“Loh, Mas. Bukannya yang tadi pagi nikah ya? Nikah lagi?”
“Aduh, Pak Penghulu. Udah nggak usah banyak tanya, langsung saja nikahkan saya sama dia. Saya nggak ada banyak waktu nih.” Awan melirik Jingga yang duduk di sampingnya tanpa ekspresi, sorot matanya kosong seolah tidak memiliki gairah hidup.Matanya sudah sembab karena air mata yang terus keluar tanpa henti.“Hebat. Satu hari nikah dua kali, untung nggak kayak minum obat sampai tiga kali.” Penghulu itu geleng-geleng kepala.“Tidak apa nikah dibawah tangan dulu, soal surat-surat menyusul, akan kami urus,” bisik Pak Dandi, ayahnya Jingga.“Yah ….” Jingga merengek pada sang ayah dengan air mata yang kembali berderai.“Sudah cukup kamu bikin Ayah malu, Jingga. Sekarang kamu harus terima apapun keputusan Ayah, ini untuk kebaikan kamu juga, untuk nama baik keluarga kita.”Pernikahan yang sudah direncanakan dengan matang itu akhirnya terjadi dengan mempelai pria yang tidak seharusnya menjabat tangan ayahnya Jingga. Dalam satu hari Awan menikahi dua wanita, itu jelas bukan keinginannya.Biasanya akad nikah itu dibarengi dengan tangis haru bukan tangis pilu seperti ini. Jingga pasrah karena merasa hidupnya juga sudah tidak berarti lagi setelah ditinggalkan begitu saja oleh calon suaminya di hari pernikahan mereka.Tidak ada yang bisa tahu seperti apa perihnya luka hati Jingga, sesaknya rongga dada wanita itu saat menghadapi kenyataan pahit yang menyiksa.“Ji, gue balik dulu ya. Welly pasti nungguin gue.” Awan menatap Jingga yang masih diam seribu bahasa.Karena tidak ada sahutan, Awan berjongkok di hadapan wanita itu mencubit pipi Jingga hingga memerah.“Aish! Sakit, Wawan!” sungut Jingga sambil mengelus pipinya.“Awan! Seenak jidat lo ganti nama gue. Gue balik ya, jangan pergi kemana-mana. Nggak usah mikirin si bangs*t itu, ntar gue cari dia sampe dapet terus kita keroyok.” Ia mencoba menghibur Jingga dengan cara tidak biasa.Awan tidak bisa berlama-lama disana, ia tidak tega meninggalkan Jingga tapi disisi lain ia juga harus kembali pada Welly yang sempat ditinggalkannya di rumah. Awan dan Welly baru saja melaksanakan akad tadi pagi dengan acara sederhana tanpa resepsi mewah seperti yang ada di kediaman Jingga saat ini.“Ji, gue lihat calon suami lo di sini.” Rindu menghubungi Jingga membuat wanita itu merasa bahagia bercampur nelangsa.Bahagia karena mendengar soal calon suaminya yang sulit dihubungi dari pagi tapi ia juga nelangsa kala mengingat dirinya sekarang sudah menjadi istri orang.“Gue kesana sekarang.” Masih dengan memakai gaun pengantinnya Jingga pergi diam-diam agar tidak ada yang menahannya.Jingga terpaku saat berada di lokasi yang dikirimkan oleh Rindu, ia baru menyadari saat ini dirinya berpijak di depan gerbang pemakaman. Dengan kakinya yang gemetar Jingga menyeret langkah menuju orang-orang berpakaian putih yang mengelilingi pusara yang tanahnya masih basah.“Syaqila ….” Tangis pilu seorang wanita terdengar di telinga Jingga saat ia sudah berada di belakang orang-orang itu.“Anak kita sudah tenang disana, sayang. Ikhlaskan.”Hati Jingga mencelos mendengar suara itu. Suara yang amat dikenalinya namun sayang ia belum bisa melihat wajah lelaki itu untuk memastikan jika ia tidak salah orang. Tubuhnya masih terpaku bahkan saat orang-orang sudah meninggalkan pusara itu, mereka bahkan menatap heran pada pengantin yang tidak seharusnya ada di sana.“Dipta, ayo bawa istrimu pulang.”