya:"Kau perusak keluarga. Kau tidak layak bahagia."Ia menatap layar ponselnya lama, seolah kata-kata itu menancap di benaknya seperti duri yang tak terlihat. Dengan tangan gemetar, ia meletakkan ponsel itu di atas meja. Adrian, yang tengah duduk di sofa di seberangnya, menangkap perubahan ekspresi di wajah Ayla.Tanpa berkata-kata, ia mendekat dan mengambil ponsel tersebut. Saat membaca pesan itu, rahangnya mengeras.“Kau tidak perlu membaca ini,” ujarnya tegas, mematikan layar ponsel dan menjauhkannya dari jangkauan Ayla. Suaranya terdengar seperti benteng kokoh,
Malam itu di apartemen Adrian, Ayla duduk di sofa, matanya terpaku pada layar ponsel yang terus bergetar. Pesan-pesan berdatangan tanpa henti—beberapa dari teman lama, sebagian besar dari kerabat Bram. Semua mengandung kata-kata tajam, tuduhan, dan penghinaan yang membakar.“Kenapa kau tidak memblokir saja mereka?” tanya Adrian. Ia duduk di lantai dekat meja kecil, sibuk memperbaiki sesuatu, tapi jelas perhatiannya tidak teralihkan dari Ayla.Ayla menggeleng pelan, pandangannya tetap tertuju pada layar. “Aku tidak tahu. Mungkin aku berharap ada seseorang yang akhirnya mau mengerti. Tapi... sepertinya itu hanya angan-angan.”Adrian meletakkan alat di tangannya, menatap Ayla dengan serius. Ia bangkit, lalu duduk di sampingnya. “Ayla, kau tidak perlu pembuktian dari mereka. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Kau sudah cukup kuat untuk melewati semua ini.”Ayla menoleh, menatap mata Adrian yang penuh ketulus