Home / Rumah Tangga / Satu Malam Bersama Adik Suamiku / Bab 2: Kesepakatan Tak Terucap

Share

Bab 2: Kesepakatan Tak Terucap

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2024-11-14 18:11:19

Trang!

Denting piring yang beradu dengan sendok menjadi satu-satunya suara di meja makan pagi itu. Bram, seperti biasa, duduk di kursi ujung, matanya terpaku pada layar ponselnya. Jarinya terus menggulir layar, sesekali mengetik sesuatu.

Ayla duduk di seberangnya, memandang semangkuk bubur ayam di depannya yang sudah dingin tanpa pernah disentuh.

Namun, yang membuat Ayla lebih canggung adalah sosok di sebelahnya—Adrian. Pria itu tampak sama gelisahnya. Ia memegang sendok, tetapi tidak benar-benar makan. Matanya menunduk, tidak berani mengangkat wajahnya dari mangkuk yang ia aduk-aduk dengan gerakan mekanis.

Hening itu mencekam. Meski di luar matahari bersinar cerah dan burung-burung berkicau, udara di dalam rumah terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menggantung di antara mereka, sesuatu yang keduanya ingin lupakan, tapi tak tahu bagaimana caranya.

“Ayla,” suara Bram tiba-tiba memecah keheningan. Mata Ayla langsung menoleh, tubuhnya menegang.

“Iya?” suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.

“Ada kopi lagi nggak? Kopiku habis,” tanya Bram sambil mengangkat cangkir keramik putihnya, tanpa menoleh sedikit pun dari ponselnya.

“Oh, ada. Aku buatkan lagi,” jawab Ayla cepat, hampir seperti pelarian. Ia segera bangkit dari kursinya, melangkah ke dapur dengan langkah tergesa.

Adrian diam. Ia melirik Bram sekilas, lalu matanya kembali ke mangkuknya. Sendok di tangannya berhenti bergerak, hanya menggantung di atas bubur yang hampir tumpah ke pinggir mangkuk. Ayla muncul lagi beberapa menit kemudian dengan segelas kopi hitam, meletakkannya di samping tangan Bram.

“Thanks,” Bram bergumam, lalu kembali tenggelam dalam layar ponselnya.

Ayla kembali duduk di kursinya, mencoba tampak tenang, meski tubuhnya terasa tegang dari kepala hingga ujung kaki. Matanya tak sengaja bertemu dengan Adrian. Hanya sekilas, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka seperti membeku.

Tatapan Adrian penuh permohonan, seperti ingin berkata sesuatu, tapi tidak mampu mengucapkannya. Ayla buru-buru menunduk, menyibukkan dirinya dengan merapikan serbet di pangkuannya.

“Adrian,” Bram tiba-tiba memanggil, membuat Ayla dan Adrian sama-sama tersentak.

“Ya?” Adrian menjawab, suaranya sedikit serak.

“Kamu masih di sini sampai kapan?”

Adrian terdiam sejenak, berpikir. “Mungkin seminggu lagi,” jawabnya akhirnya. “Aku masih harus selesaikan beberapa urusan di kota.”

Bram mengangguk, masih sibuk dengan ponselnya. “Ya udah, nggak apa-apa. Tapi jangan bikin repot Ayla ya. Dia udah cukup sibuk.”

Adrian hanya mengangguk pelan, meski ada kilatan aneh di matanya. Ayla merasakan hal itu, tapi ia pura-pura tidak menyadarinya.

Setelah sarapan selesai, Bram pergi ke kantor seperti biasa, meninggalkan Ayla dan Adrian di rumah. Pintu depan menutup dengan suara pelan, tapi cukup untuk membuat Ayla dan Adrian sama-sama terdiam di ruang tamu.

Ayla berdiri di dekat sofa, memegang cangkir teh hangat yang aromanya samar memenuhi ruangan. Adrian duduk di sudut sofa, punggungnya sedikit membungkuk, kedua siku bertumpu pada lutut.

