Aku cinta dan tak berarti lemah
Justru kamulah yang membuatku kuat
Untuk membalas dendam perasaan dari air kehidupan
Dan peluh dari teriakanmu tentang kulit jari yang mengelupas
Pria itu Zamrud, berbadan kekar yang telah melewati fase membingungkan dalam hidupnya. Setelah perjalanan dari rumah sakit, ia kembali ke rumah. Sang istri telah menyambutnya dengan teh hangat di meja tamu, setelahnyya wanita itu sendiri sedang sibuk membuat sarapan. Zamrud duduk menatap langit-langit ruangan yang mulai menghitam. Rumah itu sudah tua, seumur dengan pernikahannya dengan Dewi. Diruang tamu inilah dia mengucapkan akad nikah dengan mas kawin bunga kamboja putih di teras rumah. Itu permintaan dari Dewi. Tidak seperti wanita pada umumnya, Dewi sangat menyukai bunga. terlebih lagi bunga berwarna putih. Karena pada masa itu harga bunga mawar putih mahal dan bunga melati Zamrud tak menyukai baunya. Pria itu memberikan bunga kamboja putih untuk Dewi.
Ia tersenyum sendiri mengenang masa dia dulu menikahi Dewi. Bahkan alasan untuk menikahi wanita tersebut. Wanita yang tak sengaja ia temui, disaat Indonesia sedang krisis di tahun 1996. Orang tua Dewi memberikan anaknya untuk dinikahi. Entah apa yang difikirkan Zamrud hingga dia menerima tawaran tersebut. Dia tertawa. Mungkin ini menjadi salah satu kesalahan hidupnya.
Tak beberapa lama Nyimas masuk dengan kertas yang ia bawa. Semalam ia menulis akhir yang cocok untuk diceritakan kepada Hasta ketika dia sudah sembuh. Dia berjalan tanpa melihat ayahnya yang duduk di ruang tamu. Menuju kamar dan berganti baju. Kebetulan hari ini minggu, sehingga dia punya waktu kosong untuk terus mencari cerita. Nyimas melihat kembali kertas-kertas yang telah ia tulis, diputar-putarnya urutan kertas untuk mencari yang pas. Dia kebingungan.
Direbahkan badannya diatas kasur tipis. Sudah 5 tahun kasur busa itu tidak diganti ayahnya. Nyimas memejamkan mata dan menarik nafas dalam. Dilihat kembali kertas-kertas disebelahnya dan mendengus.
“ Ayah, kata Hasta cerita Putri dan Pangeran itu membosankan. Apa aku harus buat cerita sendiri ya ? ” Celoteh Nyimas sendiri
“ Aku tidak akan bisa merubah akhir cerita ini. Lebih baik aku membuat cerita baru. ”
“ Tapi siapa ya pemeran dongengnya ? ” Nyimas merubah posisi tidurnya
Diraihnya pensil dalam tas kecil dan beberapa kertas kosong yang berada dalam kotak bawah tempat tidurnya. Nyimas menggigit pensilnya. Dia memutar berulangkali bola matanya dan terus mendengus. Putus asa, Nyimas meraih kembali kertas-kertas yang telah ia tulis tadi malam. Tulisan dalam kertas itu memang tidak beda jauh dengan kahir cerita dari dongeng ayahnya setiap sore. Hanya berubah pemeran yang akan menemani putri.
“ Benar kata Hasta, aku tak pandai mendongeng. Aku hanya suka mendengarkannya. ” Nyimas kesal.
Kertas-kertas coretannya terhambur dikamar. Kertas kosong tetap kosong walau Nyimas telah berusaha keras mencari akhir cerita yang disukai Hasta. Bahkan dia sendiri tidak tahu cerita apa yang sebenarnya disukai Hasta. Mengingat kembali apa yang telah ia lakukan, Nyimas sadar bahwa dia tak bisa membuat cerita. Kesal dengan kelakuannya sendiri, Nyimas beranjak dari tempat tidur untuk membantu ibunya didapur.
Ibu Nyimas barus saja menata piring diatas meja, Nyimas langsung mengambil bejana yang barus saja dicuci di ember besar. Bejana itu akan diisi air untuk cuci tangan. Air itu diambil Nyimas dengan memompanya dari pompa tangan. Hal ini sudah biasa dilakukan Nyimas walau sebenarnya pompa tangan cukup berat untuk anak kecil. Nyimas mewadahi dengan ember yang cukup besar, tidak sebesar ember tadi. setelah cukup, air itu diambil secukupnya didalam bejana jeci itu. sisanya akan digunakan ibunya untuk menyiram bunga kamboja.
