Home / Rumah Tangga / Satu Malam Bersama Adik Suamiku / Bab 2: Kesepakatan Tak Terucap

Share

Bab 2: Kesepakatan Tak Terucap

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2024-11-14 18:11:19

Trang!

Denting piring yang beradu dengan sendok menjadi satu-satunya suara di meja makan pagi itu. Bram, seperti biasa, duduk di kursi ujung, matanya terpaku pada layar ponselnya. Jarinya terus menggulir layar, sesekali mengetik sesuatu.

Ayla duduk di seberangnya, memandang semangkuk bubur ayam di depannya yang sudah dingin tanpa pernah disentuh.

Namun, yang membuat Ayla lebih canggung adalah sosok di sebelahnya—Adrian. Pria itu tampak sama gelisahnya. Ia memegang sendok, tetapi tidak benar-benar makan. Matanya menunduk, tidak berani mengangkat wajahnya dari mangkuk yang ia aduk-aduk dengan gerakan mekanis.

Hening itu mencekam. Meski di luar matahari bersinar cerah dan burung-burung berkicau, udara di dalam rumah terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menggantung di antara mereka, sesuatu yang keduanya ingin lupakan, tapi tak tahu bagaimana caranya.

“Ayla,” suara Bram tiba-tiba memecah keheningan. Mata Ayla langsung menoleh, tubuhnya menegang.

“Iya?” suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.

“Ada kopi lagi nggak? Kopiku habis,” tanya Bram sambil mengangkat cangkir keramik putihnya, tanpa menoleh sedikit pun dari ponselnya.

“Oh, ada. Aku buatkan lagi,” jawab Ayla cepat, hampir seperti pelarian. Ia segera bangkit dari kursinya, melangkah ke dapur dengan langkah tergesa.

Adrian diam. Ia melirik Bram sekilas, lalu matanya kembali ke mangkuknya. Sendok di tangannya berhenti bergerak, hanya menggantung di atas bubur yang hampir tumpah ke pinggir mangkuk. Ayla muncul lagi beberapa menit kemudian dengan segelas kopi hitam, meletakkannya di samping tangan Bram.

“Thanks,” Bram bergumam, lalu kembali tenggelam dalam layar ponselnya.

Ayla kembali duduk di kursinya, mencoba tampak tenang, meski tubuhnya terasa tegang dari kepala hingga ujung kaki. Matanya tak sengaja bertemu dengan Adrian. Hanya sekilas, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka seperti membeku.

Tatapan Adrian penuh permohonan, seperti ingin berkata sesuatu, tapi tidak mampu mengucapkannya. Ayla buru-buru menunduk, menyibukkan dirinya dengan merapikan serbet di pangkuannya.

“Adrian,” Bram tiba-tiba memanggil, membuat Ayla dan Adrian sama-sama tersentak.

“Ya?” Adrian menjawab, suaranya sedikit serak.

“Kamu masih di sini sampai kapan?”

Adrian terdiam sejenak, berpikir. “Mungkin seminggu lagi,” jawabnya akhirnya. “Aku masih harus selesaikan beberapa urusan di kota.”

Bram mengangguk, masih sibuk dengan ponselnya. “Ya udah, nggak apa-apa. Tapi jangan bikin repot Ayla ya. Dia udah cukup sibuk.”

Adrian hanya mengangguk pelan, meski ada kilatan aneh di matanya. Ayla merasakan hal itu, tapi ia pura-pura tidak menyadarinya.

Setelah sarapan selesai, Bram pergi ke kantor seperti biasa, meninggalkan Ayla dan Adrian di rumah. Pintu depan menutup dengan suara pelan, tapi cukup untuk membuat Ayla dan Adrian sama-sama terdiam di ruang tamu.

Ayla berdiri di dekat sofa, memegang cangkir teh hangat yang aromanya samar memenuhi ruangan. Adrian duduk di sudut sofa, punggungnya sedikit membungkuk, kedua siku bertumpu pada lutut.

“Ayla,” suara Adrian memecah keheningan. Ia tidak menatap Ayla, hanya menatap lantai, tapi suaranya serius. “Kita harus bicara.”

