Tin ! Tin !Terdengar suara bunyi klakson. Mobil Rafka menghalangi jalan. Terpaksa ia harus menjalankan mobilnya untuk parkir di tempat yang lebih aman.Setelah memposisikan mobilnya dengan benar, Rafka segera turun ke luar. Berusaha mencari lelaki yang ia curigai tadi. Tetapi sayangnya Rafka sudah kehilangan jejak."Sial! Ke mana dia? Aku yakin jika lelaki itu adalah Mas Amar. Tetapi bukankah Rania tidak sedang berulang tahun?" Rafka berdecak kesal. Ia belum berhasil membuktikan jika Amar memang selingkuh."Ini semua gara-gara mobil tadi. Aku tidak memperhatikan suasana dan tempat dengan baik." Rafka terlihat kecewa. Ia masih penasaran dengan lelaki yang diyakininya adalah Amar.Sesaat kemudian, seorang pria paruh baya datang menghampiri Rafka. Dia adalah tukang parkir di tempat itu."Mohon maaf, Pak. Tadi saya sakit perut," ucapnya menyesal karena melihat Rafka yang menahan emosi gara-gara mobilnya salah tempat parkir.Rafka merasa tidak enak hati. Padahal ia tidak menyalahkan tukang
Rafka sedikit terkejut saat menyadari siapa yang datang. Bahkan ia tidak pernah berpikir sedikit pun akan peristiwa kebetulan yang sedang terjadi."Rania?""Rafka?" Rania pun tak kalah terkejut. Ia tidak menduga jika akan bertemu dengan Rafka di tempat itu."Horeee! Ada Kak Rania di sini.""Em, sebentar ya? Kakak harus menelepon seseorang." Rafka mengusap lembut kepada Julio lalu berjalan ke luar rumah saat Rania sudah masuk.Wanita itu terlihat kecewa. Melihat Rafka yang seolah sengaja menghindarinya.Mendengar teriakan Julio, membuat Rosita penasaran dan menghampirinya."Ada apa sih, teriak-teriak?" ungkap sang mama. Raut wajahnya seketika berubah saat menyadari sang menantu berkunjung ke rumah."Sore, Ma," sapa Rania seraya mengulurkan tangannya. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya."Kamu sendiri saja, Ran? Amar mana?" Bersamaan dengan pertanyaan itu, Rafka masuk kembali ke rumah dan bergabung bersama mereka. Rania memberikan bingkisan yang ia bawa. Ia membawakan makanan kesuka
"Ciyeeeee," celetuk Julio kemudian.Seketika Rafka dan Rania saling menjauh. Keduanya menjadi salah tingkah."Maaf," lirih Rafka.Lampu merah telah berubah menjadi warna hijau. Rafka segera tancap gas dan melanjutkan perjalanan."Kita mau ke mana, Dek?" tanya Rafka kepada Julio."Kalau nonton film boleh nggak, Kak? Habis itu minum es krim, jalan-jalan di Mall, terus ke tempat bermain anak deh.""Ish, banyak sekali maunya. Ini udah gelap, Jio. Nanti kapan-kapan kita main lagi, ya?" celetuk Rania di belakang."Kak Rania benar, Dek. Kasihan dia kalau lama-lama ninggalin Mas Amar.""Kenapa Mas Amar nggak ikut saja tadi. Dia nggak pernah mau nemenin Jio main. Iya 'kan Kak Rania?" ujar bocah kecil itu."Maafkan Mas Amar, ya? Dia sibuk bekerja, Sayang. Pasti Mas Amar sebenarnya juga pengen main sama kamu."Uhuk ! Uhuk !Tiba-tiba Rafka terbatuk. Ia malas jika Rania selalu membela Amar. Padahal sejak dulu abangnya tersebut memang tidak peduli kepada Julio. Alasannya adalah Julio anak dari Rosi
"Ma–Mas Amar sudah pulang?" Tergagap Rania berucap. Entah mengapa dirinya merasa takut."Mama telepon, dia bilang kamu ke rumah Mama untuk menanyakan kalung pemberianku. Kamu tidak percaya kepadaku?" Ucapan Amar begitu nyaring. Padahal jelas-jelas di dekatnya ada Rafka.Rafka meremas tangannya sendiri. Ia tidak kuat melihat Amar yang selalu memojokkan istrinya seperti itu."Memangnya kenapa kalau Rania tidak percaya? Mama juga tidak memakai kalungnya? Pasti kalau itu buat Clayrine 'kan?" sahut Rafka cepat."Kamu tidak perlu ikut campur Rafka! Ini urusanku dengan Rania.""Aku harus ikut campur. Ini rumahku. Dan kamu bersikap kurang ajar di rumah ini."Amar tidak terima dengan ucapan Rafka. Kalimat itu menyakitkan baginya. Ia seperti direndahkan oleh adik kandungnya sendiri."Rania, kita masuk ke kamar." Lelaki itu menarik tangan Rania dengan kasar."Pelan-pelan, Mas!" rintih Rania."Bukankah tadi kamu membeli kue ulang tahun dan sebuah paper bag? Kamu sedang merayakan ulang tahun bersam
"Aku mencintaimu Mas," lirih Rania lalu tergolek lemah di sofa panjang.Amar mengubah posisinya. Di saat itu ia melihat keberadaan Rafka. Lelaki itu tersenyum smirk. Menganggap adiknya telah kalah dari segalanya.'Aku tahu, Rafka. Rania adalah cinta pertamamu. Sekarang aku bisa menyaksikan jika kamu semakin hancur setelah melihat suasana panas pagi ini.'Amar sudah mengira jika Rafka akan kembali ke rumahnya. Ia sengaja menggauli istrinya di dekat ruang tamu agar Rafka melihatnya.Rafka segera berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Lelaki itu melajukan mobilnya dengan sangat kencang. Hatinya seolah hancur berkeping-keping menghadapi kenyataan yang ada.Setelah ia melihat perselingkuhan Amar, dengan beraninya lelaki itu masih bercinta dengan Rania. Bahkan ia sengaja membuat istrinya lemah tak berdaya."Sialll!" Rafka berteriak kencang. Ia membelokkan mobilnya ke kiri dan tidak menyadari jika ada sebuah truk besar dari arah yang ia tuju.Boom !Sekejap saja mobil itu menghantam truk.
