Beranda / Rumah Tangga / Satu Malam Bersama Adik Suamiku / Bab 2: Kesepakatan Tak Terucap

Share

Bab 2: Kesepakatan Tak Terucap

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-14 18:11:19

Trang!

Denting piring yang beradu dengan sendok menjadi satu-satunya suara di meja makan pagi itu. Bram, seperti biasa, duduk di kursi ujung, matanya terpaku pada layar ponselnya. Jarinya terus menggulir layar, sesekali mengetik sesuatu.

Ayla duduk di seberangnya, memandang semangkuk bubur ayam di depannya yang sudah dingin tanpa pernah disentuh.

Namun, yang membuat Ayla lebih canggung adalah sosok di sebelahnya—Adrian. Pria itu tampak sama gelisahnya. Ia memegang sendok, tetapi tidak benar-benar makan. Matanya menunduk, tidak berani mengangkat wajahnya dari mangkuk yang ia aduk-aduk dengan gerakan mekanis.

Hening itu mencekam. Meski di luar matahari bersinar cerah dan burung-burung berkicau, udara di dalam rumah terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menggantung di antara mereka, sesuatu yang keduanya ingin lupakan, tapi tak tahu bagaimana caranya.

“Ayla,” suara Bram tiba-tiba memecah keheningan. Mata Ayla langsung menoleh, tubuhnya menegang.

“Iya?” suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.

“Ada kopi lagi nggak? Kopiku habis,” tanya Bram sambil mengangkat cangkir keramik putihnya, tanpa menoleh sedikit pun dari ponselnya.

“Oh, ada. Aku buatkan lagi,” jawab Ayla cepat, hampir seperti pelarian. Ia segera bangkit dari kursinya, melangkah ke dapur dengan langkah tergesa.

Adrian diam. Ia melirik Bram sekilas, lalu matanya kembali ke mangkuknya. Sendok di tangannya berhenti bergerak, hanya menggantung di atas bubur yang hampir tumpah ke pinggir mangkuk. Ayla muncul lagi beberapa menit kemudian dengan segelas kopi hitam, meletakkannya di samping tangan Bram.

“Thanks,” Bram bergumam, lalu kembali tenggelam dalam layar ponselnya.

Ayla kembali duduk di kursinya, mencoba tampak tenang, meski tubuhnya terasa tegang dari kepala hingga ujung kaki. Matanya tak sengaja bertemu dengan Adrian. Hanya sekilas, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka seperti membeku.

Tatapan Adrian penuh permohonan, seperti ingin berkata sesuatu, tapi tidak mampu mengucapkannya. Ayla buru-buru menunduk, menyibukkan dirinya dengan merapikan serbet di pangkuannya.

“Adrian,” Bram tiba-tiba memanggil, membuat Ayla dan Adrian sama-sama tersentak.

“Ya?” Adrian menjawab, suaranya sedikit serak.

“Kamu masih di sini sampai kapan?”

Adrian terdiam sejenak, berpikir. “Mungkin seminggu lagi,” jawabnya akhirnya. “Aku masih harus selesaikan beberapa urusan di kota.”

Bram mengangguk, masih sibuk dengan ponselnya. “Ya udah, nggak apa-apa. Tapi jangan bikin repot Ayla ya. Dia udah cukup sibuk.”

Adrian hanya mengangguk pelan, meski ada kilatan aneh di matanya. Ayla merasakan hal itu, tapi ia pura-pura tidak menyadarinya.

Setelah sarapan selesai, Bram pergi ke kantor seperti biasa, meninggalkan Ayla dan Adrian di rumah. Pintu depan menutup dengan suara pelan, tapi cukup untuk membuat Ayla dan Adrian sama-sama terdiam di ruang tamu.

Ayla berdiri di dekat sofa, memegang cangkir teh hangat yang aromanya samar memenuhi ruangan. Adrian duduk di sudut sofa, punggungnya sedikit membungkuk, kedua siku bertumpu pada lutut.

“Ayla,” suara Adrian memecah keheningan. Ia tidak menatap Ayla, hanya menatap lantai, tapi suaranya serius. “Kita harus bicara.”