Ayla menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkirnya di meja. “Nggak ada yang perlu dibicarakan, Adrian,” katanya pelan, tapi tegas.

Adrian akhirnya mendongak, menatap Ayla dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Aku nggak bisa pura-pura ini nggak terjadi.”

Ayla meremas jemarinya sendiri, mencoba menenangkan kegugupan yang semakin merayap. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di ujung sofa, menjaga jarak sejauh mungkin dari Adrian.

“Kamu harus pura-pura,” katanya lirih. Matanya menatap lurus ke depan, tidak berani melihat Adrian. “Apa yang terjadi tadi malam… itu nggak boleh ada. Itu cuma… kesalahan. Kita sama-sama tahu itu.”

Adrian diam, tapi ada kerutan di dahinya. Rahangnya mengeras, seolah menahan sesuatu. “Tapi aku nggak bisa melupakan begitu saja, Ayla. Aku…” Ia berhenti, menarik napas panjang. “Aku nggak mau kamu berpikir aku sengaja.”

Ayla akhirnya menoleh, menatap Adrian dengan mata yang penuh kelelahan. “Aku tahu kamu nggak sengaja, Adrian,” katanya, suaranya mulai bergetar. “Tapi itu bukan masalahnya. Masalahnya adalah… kita nggak bisa biarkan ini memengaruhi apa pun. Bram nggak boleh tahu. Nggak ada yang boleh tahu.”

Adrian mendongak, matanya bertemu dengan Ayla. Ada sesuatu di matanya—rasa bersalah, rasa bingung, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam. “Jadi… kita cuma pura-pura nggak ada apa-apa?” tanyanya pelan.

Ayla mengangguk, meski hatinya terasa berat. “Iya. Kita harus pura-pura. Itu satu-satunya cara.”

Adrian terdiam, tapi akhirnya ia mengangguk kecil. “Oke,” katanya singkat. Suaranya terdengar lemah, hampir seperti menyerah.

Hening kembali menyelimuti ruangan. Ayla bangkit dari duduknya, mengambil cangkir tehnya, lalu berjalan menuju dapur. Tapi sebelum ia sampai di pintu, suara Adrian menghentikannya.

“Ayla.”

Langkahnya terhenti. Ia tidak berbalik, hanya berdiri di tempatnya, menunggu Adrian melanjutkan.

“Maaf,” katanya akhirnya, suaranya lirih tapi penuh makna.

Ayla menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Ia tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan langkahnya ke dapur, meninggalkan Adrian sendirian di ruang tamu.

Hari itu hujan turun lebat. Ayla berdiri di depan jendela dapur, memandangi tetesan air yang jatuh di kaca. Udara dingin menusuk, tapi ia tidak merasa perlu menyalakan penghangat. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan pikirannya melayang entah ke mana.

Semua yang terjadi tadi malam, pagi ini, dan bahkan beberapa menit yang lalu terus berputar di kepalanya. Wajah Adrian yang penuh rasa bersalah, tatapannya yang dalam, suara lirihnya ketika meminta maaf—semuanya melekat di pikirannya.

Ayla menutup matanya, mengambil napas panjang. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa selama mereka berdua bisa menjaga rahasia ini, tidak ada yang akan berubah.

Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu itu tidak benar. Ada sesuatu yang telah berubah, dan ia tidak tahu apakah ia bisa memperbaikinya.

“Bu Ayla,” suara Mbak Siti, pembantu rumah tangga mereka, membuyarkan lamunannya.

“Iya, Mbak?” Ayla berbalik, mencoba memasang senyum meski wajahnya tampak lelah.

“Saya mau pulang dulu, ya, Bu. Hujannya mulai reda, saya takut nanti makin malam malah hujan lagi.”

“Oh, iya. Hati-hati ya, Mbak,” kata Ayla sambil mengangguk.

Mbak Siti tersenyum, lalu melangkah keluar dari dapur. Ayla mengikutinya dengan pandangan sampai pintu belakang tertutup, meninggalkan dapur itu kosong.