“Ayla,” suara Adrian memecah keheningan. Ia tidak menatap Ayla, hanya menatap lantai, tapi suaranya serius. “Kita harus bicara.”

Ayla menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkirnya di meja. “Nggak ada yang perlu dibicarakan, Adrian,” katanya pelan, tapi tegas.

Adrian akhirnya mendongak, menatap Ayla dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Aku nggak bisa pura-pura ini nggak terjadi.”

Ayla meremas jemarinya sendiri, mencoba menenangkan kegugupan yang semakin merayap. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di ujung sofa, menjaga jarak sejauh mungkin dari Adrian.

“Kamu harus pura-pura,” katanya lirih. Matanya menatap lurus ke depan, tidak berani melihat Adrian. “Apa yang terjadi tadi malam… itu nggak boleh ada. Itu cuma… kesalahan. Kita sama-sama tahu itu.”

Adrian diam, tapi ada kerutan di dahinya. Rahangnya mengeras, seolah menahan sesuatu. “Tapi aku nggak bisa melupakan begitu saja, Ayla. Aku…” Ia berhenti, menarik napas panjang. “Aku nggak mau kamu berpikir aku sengaja.”

Ayla akhirnya menoleh, menatap Adrian dengan mata yang penuh kelelahan. “Aku tahu kamu nggak sengaja, Adrian,” katanya, suaranya mulai bergetar. “Tapi itu bukan masalahnya. Masalahnya adalah… kita nggak bisa biarkan ini memengaruhi apa pun. Bram nggak boleh tahu. Nggak ada yang boleh tahu.”

Adrian mendongak, matanya bertemu dengan Ayla. Ada sesuatu di matanya—rasa bersalah, rasa bingung, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam. “Jadi… kita cuma pura-pura nggak ada apa-apa?” tanyanya pelan.

Ayla mengangguk, meski hatinya terasa berat. “Iya. Kita harus pura-pura. Itu satu-satunya cara.”

Adrian terdiam, tapi akhirnya ia mengangguk kecil. “Oke,” katanya singkat. Suaranya terdengar lemah, hampir seperti menyerah.

Hening kembali menyelimuti ruangan. Ayla bangkit dari duduknya, mengambil cangkir tehnya, lalu berjalan menuju dapur. Tapi sebelum ia sampai di pintu, suara Adrian menghentikannya.

“Ayla.”

Langkahnya terhenti. Ia tidak berbalik, hanya berdiri di tempatnya, menunggu Adrian melanjutkan.

“Maaf,” katanya akhirnya, suaranya lirih tapi penuh makna.

Ayla menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Ia tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan langkahnya ke dapur, meninggalkan Adrian sendirian di ruang tamu.

Hari itu hujan turun lebat. Ayla berdiri di depan jendela dapur, memandangi tetesan air yang jatuh di kaca. Udara dingin menusuk, tapi ia tidak merasa perlu menyalakan penghangat. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan pikirannya melayang entah ke mana.

Semua yang terjadi tadi malam, pagi ini, dan bahkan beberapa menit yang lalu terus berputar di kepalanya. Wajah Adrian yang penuh rasa bersalah, tatapannya yang dalam, suara lirihnya ketika meminta maaf—semuanya melekat di pikirannya.

Ayla menutup matanya, mengambil napas panjang. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa selama mereka berdua bisa menjaga rahasia ini, tidak ada yang akan berubah.

Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu itu tidak benar. Ada sesuatu yang telah berubah, dan ia tidak tahu apakah ia bisa memperbaikinya.

“Bu Ayla,” suara Mbak Siti, pembantu rumah tangga mereka, membuyarkan lamunannya.

“Iya, Mbak?” Ayla berbalik, mencoba memasang senyum meski wajahnya tampak lelah.

“Saya mau pulang dulu, ya, Bu. Hujannya mulai reda, saya takut nanti makin malam malah hujan lagi.”

“Oh, iya. Hati-hati ya, Mbak,” kata Ayla sambil mengangguk.

Mbak Siti tersenyum, lalu melangkah keluar dari dapur. Ayla mengikutinya dengan pandangan sampai pintu belakang tertutup, meninggalkan dapur itu kosong.