“Mas Dipta ….” Jingga bergumama dengan bibir bergetar, matanya memanas dengan buliran bening yang berjatuhan.Tubuhnya tersungkur saat tungkainya semakin lemas tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri.Hati Jingga remuk redam, tidak hanya hatinya yang hancur, hidupnya juga sama hancurnya karena ia tahu lelaki yang dua tahun bersamanya ternyata memiliki istri dan juga anak. Ia merasa menjadi wanita paling bodoh karena tidak mengetahui hal sebesar itu. Antara Jingga yang memang terlalu bodoh atau Dipta yang pintar menyembunyikan fakta tentang kehidupannya.Dipta berdiri. Tubuhnya menegang saat berbalik dan mendapati Jingga yang tidak jauh dari tempatnya.“Jingga ….” Lelaki itu bergumam tanpa suara.“Siapa dia? Datang ke pemakaman memakai baju pengantin.”“Bu, dia-”“Saya teman Mas Dipta. Saya dengar anaknya meninggal jadi saya datang kesini.” Begitu lancar kata-kata itu keluar dari bibir Jingga. Bisa-bisanya berucap begitu disaat hatinya luluh lantak. Jingga bukan wanita yang tak berhati, tidak mungkin menambah luka di keluarga Dipta dengan memberitahu jika dirinya adalah kekasih lelaki itu.Dipta terdiam kaku, lidahnya bahkan teras kelu. Ingin sekali menarik Jingga dan membawanya pergi lalu menjelaskan semuanya. Hal-hal yang membuat Jingga salah paham karena hanya menyimpulkan dari sudut pandangnya tanpa tahu fakta sebenarnya.“Terima kasih karena kamu meluangkan waktu sampai datang ke pemakaman cucu saya, padahal ini hari pernikahanmu, iya 'kan?”Jingga mengangguk lemah menjawab perkataan ibunya Dipta. Ia bahkan baru kali ini bertemu dengan ibunya Dipta yang katanya tinggal di luar negeri hingga tak bisa datang di acara pernikahan yang gagal itu.“Saya … turut berduka cita.” Suara Jingga bergetar dengan air mata yang bergulir membas
“Mas, mau mandi duluan?” tanya Welly dengan malu-malu.“Kenapa nggak sama-sama aja?” Awan memainkan alisnya membuat semburat merah di pipi istrinya langsung muncul.Meski terkenal badboy, Awan tidak pernah berpikir untuk merusak wanita yang dicintainya.“Aku udah mandi sebelum Mas pulang tadi.”“Ya udah.” Awan melangkah masuk ke kamar mandi.Beruntung karena tadi Welly tidak banyak tanya soal kepentingan mendadak yang Awan maksud.Pernikahan yang Awan lakukan semata-mata untuk menyelamatkan nama baik keluarga Jingga. Bahkan Pak Dandi berkali-kali memohon pada Awan hingga akhirnya Awan bersedia meski berat.Pernikahan kedua itu Awan rahasiakan dari keluarga, akan bahaya jika sampai terbongkar. Meski jika orang tuanya tahu juga mereka tidak akan peduli karena hubungan Awan dan kedua orang tuanya bisa dibilang jauh dari kata baik, mereka bahkan datang saat Awan menikah hanya sekedar formalitas saja, selama ini ia mendapatkan kasih sayang dari orang tua sahabatnya sendiri, Jingga. Jadi wa
Tangis Jingga pecah melihat kakinya yang berlumuran darah karena serpihan beling yang menancap, itu yang membuatnya langsung terjatuh.“Ibu ….” Jingga berteriak memanggil ibunya seperti anak kecil sambil menangis tersedu-sedu.Dipta berjongkok di depan Jingga melihat kondisi kaki wanita itu dan berniat melihat lebih jelas serpihan belingnya namun Jingga dengan cepat menepis.“Jangan pegang-pegang!” sentaknya galak.Lelaki itu dengan cepat mengusap cairan merah yang keluar dari hidungnya akibat sundulan kepala Jingga tadi.Jingga berniat untuk kembali berdiri.“Sayang, aku bakalan biarin kamu pergi tapi seenggaknya obati dulu luka kamu.”Tidak memperdulikan Jingga yang protes dalam gendongannya, Dipta membawa wanita itu menuju apartemennya yang memang kebetulan berada di dekat sana. Hanya tinggal menyebrang, apartemen yang rencananya akan Dipta tempati setelah menikah dengan Jingga.“Tolong. Pak tolong saya, Pak. Saya mau diculik,” teriak Jingga dengan kakinya yang bergerak-gerak berha