Setelah beberapa saat, Ayla kembali menatap ke jendela. Hujan memang mulai mereda, tapi langit masih kelabu. Daun-daun basah berkilau diterpa sinar matahari yang samar. Suasana itu begitu tenang, tapi hati Ayla jauh dari tenang.

Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia harus menjaga semuanya tetap terkubur. Ia harus melupakan kejadian tadi malam. Ia harus menjaga jarak dari Adrian.

Tapi mengucapkannya jauh lebih mudah daripada melakukannya.

Terlebih, ia sadar bahwa perasaan kosong yang selama ini menghantuinya mulai terisi......

Related chapters

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 3: Tatapan yang Mulai Menyentuh

    Ayla bahkan baru sadar jika hujan pagi itu berhenti sekitar pukul sembilan.Namun, udara dingin masih mengendap di setiap sudut rumah, membuat Ayla sedikit merapatkan cardigan abu-abunya.Ia duduk di ruang tamu, di sofa kecil dekat jendela, dengan secangkir teh hangat di tangannya. Dari tempatnya duduk, ia bisa mendengar suara Adrian dari ruang makan, entah sedang mengetik sesuatu di laptopnya atau hanya mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.Ayla mencoba fokus pada buku di tangannya, sebuah novel dengan sampul cokelat pudar yang sudah lama ingin ia baca. Tapi kalimat-kalimat di halaman itu terasa seperti tinta yang mengabur, sulit ia pahami.Ia membaca berulang-ulang satu paragraf yang sama, tapi pikirannya terus melayang ke arah suara di ruang makan."Jangan lihat," bisiknya pada dirinya sendiri, memaksa matanya tetap tertuju pada halaman buku. Tapi pikirannya terus bergulir tanpa henti.Ia membayangkan Adrian duduk di kursi itu, dengan rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan, alisnya

    Last Updated : 2024-11-14
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 4: Kemarahan yang Menghujam

    “Aku nggak maksud bikin kamu susah,” katanya pelan, menunduk sedikit.Deg!Ayla menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia tidak tahu bagaimana mengakhiri percakapan ini tanpa membuat semuanya semakin canggung. “Aku tahu. Aku cuma… aku butuh waktu. Itu saja.”Adrian mengangguk kecil, lalu perlahan melangkah mundur. “Oke,” katanya sebelum berbalik dan meninggalkan dapur.Ketika ia sudah pergi, Ayla bersandar pada meja, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan.Tatapan itu… tatapan Adrian yang tadi, entah bagaimana, terus terngiang di pikirannya. Seolah ada sesuatu di balik tatapan itu yang menolak pergi, sesuatu yang mencoba merengkuhnya meski ia berusaha menjauh.***Brak!Suara bantingan pintu depan menggema di rumah. Bram baru saja pulang, lebih awal dari biasanya, tapi bukan itu yang membuat Ayla terkejut.Cara pintu itu terbanting, langkah kakinya yang berat di lantai kayu, dan nada kasarnya ketik

    Last Updated : 2024-11-14
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 5: Saat Kehadiran Menjadi Penghibur

    Ayla ingin membalas, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Di balik kata-kata Adrian, ia merasakan ketulusan yang begitu kuat.“Cuma…” Adrian melanjutkan, suaranya melembut. “Aku cuma ingin kamu tahu kalau kamu nggak sendirian.”Ayla menatap Adrian lebih lama kali ini. Ada sesuatu di matanya yang membuat hatinya bergetar. Ia ingin mengatakan terima kasih, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah gumaman pelan. Sayangnya, Ayla dilema.Cuaca bahkan mendukungnya dengan kembalinya hujan mengguyur di pagi hari. Di sana, Ayla tampak berdiri sambil memandangi panci yang mengepul di atas kompor.Tangannya dengan hati-hati mengaduk bubur ayam yang sedang ia masak, gerakan sendok kayunya pelan dan teratur. Di sebelahnya, ada piring-piring kecil berisi irisan daun bawang, bawang goreng, dan potongan cabai rawit.Semua itu tersusun rapi, seperti cerminan dari bagaimana Ayla selalu berusaha menjaga segala sesuatu di hidupnya tetap teratur—meski di dalam hatinya, semuanya sedang berantakan.Dari b