Setelah selesai, ibunya meletakkan ikan goreng dan sambal matah. Segera Nyimas mengambil tempat duduk untuk segera menyantap makan pagi. Sambil memanggil ayahnya yang masih diruang tamu, Nyimas telah menyiapkan nasi untuk ayah dan ibunya. Sedangkan ibunya masih mencuci beberapa sayuran segar sebagai lalapan. Zamrud yang tampak lelah berjalan. Kali ini wajahnya berubah setelah sebelumnya dia mengingat masa lalunya. Dipandangnya lesu Nyimas yang tak diam menata meja makan menunggu ibunya datang. Harapan besar Zamrud lukis dimatanya untuk Nyimas. Tapi ia tak bisa menerangkan saat ini untuk Nyimas.
Tak ingin berlarut, Zamrud mencubit pipi Nyimas yang kecil. Dia tersenyum tipis.
“ Nyimas, nanti kalau besar mau jadi apa ? ” tanya Zamrud
“ Nyimas mau jadi guru. Guru yang terus bercerita. ”
“ Tapi ayah, Nyimas nggak pandai bercerita seperti ayah. Nyimas nggak bisa membuat dongeng seperti ayah. ” keluh Nyimas
“ Kamu harus banyak membaca Nyimas. Biar imajinasimu berkembang. ”
“ Kita perlu imajinasi ya untuk mendongeng ? ”
“Dari imajinasi itu kamu bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang. Jadi orang akan tertarik mendengar dongengmu. ” jawab Zamrud sambil mengelus lembut rambut Nyimas
Nyimas telah selesai dengan tataannya di meja makan. Kali ini menggeser kursi menghadap ayahnya.
“ Seperti cerita putri dan pangeran milik ayah ? ”
“ Ya, selain itu kamu harus menggunakan hatimu saat membuat dongeng. ”
“ Perasaan apa yang ayah gunakan di dongeng ?”
“ cinta ” Zamrud tersenyum
“ Cinta untuk Nyimas dan Ibu ya ?” Zamrud tak menjawab, dia langsung saja mengambil ketimun.
Dewi terkejut melihat Zamrud seperti salah tingkah memakan lalapan yang baru dicucinya. Sedangkan Nyimas masih saja menunggu jawaban tanpa memahami tingkah laku dari ayahnya. Kali ini dia menajamkan pandangannya melihat Zamrud seolah tak peduli.
“ tentu cinta untuk gadis yang bernama Nyimas ” jawab Zamrud dengan memandang Nyimas sekilas.
Nyimas berbunga-bunga, dia mencium pipi ayahnya dengan menaiki kursi. Karena terburu-buru, Nyimas terjatuh dari kursinya. Zamrud sigap menangkap putrinya. Nyimas yang sempat kaget tertawa melihat wajah ayahnya. Mereka berdua tertawa.
“ Kalian berdua sedang pertunjukan sirkus ? ” Dewi ikut tertawa sembari duduk
“ ayo cepat dimakan, nanti ikan gorengnya hidup. ”
“Memangnya ikan mati bisa hidup lagi ? kan paru-parunya sudah ibu buang, jadi ikan tidak bisa bernafas. ” bantah Nyimas dengan wajah protes
“ Dia hidup sebagai hantu” jawab Dewi tanpa mau kalah dengan anaknya.
Zamrud kembali tertawa melihat Dewi dan Nyimas ribut dengan hal kecil seperti ini. Meski tak cukup untuk mengubur rasa bersalahnya terhadap kedua perempuan didepannya.
“ Hari ini ayah akan tetap kerja. Jadi mungkin kamu ke perpustakaannya minta diantar mas Arka ya ? ”
“ Memang hari ini kamu ingin melakukan apa ? ” Tanya Dewi
“ Pak Hari minta ditemani memperbaiki gubuk di kebun. Sekalian aku beli bibit ke kota. ” jawab Zamrud dengan tetap melanjutkan makannya.
“ Ayah sudah bilang mas Arka. Jadi kamu tinggal kerumahnya saja. ”
Nyimas mengangguk. Dia masih fokus dengan duri dan daging hitam diikan. Baginya, daging ikan itu harus putih dan bersih dari duri. Baru dia akan memakannya.
***
Nyimas memakaikan bedak bayi disekitar wajahnya. Dibiarkan terurai rambut lurusnya dengan disisir sedikit. Penjepit rambut berwarna hitam menjadi pemanis. Setelah siap dia mengambil beberapa kertas kosong dan pensil kedalam tak kecil. Zamrud menunggu Nyimas diteras bersama istrinya yang menyiram bunga kamboja. Pagi itu sangat sejuk, dengan sedikit cahaya matahari yang hangat. Beberapa burung bertengger di pohon mangga depan rumah. Berciut meramaikan suasana Zamrud dan Dewi yang saling diam sejak tadi.
“ Ayah, belum berangkat kerja ? ” Nyimas tiba-tiba membuka jendela kamarnya yang tepat disebelah Zamrud.
