Tangis Jingga pecah melihat kakinya yang berlumuran darah karena serpihan beling yang menancap, itu yang membuatnya langsung terjatuh.
“Ibu ….” Jingga berteriak memanggil ibunya seperti anak kecil sambil menangis tersedu-sedu.Dipta berjongkok di depan Jingga melihat kondisi kaki wanita itu dan berniat melihat lebih jelas serpihan belingnya namun Jingga dengan cepat menepis.“Jangan pegang-pegang!” sentaknya galak.Lelaki itu dengan cepat mengusap cairan merah yang keluar dari hidungnya akibat sundulan kepala Jingga tadi.Jingga berniat untuk kembali berdiri.“Sayang, aku bakalan biarin kamu pergi tapi seenggaknya obati dulu luka kamu.”Tidak memperdulikan Jingga yang protes dalam gendongannya, Dipta membawa wanita itu menuju apartemennya yang memang kebetulan berada di dekat sana. Hanya tinggal menyebrang, apartemen yang rencananya akan Dipta tempati setelah menikah dengan Jingga.“Tolong. Pak tolong saya, Pak. Saya mau diculik,” teriak Jingga dengan kakinya yang bergerak-gerak berharap Dipta melepaskannya. “Mas Dipta, lepas!” Ia beralih memukul dada bidang lelaki itu namun sama sekali tidak memberikan efek apapun pada Dipta.Orang-orang bukannya menolong mereka malah menertawakan tingkah Jingga. Mana mungkin ada orang yang menculik terang-terangan. Bahkan mereka berpikir Jingga dan Dipta itu pasangan yang sedang bertengkar meski nyatanya memang seperti itu.Jingga lelah sendiri karena tidak berhenti berteriak, ia merasa sangat lemas karena kini bisa merasakan sakit di kakinya semakin menyiksa bukan hanya yang tertancap beling saja namun kaki sebelah kirinya juga lecet dan luka-luka kecil karena ia berjalan tanpa alas kaki.Jantung Jingga seperti diremas kuat saat melihat di dalam apartemen yang sudah dihias sekian rupa. Bahkan jelas dalam ingatan jika Jingga sendiri yang menginginkan apartemen dihias seperti ini agar saat nanti ia menginjakkan kaki pertama kalinya sebagai istri Dipta menjadi sangat berkesan. Namun semua itu hanya sebuah angan yang tak mungkin terjadi, hanya tinggal kenangan.Mata Jingga kembali memanas, ia seolah dilempar kembali pada kenyataan jika lelaki yang dicintainya ternyata milik orang lain.“Duduk. Kalau kamu maksa buat jalan nanti menancap makin dalam dan makin sakit.” Dipta memperingati sebelum mengambil kotak obat untuk membersihkan luka Jingga.Jingga yang tidak suka dengan yang namanya rasa sakit hanya diam mematung meresapi getirnya takdir. Ia menelpon Awan meminta untuk dijemput dengan suara bergetar karena tangisnya. Belum sempat mengatakan lokasinya, Jingga dengan cepat memutuskan sambungan telepon karena Dipta keluar dari kamar.Jika sampai Dipta tahu maka Awan akan dihalangi nantinya, dan Jingga memilih untuk diam saja sampai nanti Awan datang.Dengan telaten Dipta membersihkan dan mengobati luka di kedua kaki Jingga. Wajar saja karena lelaki ini seorang dokter.Jingga memalingkan wajahnya enggan untuk melihat Dipta. Ia berharap Awan segera datang.“Aww, sakit!”“Tahan sebentar.”Kotak obat di lantai sudah berpindah ke meja menandakan jika Jingga sudah selesai diobati.“Sayang.” Dipta mencoba meraih tangan Jingga namun wanita itu dengan cepat menariknya.“Nggak usah manggil-manggil sayang. Kita itu cuman orang asing sekarang!” Jingga menegaskan dengan sorot matanya yang memancarkan luka yang begitu dalam.Sakit dan hancurnya Jingga berkali-kali lipat.