    Last Updated : 2024-11-15
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 6: Perdebatan Batin

    Ayla terdiam, menatap Adrian dengan mata yang penuh kebingungan. Kata-kata itu sederhana, tapi cara Adrian mengatakannya membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang jauh lebih besar di baliknya.“Adrian…” Ayla akhirnya membuka mulut, tapi suaranya terhenti. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.“Maaf,” potong Adrian cepat, tersenyum kecil. “Aku cuma mau bilang kalau aku ada di sini, itu saja.”Ayla tersenyum samar, lalu kembali ke pekerjaannya. Tapi di dalam hatinya, kata-kata Adrian terus terngiang.Sore harinya, hujan kembali turun, lebih deras dari sebelumnya. Ayla duduk di ruang tamu dengan selimut tipis melilit tubuhnya, menatap ke luar jendela. Adrian muncul dari dapur membawa dua cangkir teh, uapnya mengepul lembut di udara.“Ini buat kamu,” katanya sambil menyerahkan salah satu cangkir.Ayla menerimanya dengan hati-hati, merasakan hangatnya langsung menjalar ke telapak tangannya. “Terima kasih,” katanya pelan.Adrian duduk di sofa di sebelahnya, menjaga jarak yang cukup tapi

    Last Updated : 2024-11-15
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 7: Jatuh di Pangkuan yang Salah

    “Kamu ngerasa sendirian,” sambung Adrian, mengisi kekosongan itu. Suaranya lembut, tapi matanya tajam, seolah ia bisa membaca semua perasaan yang Ayla coba sembunyikan.Ayla mengangguk pelan, air matanya akhirnya jatuh. “Iya. Aku merasa sendirian, Adrian. Aku merasa seperti… aku hilang.”Adrian ingin mendekat, ingin meraih tangan Ayla dan meyakinkannya bahwa ia tidak sendirian. Tapi ia menahan dirinya. Ada batas yang tidak boleh ia lewati, tidak peduli seberapa besar keinginannya untuk melindungi Ayla.“Kamu nggak hilang, Ayla,” katanya pelan. “Kamu cuma lupa gimana rasanya jadi kamu yang sebenarnya. Dan itu nggak salah. Kadang kita butuh waktu untuk nemuin diri kita lagi.”Ayla menatap Adrian, matanya yang basah bertemu dengan tatapan penuh kepastian. Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa terasa seperti pelukan yang hangat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa seperti ada seseorang yang benar-benar memahaminya.“Terima kasih,” bisiknya, hampir tidak terdengar.

    Last Updated : 2024-11-15
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 8: Sekali Lagi, Tatapan yang Menggugah

    Setelah Bram kembali ke ruang kerjanya dan suasana rumah kembali hening, Adrian menghela napas panjang. Ia akhirnya melangkah pelan ke ruang tamu, menghapus jarak antara dirinya dan Ayla."Ayla?" panggilnya dengan nada lembut.Ayla tersentak kecil, buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan. Ia menoleh ke arah Adrian, mencoba memasang senyum yang tidak meyakinkan. “Adrian? Kamu belum tidur?”Adrian menggeleng pelan, tatapannya tetap melekat pada wajah Ayla yang tampak kusut dan letih. “Aku nggak bisa tidur.”Ia berjalan mendekat, lalu duduk di ujung sofa, menjaga jarak yang sopan. “Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya hampir seperti bisikan.Ayla tertawa kecil, suara yang lebih terdengar seperti isakan. "Aku baik-baik saja," jawabnya, meski matanya yang merah dan bengkak jelas mengatakan sebaliknya.Adrian menatap Ayla tanpa berkata-kata. Keheningan di antara mereka terasa berat, penuh dengan pertanyaan yang tidak terucap.“Aku nggak tahu, Adrian,” kata Ayla tiba-tib

    Last Updated : 2024-11-15
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 9: Malam yang Sunyi namun Hangat