Dipta terpaku mendengar penuturan Awan.“Becanda lo nggak lucu, Wan!”Awan terbahak, “ngapain juga bohong, kalau nggak percaya tanyain ke Bapak mertua gue sana. Sampai lo deketin istri gue lagi, gue pastiin lo lebih parah dari ini!”Awan menarik Jingga keluar dari apartemen itu, Awan bahkan sampai tidak memperhatikan Jingga yang jalannya terseok.Dipta masih berada di dalam tidak sanggup untuk berdiri karena tubuhnya terasa sangat remuk apalagi sakit di bagian ulu hatinya setelah mendapat hantaman tangan Awan.“Wan, pelan-pelan. Kaki gue sakit.” Jingga meringis merasakan kakinya berkedut nyeri.Beberapa langkah menuju lift, Awan menghentikan langkahnya. Terlalu emosi hingga tidak menyadari keadaan Jingga.“Gendong.”Meski tidak berhenti menggerutu, Awan tetap menuruti kemauan Jingga. Berjongkok di hadapan wanita manja itu yang kini sudah berada di punggung Awan.“Kebanyakan dosa kayaknya lo itu, badannya kurus kering macam ranting tapi beratnya nggak beda jauh sama gajah.”“Kayak pern
“Makan dulu ya, dari pagi kamu belum makan apapun. Ibu nggak mau nanti maag kamu kambuh lagi.” Bu Sukma mencoba membujuk Jingga yang masih dalam posisinya dengan berbaring memeluk boneka raksasa yang dihadiahkan Dipta di tahun pertama mereka bersama.Saking kalutnya pikiran wanita itu sampai tidak menyadari barang pemberian Dipta. Mungkin jika sadar ia akan langsung membakar boneka itu.“Aku nggak lapar, Bu.”“Ibu taruh di sini ya. Harus kamu makan sebelum tidur.” Bu Sukma memutuskan untuk membiarkan putrinya itu sendiri.Jingga memang sudah tidak menangis lagi, mungkin air matanya sudah mengering. Lelah yang dirasanya sama sekali tidak digubris, pikiran Jingga melayang.“Kamu jahat, Mas.” Tiga kata itu lolos dari mulut Jingga bersamaan dengan bayangan momen kebersamaan mereka selama ini.Saat ini Jingga tidak ingin melakukan apapun hanya meresapi rasa sakit yang menghujam jantungnya begitu dalam.Jika tahu dari awal memang Jingga tidak akan menerima Dipta dan itu kenapa Dipta menyemb
“Salah aku apa, Mas? Kenapa kamu kayak gini.” Rahel sudah berkaca-kaca karena sikap suaminya tidak pernah berubah.“Kamu nanya salah kamu apa?” Pertanyaan Dipta itu seolah menyindir.“Mas, aku ‘kan udah minta maaf loh. Itu udah berlalu, nggak usah dibahas lagi.”Dipta tersenyum kecut. “Aku udah maafin kamu tapi bukan berarti kita masih bisa sama-sama.”Tidak ingin akhirnya menjadi keributan Dipta langsung keluar dari kamar itu. Ini sudah malam dan tidak pantas mereka ribut di hari berkabung seperti ini.“Aku nggak mau pisah, pokoknya nggak akan aku biarin Mas Dipta pergi!” Rahel menggeleng, tangan wanita itu terangkat menjambak rambutnya frustasi. “Argh! Si*lan!” jeritnya.Teriakan Rahel membuat Samudra tersentak dan menangis karena kaget.“Ma-ma.”Rahel juga ikut kaget, “iya, sayang. Maafin Mama.” Ia naik ke atas ranjang dan menenangkan Samudra.Rahel tidak pernah curiga bahkan tidak berpikir jika Dipta selingkuh karena di matanya lelaki itu adalah sosok setia. Bagi Rahel, Dipta adal
