“Sayang.”aku berjengit mendengar suara Mas Bian. Menoleh menatapnya menyembulkan kepala di celah pintu kamar mandi.“Kenapa, Mas?”“Kalau mau pesan makan sekalian kopi ya.”“Ya ampun, kamu cuman mau bilang itu doang keluar kamar mandi?” Aku geleng-geleng kepala dengan tingkah Mas Bian.“Iya.” Dia menjawab sambil tersenyum lebar lalu masuk lagi ke dalam kamar mandi.Dia tidak menyadari raut wajahku jadi tidak khawatir. Biarkan nanti Mas Bian membaca sendiri pesan dari Bu Nella. Aku jadi penasaran bagaimana reaksi Mas Bian nanti. Apa dia akan mengikuti keinginan Bu Nella atau tetap dengan pendiriannya untuk tidak ikut campur lagi dengan urusan ibu mertua.Tapi mendengar sampai membawa-bawa hukum, ngeri juga sebenarnya. Tapi jika memang Bu Nella dan keluarganya merasa tertipu itu hal wajar, aku saja marah saat Mas Bian diberitahu kalau aku sudah meningga
“Tadi pas aku lewat denger suara orang nangis, aku kira Lyla yang nyariin Mbak Ai ternyata aku salah,” jawab Mas Bian sambil tertawa.Aku pikir dia akan membongkar semuanya.“Salahnya apa?”“Ternyata Mbak Ai yang nangis.”Ya ampun, kenapa Mas Bian malah mengatakan itu.“Terus kamu nyelonong saja begitu? Ih, nggak sopan banget sih. Mbak Ai pasti marah.”“Tadi saja aku langsung diusir, aku hanya khawatir Lyla kenapa-napa.”“Syukurlah kalau Lyla nggak apa-apa. Tapi kamu itu bikin malu, Mas. Main masuk ke kamar orang saja.”Sekarang bisa bernapas lega saat mendengar suara langkah kaki mereka menjauh. Salahku memang karena lupa mengunci pintu kamar, besok malam aku harus mengunci pintu agar Mas Bian tidak main masuk ke dalam kamar dan kepergok seperti tadi, untung saja Bu Nella percaya kalau tidak akan semakin bahaya.Aku bangun lebih pagi berniat membersihkan halaman belakang setelah selesai memasukkan semu
POV Author“Aish! Kenapa juga aku harus memohon kayak gini, macam nggak ada cowok lain.” Nella melemparkan ponselnya sembarang arah lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia baru saja membaca ulang pesan yang kemarin malam dikirim pada Bian.Menjatuhkan harga diri, pikir Nella.Nella bukan wanita yang haus akan cinta, ia memang marah dan kecewa saat tahu ternyata ibu mertuanya itu menipunya metah-mentah. Mengatakan jika Bian tidak pernah menikah padahal nyatanya sudah menikah bahkan memiliki anak dari Aini.Tidak hanya marah pada Bu Liana tapi pada Bian dan juga Aini karena merasa dibohongi, ia merasa seperti orang bodoh karena hanya ia sendiri yang tidak tahu soal fakta besar ini.Setelah tahu fakta, Nella menurunkan orang kepercayaannya untuk mencari tahu soal apa yang terjadi sebenarnya, apakah memang kesengajaan. Nella tidak mau salah membenci orang.Tidak bisa dipungkiri jika ia merasa nyaman bersama dengan Bian tapi bicara
"Mas, ayo kita lihat Mama.""Kamu di sini aja, biar Mas yang kesana." Bian menahan Aini untuk tidak ikut."Tapi, Mas-""Nurut ya. Besok baru kamu boleh nengokin Mama. Aku juga sekalian ke pasar habis dari rumah sakit jadi kami mending nggak usah ikut.""Ya udah, semoga Mama nggak kenapa-kenapa."Aini merasa khawatir pada ibu mertuanya. Meskipun Bu Liana sering berbuat jahat tapi Aini tidak sampai hati jika harus senang atas berita yang didengarnya. Ia tetap menghormati Bu Liana sebagai ibu mertua."Mas berangkat ya." Bian langsung pergi setelah taksi online yang dipesannya datang.Alamat rumah sakit sudah dikirimkan oleh art Bu Liana. Bian mengubah tujuan langsung ke rumah sakit, terpaksa ia harus memesan mobil itu sampai nanti pulang lagi karena tidak ingin ribet apalagi harus menunggu lagi. Bian pun tidak akan lama di rumah sakit, hanya melihat kondisi ibunya setelah itu pulang."Nyonya di dalam, dari tadi men