    Sementara itu, dari balik pintu dapur, Adrian memperhatikan mereka. Ia berdiri di sana dengan diam, menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, kedua tangannya menyilang di depan dada.Mata Adrian mengamati bagaimana Ayla duduk di meja itu, tubuhnya terlihat kecil dan kaku, seperti seseorang yang sedang berusaha keras menyembunyikan luka.Tatapan Adrian beralih ke Bram, yang tidak memberikan satu pun perhatian pada Ayla. Rahang Adrian mengencang, tapi ia menahan diri untuk tidak berbuat apa-apa.Sebuah dorongan muncul di hatinya—keinginan untuk menghentikan semua ini, untuk menarik Ayla keluar dari situasi yang begitu dingin dan menyakitkan. Tapi ia tahu, ada batas yang tidak bisa ia lewati.Setelah beberapa saat, Adrian melangkah masuk ke ruang makan, membuat kursi kayu di lantai sedikit berderit. Ayla menoleh, seperti baru sadar bahwa Adrian ada di sana. Matanya bertemu dengan mata Adrian, dan dalam sekejap, udara di antara mereka terasa berubah.“Pagi,” sapa Adrian lembut, suaranya terde

    Last Updated : 2024-11-16
  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 10: Menghabiskan Waktu Bersama

    Namun, di balik kehangatan itu, Ayla tahu. Ia tahu bahwa apa yang sedang terjadi di antara mereka adalah sesuatu yang tidak seharusnya ada. Sesuatu yang salah, tapi terasa begitu benar.Adrian tersenyum kecil, lalu berkata, “Apa pun yang kamu butuhkan, Ayla… aku ada di sini.”Dan untuk saat itu, Ayla memutuskan untuk mempercayainya. Meskipun hatinya masih berperang, meskipun ia tahu bahwa semua ini akan membawa komplikasi yang lebih besar, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kehadiran Adrian. Hanya untuk saat ini. Hanya untuk sekali lagi.Malam itu, rumah terasa sepi. Sejak senja tadi, Bram mengirim pesan singkat kepada Ayla bahwa ia akan pulang larut malam. Seperti biasa, tidak ada alasan panjang, hanya sebuah pesan kaku yang lebih terdengar seperti perintah: "Jangan tunggu aku, lembur."Ayla memandang layar ponselnya cukup lama, membaca pesan itu berkali-kali meski ia tahu isinya tidak akan berubah. Ia tahu Bram akan pulang dengan wajah letih dan marah. Ia tahu, tidak akan ada per

    Last Updated : 2024-11-16

Latest chapter

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 78: Mencari Dukungan Rita

    Pagi itu, suasana apartemen Rita sedikit berbeda. Ayla berdiri ragu di depan pintu, menggigil bukan hanya karena udara pagi yang dingin, tapi juga karena beban yang ia pikul. Ia merapatkan mantel cokelat tua yang sudah lusuh, berusaha menahan dingin yang menyeruak ke tulang.Dengan tangan yang bergetar, ia mengetuk pintu dengan pelan, hati-hatinya dipenuhi kecemasan.Sejurus kemudian, terdengar suara langkah kaki dari dalam apartemen. Pintu perlahan terbuka, dan muncullah wajah Rita yang tampak terkejut dan rambutnya yang tergerai dengan bebas. Ekspresi terkejut terpahat di wajahnya saat ia melihat Ayla berdiri di ambang pintu.“Ayla?” Rita berkata dengan nada penuh tanya. “Apa kamu baik-baik saja?”Dengan kepala mengangguk perlahan, Ayla mencoba tersenyum, meski dari raut wajahnya jelas bahwa ia jauh dari kata baik-baik saja. “Rita, aku… boleh masuk?”“Tentu, masuklah,” jawab Rita sambil membu

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 77: Gosip yang Terlalu Nyata

    Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, tempat yang menawarkan ketenangan jauh dari keramaian. Di sana, Ayla memilih tempat duduk di pojok, sibuk memandangi secangkir kopi hitam yang menguap perlahan di depannya.Tak lama kemudian, Adrian datang, membawa aura kehangatan yang seketika membuat suasana hati Ayla sedikit lebih ringan.Adrian segera mengambil tempat duduk di hadapan Ayla, matanya menelusuri wajahnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Ada apa, Ayla?" tanyanya dengan suara yang langsung ke inti, tanpa membuang waktu.Dengan bahu terangkat pelan, Ayla mencoba tersenyum, namun bibirnya bergetar menahan sesuatu. "Hanya...gosip," jawabnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Gosip yang terasa terlalu nyata untuk bisa diabaikan begitu saja."Adrian mengerutkan kening, rasa penasarannya terpicu. "Gosip apa? Apa yang mereka bicarakan?"Mata Ayla tertunduk, berusaha menghindari tatapan tajam Adrian. "Tentang aku..