“Jingga, tolong jangan bilang gitu. Maafin aku, aku akan minta maaf ke keluarga besar kamu soal kejadian ini. Aku juga minta maaf karena nggak jujur dari awal, aku takut kamu nggak akan menerima-”“Jelas aku nggak nerima, Mas. Aku nggak mau jadi duri dalam rumah tangga orang lain!”“Aku dan Rahel akan berpisah.”Jingga menggeleng, “aku nggak mau dicap pelakor ya, nggak usah kamu pisah cuman karena aku. Aku juga nggak butuh kamu lagi.”Dipta masuk ke dalam kamar dan kembali membawa formulir perceraian yang bahkan sudah diisi dan ditandatangani.“Aku dan Rahel berpisah bukan karena kamu tapi karena memang kami tidak bisa bersama. Masalah kami ada, jauh sebelum kamu hadir di hidup aku.”***“Kenapa, Mas?”Awan melirik Welly, “aduh, gimana nih? Ditinggal sayang nggak ditinggal si Jingga juga tanggung jawab gue,” batinnya frustasi.“Ini … Jingga nelpon aku, dia minta tolong.” Awan mengatakan yang sebenarnya.Welly nampak kaget, “dia kenapa?”“Itu yang bikin aku khawatir, dia cuman ngomong gitu doang sambil nangis habis itu telponnya dimatiin.”“Ya udah, Mas. Cari Jingga, takutnya dia kenapa-napa.”“Hah? Tapi ini ….”“Bisa lain kali, sekarang yang penting Jingga.” Welly tidak egois dengan mementingkan apa yang bisa dilakukan di waktu lainnya.“Emang nggak salah pilih istri gue.” Awan bangga pada dirinya sendiri.“Mas, malah bengong. Ayo pakai baju!”Awan tersentak dari lamunannya dan secepat kilat memakai baju, ia akan segera membawa Jingga pulang agar bisa melanjutkan ritual malam pertamanya yang tertunda. Bahkan saat bertemu Jingga nanti Awan sudah berencana mengomeli wanita itu yang pergi tanpa bilang-bilang, sudah pasti membuat seluruh keluarganya khawatir. Meski sudah dewasa namun Jingga itu orangnya nekat dan kekanakan.Tidak sulit bagi Awan untuk melacak keberadaan Jingga saat ini, tanpa pikir panjang ia langsung meluncur, sepanjang jalan hanya sibuk mengumpat kesal karena Jingga.“Ngapain juga dia di apartemen? Apartemen siapa lagi?” gumam Awan saat sampai di basement apartemen.Mencoba menghubungi Jingga lagi namun tidak diangkat, ia langsung menuju lantai tempat di mana Jingga berada. Kini Awan berdiri di depan pintu apartemen itu menunggu sang pemilik membukanya setelah beberapa kali ia menekan bel.Awan terbelalak saat melihat Dipta yang membuka pintu, Dipta pun kaget dengan kedatangan Awan.Dipta yang akan menutup pintu kalah cepat dari Awan yang nyelonong masuk.“Awan!” Jingga begitu kegirangan saat melihat Awan.Berbeda dengan Awan yang emosi karena melihat bagaimana penampilan Jingga saat ini, belum lagi kakinya yang dibalut perban.“Keluar!” Dipta mengusir Awan.“Bangs*t!” Awan melangkah mendekat dan melayangkan bogem mentah membuat Dipta terdorong karena tidak siap dengan serangan itu.Dengan kaki dan tangannya Awan menyerang Dipta saking emosi karena apa yang sudah dilakukan lelaki itu pada Jingga.Tubuh Dipta kini sudah terkapar di lantai, wajahnya babak belur bahkan sudah tidak ada tenaga. Dipta sama sekali tidak ada niat untuk melawan membiarkan Awan melakukan apapun karena Dipta sadar Awan semarah ini karena Jingga disakiti.“Ayo, Wawan. Semangat!”Gerakan tangan Awan tertahan saat mendengar teriakan Jingga. Ia melirik Jingga yang memasang tampang polosnya.“Sint*ng emang nih bocah. Ngapain lo kasih semangat segala? Gue bukan lagi gelud.” Awan bangkit dari tubuh Dipta yang tak berdaya.Dipta tersenyum kecil menatap Jingga, “kalau kamu masih belum puas, suruh sahabat kamu itu pukulin aku lagi.”