Setelah kondisinya tenang, Jingga menceritakan semuanya pada Dipta.Emosi. Sudah jelas apalagi ia tahu Awan menikahi Jingga hanya untuk menutupi masalah kemarin saja, hanya ingin menjaga nama baik keluarga Jingga.“Kamu mau ninggalin aku setelah tahu aku nggak perawan lagi?”Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari Jingga.Dipta menggeleng, menepis semua pemikiran kekasih hatinya itu. “Nggak, sayang. Mana mungkin Mas berpikir begitu.”“Aku takut kamu ninggalin aku, Mas.”Jelas saja Dipta tidak akan meninggalkan Jingga, ia sangat mencintai wanita itu. Seperti apapun kondisi Jingga akan diterimanya seperti Jingga yang juga menerima Dipta yang akan menyandang status duda beranak dua.“Mas akan bicara sama Ayah kamu nanti soal pernikahan kita. Setelah sidang perceraian Mas selesai dan kamu juga harus cerai dari Awan.”Mata Jingga langsung berembun. “Aku nggak mau ketemu Awan.”“Kita temuin dia sama-sama.” Dipta mengerti ketakutan Jingga apalagi pengalaman pertama didapatkan Jingga karena
Awan berbalik, terbelalak melihat Welly yang matanya sudah memerah dan berembun.“Sayang, aku bisa jelasin.”“Aku udah denger kok. Kamu … nikah sama Jingga? Nggak perlu jelasin apa-apa.” Suara Welly bergetar.Bu Neva tampak senang melihat anak dan menantunya dalam masalah.“Welly-”“Ma, aku pamit.” Welly berlalu sambil mengusap kasar air matanya.Rasa sesak memenuhi rongga dada membuat rasa sakit itu semakin kentara.Awan mengikutinya dari belakang.“Sayang. Dengerin dulu penjelasan aku.” Awan mencoba meraih tangan Welly.“Kita bicara di rumah, Mas!” Meski sedang emosi, Welly sadar di mana sekarang ia berada. Tidak akan mungkin membuat keributan di rumah mertuanya.Saat berangkat tadi, Welly terus berceloteh sedangkan kali ini wanita itu diam seribu bahasa. Sibuk mengusap pipinya yang terus basah. Istri mana yang tidak akan sakit hati saat tahu suaminya diam-diam menikah lagi. Apapun alasannya jelas tidak akan mungkin menghilangkan rasa sakit yang sudah digoreskan.Awan menceritakan s
“Ibu nggak berhak mengatur hidup aku terus, Bu. Aku juga punya catatan kebahagiaan aku sendiri.”“Berani ya sekarang!” Bu Rima melotot.“Tolong jangan lagi merecoki hidup aku. Kalau memang Ibu mau punya menantu kaya, ibu carikan aja buat Vika. Ibu bisa atur Vika sesuka Ibu.” Welly beranjak menuju kamarnya.Ia sudah sangat lelah selama ini selalu disetir oleh ibu tirinya itu. Welly yang memang orangnya penurut tidak pernah membantah tapi sekarang ia juga ingin memiliki kebebasan untuk memilih jalannya sendiri. Mungkin jika Bu Rima tidak tahu Awan orang kaya sudah pasti hubungannya akan ditentang.Mengikuti keinginan orang lain tidak lantas membuat bahagia. Welly sadar itu karena dari dulu ia terlalu fokus untuk membuat orang lain senang tanpa memikirkan perasaannya tapi kini ia lebih fokus pada dirinya sendiri apalagi sedang berbadan dua. Harus selalu memiliki suasana hati yang bagus.“Welly. Jangan merasa nggak enak hati, kalau terus ngikutin apa maunya ibu, nggak akan ada habisnya.”