Awan memegangi pipinya dengan shock.“Mas, Mas Awan!”“Aku nggak mau, aku nggak mau.”Welly menepuk pundak suaminya itu. “Mas, kamu kenapa sih? Nggak mau apa?”Awan terhenyak. “Kamu nggak marah?”Wanita itu mengernyit heran. “Marah kenapa?”“Soal yang tadi aku bilang, kamu aja sampe nampar aku. Masa iya nggak marah.”“Nampar kamu? Kapan aku nampar kamu? Nggak beranilah aku nampar suami aku sendiri. Ayo lanjutin makannya, habis itu istirahat lagi kamu pasti masih capek makanya agak oleng.”Awan menyapukan pandangannya ke sisi kiri dan kanannya, ternyata ia masih ada di meja makan. Berarti tadi hanya lamunan Awan saja tidak benar-benar terjadi. Akhirnya ia bernafas lega, takut sekali tadi karena Welly mengatakan ingin pisah tapi ternyata itu bukan nyata.Ia malah jadi ragu untuk bicara karena lamunan yang dibuatnya tadi. Awan ingin segera menyelesaikan ini karena tugasnya sebenarnya hanya menggantikan Dipta untuk menjaga nama baik keluarga Jingga. Berarti tidak akan bertanggung jawab pa
“Udah sebulan lebih ternyata.” Awan memperhatikan kalender di ponselnya.Memang waktu tidak terasa sampai Awan pun lupa statusnya yang memiliki dua istri. Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai suami Welly tapi melupakan Jingga yang juga istrinya.“Mas, nanti pulangnya kalo bisa cepet ya.”Alis Awan berkerut. “Kenapa? Kamu nggak enak badan? Mau dianter ke dokter?”“Nggak kok. Ini 'kan malam minggu, kita jalan-jalan aku juga mau kasih hadiah buat kamu.”“Hadiah apa?”“Nggak seru kalau aku kasih tahu sekarang, Mas!”“Ya udah, aku nggak usah kerja aja biar kamu kasih tahu sekarang.” Awan memainkan alisnya.Welly tergelak melayangkan pukulan kecil di pundak suaminya. “Nggak boleh. Kamu harus kerja, jangan nakal.”“Aku nakal cuman ke kamu doang, sayang.” Awan menjawil gemas dagu istrinya itu.Kentara sekali mereka seperti pasangan pengantin baru pada umumnya. Meski hidup jauh dari kata mewah namun mereka begitu bahagia menjalaninya. Awan memang memilih untuk bersama dengan Welly menjalani k
“Gue tahu lo kecewa sama Mama. Lo beneran nggak mau nemuin Mama?” tanya Bisma.“Daripada gue marah-marah ke Mama mending nggak dulu.” Bian masih merasakan kekecewaan yang mendalam.“Sekarang Mama nggak pura-pura lagi, gue sendiri yang nemuin dokternya. Mama bener-bener kena stroke.”Bukan Bian yang kaget tapi Aini yang membuka mulutnya dengan lebar saking kagetnya mendengar kabar soal ibu mertuanya. Kemarin mereka menganggap Bu Liana itu pura-pura tapi nyatanya memang terkena serangan jantung hingga membuatnya terkena stroke.Bukan hanya tidak bisa berjalan, Bu Liana juga tidak bisa bicara sama sekali.“Mas, kita lihat Mama ya,” pinta Aini, ia masih memiliki hati.“Sayang ....”“Mas, aku nggak mau kamu terus menjauhi Mama. Mungkin dengan kejadian ini Mama menyadari apa yang pernah diperbuatnya itu sebuah kesalahan. Aku nggak mau kamu jadi anak durhaka, Mas.” Aini menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Aini sudah menganggap Bu Liana sebagai ibunya meski perlakuan Bu Liana jauh da
“Mama kok bisa di sini?” Aini langsung berdiri menghampiri ibu mertuanya yang ada di ambang pintu, duduk di kursi roda.“Mama sudah keluar dari rumah sakit dan mau melihat Lyla,” ujar Bu Liana tapi pandangan matanya menghunus pada Nella yang tidak kalah tajam menatap Bu Liana.“Bukannya dokter bilang kalau Mama-”“Mama nggak tenang kalau ada di rumah sakit takutnya kamu didatangi orang bermuka dua ini,” potong Bu Liana tanpa mengalihkan pandangan dari Nella.Nella menyeringai, ia tahu Bu Liana kini mulai melakukan permainannya. Nella tidak akan langsung masuk tapi mengambil ancang-ancang.“Mbak Ai, kalau begitu aku permisi dulu ya. Lain kali aku main lagi,” pamit Nella.“Loh, kenapa?”“Bawaannya panas di sini. Ada yang terbakar tapi bukan api,” ucap Nella dengan senyum penuh arti, ia beralih pada Lyla yang sibuk dengan mainannya, “Lyla, Tante pulang dulu ya. Nanti main lagi ke sini.”“Tante, Lyla masih mau main