“Mama kok bisa di sini?” Aini langsung berdiri menghampiri ibu mertuanya yang ada di ambang pintu, duduk di kursi roda.“Mama sudah keluar dari rumah sakit dan mau melihat Lyla,” ujar Bu Liana tapi pandangan matanya menghunus pada Nella yang tidak kalah tajam menatap Bu Liana.“Bukannya dokter bilang kalau Mama-”“Mama nggak tenang kalau ada di rumah sakit takutnya kamu didatangi orang bermuka dua ini,” potong Bu Liana tanpa mengalihkan pandangan dari Nella.Nella menyeringai, ia tahu Bu Liana kini mulai melakukan permainannya. Nella tidak akan langsung masuk tapi mengambil ancang-ancang.“Mbak Ai, kalau begitu aku permisi dulu ya. Lain kali aku main lagi,” pamit Nella.“Loh, kenapa?”“Bawaannya panas di sini. Ada yang terbakar tapi bukan api,” ucap Nella dengan senyum penuh arti, ia beralih pada Lyla yang sibuk dengan mainannya, “Lyla, Tante pulang dulu ya. Nanti main lagi ke sini.”“Tante, Lyla masih mau main
“Gue tahu lo kecewa sama Mama. Lo beneran nggak mau nemuin Mama?” tanya Bisma.“Daripada gue marah-marah ke Mama mending nggak dulu.” Bian masih merasakan kekecewaan yang mendalam.“Sekarang Mama nggak pura-pura lagi, gue sendiri yang nemuin dokternya. Mama bener-bener kena stroke.”Bukan Bian yang kaget tapi Aini yang membuka mulutnya dengan lebar saking kagetnya mendengar kabar soal ibu mertuanya. Kemarin mereka menganggap Bu Liana itu pura-pura tapi nyatanya memang terkena serangan jantung hingga membuatnya terkena stroke.Bukan hanya tidak bisa berjalan, Bu Liana juga tidak bisa bicara sama sekali.“Mas, kita lihat Mama ya,” pinta Aini, ia masih memiliki hati.“Sayang ....”“Mas, aku nggak mau kamu terus menjauhi Mama. Mungkin dengan kejadian ini Mama menyadari apa yang pernah diperbuatnya itu sebuah kesalahan. Aku nggak mau kamu jadi anak durhaka, Mas.” Aini menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Aini sudah menganggap Bu Liana sebagai ibunya meski perlakuan Bu Liana jauh da
“Loh, Mas. Bukannya yang tadi pagi nikah ya? Nikah lagi?”“Aduh, Pak Penghulu. Udah nggak usah banyak tanya, langsung saja nikahkan saya sama dia. Saya nggak ada banyak waktu nih.” Awan melirik Jingga yang duduk di sampingnya tanpa ekspresi, sorot matanya kosong seolah tidak memiliki gairah hidup.Matanya sudah sembab karena air mata yang terus keluar tanpa henti.“Hebat. Satu hari nikah dua kali, untung nggak kayak minum obat sampai tiga kali.” Penghulu itu geleng-geleng kepala.“Tidak apa nikah dibawah tangan dulu, soal surat-surat menyusul, akan kami urus,” bisik Pak Dandi, ayahnya Jingga.“Yah ….” Jingga merengek pada sang ayah dengan air mata yang kembali berderai.“Sudah cukup kamu bikin Ayah malu, Jingga. Sekarang kamu harus terima apapun keputusan Ayah, ini untuk kebaikan kamu juga, untuk nama baik keluarga kita.”Pernikahan yang sudah direncanakan dengan matang itu akhirnya terjadi dengan mempelai pria yang tidak seharusnya menjabat tangan ayahnya Jingga. Dalam satu hari Awan