"Benarkah? Biarkan tetap di sana, aku akan mengabarkan hal ini kepada Pak Rafka."Fariz segera menyuruh sang sekretaris yang bernama Nadia itu untuk mengambil gambar makanan dari Rania."Kebetulan sekali Pak Rafka dari tadi tidak mau makan. Ia sangat keras kepala. Katanya mau cepat sembuh."Fariz geleng-geleng kepala. Ia segera menemui Rafka."Kenapa lama sekali? Dari mana saja?" tanya Rafka terlihat tak bersemangat sama sekali di ranjangnya."Lihatlah, ini. Jangan marah dulu."Fariz memperlihatkan gambar di ponselnya. Berharap Rafka tahu apa maksudnya."Untuk apa?" balas Rafka sewot."Rania baru saja ke kantor. Ia sengaja membawakan makanan itu untukmu. Dia peduli sama kamu, Raf.""Kamu tidak tahu apa yang telah terjadi, Riz. Dialah yang menyebabkan aku kecelakaan. Dia adalah wanita yang—""Kamu tidak pantas menyalahkan Rania. Kamu yang bodoh. Tidak pernah mengungkapkan perasaanmu sejak dulu. Mana Rafka yang aku kenal?" Fariz mendadak emosi. Dia adalah sahabat satu-satunya yang tahu j
"Ceritanya panjang, Sa. Aku sangat-sangat merasa bersalah kepada Mas Amar. Aku ingin jujur, tetapi aku takut jika Mas Amar murka dan memilih untuk menceraikan aku. Aku tidak sanggup jika itu benar-benar terjadi, Sa."Kedua mata Rania sudah berkaca-kaca. Namun hatinya sedikit merasa lega karena telah menceritakan semuanya kepada sahabatnya.Tisa mengulurkan tangannya. Lalu menggenggam tangan Rania. "Sebaiknya kamu rahasiakan semua ini dari suamimu, Ran. Aku yakin dia tidak akan tahu. Percayalah. Dia sangat mencintaimu."Tisa berusaha meyakinkan Rania."Kamu yakin, Sa? Aku tidak perlu jujur kepada Mas Amar? Tetapi aku takut," ungkap Rania kembali merasa gelisah."Kamu percaya sama aku. Oh, ya. Aku ada janji sama tanteku. Maaf ya, nggak bisa lama-lama di sini. Semoga suamimu segera datang ya?"Rania dan Tisa saling berpelukan. Terpaksa Rania menunggu Amar seorang diri. Wanita melihat jam di tangannya. Seolah waktu bergerak begitu cepat. Suasana hotel itu mulai terasa berbeda."Sepertinya
"Kamu bicara apa sih, Raf! Kamu terlalu jauh dalam ikut campur hubunganku dengan Mas Amar. Aku mohon. Biarkan aku bahagia bersamanya."Rafka menghembuskan nafas berat. Dari ucapan Rania jelas terlihat jika wanita itu sangat mencintai kakaknya."Aku minta maaf, Ran." Rafka berdiri dari tempatnya. "Kamu bisa tidur di kamar utama."Lelaki itu berjalan menuju kamar. Ia membiarkan Rania tidur di kamarnya karena lebih besar dan nyaman.Rania terdiam melihat kepergian Rafka. Ia merasa tidak enak hati. Padahal belum sempat wanita itu meminta maaf atas tindakannya malam itu, tetapi sekarang kembali membuat Rafka terluka dengan kata-katanya.Rania melihat banyak makanan masih utuh di meja. Rafka belum menyentuhnya sama sekali. Wanita itu pun enggan untuk makan. Ia memikirkan perasaan Rafka.Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri, Rania memutuskan untuk membawa sepiring makanan kesukaan adik iparnya. Wanita itu membawanya ke dalam kamar Rafka.Terlihat lelaki itu sibuk di mengetik di depan la
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i