Ayla menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkirnya di meja. “Nggak ada yang perlu dibicarakan, Adrian,” katanya pelan, tapi tegas.

Adrian akhirnya mendongak, menatap Ayla dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Aku nggak bisa pura-pura ini nggak terjadi.”

Ayla meremas jemarinya sendiri, mencoba menenangkan kegugupan yang semakin merayap. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di ujung sofa, menjaga jarak sejauh mungkin dari Adrian.

“Kamu harus pura-pura,” katanya lirih. Matanya menatap lurus ke depan, tidak berani melihat Adrian. “Apa yang terjadi tadi malam… itu nggak boleh ada. Itu cuma… kesalahan. Kita sama-sama tahu itu.”

Adrian diam, tapi ada kerutan di dahinya. Rahangnya mengeras, seolah menahan sesuatu. “Tapi aku nggak bisa melupakan begitu saja, Ayla. Aku…” Ia berhenti, menarik napas panjang. “Aku nggak mau kamu berpikir aku sengaja.”

Ayla akhirnya menoleh, menatap Adrian dengan mata yang penuh kelelahan. “Aku tahu kamu nggak sengaja, Adrian,” katanya, suaranya mulai bergetar. “Tapi itu bukan masalahnya. Masalahnya adalah… kita nggak bisa biarkan ini memengaruhi apa pun. Bram nggak boleh tahu. Nggak ada yang boleh tahu.”

Adrian mendongak, matanya bertemu dengan Ayla. Ada sesuatu di matanya—rasa bersalah, rasa bingung, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam. “Jadi… kita cuma pura-pura nggak ada apa-apa?” tanyanya pelan.

Ayla mengangguk, meski hatinya terasa berat. “Iya. Kita harus pura-pura. Itu satu-satunya cara.”

Adrian terdiam, tapi akhirnya ia mengangguk kecil. “Oke,” katanya singkat. Suaranya terdengar lemah, hampir seperti menyerah.

Hening kembali menyelimuti ruangan. Ayla bangkit dari duduknya, mengambil cangkir tehnya, lalu berjalan menuju dapur. Tapi sebelum ia sampai di pintu, suara Adrian menghentikannya.

“Ayla.”

Langkahnya terhenti. Ia tidak berbalik, hanya berdiri di tempatnya, menunggu Adrian melanjutkan.

“Maaf,” katanya akhirnya, suaranya lirih tapi penuh makna.

Ayla menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Ia tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan langkahnya ke dapur, meninggalkan Adrian sendirian di ruang tamu.

Hari itu hujan turun lebat. Ayla berdiri di depan jendela dapur, memandangi tetesan air yang jatuh di kaca. Udara dingin menusuk, tapi ia tidak merasa perlu menyalakan penghangat. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan pikirannya melayang entah ke mana.

Semua yang terjadi tadi malam, pagi ini, dan bahkan beberapa menit yang lalu terus berputar di kepalanya. Wajah Adrian yang penuh rasa bersalah, tatapannya yang dalam, suara lirihnya ketika meminta maaf—semuanya melekat di pikirannya.

Ayla menutup matanya, mengambil napas panjang. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa selama mereka berdua bisa menjaga rahasia ini, tidak ada yang akan berubah.

Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu itu tidak benar. Ada sesuatu yang telah berubah, dan ia tidak tahu apakah ia bisa memperbaikinya.

“Bu Ayla,” suara Mbak Siti, pembantu rumah tangga mereka, membuyarkan lamunannya.

“Iya, Mbak?” Ayla berbalik, mencoba memasang senyum meski wajahnya tampak lelah.

“Saya mau pulang dulu, ya, Bu. Hujannya mulai reda, saya takut nanti makin malam malah hujan lagi.”

“Oh, iya. Hati-hati ya, Mbak,” kata Ayla sambil mengangguk.

Mbak Siti tersenyum, lalu melangkah keluar dari dapur. Ayla mengikutinya dengan pandangan sampai pintu belakang tertutup, meninggalkan dapur itu kosong.