Welly langsung tersedak, buru-buru ia meraih gelas meneguk cairan bening itu hingga tandas.“Mama,” gumamnya sambil menyusut bibirnya yang basah.“Siapa itu, neng Welly?”“Mama mertua saya, Bu. Saya duluan ya.” Welly beranjak meninggalkan tempat itu tidak ingat lagi pada bakso yang sedang dinikmatinya.“Mertuanya kelihatan masih muda, pakaian sama aksesorisnya juga wah banget. Pasti orang kaya.”“Tapi Awan sama Welly sederhana ya orangnya padahal orang tuanya Awan kaya.”Seorang tetangga yang baru datang langsung nimbrung. Seperti itulah ibu-ibu.Melihat Awan beberes rumah sudah pasti Bu Neva akan mengamuk. Secara anak kesayangannya itu selalu dimanja, tidak pernah melakukan pekerjaan rumah sekecil apapun dan hari ini lelaki itu melakukan pekerjaan rumah dengan sukarela.“Kamu ngapain, Wan?” Bu Neva mengerutkan keningnya melihat putranya itu.“Lagi mancing,” sahut Awan tanpa menoleh sedikitpun.“Ya ampun. Jadi kamu di sini dijadiin babu sama istri kamu? Kurang aj*r!”Awan melempar sap
“Nanti saya kirim satu orang ke rumah kamu buat beberes. Jangan nolak, ini biar anak saya nggak kamu jadiin babu.”Belum sempat Welly bicara, panggilan telepon itu lebih dulu diputus secara sepihak.Welly sudah lama bersahabat dengan yang namanya sabar. Meski ucapan orang lain banyak yang menyakiti hatinya tapi tidak ada sama sekali niatan untuk membalas.“Bukan aku yang bakalan nolak tapi Mas Awan.” Memikirkan perilaku orang-orang disekitarnya hanya akan membuat Welly pusing. Mulai sekarang ia akan melakukan apapun yang membuatnya bahagia karena dengan menuruti perkataan orang ia tidak akan bahagia yang ada tersiksa. Jika terus ada di bawah kaki orang, maka akan sulit bagi Welly merasakan kebahagiaan.Dari keluarga Awan ada yang memihaknya saat ini jadi Welly tidak akan takut lagi pada mertuanya. Karena dari apa yang ditangkapnya tadi Bu Neva takut pada Oma Lin. Sudah rahasia umum, dari dulu memang seperti itu karena Oma Lin yang masih memegang kuasa penuh soal perusahaan yang kini
“Mbak, mending pulang sana. Kalau Mas Dipta lihat Mbak di sini, jangan salahin saya kalau Mbak nanti kena marah.” Jingga memperingati disela rasa sakit yang dirasakan. Ia juga sebenarnya tidak ingin ada keributan nantinya.“Dasar pelakor nggak tahu diri!” Rahel yang masih emosi setelah mengetahui fakta kini kembali mendaratkan tangannya di rambut Jingga dan kembali menariknya dengan keras.“Aww! Lepas!” Dengan sisa tenaga Jingga mencoba melepaskan diri. Ia merasa kepalanya berdenyut karena tarikan kuat di rambutnya itu.“Kamu pasti udah goda Mas Dipta ya? Atau udah pernah tidur sama dia hah? Dasar jal*ng!”“Mama.” Samudra berdiri di ambang pintu kamar. Anak itu terusik dari tidurnya karena suara teriakan Rahel.Rahel bahkan tidak mengindahkan keberadaan anaknya itu.“Lepas, Mbak. Itu Sam lihat kita.”Tidak pantas di depan anak-anak memperlihatkan kekerasan seperti ini.“Bodo amat!” sembur Rahel berapi-api. Ia masih marah dan tidak terima saat tahu Dipta sudah menikah lagi padahal mere