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 76: Rita Berusaha Mengingatkan

    Suara ketukan pintu tiba-tiba memecah keheningan. Adrian dan Ayla saling pandang, terkejut tergambar jelas di wajah mereka. Adrian bergerak cepat, menuju pintu dengan langkah mantap. Dia melemparkan pandangan singkat kepada Ayla, memberi isyarat agar tetap di tempat.Ketika pintu terbuka, seorang wanita muda berdiri di ambang. Wajahnya basah oleh hujan, rambut panjang menempel di pipinya, dan matanya tajam menatap Ayla di dalam ruangan.“Rita?” Adrian bertanya, terdengar ragu.Rita tidak menjawab. Dengan mantap, dia melangkah masuk tanpa permisi, berdiri di depan Ayla. Ekspresi aneh menghiasi wajahnya—campuran antara kecewa, marah, dan prihatin.“Aku tahu aku akan menemukanmu di sini,” katanya dengan suara lembut namun penuh dengan tekanan.Ayla berdiri perlahan, bibirnya bergetar. “Rita… aku bisa menjelaskan.”Rita mengangkat tangan, memotong Ayla sebelum ia bisa melanjutkan. &l

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 75: Janji Adrian pada Ayla

    Lampu meja di sudut ruangan bersinar temaram, memancarkan cahaya hangat yang membelai dinding ruang tamu kecil di apartemen Adrian. Di sudut lain, alunan musik instrumental mengisi udara dengan nada lembut, melarutkan keheningan namun menyisakan atmosfer yang penuh tanda tanya.Ayla duduk di sofa abu-abu gelap, tangannya menggenggam cangkir teh hangat seolah mencari kenyamanan dari uap chamomile yang perlahan membubung. Tatapannya terpaku pada jendela besar di hadapannya, memperlihatkan kota yang terbenam dalam kilauan lampu-lampu malam.Adrian berdiri di dekat dapur, bersandar pada dinding dengan sikap santai yang tampak dipaksakan. Kedua lengannya terlipat di dada, tetapi matanya yang tak tenang mengkhianati ketenangan palsu itu.Ia memandangi Ayla dari jauh, seolah membaca tiap gerakan perempuan itu, yang selalu memancarkan kelembutan bahkan saat pikirannya mungkin sedang dihantui badai kekhawatiran.“Ayla…” Adrian akhirnya memecah k

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 74: Pilihan yang Mengubah Segalanya

    Malam itu, mereka kembali ke apartemen Adrian. Sebuah keheningan menggantung di udara, seolah waktu berhenti untuk memberi ruang pada pikiran-pikiran yang berlarian di kepala mereka. Ayla duduk di sofa berlapis kain lembut, menggenggam secangkir teh yang sudah lama kehilangan kehangatannya.Tatapannya kosong, tenggelam dalam bayang-bayang cahaya kota yang memantul dari jendela. Sementara itu, Adrian berdiri di dekat jendela, memandangi lautan lampu di kejauhan, seperti mencari jawaban di antara k

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 73: Ayla Tidak Layak Bahagia

    Hari-hari berikutnya terasa seperti perjuangan tanpa akhir bagi Ayla dan Adrian. Gosip terus meluas, berhembus dari mulut ke mulut dan tersebar liar di media sosial.Komentar pedas—beberapa tersampaikan langsung, sebagian lagi bersembunyi di balik layar anonim—menghantam mereka tanpa ampun.Suatu malam, Ayla menerima sebuah pesan anonim di ponselnya:"Kau perusak keluarga. Kau tidak layak bahagia."Ia menatap layar ponselnya lama, seolah kata-kata itu menancap di benaknya seperti duri yang tak terlihat. Dengan tangan gemetar, ia meletakkan ponsel itu di atas meja. Adrian, yang tengah duduk di sofa di seberangnya, menangkap perubahan ekspresi di wajah Ayla.Tanpa berkata-kata, ia mendekat dan mengambil ponsel tersebut. Saat membaca pesan itu, rahangnya mengeras.“Kau tidak perlu membaca ini,” ujarnya tegas, mematikan layar ponsel dan menjauhkannya dari jangkauan Ayla. Suaranya terdengar seperti benteng kokoh,