Setelah beberapa saat, Ayla kembali menatap ke jendela. Hujan memang mulai mereda, tapi langit masih kelabu. Daun-daun basah berkilau diterpa sinar matahari yang samar. Suasana itu begitu tenang, tapi hati Ayla jauh dari tenang.

Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia harus menjaga semuanya tetap terkubur. Ia harus melupakan kejadian tadi malam. Ia harus menjaga jarak dari Adrian.

Tapi mengucapkannya jauh lebih mudah daripada melakukannya.

Terlebih, ia sadar bahwa perasaan kosong yang selama ini menghantuinya mulai terisi......

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 3: Tatapan yang Mulai Menyentuh

    Ayla bahkan baru sadar jika hujan pagi itu berhenti sekitar pukul sembilan.Namun, udara dingin masih mengendap di setiap sudut rumah, membuat Ayla sedikit merapatkan cardigan abu-abunya.Ia duduk di ruang tamu, di sofa kecil dekat jendela, dengan secangkir teh hangat di tangannya. Dari tempatnya duduk, ia bisa mendengar suara Adrian dari ruang makan, entah sedang mengetik sesuatu di laptopnya atau hanya mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.Ayla mencoba fokus pada buku di tangannya, sebuah novel dengan sampul cokelat pudar yang sudah lama ingin ia baca. Tapi kalimat-kalimat di halaman itu terasa seperti tinta yang mengabur, sulit ia pahami.Ia membaca berulang-ulang satu paragraf yang sama, tapi pikirannya terus melayang ke arah suara di ruang makan."Jangan lihat," bisiknya pada dirinya sendiri, memaksa matanya tetap tertuju pada halaman buku. Tapi pikirannya terus bergulir tanpa henti.Ia membayangkan Adrian duduk di kursi itu, dengan rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan, alisnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 4: Kemarahan yang Menghujam

    “Aku nggak maksud bikin kamu susah,” katanya pelan, menunduk sedikit.Deg!Ayla menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia tidak tahu bagaimana mengakhiri percakapan ini tanpa membuat semuanya semakin canggung. “Aku tahu. Aku cuma… aku butuh waktu. Itu saja.”Adrian mengangguk kecil, lalu perlahan melangkah mundur. “Oke,” katanya sebelum berbalik dan meninggalkan dapur.Ketika ia sudah pergi, Ayla bersandar pada meja, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan.Tatapan itu… tatapan Adrian yang tadi, entah bagaimana, terus terngiang di pikirannya. Seolah ada sesuatu di balik tatapan itu yang menolak pergi, sesuatu yang mencoba merengkuhnya meski ia berusaha menjauh.***Brak!Suara bantingan pintu depan menggema di rumah. Bram baru saja pulang, lebih awal dari biasanya, tapi bukan itu yang membuat Ayla terkejut.Cara pintu itu terbanting, langkah kakinya yang berat di lantai kayu, dan nada kasarnya ketik

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 5: Saat Kehadiran Menjadi Penghibur

    Ayla ingin membalas, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Di balik kata-kata Adrian, ia merasakan ketulusan yang begitu kuat.“Cuma…” Adrian melanjutkan, suaranya melembut. “Aku cuma ingin kamu tahu kalau kamu nggak sendirian.”Ayla menatap Adrian lebih lama kali ini. Ada sesuatu di matanya yang membuat hatinya bergetar. Ia ingin mengatakan terima kasih, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah gumaman pelan. Sayangnya, Ayla dilema.Cuaca bahkan mendukungnya dengan kembalinya hujan mengguyur di pagi hari. Di sana, Ayla tampak berdiri sambil memandangi panci yang mengepul di atas kompor.Tangannya dengan hati-hati mengaduk bubur ayam yang sedang ia masak, gerakan sendok kayunya pelan dan teratur. Di sebelahnya, ada piring-piring kecil berisi irisan daun bawang, bawang goreng, dan potongan cabai rawit.Semua itu tersusun rapi, seperti cerminan dari bagaimana Ayla selalu berusaha menjaga segala sesuatu di hidupnya tetap teratur—meski di dalam hatinya, semuanya sedang berantakan.Dari b

