Tiga hari lamanya, Danur Jaya mencari Rawai Tingkis siang dan malam, dia bahkan telah menyerah saat ini.Mencari keberadaan orang bodoh, tampaknya lebih sulit dibandingkan mencari jarum di tumpukan jerami, beginilah yang dipikirkan Rawai Tingkis.Sampai dia sendiri tidak tahu lagi kemana arah jalan menuju Pulau Tengkorak, karena fokus mencari Rawai Tingkis.Sampai akhirnya pemuda itu tiba di desa lainnya, yang kali ini sedikit lebih ramai dan tampak masih aman.Jalan utama dipenuhi oleh beberapa penjalan kaki, tampak pula ayam dan itik berkeliaran di jalanan tersebut.Sesekali Danur Jaya melihat pak tani memikul gabah, dan ini membuktikan bahwa desa ini masih sangat tentram.Ketika dia berjalan melewati jalanan utama desa tersebut, sayup-sayup Danur Jaya mendengar suara gelak tawa beberapa orang di dalam kedai.Iseng, Danur Jaya pergi menuju kedai tersebut, berniat memesan segelas air dan makanan untuk menganjal perutnya.Namun tanpa dia duga, rupanya Rawai Tingkis berada di dalam ked
Setelah berhasil menghabisi dua satria suci itu, Rawai Tingkis dan Danur Jaya mulai bertanya kepada beberapa warga mengenai jalan menuju Pulau Tengkorak.Namun di sini, tampak jelas jika banyak warga yang merasa takut dengan keberadaan Rawai Tingkis, yang mereka anggap sangat tidak normal ini.Melihat kekejaman Rawai Tingkis dalam menghadapi Satria Suci, mereka berpikir jika remaja itu mungkin pada akhirnya akan menjadi monster yang sangat mengerikan.Belum lagi usia Rawai Tingkis yang masih remaja membuat mereka berpikir bahwa tinggal menunggu waktu sampai usianya menjadi dewasa, maka dia akan menjelma menjadi mesin pembunuh yang begitu buas.Rawai Tingkis hanya menyunggingkan senyum pahit saat mendengar hal tersebut, jadi dia tidak berniat tinggal lebih lama di des aini, dan memutuskan untuk pergi lebih dahulu.Sementara itu, Senopati Danur Jaya sepertinya memahami perasaan Rawai Tingkis, jadi dengan buru-buru dia menyusul remaja tersebut.Di perjalanan, Danur Jaya menanyakan perasa
“Dimana kapalnya?” tanya Danur Jaya, saat dia melihat pelabuhan kecil yang sepi, tapi tidak ada kapal atau bahkan rakit di tempat tersebut. “Apa pria tadi menipuku?” Rawai Tingkis menggaruk kepalanya beberapa kali, tidak pula melihat ada kapal di sini. Lagipula, dulunya dia tidak pernah keluar dari Pulau Tengkorak. Datang ke pulau tersebutpun dia tidak dalam keadaan sadar. Jangan pula ditanya bagaimana Rawai Tingkis bisa terdampar di Desa Air Tenam saat itu, dia jelas lebih tidak tahu lagi. Mencari bebreapa lamanya, akhirnya Danur Jaya menemukan rumak kecil yang beradi di pinggir laguna. Ah dibanding rumah mungkin lebih mirip dengan gubuk biasa, beratap ilalang dan dinding dari kulit pohon. “Perimisi …Permisi …” Danur Jaya mulai memeriksa gubuk tersebut, sesekali dia mengetuk pintu, “permisi, Kisanak, Nisanak! Ada orangkah?” Namun, tidak ada sahutan dari dalam gubuk itu. Danur Jaya akhirnya memberanikan diri membuka pintu dengan paksa, dan ternyata tidak dikunci. Di dalam gubuk
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya Pulau Tengkorak telah terlihat meski kabut masih menutupi seluruh pulau tersebut.Namun masalah sekarang mulai datang, ombak semakin membesar, dan kemungkinan besar badai akan datang menerjang.Wajah Danur Jaya semakin terlihat tegang, sementara Pandur berusaha mengendalikan sampan kecilnya agar tidak karam ke dalam lautan.Hanya Rawai Tingkis yang masih terlihat sangat tenang saat ini, bahkan dalam situasi ini, sempat-sempatnya dia tertidur.“Apa itu?” Danur Jaya menunjuk ke arah samping, dengan mata terbelalak seolah akan keluar dari kelopaknya.Nada suara yang bergetar bukan tanpa alasan, sebab saat ini muncul pusaran angin yang mendekati merek. Gemuruh suara badai membuat tulang belulang Danur Jaya menjadi lemah, dan kini dia hanya bisa pasrah menghadapi nasib buruk yang sebentar lagi akan menimpanya.“Aku telah memperhitungkan perjalanan ini, kenapa hari ini muncul badai?”“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Danur Jaya kepada Pandu