“Bu, dia-”“Saya teman Mas Dipta. Saya dengar anaknya meninggal jadi saya datang kesini.” Begitu lancar kata-kata itu keluar dari bibir Jingga. Bisa-bisanya berucap begitu disaat hatinya luluh lantak. Jingga bukan wanita yang tak berhati, tidak mungkin menambah luka di keluarga Dipta dengan memberitahu jika dirinya adalah kekasih lelaki itu.Dipta terdiam kaku, lidahnya bahkan teras kelu. Ingin sekali menarik Jingga dan membawanya pergi lalu menjelaskan semuanya. Hal-hal yang membuat Jingga salah paham karena hanya menyimpulkan dari sudut pandangnya tanpa tahu fakta sebenarnya.“Terima kasih karena kamu meluangkan waktu sampai datang ke pemakaman cucu saya, padahal ini hari pernikahanmu, iya 'kan?”Jingga mengangguk lemah menjawab perkataan ibunya Dipta. Ia bahkan baru kali ini bertemu dengan ibunya Dipta yang katanya tinggal di luar negeri hingga tak bisa datang di acara pernikahan yang gagal itu.“Saya … turut berduka cita.” Suara Jingga bergetar dengan air mata yang bergulir membas
“Gue tahu lo kecewa sama Mama. Lo beneran nggak mau nemuin Mama?” tanya Bisma.“Daripada gue marah-marah ke Mama mending nggak dulu.” Bian masih merasakan kekecewaan yang mendalam.“Sekarang Mama nggak pura-pura lagi, gue sendiri yang nemuin dokternya. Mama bener-bener kena stroke.”Bukan Bian yang kaget tapi Aini yang membuka mulutnya dengan lebar saking kagetnya mendengar kabar soal ibu mertuanya. Kemarin mereka menganggap Bu Liana itu pura-pura tapi nyatanya memang terkena serangan jantung hingga membuatnya terkena stroke.Bukan hanya tidak bisa berjalan, Bu Liana juga tidak bisa bicara sama sekali.“Mas, kita lihat Mama ya,” pinta Aini, ia masih memiliki hati.“Sayang ....”“Mas, aku nggak mau kamu terus menjauhi Mama. Mungkin dengan kejadian ini Mama menyadari apa yang pernah diperbuatnya itu sebuah kesalahan. Aku nggak mau kamu jadi anak durhaka, Mas.” Aini menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Aini sudah menganggap Bu Liana sebagai ibunya meski perlakuan Bu Liana jauh da
“Mama kok bisa di sini?” Aini langsung berdiri menghampiri ibu mertuanya yang ada di ambang pintu, duduk di kursi roda.“Mama sudah keluar dari rumah sakit dan mau melihat Lyla,” ujar Bu Liana tapi pandangan matanya menghunus pada Nella yang tidak kalah tajam menatap Bu Liana.“Bukannya dokter bilang kalau Mama-”“Mama nggak tenang kalau ada di rumah sakit takutnya kamu didatangi orang bermuka dua ini,” potong Bu Liana tanpa mengalihkan pandangan dari Nella.Nella menyeringai, ia tahu Bu Liana kini mulai melakukan permainannya. Nella tidak akan langsung masuk tapi mengambil ancang-ancang.“Mbak Ai, kalau begitu aku permisi dulu ya. Lain kali aku main lagi,” pamit Nella.“Loh, kenapa?”“Bawaannya panas di sini. Ada yang terbakar tapi bukan api,” ucap Nella dengan senyum penuh arti, ia beralih pada Lyla yang sibuk dengan mainannya, “Lyla, Tante pulang dulu ya. Nanti main lagi ke sini.”“Tante, Lyla masih mau main