“Jangan pernah ganggu dia lagi, Jingga sekarang istri gue!”Bersambung ….Dipta terpaku mendengar penuturan Awan.“Becanda lo nggak lucu, Wan!”Awan terbahak, “ngapain juga bohong, kalau nggak percaya tanyain ke Bapak mertua gue sana. Sampai lo deketin istri gue lagi, gue pastiin lo lebih parah dari ini!”Awan menarik Jingga keluar dari apartemen itu, Awan bahkan sampai tidak memperhatikan Jingga yang jalannya terseok.Dipta masih berada di dalam tidak sanggup untuk berdiri karena tubuhnya terasa sangat remuk apalagi sakit di bagian ulu hatinya setelah mendapat hantaman tangan Awan.“Wan, pelan-pelan. Kaki gue sakit.” Jingga meringis merasakan kakinya berkedut nyeri.Beberapa langkah menuju lift, Awan menghentikan langkahnya. Terlalu emosi hingga tidak menyadari keadaan Jingga.“Gendong.”Meski tidak berhenti menggerutu, Awan tetap menuruti kemauan Jingga. Berjongkok di hadapan wanita manja itu yang kini sudah berada di punggung Awan.“Kebanyakan dosa kayaknya lo itu, badannya kurus kering macam ranting tapi beratnya nggak beda jauh sama gajah.”“Kayak pern
“Makan dulu ya, dari pagi kamu belum makan apapun. Ibu nggak mau nanti maag kamu kambuh lagi.” Bu Sukma mencoba membujuk Jingga yang masih dalam posisinya dengan berbaring memeluk boneka raksasa yang dihadiahkan Dipta di tahun pertama mereka bersama.Saking kalutnya pikiran wanita itu sampai tidak menyadari barang pemberian Dipta. Mungkin jika sadar ia akan langsung membakar boneka itu.“Aku nggak lapar, Bu.”“Ibu taruh di sini ya. Harus kamu makan sebelum tidur.” Bu Sukma memutuskan untuk membiarkan putrinya itu sendiri.Jingga memang sudah tidak menangis lagi, mungkin air matanya sudah mengering. Lelah yang dirasanya sama sekali tidak digubris, pikiran Jingga melayang.“Kamu jahat, Mas.” Tiga kata itu lolos dari mulut Jingga bersamaan dengan bayangan momen kebersamaan mereka selama ini.Saat ini Jingga tidak ingin melakukan apapun hanya meresapi rasa sakit yang menghujam jantungnya begitu dalam.Jika tahu dari awal memang Jingga tidak akan menerima Dipta dan itu kenapa Dipta menyemb
“Salah aku apa, Mas? Kenapa kamu kayak gini.” Rahel sudah berkaca-kaca karena sikap suaminya tidak pernah berubah.“Kamu nanya salah kamu apa?” Pertanyaan Dipta itu seolah menyindir.“Mas, aku ‘kan udah minta maaf loh. Itu udah berlalu, nggak usah dibahas lagi.”Dipta tersenyum kecut. “Aku udah maafin kamu tapi bukan berarti kita masih bisa sama-sama.”Tidak ingin akhirnya menjadi keributan Dipta langsung keluar dari kamar itu. Ini sudah malam dan tidak pantas mereka ribut di hari berkabung seperti ini.“Aku nggak mau pisah, pokoknya nggak akan aku biarin Mas Dipta pergi!” Rahel menggeleng, tangan wanita itu terangkat menjambak rambutnya frustasi. “Argh! Si*lan!” jeritnya.Teriakan Rahel membuat Samudra tersentak dan menangis karena kaget.“Ma-ma.”Rahel juga ikut kaget, “iya, sayang. Maafin Mama.” Ia naik ke atas ranjang dan menenangkan Samudra.Rahel tidak pernah curiga bahkan tidak berpikir jika Dipta selingkuh karena di matanya lelaki itu adalah sosok setia. Bagi Rahel, Dipta adal
