Aluna sudah lebih dulu tiba di depan rumah orang tuanya. Ia melangkah pelan, membawa beban berat di dada. Taksi online yang mengantarnya baru saja berlalu, meninggalkan jejak debu tipis di jalan. Kini, wanita berhijab itu berdiri mematung, ragu-ragu untuk mengetuk pintu.Tangannya terulur, lalu berhenti di udara. Baru setelah menarik napas panjang, Aluna mengetuk pelan. Tak perlu waktu lama, pintu terbuka. Wajah seorang wanita tua menyembul dari baliknya—wajah ibunya, Murni, dengan keriput yang menghiasi kulit dan uban yang mulai mendominasi rambutnya.Tatapan Murni langsung melembut, namun penuh luka yang terlihat jelas di matanya. Aluna segera meraih tangan kurus itu, mengecupnya dengan mata terpejam. Air mata jatuh tanpa permisi, membasahi kulit ibunya yang hangat namun rapuh.Murni, tanpa berkata sepatah kata pun, menarik Aluna ke dalam pelukannya. Tangis kedua wanita itu pecah, menggema di rumah kecil itu. Danu, ayah Aluna, muncul dari balik pintu ruang tengah. Wajahnya berubah t
Aluna duduk di ujung tempat tidur, memandang tumpukan pakaian dan barang-barangnya yang sudah terkemas rapih di koper. Hatinya berdegup cepat, bukan karena kegembiraan, tetapi karena kebingungannya yang semakin dalam. Selama bertahun-tahun, dia menahan perasaan, berusaha menjadi istri yang baik bagi Faisal, dan menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang terasa seperti sebuah rutinitas tanpa akhir di rumah mertuanya.Dia sedang dilema. Antara harus pergi meninggalkan rumah ini atau tetap bertahan dan menghadapi badai rumah tangga yang tak pernah berakhir. Sebagai seorang istri yang baik, memang seharusnya dia tidak boleh pergi selangkah pun tanpa seizin suaminya.Akan tetapi, jika dia terus diam. Maka harga dirinya akan terus diinjak-injak oleh madunya juga keluarga suaminya. Aluna pergi bukan karena ia tidak patuh pada suami. Tetapi dia harus menjaga mental dan kewarasan, terlebih saat ini dia sedang hamil. Lagipula, dia pergi ke tempat Faisal juga. Sebuah apartemen milik suaminya yan
Aluna menjalani kehidupannya seperti biasa. Pagi hari dia bersiap berangkat ke kantor tempat dia bekerja. Dia berusaha terlihat tenang meski segala beban memenuhi pikirannya.‘’Aluna!’’ sahut Bastian saat melihat wanita itu berjalan di koridor kantor menuju ruangannya.Langkah Aluna terhenti, memutar badan menoleh ke arah seseorang yang memanggil namanya.‘’Pak Bastian?’’ Aluna sedikit membungkukkan badan, memberi hormat pada atasannya.‘’Jangan panggil, Pak, panggil saja Bastian.’’ Pria itu kini berdiri di hadapan Aluna.‘’Tidak, Pak, Anda ini atasan saya. Sangat tidak sopan jika saya harus memanggil nama,’’ tolak Aluna tersenyum ramah.‘’Ya udah gak apa-apa kalau begitu. Oh iya, Aluna, lusa nanti kamu ikut saya untuk mempromosikan kerjasama kita pada klien. Kita bersaing dengan beberapa perusahaan untuk mendapatkan projek ini,’’ perintah Bastian.‘’Baik, Pak, akan saya catat jadwalnya. Lusa kan, Pak?’’ ucap Aluna.‘’Ya, lusa.’’ Bastian menatap Aluna yang sedang mencatat jadwa perte