"Mas, ayo kita lihat Mama.""Kamu di sini aja, biar Mas yang kesana." Bian menahan Aini untuk tidak ikut."Tapi, Mas-""Nurut ya. Besok baru kamu boleh nengokin Mama. Aku juga sekalian ke pasar habis dari rumah sakit jadi kami mending nggak usah ikut.""Ya udah, semoga Mama nggak kenapa-kenapa."Aini merasa khawatir pada ibu mertuanya. Meskipun Bu Liana sering berbuat jahat tapi Aini tidak sampai hati jika harus senang atas berita yang didengarnya. Ia tetap menghormati Bu Liana sebagai ibu mertua."Mas berangkat ya." Bian langsung pergi setelah taksi online yang dipesannya datang.Alamat rumah sakit sudah dikirimkan oleh art Bu Liana. Bian mengubah tujuan langsung ke rumah sakit, terpaksa ia harus memesan mobil itu sampai nanti pulang lagi karena tidak ingin ribet apalagi harus menunggu lagi. Bian pun tidak akan lama di rumah sakit, hanya melihat kondisi ibunya setelah itu pulang."Nyonya di dalam, dari tadi men
POV Author“Aish! Kenapa juga aku harus memohon kayak gini, macam nggak ada cowok lain.” Nella melemparkan ponselnya sembarang arah lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia baru saja membaca ulang pesan yang kemarin malam dikirim pada Bian.Menjatuhkan harga diri, pikir Nella.Nella bukan wanita yang haus akan cinta, ia memang marah dan kecewa saat tahu ternyata ibu mertuanya itu menipunya metah-mentah. Mengatakan jika Bian tidak pernah menikah padahal nyatanya sudah menikah bahkan memiliki anak dari Aini.Tidak hanya marah pada Bu Liana tapi pada Bian dan juga Aini karena merasa dibohongi, ia merasa seperti orang bodoh karena hanya ia sendiri yang tidak tahu soal fakta besar ini.Setelah tahu fakta, Nella menurunkan orang kepercayaannya untuk mencari tahu soal apa yang terjadi sebenarnya, apakah memang kesengajaan. Nella tidak mau salah membenci orang.Tidak bisa dipungkiri jika ia merasa nyaman bersama dengan Bian tapi bicara
“Tadi pas aku lewat denger suara orang nangis, aku kira Lyla yang nyariin Mbak Ai ternyata aku salah,” jawab Mas Bian sambil tertawa.Aku pikir dia akan membongkar semuanya.“Salahnya apa?”“Ternyata Mbak Ai yang nangis.”Ya ampun, kenapa Mas Bian malah mengatakan itu.“Terus kamu nyelonong saja begitu? Ih, nggak sopan banget sih. Mbak Ai pasti marah.”“Tadi saja aku langsung diusir, aku hanya khawatir Lyla kenapa-napa.”“Syukurlah kalau Lyla nggak apa-apa. Tapi kamu itu bikin malu, Mas. Main masuk ke kamar orang saja.”Sekarang bisa bernapas lega saat mendengar suara langkah kaki mereka menjauh. Salahku memang karena lupa mengunci pintu kamar, besok malam aku harus mengunci pintu agar Mas Bian tidak main masuk ke dalam kamar dan kepergok seperti tadi, untung saja Bu Nella percaya kalau tidak akan semakin bahaya.Aku bangun lebih pagi berniat membersihkan halaman belakang setelah selesai memasukkan semu
“Sayang.”aku berjengit mendengar suara Mas Bian. Menoleh menatapnya menyembulkan kepala di celah pintu kamar mandi.“Kenapa, Mas?”“Kalau mau pesan makan sekalian kopi ya.”“Ya ampun, kamu cuman mau bilang itu doang keluar kamar mandi?” Aku geleng-geleng kepala dengan tingkah Mas Bian.“Iya.” Dia menjawab sambil tersenyum lebar lalu masuk lagi ke dalam kamar mandi.Dia tidak menyadari raut wajahku jadi tidak khawatir. Biarkan nanti Mas Bian membaca sendiri pesan dari Bu Nella. Aku jadi penasaran bagaimana reaksi Mas Bian nanti. Apa dia akan mengikuti keinginan Bu Nella atau tetap dengan pendiriannya untuk tidak ikut campur lagi dengan urusan ibu mertua.Tapi mendengar sampai membawa-bawa hukum, ngeri juga sebenarnya. Tapi jika memang Bu Nella dan keluarganya merasa tertipu itu hal wajar, aku saja marah saat Mas Bian diberitahu kalau aku sudah meningga