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 6: Perdebatan Batin

    Ayla terdiam, menatap Adrian dengan mata yang penuh kebingungan. Kata-kata itu sederhana, tapi cara Adrian mengatakannya membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang jauh lebih besar di baliknya.“Adrian…” Ayla akhirnya membuka mulut, tapi suaranya terhenti. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.“Maaf,” potong Adrian cepat, tersenyum kecil. “Aku cuma mau bilang kalau aku ada di sini, itu saja.”Ayla tersenyum samar, lalu kembali ke pekerjaannya. Tapi di dalam hatinya, kata-kata Adrian terus terngiang.Sore harinya, hujan kembali turun, lebih deras dari sebelumnya. Ayla duduk di ruang tamu dengan selimut tipis melilit tubuhnya, menatap ke luar jendela. Adrian muncul dari dapur membawa dua cangkir teh, uapnya mengepul lembut di udara.“Ini buat kamu,” katanya sambil menyerahkan salah satu cangkir.Ayla menerimanya dengan hati-hati, merasakan hangatnya langsung menjalar ke telapak tangannya. “Terima kasih,” katanya pelan.Adrian duduk di sofa di sebelahnya, menjaga jarak yang cukup tapi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 7: Jatuh di Pangkuan yang Salah

    “Kamu ngerasa sendirian,” sambung Adrian, mengisi kekosongan itu. Suaranya lembut, tapi matanya tajam, seolah ia bisa membaca semua perasaan yang Ayla coba sembunyikan.Ayla mengangguk pelan, air matanya akhirnya jatuh. “Iya. Aku merasa sendirian, Adrian. Aku merasa seperti… aku hilang.”Adrian ingin mendekat, ingin meraih tangan Ayla dan meyakinkannya bahwa ia tidak sendirian. Tapi ia menahan dirinya. Ada batas yang tidak boleh ia lewati, tidak peduli seberapa besar keinginannya untuk melindungi Ayla.“Kamu nggak hilang, Ayla,” katanya pelan. “Kamu cuma lupa gimana rasanya jadi kamu yang sebenarnya. Dan itu nggak salah. Kadang kita butuh waktu untuk nemuin diri kita lagi.”Ayla menatap Adrian, matanya yang basah bertemu dengan tatapan penuh kepastian. Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa terasa seperti pelukan yang hangat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa seperti ada seseorang yang benar-benar memahaminya.“Terima kasih,” bisiknya, hampir tidak terdengar.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 8: Sekali Lagi, Tatapan yang Menggugah

    Setelah Bram kembali ke ruang kerjanya dan suasana rumah kembali hening, Adrian menghela napas panjang. Ia akhirnya melangkah pelan ke ruang tamu, menghapus jarak antara dirinya dan Ayla."Ayla?" panggilnya dengan nada lembut.Ayla tersentak kecil, buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan. Ia menoleh ke arah Adrian, mencoba memasang senyum yang tidak meyakinkan. “Adrian? Kamu belum tidur?”Adrian menggeleng pelan, tatapannya tetap melekat pada wajah Ayla yang tampak kusut dan letih. “Aku nggak bisa tidur.”Ia berjalan mendekat, lalu duduk di ujung sofa, menjaga jarak yang sopan. “Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya hampir seperti bisikan.Ayla tertawa kecil, suara yang lebih terdengar seperti isakan. "Aku baik-baik saja," jawabnya, meski matanya yang merah dan bengkak jelas mengatakan sebaliknya.Adrian menatap Ayla tanpa berkata-kata. Keheningan di antara mereka terasa berat, penuh dengan pertanyaan yang tidak terucap.“Aku nggak tahu, Adrian,” kata Ayla tiba-tib

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 9: Malam yang Sunyi namun Hangat