‘’Aluna? Kenapa kamu di sini?’’ suara Megan bernada tajam .‘’Aku hanya ada urusan sebentar,’’ jawab Aluna mencoba terdengar santai.Megan memandangnya dari ujung kepala hingga kaki, seolah-olah sedang menilai sesuatu. ‘’Urusan? Ah- aku tahu kenapa kamu di sini.;; Megan melanjutkan, suaranya semakin tajam. ‘’Kamu pasti ingin memeriksakan kehamilan, ya? Sayangnya, aku rasa kamu sudah terlambat untuk itu. Kamu harus sadar kalau Faisal tak akan pernah peduli lagi denganmu.’’Kata-kata itu menohok hati Aluna. Ia berusaha tetap tenang, tetapi dalam hatinya, luka lama kembali menganga. Megan selalu punya cara untuk membuatnya merasa kecil.‘’Kalau begitu semoga urusanmu cepat selesai,’’ ujar Megan dingin sebelum kembali ke tempat duduknya.Aluna menarik napas panjang dan memilih untuk tidak melanjutkan percakapan. Ia tahu Megan hanya ingin memancing emosi, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sejak dulu.Setelah mengetahui keberadaan Megan di sini. Aluna memilih untuk menunggu waktu istirah
‘’Adrian, aku datang ke sini bukan untuk memeriksakan diri. Tapi, ada hal penting yang ingin aku tanyakan,’’ ujar Aluna suaranya menjadi lebih serius.Aluna membuka tas kecil yang disandangnya, mengeluarkan sebuah berkas yang dia temukan di apartemen, kemudian dia berikan pada Adrian, dokter yang dia cari yang ternyata adalah teman lamanya.‘’Aku ingin meminta bantuan darimu.’’ Aluna meletakkan berkas itu di atas meja.’’Adrian menatapnya dengan alis sedikit terangkat. ‘’Tentu. Apa itu? Aku akan membantu semampuku.’’Pria itu meraih berkas yang diletakkan Aluna di atas meja kerjanya. Membacanya dengan seksama. Kedua alis pria itu saling bertautan, sesaat memandang ke arah Aluna lalu kembali menatap kertas di tangannya.‘’Dari mana kamu punya kertas ini dan … apa yang bisa kubantu?’’ tanya Adrian masih mencerna maksud dan keinginan Aluna.‘’Itu berkas seorang pasien yang memeriksakan kandungannya kepadamu, bukan? Aku menemukannya di apartemen.’’‘’Lalu? Apa hubungannya denganmu? Kamu m
‘’Kamu tidak bisa hamil?’’ Sarah tercengang mendengar pengakuan Megan, putrinya. Megan menangis tersedu di hadapan ibunya. Dia tidak berani mengatakan hal ini pada Nando, sebab Nando sudah sangat mengharapkan keturunan dari pernikahan mereka.‘’Iya, Bu. Dokter bilang, kemungkinannya sangat tipis. Bagaimana ini, Bu? Aku takut Nando meninggalkanku.’’ Tangis Megan kian pecah.Suaranya sampai terdengar keluar kamar. Kebetulan Adelia tengah melintas di depan kamar mertuanya. Dia mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh ipar dan mertuanya itu.‘’Mbak Megan mandul?’’ gumam Adelia pelan. Benaknya seketika teringat pada Nando, ayah biologis dari bayi yang sedang dikandungnya. Tepatnya, suami dari Megan.Tak sadar Adelia mengelus perutnya yang sudah membesar. Hasil hubungan gelapnya bersama Nando.Adelia memilih segera ke kamar setelah mengetahui sebuah rahasia yang didengarnya dari mulut mertua serta iparnya. **Saat malam menjelang, seperti biasa seluruh anggota keluarga berkumpul di sebu
‘’Mbak Aluna bicara apa sih?’’ Adelia bangkit berdiri, matanya membakar dengan kemarahan yang tak bisa lagi disembunyikan. Dia merasa dihina, dan kata-kata Aluna yang seperti sengaja memancing amarahnya membuat darahnya mendidih. ‘’Aku tahu Mbak iri, Mbak cemburu karena Mas Faisal lebih memperhatikan aku selama ini. Makanya Mbak Aluna ngomongnya ngawur kayak gitu!’’ Adelia melontarkan kata-kata itu dengan suara tinggi, penuh kebencian.‘’Kamu benar-benar sudah keterlaluan memang, Aluna!’’ Sarah menyahut tajam, tatapannya seakan bisa membakar Aluna hidup-hidup. Rahangnya mengeras, tangan gemetar menahan amarah yang sudah hampir meluap. ‘’Kalau kedatanganmu ke rumah ini hanya untuk membuat gaduh, sebaiknya kamu kembali saja ke apartemen! Tak perlu lagi menunjukkan wajahmu di hadapanku! Jangan buat aku naik darah!’’ Suaranya bergetar, namun tak ada sedikit pun keraguan dalam kata-katanya.Aluna tetap tenang, meskipun dia tahu betul apa yang sedang dia hadapi. Dia menyipitkan matanya, sen