Dirga menangkup wajah Jingga dengan lembut. “Jangan pernah sekali lagi kamu berpikir melenyapkan bayi nggak berdosa ini. Dengar, Mas sama sekali nggak ada pikiran buat meninggalkan kamu. Ini untuk sementara sampai kamu melahirkan, ka-”“Tuh 'kan. Mas mau ninggalin aku dengan alasan nitipin aku ke rumah Ibu.”Untung saja Dipta memang orangnya sabar, jadi pas sekali ia menikah dengan Jingga yang begitu kekanakan seperti ini.Dengan perlahan, Dipta menjelaskan status pernikahan mereka yang tidak sah karena Jingga hamil. Dipta sama sekali tidak ada niat untuk meninggalkan Jingga karena dari awal ia menerima apa adanya sebagaimana Jingga menerima segala kekurangan Dipta. Bukankah pasangan itu memang harus saling melengkapi kekurangan masing-masing? Bukannya mencari kekurangan pasangan dan melengkapinya dengan seseorang dari luar seperti apa yang orang saat ini sering lakukan atau bisa disebut selingkuh.Mungkin dulu juga apa yang dilakukan Dirga tidak benar karena ia memulai hubungan bersa
Jingga yang awalnya tersenyum keluar dari ruangan dokter kini senyum itu pun pudar.Sedangkan perasaan Awan langsung berkecamuk apalagi melihat kondisi Jingga yang sedang hamil.“Jingga.” Welly menyapa. Ia sama sekali tidak menyimpan rasa tidak suka pada Jingga karena semua yang ada di masa lalu sudah terjadi tak akan mungkin bisa diulang kembali.Dengan terpaksa Jingga tersenyum. “Mau cek kandungan, Wel?” Ia pun ikut basa-basi.“Iya, kamu ke sini sama-”Pintu ruangan itu kembali terbuka dan Dipta keluar menyusul Jingga, lelaki itu pun ikut kaget.“Suami aku.” Jingga merangkul lengan Dipta. Hanya ingin menegaskan saja agar Awan tidak berpikir terlalu jauh soal kehamilannya.“Ya ampun. Kalian udah nikah?” Welly nampak tidak percaya.“Iya. Maaf ya, aku nggak ngundang karena memang dadakan juga.”“Selamat ya. Jodoh em
“Gue tahu lo kecewa sama Mama. Lo beneran nggak mau nemuin Mama?” tanya Bisma.“Daripada gue marah-marah ke Mama mending nggak dulu.” Bian masih merasakan kekecewaan yang mendalam.“Sekarang Mama nggak pura-pura lagi, gue sendiri yang nemuin dokternya. Mama bener-bener kena stroke.”Bukan Bian yang kaget tapi Aini yang membuka mulutnya dengan lebar saking kagetnya mendengar kabar soal ibu mertuanya. Kemarin mereka menganggap Bu Liana itu pura-pura tapi nyatanya memang terkena serangan jantung hingga membuatnya terkena stroke.Bukan hanya tidak bisa berjalan, Bu Liana juga tidak bisa bicara sama sekali.“Mas, kita lihat Mama ya,” pinta Aini, ia masih memiliki hati.“Sayang ....”“Mas, aku nggak mau kamu terus menjauhi Mama. Mungkin dengan kejadian ini Mama menyadari apa yang pernah diperbuatnya itu sebuah kesalahan. Aku nggak mau kamu jadi anak durhaka, Mas.” Aini menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Aini sudah menganggap Bu Liana sebagai ibunya meski perlakuan Bu Liana jauh da
“Mama kok bisa di sini?” Aini langsung berdiri menghampiri ibu mertuanya yang ada di ambang pintu, duduk di kursi roda.“Mama sudah keluar dari rumah sakit dan mau melihat Lyla,” ujar Bu Liana tapi pandangan matanya menghunus pada Nella yang tidak kalah tajam menatap Bu Liana.“Bukannya dokter bilang kalau Mama-”“Mama nggak tenang kalau ada di rumah sakit takutnya kamu didatangi orang bermuka dua ini,” potong Bu Liana tanpa mengalihkan pandangan dari Nella.Nella menyeringai, ia tahu Bu Liana kini mulai melakukan permainannya. Nella tidak akan langsung masuk tapi mengambil ancang-ancang.“Mbak Ai, kalau begitu aku permisi dulu ya. Lain kali aku main lagi,” pamit Nella.“Loh, kenapa?”“Bawaannya panas di sini. Ada yang terbakar tapi bukan api,” ucap Nella dengan senyum penuh arti, ia beralih pada Lyla yang sibuk dengan mainannya, “Lyla, Tante pulang dulu ya. Nanti main lagi ke sini.”“Tante, Lyla masih mau main
