"Tadi malam kita sudah empat ronde, Raf!" protes Rania kemudian.Kedua mata wanita itu melotot seketika. Ia mengangkat tubuhnya dan kembali duduk di sebelah Rafka.Rafka tertawa terbahak-bahak. "Aku hanya bercanda, Ran. Kamu semakin menggemaskan saat merajuk seperti itu.""Rafkaaa...!!!" Rania berteriak tidak terima. Kata-kata Rafka selalu membuatnya bisa terbang melayang. Begitu manis meski hanya sebuah kalimat sederhana."Maaf, Sayang."Hanya dua kata itu yang keluar dari mulut Rafka. Setelahnya giliran Rania yang menyuapi Rafka dengan makanan yang ada di piringnya tadi."Kamu juga harus makan, Raf. Bukan aku saja."Setelah selesai sarapan, Rafka keluar sebentar untuk membelikan pakaian buat Rania. Sementara wanita itu membereskan area dapur dan mencuci piring yang kotor.Rania baru teringat akan sesuatu. "Mana ponselku? Pasti tertinggal di kamar Rafka."Rania kembali masuk ke dalam kamar setelah menyelesaikan pekerjaannya di dapur. Ia mencari keberadaan handphonenya.Namun tiba-tib
Lelaki itu melangkah cepat menghampiri Rafka. Lau menarik kerah baju adiknya dan langsung memukulinya habis-habisan hingga babak belur."Biadab kamu, Raf! Berani sekali menggoda kakak iparmu sendiri." Amar masih berusaha memukuli adiknya. Sedangkan Rafka hanya diam tanpa membalas sekalipun."Mas Amar cukup! Hentikan!" Rania berteriak dengan kencang. Ia tidak tega melihat Rafka dipukuli seperti itu.Wanita itu berusaha untuk melerai, tetapi justru wajahnya yang tak sengaja terkena pukulan Amar."Augh!" rintih Rania kesakitan."Rania!" teriak Rafka tidak terima. Ia bangkit dan mendorong tubuh Amar hingga jatuh terduduk di lantai."Cukup, kalian! Jangan bertengkar lagi." Rania menangis pilu. "Jadi benar kata Tisa. Kamu memiliki hubungan gelap dengan Rafka!" Amar akhirnya mempercayai ucapan dari sahabat Rania.Rania terkesiap. Ia merasa heran. Tidak menyangka jika Tisa menceritakan hal itu kepada suaminya. "Sejak kapan Mas punya hubungan dengan Tisa, Mas?" tanya Rania."Kamu tidak perlu
"Raf, kamu baik-baik saja 'kan? Ada yang sakit?" Rania meletakkan tangan kanannya pada pipi Rafka."Ada, Ran. Di sini yang sakit." Rafka meraih tangan Rania dan ia letakkan di dadanya. Berharap wanita itu bisa tahu bahwa hatinya yang merasa kesakitan.Rania memandangi wajah Rafka dengan penuh kasih. Semua yang terjadi adalah kesalahan dia. Ia paham akan hal itu."Aku minta maaf, Raf. Aku akan mengobatimu."Rania mencari kotak P3K. Lalu segera membawanya kembali kepada Rafka.Wanita itu membuka baju Rafka. Hingga nampaklah tubuh kekarnya. Tak sengaja netra Rania tertuju pada sebuah tanda di perut sebelah kiri milik Rafka."Raf, ini apa? Jangan bilang kamu—"Wanita itu tidak mampu untuk berkata-kata lagi. Kini Rania tahu bahwa selama ini Amar telah membohonginya. Kejadian waktu itu masih sangat jelas terlintas di pikirannya.Seorang lelaki menyelamatkannya hingga tertusuk sebuah pisau. Ternyata dia adalah Rafka. Seseorang lelaki yang ia benci karena selalu usil kepadanya saat masih sekol
Masih di dekat pintu gerbang Amar terduduk lesu. Rumah pemberian Clayrine telah hangus terbakar bersama semua isi di dalamnya.Lelaki itu teringat akan tadi pagi saat menyalakan rokok. Mungkin karena hal itu rumahnya dilalap si jago merah."Kenapa semua jadi seperti ini?" Amar memegangi kepalanya yang terasa berdenyut nyeri. Dengan tangan yang gemetar ia berusaha menghubungi Tisa.Mungkin wanita itu satu-satunya yang bisa ia harapkan. Setelah mencoba menghubungi Tisa berkali-kali Amar merasakan sakit pada perutnya. Hingga tiba-tiba semua terasa gelap gulita.Samar-samar Amar mulai membuka kedua matanya. Cat bernuansa putih menghiasi indera penglihatannya. Lelaki itu sudah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Ternyata sakit tipesnya kambuh."Aku di mana?" Amar menoleh ke samping kanan. Sudah ada Tisa di dekatnya. Sementara di tempat agak jauh, ada Rania dan Rafka yang juga menunggu Amar dengan sabar."Kamu di rumah sakit, Mas Amar. Penyakit tipes kamu kambuh."Rania berjalan pe