Setelah beberapa saat, Ayla kembali menatap ke jendela. Hujan memang mulai mereda, tapi langit masih kelabu. Daun-daun basah berkilau diterpa sinar matahari yang samar. Suasana itu begitu tenang, tapi hati Ayla jauh dari tenang.

Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia harus menjaga semuanya tetap terkubur. Ia harus melupakan kejadian tadi malam. Ia harus menjaga jarak dari Adrian.

Tapi mengucapkannya jauh lebih mudah daripada melakukannya.

Terlebih, ia sadar bahwa perasaan kosong yang selama ini menghantuinya mulai terisi......

Related chapters

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 3: Tatapan yang Mulai Menyentuh

    Ayla bahkan baru sadar jika hujan pagi itu berhenti sekitar pukul sembilan.Namun, udara dingin masih mengendap di setiap sudut rumah, membuat Ayla sedikit merapatkan cardigan abu-abunya.Ia duduk di ruang tamu, di sofa kecil dekat jendela, dengan secangkir teh hangat di tangannya. Dari tempatnya duduk, ia bisa mendengar suara Adrian dari ruang makan, entah sedang mengetik sesuatu di laptopnya atau hanya mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.Ayla mencoba fokus pada buku di tangannya, sebuah novel dengan sampul cokelat pudar yang sudah lama ingin ia baca. Tapi kalimat-kalimat di halaman itu terasa seperti tinta yang mengabur, sulit ia pahami.Ia membaca berulang-ulang satu paragraf yang sama, tapi pikirannya terus melayang ke arah suara di ruang makan."Jangan lihat," bisiknya pada dirinya sendiri, memaksa matanya tetap tertuju pada halaman buku. Tapi pikirannya terus bergulir tanpa henti.Ia membayangkan Adrian duduk di kursi itu, dengan rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan, alisnya

    Last Updated : 2024-11-14
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 4: Kemarahan yang Menghujam

    “Aku nggak maksud bikin kamu susah,” katanya pelan, menunduk sedikit.Deg!Ayla menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia tidak tahu bagaimana mengakhiri percakapan ini tanpa membuat semuanya semakin canggung. “Aku tahu. Aku cuma… aku butuh waktu. Itu saja.”Adrian mengangguk kecil, lalu perlahan melangkah mundur. “Oke,” katanya sebelum berbalik dan meninggalkan dapur.Ketika ia sudah pergi, Ayla bersandar pada meja, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan.Tatapan itu… tatapan Adrian yang tadi, entah bagaimana, terus terngiang di pikirannya. Seolah ada sesuatu di balik tatapan itu yang menolak pergi, sesuatu yang mencoba merengkuhnya meski ia berusaha menjauh.***Brak!Suara bantingan pintu depan menggema di rumah. Bram baru saja pulang, lebih awal dari biasanya, tapi bukan itu yang membuat Ayla terkejut.Cara pintu itu terbanting, langkah kakinya yang berat di lantai kayu, dan nada kasarnya ketik

    Last Updated : 2024-11-14
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 5: Saat Kehadiran Menjadi Penghibur

    Ayla ingin membalas, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Di balik kata-kata Adrian, ia merasakan ketulusan yang begitu kuat.“Cuma…” Adrian melanjutkan, suaranya melembut. “Aku cuma ingin kamu tahu kalau kamu nggak sendirian.”Ayla menatap Adrian lebih lama kali ini. Ada sesuatu di matanya yang membuat hatinya bergetar. Ia ingin mengatakan terima kasih, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah gumaman pelan. Sayangnya, Ayla dilema.Cuaca bahkan mendukungnya dengan kembalinya hujan mengguyur di pagi hari. Di sana, Ayla tampak berdiri sambil memandangi panci yang mengepul di atas kompor.Tangannya dengan hati-hati mengaduk bubur ayam yang sedang ia masak, gerakan sendok kayunya pelan dan teratur. Di sebelahnya, ada piring-piring kecil berisi irisan daun bawang, bawang goreng, dan potongan cabai rawit.Semua itu tersusun rapi, seperti cerminan dari bagaimana Ayla selalu berusaha menjaga segala sesuatu di hidupnya tetap teratur—meski di dalam hatinya, semuanya sedang berantakan.Dari b

