Ronggo, pemuda itu menatap Rawai Tingkis dengan pandangan yang berbeda. Seolah dari sinar matanya ada dendam dan penyesalan yang bercampur menjadi satu. Ada amarah tapi juga ada simpati yang disembunyikan olehnya.Tatapan yang membuat Rawai Tingkis merasa bimbang untuk mengakhiri hidup pemuda tersebut.“Aghkkk!” Rawai Tingkis menusukan mata pedangnya, dan kini Ronggo terlihat menutup mata.Begitu aneh jika seorang mesin pembunuh seperti Ronggo menutup mata saat menemui ajalnya.Namun.“Rawai Tingkis …?” Ronggo berkata serak, saat mengetahui bahwa mata pedang Rawai Tingkis tidak menembus batang lehernya, hanya menikam tanah yang berada dua jari dari leher pemuda tersebut.“Pergilah!” ucap Rawai Tingkis.Remaja itu menarik lagi pedangnya, lalu melangkahkan kaki untuk pergi meninggalkan Ronggo.Sementara itu, Ronggo menatap punggung Rawai Tingkis yang perlahan hilang di balik puing-puing bangunan.“Bukan kami, bukan kami orang yang terpilih …tapi dirimu, Rawai Tingkis …” ucap Ronggo, lal
“Yang Mulia Prabu dan yang lain, bersembunyilah di balik semak!” salah satu prajurit menginstruksikan, lalu dia menarik pedang,Bersiap untuk menghadapi kemugkinan musuh yang akan menyerang.Sementara itu, Selasih Ayu langsung ditarik oleh bibinya, alias Sang Ratu, dan Pangeran Tamblang yang sombong, lebih dahulu bersembunyi.Semakin lama, suara langkah kaki semakin mendekati mereka. Para prajurit menenal ludah pahit, dengan wajah berkeringat dingin saat ini.Lau tiba-tiba.“Yang Mulia Prabu, ini aku…” muncul sesosok orang dari balik pohon yang ada di hadapan prajurit. “Empu Lanar.”“Empu Lanar?” tanya salah satu prajurit.“Benar, hamba Empu Lanar.”“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Prabu Dera.“Maaf Yang Mulia Prabu, aku akan menjelaskannya nanti, sekarang ikut aku ke tempat persembunyian.”Awalnya, Pangeran Tamblang sedikit ragu dengan ucapan Empu Lanar, tapi pada akhirnya dia tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti Empu Lanar, sebab Raja dan yang lainnya telah pergi membuntut
Satria suci dari Pulau Tengkorak tidak tahu siapa yang menyerang mereka, karena saat ini mereka berada di tengah selat.Namun yang jelas, benda yang menerjang mereka adalah puntung kayu yang berukuran cukup besar. Puntung itu tampaknya dilempar dari pulau di seberang, oleh seseorang yang memiliki kekuatan setara dengan satria suci itu sendiri, atau mungkin lebih kuat lagi.Dari Pulau Tengkorak butuh waktu sekitar beberapa puluh menit agar tiba di pulau seberang jika kondisi laut sedikit buruk.Namun jika angin dan laut yang berpihak, kapal bisa tiba ke seberang pulau hanya dalam 30 sampai 40 menit saja. Ya, tergantug dari cuaca.Dari Pulau Tengkorak menuju pulau selanjutnya mungkin tidak terlalu jauh, tapi itu bisa dirasa sangat jauh jika diukur dari lemparan benda yang menghantam kapal mereka.Ya, tentu saja tidak ada seorang manusia yang bisa melempar puntung kayu dari jarak seperti ini, kecuali mungkin satria suci.Namun, jelas itu bukan dari Pulau Tengkorak, karena bagaimanapun, s
Beberapa saat kemudian, pertempuran yang terjadi di tengah selat yang melibatkan dua aliran satria suci akhirnya selesai dalam waktu yang tidak terlalu lama.Kapal besar yang mengangkut pasukan dari Pulau Tengkorak, kini hanya tersisa puing-puing papan dan kayu yang terombang-ambing di lautan.Semua satria suci yang dikirim oleh Pangeran Nundru telah ditenggelamkan ke dasar lautan.Sekarang terlihat, tubuh Senopati Kauman terombang-ambing diantara buih lautan. Ada banyak luka di sekujur tubuh pria tersebut, luka parah yang ada di perut dan tebasan yang ada di tengah dada.Salah satu matanya buta karena sebuah benda, sementara satu telingannya juga dirobek oleh lawannya.Lalu entah apa yang terjadi dengan Senopati Kauman, sebab tubuhnya kini mulai menghilang ditelan gulungan ombak yang dahsyat.Di sisi lain lagi, tiga satria suci yang dikirim bangsawan dunia telah tiba di Pulau Tengkorak.Ketiga orang itu kehilangan pakaiannya, tapi tubuh mereka tampaknya tidak mendapatkan luka yang be