"Mama bisa tanyakan langsung kepada Mas Amar."Seketika sambungan telepon diputus oleh Rosita. Ia penasaran apa yang sebenarnya telah terjadi. Saat bertanya kepada Amar, lelaki itu tidak mau mengakui.Akhirnya wanita paruh baya itu bertanya kepada Tisa. Ia tahu jika wanita itu adalah sahabat Rania. Tentu hal itu sebuah kesempatan Rosita untuk bertanya sedetail-detailnya.Rania duduk dengan gelisah di kamarnya. Rasa-rasanya waktu berlalu lambat setelah kepergian Rafka. Wanita itu merasakan kesendirian yang membuatnya merasa sedih."Hari ini Rafka bertemu dengan Nina. Semoga wanita itu tidak mencoba untuk menggoda Rafka. Atau meminta balikan."Rania takut ditinggalkan dua lelaki sekaligus dalam hidupnya. Ia merasa baru sekejap saja kebahagiaan rumah tangganya, tetapi kini sudah diambang batas kehancuran."Apakah jalan yang ku ambil ini sudah benar ya, Tuhan? Mungkinkah Rafka lelaki yang terbaik untukku? Atau hanya sekedar ujian dari-Mu?"Wanita itu memilih untuk mandi air hangat. Ia ber
"Nin, di mana papamu? Apakah benar ini tempatnya?" tanya Rafka masih berusaha untuk bersikap tenang.Setelah mengambil uang sebagai tebusan, Rafka dan Nina bergegas menuju tempat yang sudah dijanjikan. Namun Rafka tidak mau gegabah. Ia takut ditipu mentah-mentah oleh Nina."Kita cari di lantai paling atas, Raf. Aku yakin tempatnya memang di sini."Rafka mengangguk sambil mempercepat langkahnya menuju roof top. Lelaki tampan itu baru sadar jika dia belum menghubungi Rania sama sekali.Sambil berjalan Rafka mengecek ponselnya. "Kenapa handphonenya mati? Bukankah tadi baterainya masih banyak?"Rafka melirik ke arah Nina. Tadi wanita itu sempat meminjam ponselnya. Ia jadi curiga dengan gerak-gerik sahabatnya itu. 'Jangan-jangan benar kata Fariz, dia mau menjebakku.'Rafka menghentikan langkahnya. Ia mencoba mengaktifkan kembali ponselnya. "Tunggu sebentar, Nin. Aku cek dulu handphone aku.""Raf, kita tidak punya banyak waktu." Nina tetap memaksa Rafka."Kamu jalan dulu. Aku akan menyusul
TARRR !Sebuah gelas jatuh di lantai karena Amar menyenggolnya. Padahal niatnya ingin minum."Mas Amar kenapa? Mau minum? Kenapa nggak kasih tahu Tisa sih?" tanya wanita itu merasa khawatir."Nin, Mama sudah pulang ya?" tanya Amar lemah."Iya, Mas. Katanya ada urusan di butiknya. Tante Rosita juga harus menjemput Julio di sekolahnya. Mungkin besok pagi Tante Rosita akan ke sini lagi.""Perasaanku tiba-tiba tidak enak, Sa. Aku takut terjadi apa-apa sama Rania.""Jadi Mas Amar beneran mau balikan sama Rania? Mas, aku tuh mencintai Mas apa adanya loh. Aku rela menjaga Mas seharian dan tidak pulang. Apakah Mas Amar tidak bisa melihat ketulusan di hatiku, Mas?" Wanita itu mendadak galau. Ternyata perhatian dan kepeduliannya selama ini hanya sia-sia saja.Amar segera menarik tangan Tisa. "Sa, maafkan aku jika telah menyinggung perasaanmu. Terima kasih ya, sudah mau menemani aku tanpa lelah.""Nah, gitu dong, Mas. Aku yakin jika Rania bakalan baik-baik saja. Sekarang aku ambilkan minuman dul
Sejak tadi memang Rania berusaha menyalakan handphonenya. Ia melarang Rafka untuk memperbaiki atau membawa benda itu ke konter.Dan setelah handphone itu menyala kembali, Rania segera memeriksa pemberitahuan yang masuk. Rupanya satu pesan dan beberapa panggilan tak terjawab dari Amar."Mas Amar menghubungiku semalam? Apakah dia mengkhawatirkan aku?" celoteh Rania seorang diri.Lagi-lagi Rania merasa bersalah dan hatinya merasa bimbang saat mengingat Amar yang sudah tiga tahun mendampinginya.Tok ! Tok ! Tok !Rania terkejut saat mendengar suara pintu kamarnya diketuk beberapa kali."Ran, kamu sudah siap? Sebaiknya kita segera sarapan. Aku sudah menyiapkannya untukmu," ucap Rafka dari balik pintu kamar.Lelaki itu sebenarnya khawatir kepada Rania karena tak kunjung keluar dari kamar sejak tadi. Sedangkan dirinya sudah selesai membuat menu sarapan yang spesial untuk kekasihnya."Iya, Raf. Tunggu sebentar. Lebih baik kamu duluan ke meja makan. Aku akan menyusulmu segera," balas Rania ber
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i