    Sementara itu, dari balik pintu dapur, Adrian memperhatikan mereka. Ia berdiri di sana dengan diam, menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, kedua tangannya menyilang di depan dada.Mata Adrian mengamati bagaimana Ayla duduk di meja itu, tubuhnya terlihat kecil dan kaku, seperti seseorang yang sedang berusaha keras menyembunyikan luka.Tatapan Adrian beralih ke Bram, yang tidak memberikan satu pun perhatian pada Ayla. Rahang Adrian mengencang, tapi ia menahan diri untuk tidak berbuat apa-apa.Sebuah dorongan muncul di hatinya—keinginan untuk menghentikan semua ini, untuk menarik Ayla keluar dari situasi yang begitu dingin dan menyakitkan. Tapi ia tahu, ada batas yang tidak bisa ia lewati.Setelah beberapa saat, Adrian melangkah masuk ke ruang makan, membuat kursi kayu di lantai sedikit berderit. Ayla menoleh, seperti baru sadar bahwa Adrian ada di sana. Matanya bertemu dengan mata Adrian, dan dalam sekejap, udara di antara mereka terasa berubah.“Pagi,” sapa Adrian lembut, suaranya terde

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 10: Menghabiskan Waktu Bersama

    Namun, di balik kehangatan itu, Ayla tahu. Ia tahu bahwa apa yang sedang terjadi di antara mereka adalah sesuatu yang tidak seharusnya ada. Sesuatu yang salah, tapi terasa begitu benar.Adrian tersenyum kecil, lalu berkata, “Apa pun yang kamu butuhkan, Ayla… aku ada di sini.”Dan untuk saat itu, Ayla memutuskan untuk mempercayainya. Meskipun hatinya masih berperang, meskipun ia tahu bahwa semua ini akan membawa komplikasi yang lebih besar, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kehadiran Adrian. Hanya untuk saat ini. Hanya untuk sekali lagi.Malam itu, rumah terasa sepi. Sejak senja tadi, Bram mengirim pesan singkat kepada Ayla bahwa ia akan pulang larut malam. Seperti biasa, tidak ada alasan panjang, hanya sebuah pesan kaku yang lebih terdengar seperti perintah: "Jangan tunggu aku, lembur."Ayla memandang layar ponselnya cukup lama, membaca pesan itu berkali-kali meski ia tahu isinya tidak akan berubah. Ia tahu Bram akan pulang dengan wajah letih dan marah. Ia tahu, tidak akan ada per

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16

Bab terbaru

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 176: Cinta yang Terus Hidup

    Siang itu, di antara kehangatan matahari yang lembut, Adrian dan Aruna melangkah memasuki toko bunga. Mereka sepakat untuk menambahkan tanaman baru ke taman kecil di rumah, sebuah tempat yang selalu terasa seperti ruang istimewa untuk keluarga mereka.Rak-rak yang dipenuhi bunga warna-warni menyapa mereka dengan aroma segar dan pemandangan yang memanjakan mata.Saat melewati deretan bunga mawar, langkah Aruna terhenti di depan mawar putih yang tersusun rapi dalam keranjang rotan. Jemarinya dengan hati-hati menyentuh kelopak salah satu bunga, seolah takut merusaknya."Mama suka mawar putih, kan, Pa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Adrian, matanya penuh kenangan.Adrian tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Iya. Dia bilang mawar putih itu lambang cinta yang murni. Meja makan kita hampir selalu dihiasi bunga ini."Aruna tersenyum, seolah menemukan jawaban atas kerinduan yang samar. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, memeluknya dengan lembut sepe

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 175: Cinta yang Membanggakan

    Sore itu, Adrian dan Aruna duduk di ruang kerja Ayla, sebuah sudut kecil yang seakan menyimpan jiwa pemiliknya. Rak-rak penuh buku berjajar rapi, dihiasi benda-benda kecil yang seolah berbicara tentang kenangan masa lalu.Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, memantulkan rona keemasan di dinding ruangan.Aruna, yang sedang menelusuri rak buku, tiba-tiba menemukan sebuah jurnal tua dengan nama Ayla tertulis di sampulnya. Tulisan tangan itu sederhana, tetapi penuh makna.“Ini jurnal Mama?” tanya Aruna dengan nada ingin tahu sambil membuka halaman pertama.Adrian yang duduk di sofa dekat jendela mengangguk perlahan. “Iya. Mama kamu selalu suka menulis. Baginya, itu cara terbaik untuk menyampaikan apa yang tidak sempat diungkapkan dengan kata-kata.”Dengan hati-hati, Aruna mulai membaca halaman demi halaman. Tulisan Ayla mencatat berbagai momen penting dalam hidupnya—dari pertemuan pertamanya dengan Adrian hingga keb