Aluna berdiri di carport rumah mereka, tubuhnya kaku dengan raut wajah penuh ketegasan. Ia menatap Faisal, suaminya, yang kini berdiri di depannya dengan wajah penuh harap dan kebingungan. Wajah Faisal yang biasanya penuh dengan senyuman kini terlihat muram, matanya memancarkan ketakutan akan kehilangan.Faisal melangkah maju, berusaha meraih tangan Aluna, tetapi dengan cepat Aluna menepisnya. Gerakan tangannya begitu tegas, seolah ingin memberi jarak antara mereka yang semakin melebar."Aluna, tolong jangan pergi!" Faisal memohon, suaranya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, seolah memohon kepada Tuhan agar bisa membalikkan keputusan yang telah diambil oleh istrinya.Aluna menatap suaminya dengan tajam. Matanya yang biasanya lembut kini dipenuhi kemarahan dan kekecewaan. Ia merasa cukup lama disakiti, merasa terhimpit dalam hubungan yang dipenuhi dengan tekanan dari keluarga Faisal yang tak pernah memberi ruang untuknya."Aku h
‘’Megan, Shela, kalian temui Aluna. Bujuk dia agar mau kembali dengan Faisal,’’ titah Sarah pada kedua putrinya.‘’Aku rasa Mbak Aluna tak akan begitu saja menerima apa yang telah kalian lakukan kepadanya selama ini. Mulut kalian terlalu jahat dan banyak menyakiti hati Mbak Aluna. Dia pantas meskipun tidak memaafkan kalian. Bahkan, kalian juga yang telah membuat hubungan Mbak Aluna dengan Mas Faisal berantakan,’’ tukas Oliv.‘’Perkataanmu itu bukan hanya untuk Megan dan Shela kan? Tapi juga untuk ibu,’’ sergah Sarah, merasa tersindir.‘’Aku tidak bilang begitu, tapi jika ibu merasa tersindir berarti ibu sama seperti mereka.’’ Oliv begitu santainya berkata demikian.‘’Sudah mulai kurang ajar kamu sama Ibu?’’ seloroh Megan, merasa adiknya sudah tidak sopan.‘’Aku hanya mengatakan fakta. Permintaan maaf kalian terhadap Mas Faisal bahkan belum tulus. Buktinya kalian masih merasa tidak berdosa atas apa yang kalian lakukan.’’ Olive menghela napas panjang dalam sejenak. ‘’Mudah sekali bagia
Aluna mengintip di balik kaca jendela kamarnya. Melihat kepergian Faisal dengan langkah gontai setelah mendapat penolakan dari sang ayah ketika pria itu ingin bertemu dengannya.Rasa kecewa kedua orang tua Aluna begitu besar terhadap Faisal. Pria yang mereka pikir akan bertanggung jawab penuh dan menjamin kebahagiaan putri mereka, namun justru sebaliknya. Faisal malah menorehkan luka yang paling dalam, terlebih saat ini Aluna sedang hamil muda.Gurat penyesalan terlukis di wajah Faisal yang menghentikan langkah sejenak, melirik ke arah jendela. Seolah tahu di sana Aluna tengah memperhatikannya. Gegas tangan Aluna melepas tirai yang semula disibaknya sedikit. Perasaan cinta masih tersimpan di dalam hati Aluna terhadap suaminya, tetapi rasa sakit dan kecewa pun tak kalah besar dari rasa cintanya pada pria itu.Aluna belum punya keputusan apa-apa untuk menentukan nasib rumah tangganya. Mobil Faisal terdengar pergi meninggalkan halaman rumah Aluna. Separuh jiwa Aluna seakan ikut pergi be