"Mas, ayo kita lihat Mama.""Kamu di sini aja, biar Mas yang kesana." Bian menahan Aini untuk tidak ikut."Tapi, Mas-""Nurut ya. Besok baru kamu boleh nengokin Mama. Aku juga sekalian ke pasar habis dari rumah sakit jadi kami mending nggak usah ikut.""Ya udah, semoga Mama nggak kenapa-kenapa."Aini merasa khawatir pada ibu mertuanya. Meskipun Bu Liana sering berbuat jahat tapi Aini tidak sampai hati jika harus senang atas berita yang didengarnya. Ia tetap menghormati Bu Liana sebagai ibu mertua."Mas berangkat ya." Bian langsung pergi setelah taksi online yang dipesannya datang.Alamat rumah sakit sudah dikirimkan oleh art Bu Liana. Bian mengubah tujuan langsung ke rumah sakit, terpaksa ia harus memesan mobil itu sampai nanti pulang lagi karena tidak ingin ribet apalagi harus menunggu lagi. Bian pun tidak akan lama di rumah sakit, hanya melihat kondisi ibunya setelah itu pulang."Nyonya di dalam, dari tadi men
POV Author“Aish! Kenapa juga aku harus memohon kayak gini, macam nggak ada cowok lain.” Nella melemparkan ponselnya sembarang arah lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia baru saja membaca ulang pesan yang kemarin malam dikirim pada Bian.Menjatuhkan harga diri, pikir Nella.Nella bukan wanita yang haus akan cinta, ia memang marah dan kecewa saat tahu ternyata ibu mertuanya itu menipunya metah-mentah. Mengatakan jika Bian tidak pernah menikah padahal nyatanya sudah menikah bahkan memiliki anak dari Aini.Tidak hanya marah pada Bu Liana tapi pada Bian dan juga Aini karena merasa dibohongi, ia merasa seperti orang bodoh karena hanya ia sendiri yang tidak tahu soal fakta besar ini.Setelah tahu fakta, Nella menurunkan orang kepercayaannya untuk mencari tahu soal apa yang terjadi sebenarnya, apakah memang kesengajaan. Nella tidak mau salah membenci orang.Tidak bisa dipungkiri jika ia merasa nyaman bersama dengan Bian tapi bicara
“Tadi pas aku lewat denger suara orang nangis, aku kira Lyla yang nyariin Mbak Ai ternyata aku salah,” jawab Mas Bian sambil tertawa.Aku pikir dia akan membongkar semuanya.“Salahnya apa?”“Ternyata Mbak Ai yang nangis.”Ya ampun, kenapa Mas Bian malah mengatakan itu.“Terus kamu nyelonong saja begitu? Ih, nggak sopan banget sih. Mbak Ai pasti marah.”“Tadi saja aku langsung diusir, aku hanya khawatir Lyla kenapa-napa.”“Syukurlah kalau Lyla nggak apa-apa. Tapi kamu itu bikin malu, Mas. Main masuk ke kamar orang saja.”Sekarang bisa bernapas lega saat mendengar suara langkah kaki mereka menjauh. Salahku memang karena lupa mengunci pintu kamar, besok malam aku harus mengunci pintu agar Mas Bian tidak main masuk ke dalam kamar dan kepergok seperti tadi, untung saja Bu Nella percaya kalau tidak akan semakin bahaya.Aku bangun lebih pagi berniat membersihkan halaman belakang setelah selesai memasukkan semu
“Sayang.”aku berjengit mendengar suara Mas Bian. Menoleh menatapnya menyembulkan kepala di celah pintu kamar mandi.“Kenapa, Mas?”“Kalau mau pesan makan sekalian kopi ya.”“Ya ampun, kamu cuman mau bilang itu doang keluar kamar mandi?” Aku geleng-geleng kepala dengan tingkah Mas Bian.“Iya.” Dia menjawab sambil tersenyum lebar lalu masuk lagi ke dalam kamar mandi.Dia tidak menyadari raut wajahku jadi tidak khawatir. Biarkan nanti Mas Bian membaca sendiri pesan dari Bu Nella. Aku jadi penasaran bagaimana reaksi Mas Bian nanti. Apa dia akan mengikuti keinginan Bu Nella atau tetap dengan pendiriannya untuk tidak ikut campur lagi dengan urusan ibu mertua.Tapi mendengar sampai membawa-bawa hukum, ngeri juga sebenarnya. Tapi jika memang Bu Nella dan keluarganya merasa tertipu itu hal wajar, aku saja marah saat Mas Bian diberitahu kalau aku sudah meningga