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 174: Mengenang yang Terkasih

    Malam itu, setelah Aruna kembali ke rumahnya sendiri, Adrian duduk sendirian di ruang keluarga. Di hadapannya tergeletak sebuah album foto yang penuh dengan jejak-jejak masa lalu.Jari-jarinya perlahan membuka halaman demi halaman, menghidupkan kembali senyum Ayla yang terbingkai dalam setiap gambar. Setiap potret adalah pengingat akan cinta dan kebahagiaan yang pernah memenuhi hidupnya.Tangannya terhenti pada sebuah foto pernikahan. Ayla tampak memukau dalam balutan gaun putih yang anggun, sementara Adrian di sampingnya terlihat muda, penuh semangat, dan percaya diri. Ia memandang gambar itu lama, seolah ingin menangkap kembali momen kebahagiaan yang tak tergantikan.“Ayla,” bisiknya dengan suara yang serak oleh emosi. “Aku harap kamu tahu... aku selalu mencintai kamu. Setiap hari. Setiap detik.”Ia memejamkan mata, membiarkan arus kenangan membanjiri pikirannya. Meski dadanya terasa sesak oleh rasa rindu yang menusuk, ada kehang

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 173: Warisan Cinta

    Hari-hari setelah kepergian Ayla adalah masa yang sulit bagi Adrian. Kesedihan seperti bayangan yang selalu mengikutinya, tetapi ia tahu, Ayla tidak pernah benar-benar pergi. Setiap sudut rumah mereka menyimpan kenangan; dindingnya seolah berbisik tentang tawa dan percakapan mereka.Setiap bunga yang mekar di taman menjadi peringatan akan cinta yang mereka bangun dengan penuh kasih sayang.Di malam-malam sunyi, Adrian sering duduk di kursi goyang di teras belakang, memandang bintang-bintang yang berkelip di langit gelap. Ada rasa damai sekaligus rindu yang melingkupi hatinya."Aku nggak akan lupa janji kita, Ay," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desir angin. "Aku akan terus hidup dengan bahagia, untukmu."Cinta mereka tidak berhenti di situ. Cinta itu tetap hidup, bersemayam dalam setiap kenangan yang mereka ciptakan, dalam napas Aruna—putri kecil mereka yang menjadi buah hati dari kisah cinta yang tak tergantikan.

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 172: Saling Menemani Hingga Akhir

    Hujan turun perlahan, butirannya meliuk-liuk di kaca jendela kamar Ayla dan Adrian, seakan menari dalam kesunyian malam.Udara dingin menembus hingga ke tulang, namun di dalam kamar itu, kehangatan terasa begitu nyata—kehangatan yang berasal dari cinta yang telah mereka rawat bersama selama bertahun-tahun. Ayla terbaring di tempat tidur, tubuh mungilnya dibalut selimut tebal.Wajahnya tampak pucat, tapi sorot matanya tetap memancarkan kelembutan yang menjadi ciri khasnya, kelembutan yang selalu membuat Adrian jatuh cinta.Adrian duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, sebuah buku terbuka di tangannya. Suaranya lembut saat ia membacakan cerita, setiap kata meluncur seperti irama yang menenangkan. Ia seolah ingin menjadikan kata-kata itu jubah hangat yang membungkus hati Ayla.“...dan akhirnya, sang putri menemukan kebahagiaan di tempat yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebuah akhir yang mungkin tak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 171: Kehidupan Penuh Cinta