POV AiniTangisku pecah saat Mas Bian menarikku ke dalam pelukannya.Mas Bian percaya ini aku, istrinya. Buku nikah dan kalung ini yang memperkuat. Meski tanpa dua hal itu Mas Bian seharusnya merasakan kehadiranku, aku saja masih bisa mengingat suaranya meski bertahun-tahun tidak berjumpa seharusnya ia pun sama.“Aini ... Aini ....” Dia terus memanggil namaku dengan suara yang bergetar.“Iya, Mas. Ini Aini, istri Mas Bian.” Tanganku melingkar dengan erat di punggungnya. Menyalurkan kerinduan yang bertahun-tahun ditahan.“Maafin Mas, Aini. Dalam kondisi Mas yang seperti ini Mas susah sekali percaya pada orang.”Mas Bian menceritakan soal kenapa dia menganggapku sudah meninggal. Sudah pasti ibu mertuaku dalangnya, tega sekali beliau melakukan itu. Menghancurkan kehidupan anaknya sendiri hanya karena ego.Dengan kondisi Mas Bian seperti ini wajar Mas Bian mudah percaya apalagi bagi dia pasti tidak mungkin ibunya berbohong apalagi soal hal sebesar ini tapi siapa yang menyangka jika ibu me
POV Bian“Aini meninggal, Bi.”Deg!Jantungku seperti berhenti berdetak, hatiku remuk, dunia seolah runtuh di atas kepala. Belum selesai masalahku dengan penyakit ini sekarang malah mendengar kabar yang begitu menyayat hati.“Nggak mungkin, Ma. Aini baik-baik saja, dia nunggu aku pulang pasti.”“Tolong jangan gini, Bi. Kamu harus terima, Mama tahu semua ini berat buat kamu. Ikhlaskan biar Aini tenang di sana.”Dadaku sesak, air mata tak sanggup kutahan. Ditinggalkan orang yang dicintai itu begitu menyakitkan, saat aku berjuang untuk sembuh di sini. Aini malah pergi meninggalkan luka yang begitu dalam. Aku belum sempat membahagiakannya.Mama mengatakan Aini meninggal saat aku masih koma, meninggal bersama dengan anak yang sedang dikandungnya. Sakitnya berkali lipat, anak yang belum sempat kulihat rupanya juga pergi dibawa oleh Aini.Tuhan. Kenapa seberat ini cobaan yang Engkau berikan?Kepergian Aini membuatku tak ada lagi semangat untuk bisa sembuh, tidak ada lagi wajah cantiknya yang
“Bu Nella, seb-”“Argh!” Ibu mertuaku langsung menjerit sambil memegangi dadanya.“Mama kenapa?” Mas Bian dan Bu Nella langsung panik sedangkan aku sendiri masih berdiri mematung.“Sa-kit, mungkin penyakit jantung Mama kambuh,” ujarnya dengan suara lirih.Keningku berkerut. Sejak kapan ibu mertuaku memiliki penyakit jantung, setahuku tidak punya. Beliau bahkan tidak memiliki riwayat penyakit apapun.“Mungkin asam lambung Mama naik.” Mas Bian langsung buka suara.“Sakit sekali, ayo bawa Mama ke dokter.”“Mbak Ai, ambilkan kunci mobil di nakas kamar,” pinta Bu Nella.Aku pun bergegas mengambilkannya. Tidak tahu ibu mertuaku ini pura-pura atau memang sakit, takutnya jika memang sakit nanti aku yang disalahkan jika menahan dan berniat membongkar semuanya sekarang.Mereka pergi ke rumah sakit, tinggal aku dan Lyla berdua di rumah.Sekarang aku makin yakin jika ibu mertuaku memang takut aku membongkar semuanya pada Bu Nella. Lucu juga membuat ibu mertuaku ketakutan seperti ini, kalau memang