Hayooo, kira-kira Rafka bakalan jawab apa nih??? Jujur nggak ya dia atas perasaannya? 🤔🤭
Rafka terlihat gelagapan. Ia menelan salivanya dengan susah payah."A—aku melakukan itu ... karena ... aku—" Lelaki tampan itu sangat kesulitan menjelaskan semuanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa.Dering ponsel Rania mengejutkan keduanya. Wanita itu segera mengecek siapa yang telah menghubunginya.Diam-diam Rafka merasa lega. Ia terbebas dari jebakan pertanyaan yang dibuat oleh kakak iparnya."Ada apa, Sa?" Rania mengangkat telepon dari sahabatnya. Dia adalah Tisa yang waktu itu merekomendasikan pakaian seksi kepada Rania."Aku mau ketemu sama kamu hari ini? Bisa?" tanya Tisa dari balik teleponnya."Em ... nanti aku kabari lewat chat, ya? Aku belum tahu soalnya."Rania memutuskan sambungan teleponnya. Padahal sahabatnya tersebut masih rindu kepadanya.Sebenarnya Rania takut jika Tisa menanyakan tentang yang terjadi malam itu. Bukannya Amar yang tidur bersamanya, tetapi justru Rafka sang adik ipar.Seketika Rania teringat akan Rafka. Ia mencoba mencari kembali keberadaan lelaki itu.
Rafka berbicara seolah cemburu dengan Rania yang masih saja mencari suaminya. Padahal ia hanya seorang adik ipar yang tidak penting sama sekali.Akhirnya Rania pun mengangguk. "Iya, aku ingin cepat sembuh dan segera pergi dari sini."Rafka pun merasa lega. Diam-diam ia ingin mencari tahu tentang perselingkuhan kakaknya. Apakah benar selama ini Amar menjalin hubungan dengan janda itu atau tidak. Lelaki tampan itu tidak segan-segan untuk mengusir Amar dari rumahnya jika memang kakak kandungnya tersebut telah mengkhianati Rania.Rafka menyuapi Rania dengan sabar. "Walau makanan ini tidak selezat masakanmu, kamu wajib menghabiskannya.""Kamu curang, Raf! Aku belum bilang apa-apa, tetapi kamu sudah mengatakan kalimat itu.""Aku benar 'kan?" Rafka tergelak. Ia berusaha menghibur kakak iparnya meski tahu jika hati Rania sedang tidak baik-baik saja.Batin Rania terlihat resah. Entah mengapa ia tidak bisa membenci adik iparnya. Padahal wanita itu sempat kecewa dengan sifat Rafka yang berani men
Di malam yang cukup sepi, Rafka melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju sebuah apartemen. Ya, dia ingin menemui Nina yang sampai saat itu masih berani menempati apartemen milik Rafka. "Kamu tidak akan selamat, Nina. Lihat saja. Apa yang akan aku lakukan kepadamu!" Rafka sudah tidak sabar untuk mempermalukan mantan kekasihnya. Ia berharap wanita itu mendapatkan sangsi sosial. Setelah sampai di tempat yang dituju, lelaki tampan itu menutup pintu mobilnya dengan sangat keras. Ia melangkah cepat menuju lift dan memencet angka 20. Rafka memang memilih sebuah apartemen yang berada di lantai atas. Ia menyukai suasana yang terpampang nyata di depannya. Sebuah pemandangan ibu kota yang tampak indah meski tidak ramah lingkungan karena asap maupun kotoran dari banyaknya gedung tinggi di sana. Ting ! Tidak butuh waktu lama, pintu lift telah terbuka. Rafka semakin mempercepat langkahnya. Ia membuka pintu apartemennya menggunakan password. Sedangkan card lock masih berada di tangan N
"Iya, Mas. Kalung. Kemarin aku menemukan kotak berwarna merah dengan sebuah kalung di dalamnya. Pasti itu untuk aku 'kan, Mas?" tanya Rania mencoba meyakinkan.Amar terdiam sejenak. Ia mencari alasan yang tepat agar Rania percaya kepadanya."Aku minta maaf, Ran. Kalung itu untuk Mama. Sudah lama aku tidak memberikan hadiah untuknya. Kamu tidak marah 'kan?" Amar membelai pipi istrinya.Raut wajah Rania berubah datar. "Oh, jadi untuk Mama." Wanita itu berusaha percaya dengan apa yang dikatakan oleh Amar.Rania kembali memasang wajah bahagia. "Tentu saja aku tidak marah. Aku senang Mas Amar begitu peduli kepada Mama.""Terima kasih, Sayang. Aku capek banget hari ini. Mas tidur dulu, ya? Sebaiknya kamu juga tidur."Amar mengecup kening Rania. Kemudian membaringkan tubuh dan menarik selimut hingga sebatas dada.Rania menatap tubuh Amar dengan penuh rasa kekecewaan. Lagi-lagi ia harus terabaikan oleh suaminya sendiri.'Sampai kapan Mas akan terus seperti ini?' Rania berlalu pergi keluar dari