Suasana di rumah sakit tampak cemas. Koridor-koridor yang biasanya sibuk dengan lalu-lalang orang, seolah terhenti sejenak ketika berita buruk datang. Sarah, ibu dari Faisal, Megan, Shela, dan Oliv, terjatuh di rumah akibat serangan jantung mendadak. Dengan tergesa-gesa, ia dibawa ke rumah sakit, namun keadaan Sarah tetap belum stabil. Faisal, anak laki-laki satu-satunya di keluarga Aditama, tampak kebingungan dan cemas, berdiri di ruang tunggu rumah sakit dengan mata yang penuh kekhawatiran.Melihat Faisal yang semakin gelisah, Megan dan Shela mencoba memberikan dukungan, tetapi mereka sendiri pun tak bisa menyembunyikan kecemasan mereka. Oliv, anak bungsu yang masih remaja, hanya bisa terdiam di sudut ruang tunggu, berusaha keras menahan air matanya. Tapi tidak ada yang bisa menandingi beban pikiran Faisal. Tidak hanya memikirkan ibunya yang terbaring lemah, namun juga nasib rumah tangganya yang sedang berada di ujung tanduk.Faisal mendoakan ibunya dengan penuh harapan, berharap Sa
‘’Aku akan pergi, tapi aku akan membawa suamimu,’’ tegas Adelia dengan tatapan nyalang. Perkataannya membuat semua yang ada di sana sangat terkejut. Sedang Nando semakin gelisah karena ucapan Adelia barusan.Adelia membongkar kebusukan Nando, suami Megan. "Suamimu yang telah menghamiliku. Kau pasti tidak tahu kan, jika Mas Nando itu kekasihku?"Megan terdiam, mulutnya tercekat oleh kata-kata Adelia yang begitu tajam. Pandangannya yang semula tajam berubah kabur, seperti ada yang menghimpit dadanya. "Apa maksudmu, Adelia? Jangan bicara sembarangan!" jawab Megan, suaranya bergetar.Nando pun segera membela diri, berusaha untuk menutupi kebohongannya yang sudah terancam terbongkar. "Jangan dengarkan dia, Megan! Ini semua hanya fitnah. Adelia hanya ingin menghancurkan hidup kita!"Namun, semua yang ada di ruangan itu tampak terkejut mendengar pengakuan Adelia. Jantung Megan berdebar kencang, rasa sakit mulai merambat dalam dirinya. Adelia melanjutkan, "Megan, aku hanya ingin kau tahu kebe
Aluna berdiri di carport rumah mereka, tubuhnya kaku dengan raut wajah penuh ketegasan. Ia menatap Faisal, suaminya, yang kini berdiri di depannya dengan wajah penuh harap dan kebingungan. Wajah Faisal yang biasanya penuh dengan senyuman kini terlihat muram, matanya memancarkan ketakutan akan kehilangan.Faisal melangkah maju, berusaha meraih tangan Aluna, tetapi dengan cepat Aluna menepisnya. Gerakan tangannya begitu tegas, seolah ingin memberi jarak antara mereka yang semakin melebar."Aluna, tolong jangan pergi!" Faisal memohon, suaranya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, seolah memohon kepada Tuhan agar bisa membalikkan keputusan yang telah diambil oleh istrinya.Aluna menatap suaminya dengan tajam. Matanya yang biasanya lembut kini dipenuhi kemarahan dan kekecewaan. Ia merasa cukup lama disakiti, merasa terhimpit dalam hubungan yang dipenuhi dengan tekanan dari keluarga Faisal yang tak pernah memberi ruang untuknya."Aku h
‘’Mbak Aluna bicara apa sih?’’ Adelia bangkit berdiri, matanya membakar dengan kemarahan yang tak bisa lagi disembunyikan. Dia merasa dihina, dan kata-kata Aluna yang seperti sengaja memancing amarahnya membuat darahnya mendidih. ‘’Aku tahu Mbak iri, Mbak cemburu karena Mas Faisal lebih memperhatikan aku selama ini. Makanya Mbak Aluna ngomongnya ngawur kayak gitu!’’ Adelia melontarkan kata-kata itu dengan suara tinggi, penuh kebencian.‘’Kamu benar-benar sudah keterlaluan memang, Aluna!’’ Sarah menyahut tajam, tatapannya seakan bisa membakar Aluna hidup-hidup. Rahangnya mengeras, tangan gemetar menahan amarah yang sudah hampir meluap. ‘’Kalau kedatanganmu ke rumah ini hanya untuk membuat gaduh, sebaiknya kamu kembali saja ke apartemen! Tak perlu lagi menunjukkan wajahmu di hadapanku! Jangan buat aku naik darah!’’ Suaranya bergetar, namun tak ada sedikit pun keraguan dalam kata-katanya.Aluna tetap tenang, meskipun dia tahu betul apa yang sedang dia hadapi. Dia menyipitkan matanya, sen