    Last Updated : 2024-11-15
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 6: Perdebatan Batin

    Ayla terdiam, menatap Adrian dengan mata yang penuh kebingungan. Kata-kata itu sederhana, tapi cara Adrian mengatakannya membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang jauh lebih besar di baliknya.“Adrian…” Ayla akhirnya membuka mulut, tapi suaranya terhenti. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.“Maaf,” potong Adrian cepat, tersenyum kecil. “Aku cuma mau bilang kalau aku ada di sini, itu saja.”Ayla tersenyum samar, lalu kembali ke pekerjaannya. Tapi di dalam hatinya, kata-kata Adrian terus terngiang.Sore harinya, hujan kembali turun, lebih deras dari sebelumnya. Ayla duduk di ruang tamu dengan selimut tipis melilit tubuhnya, menatap ke luar jendela. Adrian muncul dari dapur membawa dua cangkir teh, uapnya mengepul lembut di udara.“Ini buat kamu,” katanya sambil menyerahkan salah satu cangkir.Ayla menerimanya dengan hati-hati, merasakan hangatnya langsung menjalar ke telapak tangannya. “Terima kasih,” katanya pelan.Adrian duduk di sofa di sebelahnya, menjaga jarak yang cukup tapi

    Last Updated : 2024-11-15
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 7: Jatuh di Pangkuan yang Salah

    “Kamu ngerasa sendirian,” sambung Adrian, mengisi kekosongan itu. Suaranya lembut, tapi matanya tajam, seolah ia bisa membaca semua perasaan yang Ayla coba sembunyikan.Ayla mengangguk pelan, air matanya akhirnya jatuh. “Iya. Aku merasa sendirian, Adrian. Aku merasa seperti… aku hilang.”Adrian ingin mendekat, ingin meraih tangan Ayla dan meyakinkannya bahwa ia tidak sendirian. Tapi ia menahan dirinya. Ada batas yang tidak boleh ia lewati, tidak peduli seberapa besar keinginannya untuk melindungi Ayla.“Kamu nggak hilang, Ayla,” katanya pelan. “Kamu cuma lupa gimana rasanya jadi kamu yang sebenarnya. Dan itu nggak salah. Kadang kita butuh waktu untuk nemuin diri kita lagi.”Ayla menatap Adrian, matanya yang basah bertemu dengan tatapan penuh kepastian. Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa terasa seperti pelukan yang hangat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa seperti ada seseorang yang benar-benar memahaminya.“Terima kasih,” bisiknya, hampir tidak terdengar.

    Last Updated : 2024-11-15
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 8: Sekali Lagi, Tatapan yang Menggugah

    Setelah Bram kembali ke ruang kerjanya dan suasana rumah kembali hening, Adrian menghela napas panjang. Ia akhirnya melangkah pelan ke ruang tamu, menghapus jarak antara dirinya dan Ayla."Ayla?" panggilnya dengan nada lembut.Ayla tersentak kecil, buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan. Ia menoleh ke arah Adrian, mencoba memasang senyum yang tidak meyakinkan. “Adrian? Kamu belum tidur?”Adrian menggeleng pelan, tatapannya tetap melekat pada wajah Ayla yang tampak kusut dan letih. “Aku nggak bisa tidur.”Ia berjalan mendekat, lalu duduk di ujung sofa, menjaga jarak yang sopan. “Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya hampir seperti bisikan.Ayla tertawa kecil, suara yang lebih terdengar seperti isakan. "Aku baik-baik saja," jawabnya, meski matanya yang merah dan bengkak jelas mengatakan sebaliknya.Adrian menatap Ayla tanpa berkata-kata. Keheningan di antara mereka terasa berat, penuh dengan pertanyaan yang tidak terucap.“Aku nggak tahu, Adrian,” kata Ayla tiba-tib