"Mas, ayo kita lihat Mama.""Kamu di sini aja, biar Mas yang kesana." Bian menahan Aini untuk tidak ikut."Tapi, Mas-""Nurut ya. Besok baru kamu boleh nengokin Mama. Aku juga sekalian ke pasar habis dari rumah sakit jadi kami mending nggak usah ikut.""Ya udah, semoga Mama nggak kenapa-kenapa."Aini merasa khawatir pada ibu mertuanya. Meskipun Bu Liana sering berbuat jahat tapi Aini tidak sampai hati jika harus senang atas berita yang didengarnya. Ia tetap menghormati Bu Liana sebagai ibu mertua."Mas berangkat ya." Bian langsung pergi setelah taksi online yang dipesannya datang.Alamat rumah sakit sudah dikirimkan oleh art Bu Liana. Bian mengubah tujuan langsung ke rumah sakit, terpaksa ia harus memesan mobil itu sampai nanti pulang lagi karena tidak ingin ribet apalagi harus menunggu lagi. Bian pun tidak akan lama di rumah sakit, hanya melihat kondisi ibunya setelah itu pulang."Nyonya di dalam, dari tadi men
POV Author“Aish! Kenapa juga aku harus memohon kayak gini, macam nggak ada cowok lain.” Nella melemparkan ponselnya sembarang arah lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia baru saja membaca ulang pesan yang kemarin malam dikirim pada Bian.Menjatuhkan harga diri, pikir Nella.Nella bukan wanita yang haus akan cinta, ia memang marah dan kecewa saat tahu ternyata ibu mertuanya itu menipunya metah-mentah. Mengatakan jika Bian tidak pernah menikah padahal nyatanya sudah menikah bahkan memiliki anak dari Aini.Tidak hanya marah pada Bu Liana tapi pada Bian dan juga Aini karena merasa dibohongi, ia merasa seperti orang bodoh karena hanya ia sendiri yang tidak tahu soal fakta besar ini.Setelah tahu fakta, Nella menurunkan orang kepercayaannya untuk mencari tahu soal apa yang terjadi sebenarnya, apakah memang kesengajaan. Nella tidak mau salah membenci orang.Tidak bisa dipungkiri jika ia merasa nyaman bersama dengan Bian tapi bicara
“Tadi pas aku lewat denger suara orang nangis, aku kira Lyla yang nyariin Mbak Ai ternyata aku salah,” jawab Mas Bian sambil tertawa.Aku pikir dia akan membongkar semuanya.“Salahnya apa?”“Ternyata Mbak Ai yang nangis.”Ya ampun, kenapa Mas Bian malah mengatakan itu.“Terus kamu nyelonong saja begitu? Ih, nggak sopan banget sih. Mbak Ai pasti marah.”“Tadi saja aku langsung diusir, aku hanya khawatir Lyla kenapa-napa.”“Syukurlah kalau Lyla nggak apa-apa. Tapi kamu itu bikin malu, Mas. Main masuk ke kamar orang saja.”Sekarang bisa bernapas lega saat mendengar suara langkah kaki mereka menjauh. Salahku memang karena lupa mengunci pintu kamar, besok malam aku harus mengunci pintu agar Mas Bian tidak main masuk ke dalam kamar dan kepergok seperti tadi, untung saja Bu Nella percaya kalau tidak akan semakin bahaya.Aku bangun lebih pagi berniat membersihkan halaman belakang setelah selesai memasukkan semu