‘’Kamu tidak bisa hamil?’’ Sarah tercengang mendengar pengakuan Megan, putrinya. Megan menangis tersedu di hadapan ibunya. Dia tidak berani mengatakan hal ini pada Nando, sebab Nando sudah sangat mengharapkan keturunan dari pernikahan mereka.‘’Iya, Bu. Dokter bilang, kemungkinannya sangat tipis. Bagaimana ini, Bu? Aku takut Nando meninggalkanku.’’ Tangis Megan kian pecah.Suaranya sampai terdengar keluar kamar. Kebetulan Adelia tengah melintas di depan kamar mertuanya. Dia mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh ipar dan mertuanya itu.‘’Mbak Megan mandul?’’ gumam Adelia pelan. Benaknya seketika teringat pada Nando, ayah biologis dari bayi yang sedang dikandungnya. Tepatnya, suami dari Megan.Tak sadar Adelia mengelus perutnya yang sudah membesar. Hasil hubungan gelapnya bersama Nando.Adelia memilih segera ke kamar setelah mengetahui sebuah rahasia yang didengarnya dari mulut mertua serta iparnya. **Saat malam menjelang, seperti biasa seluruh anggota keluarga berkumpul di sebu
‘’Adrian, aku datang ke sini bukan untuk memeriksakan diri. Tapi, ada hal penting yang ingin aku tanyakan,’’ ujar Aluna suaranya menjadi lebih serius.Aluna membuka tas kecil yang disandangnya, mengeluarkan sebuah berkas yang dia temukan di apartemen, kemudian dia berikan pada Adrian, dokter yang dia cari yang ternyata adalah teman lamanya.‘’Aku ingin meminta bantuan darimu.’’ Aluna meletakkan berkas itu di atas meja.’’Adrian menatapnya dengan alis sedikit terangkat. ‘’Tentu. Apa itu? Aku akan membantu semampuku.’’Pria itu meraih berkas yang diletakkan Aluna di atas meja kerjanya. Membacanya dengan seksama. Kedua alis pria itu saling bertautan, sesaat memandang ke arah Aluna lalu kembali menatap kertas di tangannya.‘’Dari mana kamu punya kertas ini dan … apa yang bisa kubantu?’’ tanya Adrian masih mencerna maksud dan keinginan Aluna.‘’Itu berkas seorang pasien yang memeriksakan kandungannya kepadamu, bukan? Aku menemukannya di apartemen.’’‘’Lalu? Apa hubungannya denganmu? Kamu m
‘’Aluna? Kenapa kamu di sini?’’ suara Megan bernada tajam .‘’Aku hanya ada urusan sebentar,’’ jawab Aluna mencoba terdengar santai.Megan memandangnya dari ujung kepala hingga kaki, seolah-olah sedang menilai sesuatu. ‘’Urusan? Ah- aku tahu kenapa kamu di sini.;; Megan melanjutkan, suaranya semakin tajam. ‘’Kamu pasti ingin memeriksakan kehamilan, ya? Sayangnya, aku rasa kamu sudah terlambat untuk itu. Kamu harus sadar kalau Faisal tak akan pernah peduli lagi denganmu.’’Kata-kata itu menohok hati Aluna. Ia berusaha tetap tenang, tetapi dalam hatinya, luka lama kembali menganga. Megan selalu punya cara untuk membuatnya merasa kecil.‘’Kalau begitu semoga urusanmu cepat selesai,’’ ujar Megan dingin sebelum kembali ke tempat duduknya.Aluna menarik napas panjang dan memilih untuk tidak melanjutkan percakapan. Ia tahu Megan hanya ingin memancing emosi, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sejak dulu.Setelah mengetahui keberadaan Megan di sini. Aluna memilih untuk menunggu waktu istirah