    Last Updated : 2024-11-15
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 9: Malam yang Sunyi namun Hangat

    Sementara itu, dari balik pintu dapur, Adrian memperhatikan mereka. Ia berdiri di sana dengan diam, menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, kedua tangannya menyilang di depan dada.Mata Adrian mengamati bagaimana Ayla duduk di meja itu, tubuhnya terlihat kecil dan kaku, seperti seseorang yang sedang berusaha keras menyembunyikan luka.Tatapan Adrian beralih ke Bram, yang tidak memberikan satu pun perhatian pada Ayla. Rahang Adrian mengencang, tapi ia menahan diri untuk tidak berbuat apa-apa.Sebuah dorongan muncul di hatinya—keinginan untuk menghentikan semua ini, untuk menarik Ayla keluar dari situasi yang begitu dingin dan menyakitkan. Tapi ia tahu, ada batas yang tidak bisa ia lewati.Setelah beberapa saat, Adrian melangkah masuk ke ruang makan, membuat kursi kayu di lantai sedikit berderit. Ayla menoleh, seperti baru sadar bahwa Adrian ada di sana. Matanya bertemu dengan mata Adrian, dan dalam sekejap, udara di antara mereka terasa berubah.“Pagi,” sapa Adrian lembut, suaranya terde

    Last Updated : 2024-11-16
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 10: Menghabiskan Waktu Bersama

    Namun, di balik kehangatan itu, Ayla tahu. Ia tahu bahwa apa yang sedang terjadi di antara mereka adalah sesuatu yang tidak seharusnya ada. Sesuatu yang salah, tapi terasa begitu benar.Adrian tersenyum kecil, lalu berkata, “Apa pun yang kamu butuhkan, Ayla… aku ada di sini.”Dan untuk saat itu, Ayla memutuskan untuk mempercayainya. Meskipun hatinya masih berperang, meskipun ia tahu bahwa semua ini akan membawa komplikasi yang lebih besar, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kehadiran Adrian. Hanya untuk saat ini. Hanya untuk sekali lagi.Malam itu, rumah terasa sepi. Sejak senja tadi, Bram mengirim pesan singkat kepada Ayla bahwa ia akan pulang larut malam. Seperti biasa, tidak ada alasan panjang, hanya sebuah pesan kaku yang lebih terdengar seperti perintah: "Jangan tunggu aku, lembur."Ayla memandang layar ponselnya cukup lama, membaca pesan itu berkali-kali meski ia tahu isinya tidak akan berubah. Ia tahu Bram akan pulang dengan wajah letih dan marah. Ia tahu, tidak akan ada per

    Last Updated : 2024-11-16

Latest chapter

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 16: Dukungan dari Adrian

    Adrian tidak memaksa. Ia hanya duduk di sana, bahunya hampir menyentuh bahu Ayla, memberikan kehadiran yang tenang. Hening menyelimuti mereka selama beberapa menit, hanya suara hujan di luar yang terdengar mengisi ruang kosong di antara mereka.Akhirnya, Adrian berbicara. “Aku tahu ini berat buat kamu,” katanya pelan, matanya memandang lurus ke depan. “Dan aku nggak akan bilang aku ngerti sepenuhnya apa yang kamu rasain. Tapi… aku ada di sini, Ayla.”Ayla mengangkat wajahnya sedikit, menatap profil Adrian yang tampak tenang. Kata-katanya sederhana, tapi ada kejujuran yang membuat hati Ayla terasa sedikit lebih ringan.“Adrian,” katanya dengan suara bergetar, “Kenapa semua ini terjadi? Apa aku yang salah?”Adrian menoleh, menatap Ayla dengan mata yang penuh kesedihan dan