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 72: Perjuangan demi Kebahagiaan

    Malam itu di apartemen Adrian, Ayla duduk di sofa, matanya terpaku pada layar ponsel yang terus bergetar. Pesan-pesan berdatangan tanpa henti—beberapa dari teman lama, sebagian besar dari kerabat Bram. Semua mengandung kata-kata tajam, tuduhan, dan penghinaan yang membakar.“Kenapa kau tidak memblokir saja mereka?” tanya Adrian. Ia duduk di lantai dekat meja kecil, sibuk memperbaiki sesuatu, tapi jelas perhatiannya tidak teralihkan dari Ayla.Ayla menggeleng pelan, pandangannya tetap tertuju pada layar. “Aku tidak tahu. Mungkin aku berharap ada seseorang yang akhirnya mau mengerti. Tapi... sepertinya itu hanya angan-angan.”Adrian meletakkan alat di tangannya, menatap Ayla dengan serius. Ia bangkit, lalu duduk di sampingnya. “Ayla, kau tidak perlu pembuktian dari mereka. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Kau sudah cukup kuat untuk melewati semua ini.”Ayla menoleh, menatap mata Adrian yang penuh ketulus

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 71: Tekanan dari Segala Arah

    Setelah perdebatan panjang yang penuh emosi, Ayla dan Adrian meninggalkan rumah itu. Langkah mereka perlahan, seperti menanggung beban yang baru saja mereka lepaskan. Mereka berjalan menuju mobil dalam diam, tapi bukan diam yang canggung—melainkan diam yang sarat makna.Tanpa perlu kata-kata, mereka memahami satu hal: keputusan yang baru saja diambil adalah sesuatu yang tak bisa ditarik kembali.Di dalam mobil, Adrian memecah keheningan. “Kau luar biasa tadi,” katanya dengan nada lembut. Ia menatap Ayla, matanya memancarkan kekaguman yang tulus.Ayla tersenyum kecil, meskipun matanya berkaca-kaca. “Aku tidak tahu dari mana keberanian itu datang. Tapi yang jelas, aku tahu aku tidak bisa kembali ke hidup yang dulu.”Adrian mengangguk pelan, lalu meraih tangan Ayla yang tergeletak di atas pangkuannya. “Kita akan melewati ini bersama. Apa pun yang terjadi.”Saat mobil mulai melaju meninggalkan rumah itu, Ayla m

  • Satu Malam Bersama Adik Suamiku   Bab 70: Menghadapi Keluarga Secara Langsung

    Pagi itu, Ayla duduk di tepi ranjang penginapan, memandangi tirai yang setengah terbuka. Sinar matahari mengintip malu-malu di sela-sela lipatan kain, seolah-olah terlalu ragu untuk benar-benar menembus ruang itu.Namun, kehangatannya tidak cukup untuk mengusir dingin yang mengendap di dalam hatinya. Napas Ayla terdengar pendek-pendek, pikirannya terus berputar pada satu hal yang sama: pertemuan dengan keluarga Bram.Di sudut ruangan, Adrian duduk di kursi dekat meja kecil, wajahnya dipenuhi guratan khawatir. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa begitu panjang, ia akhirnya angkat bicara, suaranya rendah tapi tegas.“Kau tidak perlu menghadapi ini sendirian,” katanya, menatap Ayla dengan mata yang sarat tekad. “Aku akan ada di sisimu.”Ayla menoleh, menatapnya dengan mata yang sembab namun menyimpan kilatan rasa syukur. “Adrian,” katanya lirih, suaranya hampir pecah. “Ini bukan hanya tentang aku. Keluargamu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status