Awan memegangi pipinya dengan shock.“Mas, Mas Awan!”“Aku nggak mau, aku nggak mau.”Welly menepuk pundak suaminya itu. “Mas, kamu kenapa sih? Nggak mau apa?”Awan terhenyak. “Kamu nggak marah?”Wanita itu mengernyit heran. “Marah kenapa?”“Soal yang tadi aku bilang, kamu aja sampe nampar aku. Masa iya nggak marah.”“Nampar kamu? Kapan aku nampar kamu? Nggak beranilah aku nampar suami aku sendiri. Ayo lanjutin makannya, habis itu istirahat lagi kamu pasti masih capek makanya agak oleng.”Awan menyapukan pandangannya ke sisi kiri dan kanannya, ternyata ia masih ada di meja makan. Berarti tadi hanya lamunan Awan saja tidak benar-benar terjadi. Akhirnya ia bernafas lega, takut sekali tadi karena Welly mengatakan ingin pisah tapi ternyata itu bukan nyata.Ia malah jadi ragu untuk bicara karena lamunan yang dibuatnya tadi. Awan ingin segera menyelesaikan ini karena tugasnya sebenarnya hanya menggantikan Dipta untuk menjaga nama baik keluarga Jingga. Berarti tidak akan bertanggung jawab pa
“Udah sebulan lebih ternyata.” Awan memperhatikan kalender di ponselnya.Memang waktu tidak terasa sampai Awan pun lupa statusnya yang memiliki dua istri. Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai suami Welly tapi melupakan Jingga yang juga istrinya.“Mas, nanti pulangnya kalo bisa cepet ya.”Alis Awan berkerut. “Kenapa? Kamu nggak enak badan? Mau dianter ke dokter?”“Nggak kok. Ini 'kan malam minggu, kita jalan-jalan aku juga mau kasih hadiah buat kamu.”“Hadiah apa?”“Nggak seru kalau aku kasih tahu sekarang, Mas!”“Ya udah, aku nggak usah kerja aja biar kamu kasih tahu sekarang.” Awan memainkan alisnya.Welly tergelak melayangkan pukulan kecil di pundak suaminya. “Nggak boleh. Kamu harus kerja, jangan nakal.”“Aku nakal cuman ke kamu doang, sayang.” Awan menjawil gemas dagu istrinya itu.Kentara sekali mereka seperti pasangan pengantin baru pada umumnya. Meski hidup jauh dari kata mewah namun mereka begitu bahagia menjalaninya. Awan memang memilih untuk bersama dengan Welly menjalani k
FlashbackTangan Jingga ditarik membuat tubuh wanita itu menghantam dada kekar di depannya. Jingga menelan ludah dengan susah payah kala aroma maskulin itu menggelitik hidungnya. Ia begitu merindukan aromanya yang selalu menenangkan.“Lihat-lihat kalau jalan dong, Mas!” Protesnya, ia menarik Jingga agar tidak tersenggol pejalan kaki yang lain.“M-mas ….”Satu kata itu lolos dari mulut Jingga, ia bahkan tidak protes saat tangannya ditarik menuju taman yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri tadi.“Kamu baik-baik aja 'kan?”Jingga menggeleng dengan matanya yang sudah berembun. “Semenjak kejadian itu aku nggak pernah baik-baik aja, Mas.”Tidak bisa disangkal jika Jingga sampai detik ini masih mencintai Dipta meski lelaki itu sudah menorehkan luka yang cukup dalam. Sedalam apapun luka jika cintanya lebih besar maka luka itu akan sembuh dengan sendirinya.“Maaf.” Tangan Dipta terangkat mengusap pipi pujaan hatinya yang kini sudah basah dialiri air mata.“Kamu jahat!” Jingga menghujani d
“Istri anda baik-baik saja.”Awan bernafas lega. Ia tidak tahu seperti apa jadinya jika Jingga mengalami hal buruk. Menyadari semua kesalahannya. Awan terbawa emosi saat tahu Jingga akan kembali pada Dipta yang sudah jelas-jelas membuat hidup Jingga hancur dan mempermalukan kelurganya. Awan hanya tidak ingin Jingga tersakiti lagi tapi malah ia sendiri yang menyakiti Jingga.Kemarahan memang menghancurkan segalanya.“Boleh saya masuk, Dok?”“Silahkan.”Dengan sedikit ragu Awan masuk ke dalam ruangan itu. Jingga terbaring dengan mata terpejam, wajahnya sudah tidak sepucat tadi. “Jingga, maafin gue,” gumam Awan dengan lirih.“Mas Dipta.”Awam tersentak mendengar Jingga malah menyebut nama Dipta.“Sebesar itu rasa cina lo ke si bangs*t itu, Ji? Dia udah nipu lo selama ini dan lo malah dengan tol*lnya malah balikan sama dia.” Awan mengepalkan tangannya. Ia benar-benar tidak bisa terima jika Jingga kembali pada Dipta, mungkin jika Jingga bersama lelaki lain Awan akan melepaskannya.Kelopa
