"Ciyeeeee," celetuk Julio kemudian.Seketika Rafka dan Rania saling menjauh. Keduanya menjadi salah tingkah."Maaf," lirih Rafka.Lampu merah telah berubah menjadi warna hijau. Rafka segera tancap gas dan melanjutkan perjalanan."Kita mau ke mana, Dek?" tanya Rafka kepada Julio."Kalau nonton film boleh nggak, Kak? Habis itu minum es krim, jalan-jalan di Mall, terus ke tempat bermain anak deh.""Ish, banyak sekali maunya. Ini udah gelap, Jio. Nanti kapan-kapan kita main lagi, ya?" celetuk Rania di belakang."Kak Rania benar, Dek. Kasihan dia kalau lama-lama ninggalin Mas Amar.""Kenapa Mas Amar nggak ikut saja tadi. Dia nggak pernah mau nemenin Jio main. Iya 'kan Kak Rania?" ujar bocah kecil itu."Maafkan Mas Amar, ya? Dia sibuk bekerja, Sayang. Pasti Mas Amar sebenarnya juga pengen main sama kamu."Uhuk ! Uhuk !Tiba-tiba Rafka terbatuk. Ia malas jika Rania selalu membela Amar. Padahal sejak dulu abangnya tersebut memang tidak peduli kepada Julio. Alasannya adalah Julio anak dari Rosi
"Ma–Mas Amar sudah pulang?" Tergagap Rania berucap. Entah mengapa dirinya merasa takut."Mama telepon, dia bilang kamu ke rumah Mama untuk menanyakan kalung pemberianku. Kamu tidak percaya kepadaku?" Ucapan Amar begitu nyaring. Padahal jelas-jelas di dekatnya ada Rafka.Rafka meremas tangannya sendiri. Ia tidak kuat melihat Amar yang selalu memojokkan istrinya seperti itu."Memangnya kenapa kalau Rania tidak percaya? Mama juga tidak memakai kalungnya? Pasti kalau itu buat Clayrine 'kan?" sahut Rafka cepat."Kamu tidak perlu ikut campur Rafka! Ini urusanku dengan Rania.""Aku harus ikut campur. Ini rumahku. Dan kamu bersikap kurang ajar di rumah ini."Amar tidak terima dengan ucapan Rafka. Kalimat itu menyakitkan baginya. Ia seperti direndahkan oleh adik kandungnya sendiri."Rania, kita masuk ke kamar." Lelaki itu menarik tangan Rania dengan kasar."Pelan-pelan, Mas!" rintih Rania."Bukankah tadi kamu membeli kue ulang tahun dan sebuah paper bag? Kamu sedang merayakan ulang tahun bersam
"Aku mencintaimu Mas," lirih Rania lalu tergolek lemah di sofa panjang.Amar mengubah posisinya. Di saat itu ia melihat keberadaan Rafka. Lelaki itu tersenyum smirk. Menganggap adiknya telah kalah dari segalanya.'Aku tahu, Rafka. Rania adalah cinta pertamamu. Sekarang aku bisa menyaksikan jika kamu semakin hancur setelah melihat suasana panas pagi ini.'Amar sudah mengira jika Rafka akan kembali ke rumahnya. Ia sengaja menggauli istrinya di dekat ruang tamu agar Rafka melihatnya.Rafka segera berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Lelaki itu melajukan mobilnya dengan sangat kencang. Hatinya seolah hancur berkeping-keping menghadapi kenyataan yang ada.Setelah ia melihat perselingkuhan Amar, dengan beraninya lelaki itu masih bercinta dengan Rania. Bahkan ia sengaja membuat istrinya lemah tak berdaya."Sialll!" Rafka berteriak kencang. Ia membelokkan mobilnya ke kiri dan tidak menyadari jika ada sebuah truk besar dari arah yang ia tuju.Boom !Sekejap saja mobil itu menghantam truk.