    Di meja makan, aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat memenuhi udara pagi itu. Adrian duduk di seberang Ayla, mengaduk kopinya dengan gerakan pelan, sesekali melirik istrinya yang tengah menikmati sarapannya.Keheningan di antara mereka terasa nyaman, seolah tak perlu ada kata-kata untuk mengisi ruang. Namun tiba-tiba, Adrian membuka suara, suaranya lembut namun cukup jelas memecah kesunyian."Aku ingat," katanya, senyuman tipis menghiasi wajahnya.Ayla mengangkat alis, meletakkan sendoknya dengan hati-hati. Tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Ingat apa?" tanyanya lembut.Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Ayla dengan sorot yang sulit diartikan. "Waktu pertama kali aku sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu," ucapnya pelan, seperti berbicara langsung dari hatinya.Kata-kata itu membuat Ayla tertegun. Dia tidak menduga Adrian akan mengungkit kenangan itu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman, tapi s

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 170: Perpisahan Menguatkan

    Adrian terdiam. Tatapannya mengabur, diselimuti emosi yang terus ia tahan agar tak tumpah. "Ay, aku nggak mau membicarakan itu sekarang," ucapnya pelan, nyaris berbisik."Tapi aku perlu kamu dengar, Din," balas Ayla, suaranya tegas namun tetap lembut, seperti angin sore yang menyentuh kulit tanpa melukai. "Aku tahu kamu mencintaiku. Aku tahu kamu rela melakukan apa saja untukku. Tapi, Din, aku juga ingin kamu tahu… kebahagiaanmu penting buatku. Sama pentingnya."Adrian menatap Ayla lama, seolah-olah sedang mencari sesuatu di dalam matanya—sebuah harapan, mungkin. Matanya, yang biasa penuh dengan ketenangan, kini berkilat, dihiasi air mata yang menunggu untuk jatuh."Aku nggak bisa bayangkan hidup tanpa kamu, Ay," gumamnya akhirnya, suaranya nyaris pecah.Ayla tersenyum, walaupun air mata mulai menitik di pipinya. "Aku nggak akan pernah benar-benar pergi, Din. Aku akan selalu ada di sini." Jemarinya perlahan menyent

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 169: Tantangan Terakhir

    Sesampainya di rumah, Adrian langsung mengantar Ayla ke kamar. Dengan penuh perhatian, ia merapikan bantal dan menyelimuti tubuh istrinya yang tampak kelelahan. Ayla hanya bisa tertawa kecil, senyumnya menghangatkan suasana."Din, aku bukan anak kecil," ucap Ayla lembut, tangannya menyentuh pipi Adrian dengan kehangatan yang membuatnya sejenak terhenti.Adrian mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Tatapannya penuh kasih. "Aku tahu kamu bukan anak kecil. Tapi kamu istriku, Ay, dan aku akan selalu memastikan kamu baik-baik saja."Nada suaranya—tenang namun tegas—membuat Ayla terdiam. Ia meraih tangan Adrian, menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu tahu, Din? Aku nggak pernah merasa seaman ini sebelumnya. Terima kasih karena selalu ada untukku."Adrian tersenyum lembut. Ia membawa tangan Ayla ke bibirnya, mengecupnya dengan perlahan. "Aku nggak akan pernah pergi, Ay. Kita sudah melewati banyak hal bersama. Nggak ada yang bisa mem

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 168: Momen dalam Kedamaian

    Hari itu berlalu dalam kehangatan yang sederhana, namun begitu membekas di hati. Setelah sarapan bersama—ritual pagi yang selalu mereka nikmati dengan tawa kecil dan obrolan ringan—Ayla mengusulkan ide untuk mencoba resep baru yang ia temukan di buku masak lamanya.Adrian, yang awalnya ragu, akhirnya setuju untuk ikut terjun ke dapur.“Duh, ini kayaknya kebanyakan gula, deh,” keluh Adrian sambil mengaduk adonan kue dengan raut penuh keraguan.Ayla tertawa kecil, melirik suaminya dengan tatapan geli sembari tangannya cekatan memotong cokelat hitam. “Nggak apa-apa, kalau terlalu manis, kita kasih aja ke anak-anak tetangga. Mereka pasti suka.”Adrian mengangguk pelan, meski garis ragu di keningnya belum juga sirna. Ia mencuri pandang ke arah Ayla, yang tengah sibuk bekerja dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kamu tahu nggak, Ay? Ada satu hal lagi yang bikin aku bangga selain Aruna."Ayla berhenti sejenak, alisn

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status