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 15: Kekecewaan Pada Bram

    Ketika akhirnya ia sampai di tempat itu, Ayla duduk diam di dalam mobil selama beberapa detik. Ia menatap restoran yang terlihat hangat dari luar, dengan lampu kuning yang memancarkan cahaya lembut ke jalanan yang basah. Jantungnya berdegup kencang.Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan di dalam, tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang.Ayla melangkah masuk ke restoran dengan hati-hati, matanya langsung menyapu ruangan. Butuh waktu beberapa detik sebelum ia menemukannya—Bram duduk di meja dekat jendela, bersama seorang wanita muda berambut panjang.Wanita itu tertawa kecil sambil menyentuh lengan Bram, dan Bram membalas dengan senyum yang tidak pernah Ayla lihat lagi di rumah.Ayla berdiri terpaku di tempatnya. Rasanya seperti dunia di sekitarnya berhenti. Suar

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 14: Bram Bersama Wanita

    Sore itu, Ayla sedang merapikan kamar tamu ketika suara langkah kaki Adrian terdengar mendekat. Ia mengetuk pintu pelan sebelum masuk, membawa setumpuk buku di tangannya."Kamu lagi sibuk?" tanyanya, senyumnya muncul seperti biasanya—hangat dan ramah.Ayla menggeleng, lalu tersenyum kecil. "Nggak, aku cuma merapikan ini sedikit."Adrian meletakkan buku-buku itu di meja kecil dekat jendela, lalu bersandar pada kusen pintu. "Aku bisa bantu kalau kamu butuh," katanya sambil menyilangkan tangannya di dada.Ayla menggeleng lagi, kali ini dengan senyum yang lebih tulus. "Nggak perlu, aku bisa sendiri. Lagipula, ini cuma pekerjaan kecil."Adrian memandang Ayla dengan tatapan yang sulit ditebak. Ia tahu ada sesuatu yang berbeda denga

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 13: Bersandar pada Bayang yang Salah

    Pagi itu hujan turun dengan lembut, membasahi jalanan dan menyisakan bau tanah basah yang menyenangkan. Ayla duduk di meja dapur dengan secangkir teh di tangannya.Matanya menatap kosong ke arah jendela, di mana tetes-tetes hujan beradu dengan kaca, membentuk pola yang terus berubah. Hujan selalu membawa ketenangan untuknya, tapi pagi ini ketenangan itu terasa seperti sebuah ilusi.Ponselnya yang tergeletak di atas meja tiba-tiba bergetar. Ia melirik layar dan melihat nama Rita berkedip di sana. Sahabatnya. Ayla ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu."Halo?" suara Rita terdengar ceria di seberang sana, seperti biasa."Halo, Rita," jawab Ayla, suaranya pelan tapi hangat."Kamu di rumah? Aku lagi dekat rumah ka

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 12: Terlalu Merindukan Adrian

    Adrian muncul dari dapur beberapa menit kemudian, membawa dua cangkir teh hangat. Ia melihat Ayla masih duduk di meja makan, memandangi cangkir kopinya yang belum tersentuh. Langkahnya melambat saat ia mendekat, dan senyumnya kecil muncul di wajahnya.“Kamu nggak minum kopi itu?” tanya Adrian, meletakkan salah satu cangkir teh di meja di depan Ayla.Ayla mendongak, menatap Adrian yang kini sudah duduk di kursi di seberangnya. “Aku lupa,” katanya pelan, mengangkat bahu. “Aku cuma… mikir.”Adrian memiringkan kepalanya, menatap Ayla dengan ekspresi yang penuh perhatian. “Mikir apa?”Ayla tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Aku nggak tahu. Mungkin mikir tentang semuanya.”Adrian mengangguk pelan, matanya ti

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 11: Perbedaan Perhatian

    “Jadi,” katanya perlahan, “Apa buku terakhir yang kamu baca?”Ayla mengernyit, mengingat-ingat. “Aku… aku lupa,” jawabnya, sedikit malu. “Kayaknya sudah lama banget sejak aku baca buku sampai selesai.”Adrian tertawa kecil, matanya menatap Ayla dengan penuh perhatian. “Wah, itu artinya kita harus mulai lagi. Kamu mau pinjam salah satu dari koleksiku?”Ayla tertawa pelan. “Aku nggak tahu, Adrian. Buku-bukumu kelihatan terlalu serius buat aku.”Mereka berdua tertawa kecil, dan untuk pertama kalinya malam itu, Ayla merasa beban di dadanya sedikit berkurang. Percakapan sederhana itu membawa kehangatan yang sudah lama hilang dari hidupnya.Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Angin malam berhembus pelan melalui jendela ruang tamu ya