Setelah kondisinya tenang, Jingga menceritakan semuanya pada Dipta.Emosi. Sudah jelas apalagi ia tahu Awan menikahi Jingga hanya untuk menutupi masalah kemarin saja, hanya ingin menjaga nama baik keluarga Jingga.“Kamu mau ninggalin aku setelah tahu aku nggak perawan lagi?”Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari Jingga.Dipta menggeleng, menepis semua pemikiran kekasih hatinya itu. “Nggak, sayang. Mana mungkin Mas berpikir begitu.”“Aku takut kamu ninggalin aku, Mas.”Jelas saja Dipta tidak akan meninggalkan Jingga, ia sangat mencintai wanita itu. Seperti apapun kondisi Jingga akan diterimanya seperti Jingga yang juga menerima Dipta yang akan menyandang status duda beranak dua.“Mas akan bicara sama Ayah kamu nanti soal pernikahan kita. Setelah sidang perceraian Mas selesai dan kamu juga harus cerai dari Awan.”Mata Jingga langsung berembun. “Aku nggak mau ketemu Awan.”“Kita temuin dia sama-sama.” Dipta mengerti ketakutan Jingga apalagi pengalaman pertama didapatkan Jingga karena
“Gue tahu lo kecewa sama Mama. Lo beneran nggak mau nemuin Mama?” tanya Bisma.“Daripada gue marah-marah ke Mama mending nggak dulu.” Bian masih merasakan kekecewaan yang mendalam.“Sekarang Mama nggak pura-pura lagi, gue sendiri yang nemuin dokternya. Mama bener-bener kena stroke.”Bukan Bian yang kaget tapi Aini yang membuka mulutnya dengan lebar saking kagetnya mendengar kabar soal ibu mertuanya. Kemarin mereka menganggap Bu Liana itu pura-pura tapi nyatanya memang terkena serangan jantung hingga membuatnya terkena stroke.Bukan hanya tidak bisa berjalan, Bu Liana juga tidak bisa bicara sama sekali.“Mas, kita lihat Mama ya,” pinta Aini, ia masih memiliki hati.“Sayang ....”“Mas, aku nggak mau kamu terus menjauhi Mama. Mungkin dengan kejadian ini Mama menyadari apa yang pernah diperbuatnya itu sebuah kesalahan. Aku nggak mau kamu jadi anak durhaka, Mas.” Aini menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Aini sudah menganggap Bu Liana sebagai ibunya meski perlakuan Bu Liana jauh da
“Mama kok bisa di sini?” Aini langsung berdiri menghampiri ibu mertuanya yang ada di ambang pintu, duduk di kursi roda.“Mama sudah keluar dari rumah sakit dan mau melihat Lyla,” ujar Bu Liana tapi pandangan matanya menghunus pada Nella yang tidak kalah tajam menatap Bu Liana.“Bukannya dokter bilang kalau Mama-”“Mama nggak tenang kalau ada di rumah sakit takutnya kamu didatangi orang bermuka dua ini,” potong Bu Liana tanpa mengalihkan pandangan dari Nella.Nella menyeringai, ia tahu Bu Liana kini mulai melakukan permainannya. Nella tidak akan langsung masuk tapi mengambil ancang-ancang.“Mbak Ai, kalau begitu aku permisi dulu ya. Lain kali aku main lagi,” pamit Nella.“Loh, kenapa?”“Bawaannya panas di sini. Ada yang terbakar tapi bukan api,” ucap Nella dengan senyum penuh arti, ia beralih pada Lyla yang sibuk dengan mainannya, “Lyla, Tante pulang dulu ya. Nanti main lagi ke sini.”“Tante, Lyla masih mau main