POV AiniTangisku pecah saat Mas Bian menarikku ke dalam pelukannya.Mas Bian percaya ini aku, istrinya. Buku nikah dan kalung ini yang memperkuat. Meski tanpa dua hal itu Mas Bian seharusnya merasakan kehadiranku, aku saja masih bisa mengingat suaranya meski bertahun-tahun tidak berjumpa seharusnya ia pun sama.“Aini ... Aini ....” Dia terus memanggil namaku dengan suara yang bergetar.“Iya, Mas. Ini Aini, istri Mas Bian.” Tanganku melingkar dengan erat di punggungnya. Menyalurkan kerinduan yang bertahun-tahun ditahan.“Maafin Mas, Aini. Dalam kondisi Mas yang seperti ini Mas susah sekali percaya pada orang.”Mas Bian menceritakan soal kenapa dia menganggapku sudah meninggal. Sudah pasti ibu mertuaku dalangnya, tega sekali beliau melakukan itu. Menghancurkan kehidupan anaknya sendiri hanya karena ego.Dengan kondisi Mas Bian seperti ini wajar Mas Bian mudah percaya apalagi bagi dia pasti tidak mungkin ibunya berbohong apalagi soal hal sebesar ini tapi siapa yang menyangka jika ibu me
POV Bian“Aini meninggal, Bi.”Deg!Jantungku seperti berhenti berdetak, hatiku remuk, dunia seolah runtuh di atas kepala. Belum selesai masalahku dengan penyakit ini sekarang malah mendengar kabar yang begitu menyayat hati.“Nggak mungkin, Ma. Aini baik-baik saja, dia nunggu aku pulang pasti.”“Tolong jangan gini, Bi. Kamu harus terima, Mama tahu semua ini berat buat kamu. Ikhlaskan biar Aini tenang di sana.”Dadaku sesak, air mata tak sanggup kutahan. Ditinggalkan orang yang dicintai itu begitu menyakitkan, saat aku berjuang untuk sembuh di sini. Aini malah pergi meninggalkan luka yang begitu dalam. Aku belum sempat membahagiakannya.Mama mengatakan Aini meninggal saat aku masih koma, meninggal bersama dengan anak yang sedang dikandungnya. Sakitnya berkali lipat, anak yang belum sempat kulihat rupanya juga pergi dibawa oleh Aini.Tuhan. Kenapa seberat ini cobaan yang Engkau berikan?Kepergian Aini membuatku tak ada lagi semangat untuk bisa sembuh, tidak ada lagi wajah cantiknya yang
“Bu Nella, seb-”“Argh!” Ibu mertuaku langsung menjerit sambil memegangi dadanya.“Mama kenapa?” Mas Bian dan Bu Nella langsung panik sedangkan aku sendiri masih berdiri mematung.“Sa-kit, mungkin penyakit jantung Mama kambuh,” ujarnya dengan suara lirih.Keningku berkerut. Sejak kapan ibu mertuaku memiliki penyakit jantung, setahuku tidak punya. Beliau bahkan tidak memiliki riwayat penyakit apapun.“Mungkin asam lambung Mama naik.” Mas Bian langsung buka suara.“Sakit sekali, ayo bawa Mama ke dokter.”“Mbak Ai, ambilkan kunci mobil di nakas kamar,” pinta Bu Nella.Aku pun bergegas mengambilkannya. Tidak tahu ibu mertuaku ini pura-pura atau memang sakit, takutnya jika memang sakit nanti aku yang disalahkan jika menahan dan berniat membongkar semuanya sekarang.Mereka pergi ke rumah sakit, tinggal aku dan Lyla berdua di rumah.Sekarang aku makin yakin jika ibu mertuaku memang takut aku membongkar semuanya pada Bu Nella. Lucu juga membuat ibu mertuaku ketakutan seperti ini, kalau memang