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 10: Menghabiskan Waktu Bersama

    Namun, di balik kehangatan itu, Ayla tahu. Ia tahu bahwa apa yang sedang terjadi di antara mereka adalah sesuatu yang tidak seharusnya ada. Sesuatu yang salah, tapi terasa begitu benar.Adrian tersenyum kecil, lalu berkata, “Apa pun yang kamu butuhkan, Ayla… aku ada di sini.”Dan untuk saat itu, Ayla memutuskan untuk mempercayainya. Meskipun hatinya masih berperang, meskipun ia tahu bahwa semua ini akan membawa komplikasi yang lebih besar, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kehadiran Adrian. Hanya untuk saat ini. Hanya untuk sekali lagi.Malam itu, rumah terasa sepi. Sejak senja tadi, Bram mengirim pesan singkat kepada Ayla bahwa ia akan pulang larut malam. Seperti biasa, tidak ada alasan panjang, hanya sebuah pesan kaku yang lebih terdengar seperti perintah: "Jangan tunggu aku, lembur."Ayla memandang layar ponselnya cukup lama, membaca pesan itu berkali-kali meski ia tahu isinya tidak akan berubah. Ia tahu Bram akan pulang dengan wajah letih dan marah. Ia tahu, tidak akan ada per

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 9: Malam yang Sunyi namun Hangat

    Sementara itu, dari balik pintu dapur, Adrian memperhatikan mereka. Ia berdiri di sana dengan diam, menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, kedua tangannya menyilang di depan dada.Mata Adrian mengamati bagaimana Ayla duduk di meja itu, tubuhnya terlihat kecil dan kaku, seperti seseorang yang sedang berusaha keras menyembunyikan luka.Tatapan Adrian beralih ke Bram, yang tidak memberikan satu pun perhatian pada Ayla. Rahang Adrian mengencang, tapi ia menahan diri untuk tidak berbuat apa-apa.Sebuah dorongan muncul di hatinya—keinginan untuk menghentikan semua ini, untuk menarik Ayla keluar dari situasi yang begitu dingin dan menyakitkan. Tapi ia tahu, ada batas yang tidak bisa ia lewati.Setelah beberapa saat, Adrian melangkah masuk ke ruang makan, membuat kursi kayu di lantai sedikit berderit. Ayla menoleh, seperti baru sadar bahwa Adrian ada di sana. Matanya bertemu dengan mata Adrian, dan dalam sekejap, udara di antara mereka terasa berubah.“Pagi,” sapa Adrian lembut, suaranya terde

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 8: Sekali Lagi, Tatapan yang Menggugah

    Setelah Bram kembali ke ruang kerjanya dan suasana rumah kembali hening, Adrian menghela napas panjang. Ia akhirnya melangkah pelan ke ruang tamu, menghapus jarak antara dirinya dan Ayla."Ayla?" panggilnya dengan nada lembut.Ayla tersentak kecil, buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan. Ia menoleh ke arah Adrian, mencoba memasang senyum yang tidak meyakinkan. “Adrian? Kamu belum tidur?”Adrian menggeleng pelan, tatapannya tetap melekat pada wajah Ayla yang tampak kusut dan letih. “Aku nggak bisa tidur.”Ia berjalan mendekat, lalu duduk di ujung sofa, menjaga jarak yang sopan. “Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya hampir seperti bisikan.Ayla tertawa kecil, suara yang lebih terdengar seperti isakan. "Aku baik-baik saja," jawabnya, meski matanya yang merah dan bengkak jelas mengatakan sebaliknya.Adrian menatap Ayla tanpa berkata-kata. Keheningan di antara mereka terasa berat, penuh dengan pertanyaan yang tidak terucap.“Aku nggak tahu, Adrian,” kata Ayla tiba-tib

DMCA.com Protection Status