"Mas, ayo kita lihat Mama.""Kamu di sini aja, biar Mas yang kesana." Bian menahan Aini untuk tidak ikut."Tapi, Mas-""Nurut ya. Besok baru kamu boleh nengokin Mama. Aku juga sekalian ke pasar habis dari rumah sakit jadi kami mending nggak usah ikut.""Ya udah, semoga Mama nggak kenapa-kenapa."Aini merasa khawatir pada ibu mertuanya. Meskipun Bu Liana sering berbuat jahat tapi Aini tidak sampai hati jika harus senang atas berita yang didengarnya. Ia tetap menghormati Bu Liana sebagai ibu mertua."Mas berangkat ya." Bian langsung pergi setelah taksi online yang dipesannya datang.Alamat rumah sakit sudah dikirimkan oleh art Bu Liana. Bian mengubah tujuan langsung ke rumah sakit, terpaksa ia harus memesan mobil itu sampai nanti pulang lagi karena tidak ingin ribet apalagi harus menunggu lagi. Bian pun tidak akan lama di rumah sakit, hanya melihat kondisi ibunya setelah itu pulang."Nyonya di dalam, dari tadi men
POV Author“Aish! Kenapa juga aku harus memohon kayak gini, macam nggak ada cowok lain.” Nella melemparkan ponselnya sembarang arah lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia baru saja membaca ulang pesan yang kemarin malam dikirim pada Bian.Menjatuhkan harga diri, pikir Nella.Nella bukan wanita yang haus akan cinta, ia memang marah dan kecewa saat tahu ternyata ibu mertuanya itu menipunya metah-mentah. Mengatakan jika Bian tidak pernah menikah padahal nyatanya sudah menikah bahkan memiliki anak dari Aini.Tidak hanya marah pada Bu Liana tapi pada Bian dan juga Aini karena merasa dibohongi, ia merasa seperti orang bodoh karena hanya ia sendiri yang tidak tahu soal fakta besar ini.Setelah tahu fakta, Nella menurunkan orang kepercayaannya untuk mencari tahu soal apa yang terjadi sebenarnya, apakah memang kesengajaan. Nella tidak mau salah membenci orang.Tidak bisa dipungkiri jika ia merasa nyaman bersama dengan Bian tapi bicara
“Tadi pas aku lewat denger suara orang nangis, aku kira Lyla yang nyariin Mbak Ai ternyata aku salah,” jawab Mas Bian sambil tertawa.Aku pikir dia akan membongkar semuanya.“Salahnya apa?”“Ternyata Mbak Ai yang nangis.”Ya ampun, kenapa Mas Bian malah mengatakan itu.“Terus kamu nyelonong saja begitu? Ih, nggak sopan banget sih. Mbak Ai pasti marah.”“Tadi saja aku langsung diusir, aku hanya khawatir Lyla kenapa-napa.”“Syukurlah kalau Lyla nggak apa-apa. Tapi kamu itu bikin malu, Mas. Main masuk ke kamar orang saja.”Sekarang bisa bernapas lega saat mendengar suara langkah kaki mereka menjauh. Salahku memang karena lupa mengunci pintu kamar, besok malam aku harus mengunci pintu agar Mas Bian tidak main masuk ke dalam kamar dan kepergok seperti tadi, untung saja Bu Nella percaya kalau tidak akan semakin bahaya.Aku bangun lebih pagi berniat membersihkan halaman belakang setelah selesai memasukkan semu
“Sayang.”aku berjengit mendengar suara Mas Bian. Menoleh menatapnya menyembulkan kepala di celah pintu kamar mandi.“Kenapa, Mas?”“Kalau mau pesan makan sekalian kopi ya.”“Ya ampun, kamu cuman mau bilang itu doang keluar kamar mandi?” Aku geleng-geleng kepala dengan tingkah Mas Bian.“Iya.” Dia menjawab sambil tersenyum lebar lalu masuk lagi ke dalam kamar mandi.Dia tidak menyadari raut wajahku jadi tidak khawatir. Biarkan nanti Mas Bian membaca sendiri pesan dari Bu Nella. Aku jadi penasaran bagaimana reaksi Mas Bian nanti. Apa dia akan mengikuti keinginan Bu Nella atau tetap dengan pendiriannya untuk tidak ikut campur lagi dengan urusan ibu mertua.Tapi mendengar sampai membawa-bawa hukum, ngeri juga sebenarnya. Tapi jika memang Bu Nella dan keluarganya merasa tertipu itu hal wajar, aku saja marah saat Mas Bian diberitahu kalau aku sudah meningga