Dalam beberapa momen, terlihat Rawai Tingkis terpaku di tempatnya, dengan pandangan yang menyapu ke sekeliling tempat.Danur Jaya memperhatikan remaja tersebut, kemudian bertanya kepada Pandur.Pandur tersenyum tipis, kemudian menjelaskan bahwa tempat ini dulunya menjadi tempat penyiksaan bagi objek penelitian seperti Rawai Tingkis.“Ada banyak kenangan buruk di sini bagi Rawai Tingkis, dan mungkin tidak ada satupun kenangan baik yang tersisa di sini.”Danur Jaya tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan keras yang dilalui oleh Rawai Tingkis di Pulau ini. Hanya mendengar cerita dari Pandur saja, dia sudah bergidik ngeri.Dari sini pula, Danur Jaya mengetahui jika ada ratusan manusia khususnya anak-anak yang mati karena tidak tahan oleh uji coba yang terus dilakukan oleh para ilmuan gila.Saat melihat goa-goa kecil yang disusun dari tumpukan batu, Danur Jaya baru tahu jika goa-goa itu dijadikan tempat tinggal bagi anak-anak selama beberapa hari. Tujuannya, agar tubuh mereka bisa bera
Belum sempat pula Rawai Tingkis keluar dari ruang penjara Pangeran Nundru, seorang pria baru saja muncul dari langit-langit Istana, menerobos masuk ke dalam.Ketika kakinya memijak lantai, semua benda yang ada di dalam ruangan itu terlempar ke segala arah.Danur Jaya terpaksa melindungi Pangeran Nundru dari benda-benda tersebut, sementara Rawai Tingkis hanya menggunakan gagang pedangnya untuk menangkis beberapa logam yang mengarah ke wajahnya.“Rupanya ada orang luar yang datang ke pulau ini?” pria itu kemudian tertawa lebar, sesekali dia terlihat menghisap udara dalam-dalam, “Kebetulan sekali, aku sudah mulai bosan di tempat ini, aku ingin bermain-main dengan kalian sebelum …” pria itu kemudian mengarahkan telapak tangan ke depan, “ sebelum kalian semua mati!”“Apa kalian prjurit Indra Pura?” tanya pria asing itu lagi. “Ah, dalam beberapa bulan ke depan, Indra Pura harus tunduk kepada kami, jika tidak dia akan bernasip sama dengan pulau ini.”“Kami tidak akan tunduk kepada manusia te
Danur Jaya menoleh ke belakang, tapi sosok Pandur juga belum muncul. “Paman Pandur! Apa kau baik-baik saja?”“Aku baik-baik saja?” Pandur berjalan merangkak dari celah reruntuhan, kakinya kini terluka karena kejatuhan batu besar, tapi baginya ini hanyalah masalah kecil.Pada akhirnya, tiga orang itu keluar dari dalam istana, menunggu Rawai Tingkis di halaman bangunan tersebut dengan perasan yang campur aduk.“Jika dia adalah Satria Roh Suci,” ucap Pangeran Nundru, “dia tidak akan kalah. Dia adalah tujuanku selama ini.”“Jangan kau samakan dirinya dengan manusia terkutuk itu,” timpal Danur Jaya, “Rawai Tingkis berbeda dari mereka semua, dia tidak sama seperti yang kau pikirkan. Dia adalah Rawai Tingkis, dia tidak akan menjadi seperti apa yang kau inginkan, Pangeran Nundru.”“Jadi begitu …” Pangeran Nundru hanya tersenyum pahit saat mendengar ucapan Senopati Danur Jaya.Sungguh sangat disayangkan, jika saja Rawai Tingkis saat itu masih berada di dalam pengawasannya, atau jika saja Rawai
Di dalam Istana itu, Rawai Tingkis berjalan dari lorong ke lorong, ruangan demi ruangan yang runtuh, hanya untuk mendapatkan belati pembunuh roh suci.Namun, sampai beberapa saat lamanya, dia tidak menemukan benda tersebut, sementara di luar Istana, tiga orang masih menunggu dirinya dengan perasaan yang gelisah.Tidak ada yang tahu bagaimana kondisi Rawai Tingkis di dalam istana tersebut, tidak ada yang tahu apakah dirinya masih hidup atau sudah mati.Lebih lagi, istana ini tampaknya mulai akan runtuh total.“Ini gawat,” ucap Danur Jaya, dia berniat untuk menyusul Rawai Tingkis, tapi dicegah oleh Pandur.Pandur menjelaskan kepada pemuda itu bahwa saat ini tidak ada yang bisa mereka lakukan, lebih dari itu kemungkinan besar Danur Jaya malah akan menjadi beban bagi Rawai Tingkis.Danur Jaya akhirnya hanya pasrah menunggu kemunculan Rawai Tingkis. Dia sesekali, menatap ke arah puncak Istana yang mulai bergetar.Di sisi lain, Rawai Tingkis masih kesulitan menemukan ruangan, tapi beberapa