Tin ! Tin !Terdengar suara bunyi klakson. Mobil Rafka menghalangi jalan. Terpaksa ia harus menjalankan mobilnya untuk parkir di tempat yang lebih aman.Setelah memposisikan mobilnya dengan benar, Rafka segera turun ke luar. Berusaha mencari lelaki yang ia curigai tadi. Tetapi sayangnya Rafka sudah kehilangan jejak."Sial! Ke mana dia? Aku yakin jika lelaki itu adalah Mas Amar. Tetapi bukankah Rania tidak sedang berulang tahun?" Rafka berdecak kesal. Ia belum berhasil membuktikan jika Amar memang selingkuh."Ini semua gara-gara mobil tadi. Aku tidak memperhatikan suasana dan tempat dengan baik." Rafka terlihat kecewa. Ia masih penasaran dengan lelaki yang diyakininya adalah Amar.Sesaat kemudian, seorang pria paruh baya datang menghampiri Rafka. Dia adalah tukang parkir di tempat itu."Mohon maaf, Pak. Tadi saya sakit perut," ucapnya menyesal karena melihat Rafka yang menahan emosi gara-gara mobilnya salah tempat parkir.Rafka merasa tidak enak hati. Padahal ia tidak menyalahkan tukang
Rafka sedikit terkejut saat menyadari siapa yang datang. Bahkan ia tidak pernah berpikir sedikit pun akan peristiwa kebetulan yang sedang terjadi."Rania?""Rafka?" Rania pun tak kalah terkejut. Ia tidak menduga jika akan bertemu dengan Rafka di tempat itu."Horeee! Ada Kak Rania di sini.""Em, sebentar ya? Kakak harus menelepon seseorang." Rafka mengusap lembut kepada Julio lalu berjalan ke luar rumah saat Rania sudah masuk.Wanita itu terlihat kecewa. Melihat Rafka yang seolah sengaja menghindarinya.Mendengar teriakan Julio, membuat Rosita penasaran dan menghampirinya."Ada apa sih, teriak-teriak?" ungkap sang mama. Raut wajahnya seketika berubah saat menyadari sang menantu berkunjung ke rumah."Sore, Ma," sapa Rania seraya mengulurkan tangannya. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya."Kamu sendiri saja, Ran? Amar mana?" Bersamaan dengan pertanyaan itu, Rafka masuk kembali ke rumah dan bergabung bersama mereka. Rania memberikan bingkisan yang ia bawa. Ia membawakan makanan kesuka
"Ciyeeeee," celetuk Julio kemudian.Seketika Rafka dan Rania saling menjauh. Keduanya menjadi salah tingkah."Maaf," lirih Rafka.Lampu merah telah berubah menjadi warna hijau. Rafka segera tancap gas dan melanjutkan perjalanan."Kita mau ke mana, Dek?" tanya Rafka kepada Julio."Kalau nonton film boleh nggak, Kak? Habis itu minum es krim, jalan-jalan di Mall, terus ke tempat bermain anak deh.""Ish, banyak sekali maunya. Ini udah gelap, Jio. Nanti kapan-kapan kita main lagi, ya?" celetuk Rania di belakang."Kak Rania benar, Dek. Kasihan dia kalau lama-lama ninggalin Mas Amar.""Kenapa Mas Amar nggak ikut saja tadi. Dia nggak pernah mau nemenin Jio main. Iya 'kan Kak Rania?" ujar bocah kecil itu."Maafkan Mas Amar, ya? Dia sibuk bekerja, Sayang. Pasti Mas Amar sebenarnya juga pengen main sama kamu."Uhuk ! Uhuk !Tiba-tiba Rafka terbatuk. Ia malas jika Rania selalu membela Amar. Padahal sejak dulu abangnya tersebut memang tidak peduli kepada Julio. Alasannya adalah Julio anak dari Rosi
"Ma–Mas Amar sudah pulang?" Tergagap Rania berucap. Entah mengapa dirinya merasa takut."Mama telepon, dia bilang kamu ke rumah Mama untuk menanyakan kalung pemberianku. Kamu tidak percaya kepadaku?" Ucapan Amar begitu nyaring. Padahal jelas-jelas di dekatnya ada Rafka.Rafka meremas tangannya sendiri. Ia tidak kuat melihat Amar yang selalu memojokkan istrinya seperti itu."Memangnya kenapa kalau Rania tidak percaya? Mama juga tidak memakai kalungnya? Pasti kalau itu buat Clayrine 'kan?" sahut Rafka cepat."Kamu tidak perlu ikut campur Rafka! Ini urusanku dengan Rania.""Aku harus ikut campur. Ini rumahku. Dan kamu bersikap kurang ajar di rumah ini."Amar tidak terima dengan ucapan Rafka. Kalimat itu menyakitkan baginya. Ia seperti direndahkan oleh adik kandungnya sendiri."Rania, kita masuk ke kamar." Lelaki itu menarik tangan Rania dengan kasar."Pelan-pelan, Mas!" rintih Rania."Bukankah tadi kamu membeli kue ulang tahun dan sebuah paper bag? Kamu sedang merayakan ulang tahun bersam
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i