Di Istana Indra Pura, para prajurit masih menuggu kedatangan Senopati Kauman dengan harap-harap cemas.Tidak ada satupun orang yang tidur di malah hari, kecuali mereka akan dihantui oleh ketakutan yang teramat sangat, kecuali Rawai Tingkis.Para Senopati dan Patih telah memberikan perintah untuk memperbaiki semua ranjau, meski harus memakan biaya yang sangat mahal.Namun dua hari setelah ranjau itu dibuat, tidak ada tanda-tanda musuh datang menyerang. Ini membuat mereka merasa sangat heran.“Apa musuh tidak jandi menyerang kita ya?” tanya salah satu prajurit, seraya mengasah pedangnya.Prajurit yang lain terlihat memperbaiki perban yang melilit di tubuhnya, lalu menjawab, “Jangan lengah! Bisa saja mereka memang sengaja melakukannya, agar pertahanan kita berkurang, dan pada saat itu mereka datang secara tiba-tiba dan menghancurkan semuanya!”Satu hari telah berlalu, kemudian satu hari lagi, dan satu hari lagi, tapi musuh tidak juga kunjung datang menyerang.Hal ini membuat banyak prasa
Dua prajurit yang diutus oleh Prabu Dera kini membawa perintah, agar Senopati Danur Jaya menjemput dirinya kembali ke istana.“Untuk sementara, Kondisi Istana dalam keadaan baik-baik saja, jadi aku akan akan menyiapkan pasukan untuk menjemput Yang Mulia Raja.” Senopati Danur Jaya mulai menyiapkan beberapa kereta, tapi ketika Rawai Tingkis mendengar hal itu, remaja itu dengan cepat menawarkan diri ingin pergi ke rumah Empu Lanar.Awalnya, Senopati Danur Jaya tidak mengizinkan, tapi Rawai Tingkis malah mengancam akan pergi dari Istana.Pada akhirnya, senopati itu tidak punya pilihan lain, kecuali mengikuti keinginan Rawai Tingkis.Setelah tiba di kediaman Empu Lanar, Rawai Tingkis malah memutuskan tinggal di tempat tersebut untuk sementara waktu.“Tenang saja, aku tidak akan meninggalkan istana dalam keadaan tidak jelas seperti ini,” ucap Rawai Tingkis, “lagipula, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan kepada Empu Lanar.”Setelah terjadi diskusi yang cukup panjang, akhirnya Prabu Dera men
Sudah tiga hari lamanya mereka meninggalkan Istan Indra Pura, dan perjalanan ini membuat Senopati Danur Jaya mengalami emosi yang naik turun karena ulah Rawai Tingkis.Bagaimana tidak, selain buta arah, Rawai Tingkis ini acap kali memesan makanan terlampau banyak setiap kali singgah di kedai makanan, padahal dia tidak membawa uang sama sekali.Belum lagi dia akan tertidur di sembarang tempat, yang tentu saja akan membuat perjalanan ini semakin bertambah lama.Sampai di suatu hari, mereka tiba di sebuah desa yang telah luluh lanta. Tidak ada rumah yang layak huni di desa tersebut, dan tampaknya ada yang melakukan kerusakan belum lama ini.Rawai Tingkis berjalan ke arah bangunan yang masih mengepulkan asap tipis, lalu menarik satu kayu di balik atap rumah.Sedetik kemudian, mata remaja itu mendadak tertutup, sebelum kemudian menarik nafas panjang.“Apa yang terjadi?” tanya Senopati Danur Jaya.Rawai Tingkis tidak menjawab, melainkan pergi ke bangunan yang lain, dan melakukan hal yang sa
Setelah anak itu berhenti menangis, dia menarik tangan Rawai Tingkis masuk melewati akar sulur yang memenuhi sebatang pohon beringin tua.“Aku tidak sendirian Kakan, masih ada yang lain,” ucap bocah kecil itu.Danur Jaya nyaris menangis saat melihat kondisi anak-anak kecil dibalik tirai akar sulur. Kondisi anak-anak ini sangat memprihatinkan, ada yang terluka cukup parah, ada pula yang mengalami luka bakar pada bagian tangannya, hingga nampak jari-jemari bocah itu mengeriput.“Bantu aku membuat gerobak!” pinta Danur Jaya, langsung menarik tubuh Rawai Tingkis keluar dari balik akar sulur.Rawai Tingkis ditugaskan membuat roda dari pohon, sementara Danur Jaya berusaha membuat gerobak dari bambu yang dia temukan di tempat tersebut.Setelah berhasil, menciptakan gerobak, Rawai Tingkis dan Danur Jaya membawa semua anak-anak. Mereka berniat untuk membawa mereka ke kota terdekat, dan mendapatkan pertolongan dari tabib yang ada di kota tersebut.“Cepat Rawai, Cepat!” teriak Danur Jaya, seraya