“Sayang.”aku berjengit mendengar suara Mas Bian. Menoleh menatapnya menyembulkan kepala di celah pintu kamar mandi.“Kenapa, Mas?”“Kalau mau pesan makan sekalian kopi ya.”“Ya ampun, kamu cuman mau bilang itu doang keluar kamar mandi?” Aku geleng-geleng kepala dengan tingkah Mas Bian.“Iya.” Dia menjawab sambil tersenyum lebar lalu masuk lagi ke dalam kamar mandi.Dia tidak menyadari raut wajahku jadi tidak khawatir. Biarkan nanti Mas Bian membaca sendiri pesan dari Bu Nella. Aku jadi penasaran bagaimana reaksi Mas Bian nanti. Apa dia akan mengikuti keinginan Bu Nella atau tetap dengan pendiriannya untuk tidak ikut campur lagi dengan urusan ibu mertua.Tapi mendengar sampai membawa-bawa hukum, ngeri juga sebenarnya. Tapi jika memang Bu Nella dan keluarganya merasa tertipu itu hal wajar, aku saja marah saat Mas Bian diberitahu kalau aku sudah meningga
POV AiniTangisku pecah saat Mas Bian menarikku ke dalam pelukannya.Mas Bian percaya ini aku, istrinya. Buku nikah dan kalung ini yang memperkuat. Meski tanpa dua hal itu Mas Bian seharusnya merasakan kehadiranku, aku saja masih bisa mengingat suaranya meski bertahun-tahun tidak berjumpa seharusnya ia pun sama.“Aini ... Aini ....” Dia terus memanggil namaku dengan suara yang bergetar.“Iya, Mas. Ini Aini, istri Mas Bian.” Tanganku melingkar dengan erat di punggungnya. Menyalurkan kerinduan yang bertahun-tahun ditahan.“Maafin Mas, Aini. Dalam kondisi Mas yang seperti ini Mas susah sekali percaya pada orang.”Mas Bian menceritakan soal kenapa dia menganggapku sudah meninggal. Sudah pasti ibu mertuaku dalangnya, tega sekali beliau melakukan itu. Menghancurkan kehidupan anaknya sendiri hanya karena ego.Dengan kondisi Mas Bian seperti ini wajar Mas Bian mudah percaya apalagi bagi dia pasti tidak mungkin ibunya berbohong apalagi soal hal sebesar ini tapi siapa yang menyangka jika ibu me
POV Bian“Aini meninggal, Bi.”Deg!Jantungku seperti berhenti berdetak, hatiku remuk, dunia seolah runtuh di atas kepala. Belum selesai masalahku dengan penyakit ini sekarang malah mendengar kabar yang begitu menyayat hati.“Nggak mungkin, Ma. Aini baik-baik saja, dia nunggu aku pulang pasti.”“Tolong jangan gini, Bi. Kamu harus terima, Mama tahu semua ini berat buat kamu. Ikhlaskan biar Aini tenang di sana.”Dadaku sesak, air mata tak sanggup kutahan. Ditinggalkan orang yang dicintai itu begitu menyakitkan, saat aku berjuang untuk sembuh di sini. Aini malah pergi meninggalkan luka yang begitu dalam. Aku belum sempat membahagiakannya.Mama mengatakan Aini meninggal saat aku masih koma, meninggal bersama dengan anak yang sedang dikandungnya. Sakitnya berkali lipat, anak yang belum sempat kulihat rupanya juga pergi dibawa oleh Aini.Tuhan. Kenapa seberat ini cobaan yang Engkau berikan?Kepergian Aini membuatku tak ada lagi semangat untuk bisa sembuh, tidak ada lagi wajah cantiknya yang
“Bu Nella, seb-”“Argh!” Ibu mertuaku langsung menjerit sambil memegangi dadanya.“Mama kenapa?” Mas Bian dan Bu Nella langsung panik sedangkan aku sendiri masih berdiri mematung.“Sa-kit, mungkin penyakit jantung Mama kambuh,” ujarnya dengan suara lirih.Keningku berkerut. Sejak kapan ibu mertuaku memiliki penyakit jantung, setahuku tidak punya. Beliau bahkan tidak memiliki riwayat penyakit apapun.“Mungkin asam lambung Mama naik.” Mas Bian langsung buka suara.“Sakit sekali, ayo bawa Mama ke dokter.”“Mbak Ai, ambilkan kunci mobil di nakas kamar,” pinta Bu Nella.Aku pun bergegas mengambilkannya. Tidak tahu ibu mertuaku ini pura-pura atau memang sakit, takutnya jika memang sakit nanti aku yang disalahkan jika menahan dan berniat membongkar semuanya sekarang.Mereka pergi ke rumah sakit, tinggal aku dan Lyla berdua di rumah.Sekarang aku makin yakin jika ibu mertuaku memang takut aku membongkar semuanya pada Bu Nella. Lucu juga membuat ibu mertuaku ketakutan seperti ini, kalau memang