"Benarkah? Biarkan tetap di sana, aku akan mengabarkan hal ini kepada Pak Rafka."Fariz segera menyuruh sang sekretaris yang bernama Nadia itu untuk mengambil gambar makanan dari Rania."Kebetulan sekali Pak Rafka dari tadi tidak mau makan. Ia sangat keras kepala. Katanya mau cepat sembuh."Fariz geleng-geleng kepala. Ia segera menemui Rafka."Kenapa lama sekali? Dari mana saja?" tanya Rafka terlihat tak bersemangat sama sekali di ranjangnya."Lihatlah, ini. Jangan marah dulu."Fariz memperlihatkan gambar di ponselnya. Berharap Rafka tahu apa maksudnya."Untuk apa?" balas Rafka sewot."Rania baru saja ke kantor. Ia sengaja membawakan makanan itu untukmu. Dia peduli sama kamu, Raf.""Kamu tidak tahu apa yang telah terjadi, Riz. Dialah yang menyebabkan aku kecelakaan. Dia adalah wanita yang—""Kamu tidak pantas menyalahkan Rania. Kamu yang bodoh. Tidak pernah mengungkapkan perasaanmu sejak dulu. Mana Rafka yang aku kenal?" Fariz mendadak emosi. Dia adalah sahabat satu-satunya yang tahu j
"Ceritanya panjang, Sa. Aku sangat-sangat merasa bersalah kepada Mas Amar. Aku ingin jujur, tetapi aku takut jika Mas Amar murka dan memilih untuk menceraikan aku. Aku tidak sanggup jika itu benar-benar terjadi, Sa."Kedua mata Rania sudah berkaca-kaca. Namun hatinya sedikit merasa lega karena telah menceritakan semuanya kepada sahabatnya.Tisa mengulurkan tangannya. Lalu menggenggam tangan Rania. "Sebaiknya kamu rahasiakan semua ini dari suamimu, Ran. Aku yakin dia tidak akan tahu. Percayalah. Dia sangat mencintaimu."Tisa berusaha meyakinkan Rania."Kamu yakin, Sa? Aku tidak perlu jujur kepada Mas Amar? Tetapi aku takut," ungkap Rania kembali merasa gelisah."Kamu percaya sama aku. Oh, ya. Aku ada janji sama tanteku. Maaf ya, nggak bisa lama-lama di sini. Semoga suamimu segera datang ya?"Rania dan Tisa saling berpelukan. Terpaksa Rania menunggu Amar seorang diri. Wanita melihat jam di tangannya. Seolah waktu bergerak begitu cepat. Suasana hotel itu mulai terasa berbeda."Sepertinya
"Kamu bicara apa sih, Raf! Kamu terlalu jauh dalam ikut campur hubunganku dengan Mas Amar. Aku mohon. Biarkan aku bahagia bersamanya."Rafka menghembuskan nafas berat. Dari ucapan Rania jelas terlihat jika wanita itu sangat mencintai kakaknya."Aku minta maaf, Ran." Rafka berdiri dari tempatnya. "Kamu bisa tidur di kamar utama."Lelaki itu berjalan menuju kamar. Ia membiarkan Rania tidur di kamarnya karena lebih besar dan nyaman.Rania terdiam melihat kepergian Rafka. Ia merasa tidak enak hati. Padahal belum sempat wanita itu meminta maaf atas tindakannya malam itu, tetapi sekarang kembali membuat Rafka terluka dengan kata-katanya.Rania melihat banyak makanan masih utuh di meja. Rafka belum menyentuhnya sama sekali. Wanita itu pun enggan untuk makan. Ia memikirkan perasaan Rafka.Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri, Rania memutuskan untuk membawa sepiring makanan kesukaan adik iparnya. Wanita itu membawanya ke dalam kamar Rafka.Terlihat lelaki itu sibuk di mengetik di depan la
"Clay, aku harus pulang. Pasti Rania menungguku. Aku sudah berjanji akan makan malam bersamanya," ungkap Amar bernada gelisah. Sedari tadi Clayrine mengeluh jika perutnya sakit. Ia tidak mau ditinggalkan oleh Amar."Kenapa kamu jadi berubah seperti ini, Sayang? Kamu sudah mulai mencintai istrimu itu?" balas janda beranak satu itu balik bertanya.Amar terdiam seketika. Akhir-akhir ini ia lebih sering memikirkan Rania. Entah mengapa wanita lebih terlihat seksi dan menggoda semenjak mengenakan pakaian kurang bahan dan bertindak lebih agresif kepadanya.'Tidak mungkin aku mencintai Rania. Aku menikahinya hanya untuk memanfaatkannya saja.'Amar berusaha meyakinkan hatinya sendiri. Apakah sekarang mulai goyah? Sungguh lelaki itu tidak paham akan jalan pikirannya sendiri.Dulu Amar merasa senang saat mengetahui kelemahan Rafka. Adiknya itu mencintai Rania tetapi tidak mampu untuk mengungkapkannya. Hingga saat Rafka menjadi penolong Rania dan masih tetap menyembunyikan identitasnya, Amar meman
KLINK !KLINK !KLINK !Berderet bunyi pesan masuk di ponsel Rania. Membuat atensi wanita itu kepada Rafka melebur seketika.Rafka mengusap dadanya perlahan. Ia kembali terselamatkan oleh keadaan. Baginya hal itu adalah sebuah keberuntungan. Dewi Fortuna sedang berpihak kepadanya.Rania mengecek ponselnya. Tentu saja Amar yang telah menghubunginya.Sama sekali suaminya itu tidak terlihat khawatir. Bahkan dia pun tidak pulang ke rumah dan langsung berangkat ke kantor.[Ran, kamu sedang apa?][Maaf Sayang, untuk semalam.][Pagi ini Mas langsung berangkat ke kantor. Kamu hati-hati di rumah.]Rania berdiri dari duduknya. Dadanya terasa sesak. Kini ia yakin jika Amar memang selingkuh dan tidak lagi peduli kepadanya."Raf, aku harus pulang."Rania berlari tanpa menunggu jawaban dari adik iparnya. Ia meninggalkan tas dan sepatunya begitu saja."Rania, tunggu!" teriak Rafka kemudian. "Apa yang telah dilakukan Mas Amar sampai Rania kembali bersedih seperti itu?"Rafka sengaja membiarkan Rania p