POV AiniTangisku pecah saat Mas Bian menarikku ke dalam pelukannya.Mas Bian percaya ini aku, istrinya. Buku nikah dan kalung ini yang memperkuat. Meski tanpa dua hal itu Mas Bian seharusnya merasakan kehadiranku, aku saja masih bisa mengingat suaranya meski bertahun-tahun tidak berjumpa seharusnya ia pun sama.“Aini ... Aini ....” Dia terus memanggil namaku dengan suara yang bergetar.“Iya, Mas. Ini Aini, istri Mas Bian.” Tanganku melingkar dengan erat di punggungnya. Menyalurkan kerinduan yang bertahun-tahun ditahan.“Maafin Mas, Aini. Dalam kondisi Mas yang seperti ini Mas susah sekali percaya pada orang.”Mas Bian menceritakan soal kenapa dia menganggapku sudah meninggal. Sudah pasti ibu mertuaku dalangnya, tega sekali beliau melakukan itu. Menghancurkan kehidupan anaknya sendiri hanya karena ego.Dengan kondisi Mas Bian seperti ini wajar Mas Bian mudah percaya apalagi bagi dia pasti tidak mungkin ibunya berbohong apalagi soal hal sebesar ini tapi siapa yang menyangka jika ibu me
POV Bian“Aini meninggal, Bi.”Deg!Jantungku seperti berhenti berdetak, hatiku remuk, dunia seolah runtuh di atas kepala. Belum selesai masalahku dengan penyakit ini sekarang malah mendengar kabar yang begitu menyayat hati.“Nggak mungkin, Ma. Aini baik-baik saja, dia nunggu aku pulang pasti.”“Tolong jangan gini, Bi. Kamu harus terima, Mama tahu semua ini berat buat kamu. Ikhlaskan biar Aini tenang di sana.”Dadaku sesak, air mata tak sanggup kutahan. Ditinggalkan orang yang dicintai itu begitu menyakitkan, saat aku berjuang untuk sembuh di sini. Aini malah pergi meninggalkan luka yang begitu dalam. Aku belum sempat membahagiakannya.Mama mengatakan Aini meninggal saat aku masih koma, meninggal bersama dengan anak yang sedang dikandungnya. Sakitnya berkali lipat, anak yang belum sempat kulihat rupanya juga pergi dibawa oleh Aini.Tuhan. Kenapa seberat ini cobaan yang Engkau berikan?Kepergian Aini membuatku tak ada lagi semangat untuk bisa sembuh, tidak ada lagi wajah cantiknya yang
“Bu Nella, seb-”“Argh!” Ibu mertuaku langsung menjerit sambil memegangi dadanya.“Mama kenapa?” Mas Bian dan Bu Nella langsung panik sedangkan aku sendiri masih berdiri mematung.“Sa-kit, mungkin penyakit jantung Mama kambuh,” ujarnya dengan suara lirih.Keningku berkerut. Sejak kapan ibu mertuaku memiliki penyakit jantung, setahuku tidak punya. Beliau bahkan tidak memiliki riwayat penyakit apapun.“Mungkin asam lambung Mama naik.” Mas Bian langsung buka suara.“Sakit sekali, ayo bawa Mama ke dokter.”“Mbak Ai, ambilkan kunci mobil di nakas kamar,” pinta Bu Nella.Aku pun bergegas mengambilkannya. Tidak tahu ibu mertuaku ini pura-pura atau memang sakit, takutnya jika memang sakit nanti aku yang disalahkan jika menahan dan berniat membongkar semuanya sekarang.Mereka pergi ke rumah sakit, tinggal aku dan Lyla berdua di rumah.Sekarang aku makin yakin jika ibu mertuaku memang takut aku membongkar semuanya pada Bu Nella. Lucu juga membuat ibu mertuaku ketakutan seperti ini, kalau memang