“ Ayah menunggumu berangkat duli. ” toleh Zamrud
Nyimas berlari kecil untuk menemuinya. Dia merasa bahwa ayahnya telah menungguinya dan dia harus bergerak cepat jika ditunggu. Setelah Nyimas sampai diteras rumah, Zamrud berdiri dari tempat duduknya. Zamrud memeluk erat Nyimas yang tinggi sudah mencapai perutnya. Nyimas hanya terpaku melihat ayahnya yang tidak biasa.
“ Ayah terasa berat ya harus bekerja di hari libur ? ”
“ Tidak, Ayah hanya ingin memelukmu saja. Sudah jarang sekali ayah memelukmu sejak kamu sudah bisa berjalan. ”
“ Apa selama itu ayah ?” Jawab Nyimas sambil melepaskan pelukan ayahnya.
“Karena kamu susah sekali diam, jadi ayah tak mau capek mengejarmu. ” ejek Zamrud dengan mencubit pipi Nyimas.
Nyimas hanya terdiam mengingat perkataan ayahnya.
“ ya sudah, cepat kamu berangkat. Mas Arka sudah menunggumu. Jangan buat mas Arka marah. ”
“ siap kapten ! Tapi ayah, Nyimas nggak pernah nakal kok sama mas Arka. Nakalnya cuman sama Hasta. ” Jawab Nyimas bersemangat.
Nyimas melangkahkan kakinya meninggalkan teras rumah. Ditengoknya kembali ayah yang masih berdiri dan ibu bersama bunga Kamboja. Dia melambaikan tangan. Bukan menjadi kebiasaannya untuk melambaikan tangan ketika hendak berpisah, tapi entah apa yang ia rasakan. Dia ingin melambaikan tangan untuk siapa saja yang dia lihat saat itu.
“ Ayah, jangan lupa ya dongeng sorenya ya ? ”
Zamrud mengangkat jari jempolnya yang besar dengan tersenyum lebar. Nyimas membuka pagar kayu, menatap kedepan tanpa melihat lagi kebelakang. Menuju rumah mas Arka yang hanya berjarak lima rumah. Berjalan kaki dengan lantang. Memegang erat tas kecilnya. Beberapa uang saku dia hitung kembali sembari berjalan. Dan memisahkan antara uang saku untuk dirinya dan Mas Arka.
***
“ Pasti Mas Arka sudah sering ke kota ya ? ”
“ Iya. Sekolahku ada di kota. ” Jawab Arka dengan tatapan lurus
“ Nanti bantu Nyimas milih buku cerita yang bagus, kan Mas Arka sering ke perpustakaan kota. ”
“ Kata siapa aku sering ke sana ?”
“ Ayah bilang begitu. ”
Suasana kembali diam, Nyimas mengalihkan sepi dengan melihat pemandangan diluar jendela angkot. Sudah setengah perjalanan ke kota, angkot masih terisi setengah. Karena hari ini minggu banyak orang lebih memilih untuk beristirahat di rumah.
Nyimas menggigit bibirnya melirik mas Arka yang tampak kaku disampingnya. Tak biasanya mas Arka seperrti ini. Setiap Nyimas bermain dengan Hasta, mas Arka selalu menemani mereka dan bersikap hangat. Terkadang juga bercerita tentang kehidupan pelajar SMA.
Sedangkan dalam diri Arka, dia merasa tak nyaman menemani Nyimas berdua ke kota. Fikiran Arka tak menentu, jika saja dia tak bisa menjaga Nyimas. Selain itu dia terlalu canggung dengan perasaannya saat ini. Entah kata apa yang bisa menjelaskannya. Arka menutupinya dengan diam saja walau pada dirinya sebenarnya hatinya benar-benar kedinginan dengan Nyimas.
Satu jam berlalu, mereka berdua akan segera sampai di perpustakaan kota. Tiba-tiba saja Arka menghentikan angkot dan memegang tangan Nyimas untuk segera turun. Hal yang mengenjutkan, Nyimas sempat menarik tangannya menolak ajakan Arka untuk turun ke p***r.
“ Biar aku saja yang membayar angkot , aku mau beli sesuatu di p***r. ” ujar Arka yang berdiri didepan pintu.
Karena jalanan yang ramai dan banyak kendaraan dibelakang angkot menunggu, Nyimas turun dengan cepat. Tapi tetap saja dia tak mengerti dengan Arka, kenapa tak sejak tadi dia bilang untuk mampir terlebih dahulu ke p***r. Kenapa Arka diam saja dengan Nyimas.
Arka berjalan dengan tetap memegang tangan Nyimas. Banyaknya orang di p***r membuat Arka merasa tertekan untuk segera menuju tempat tertentu. Mengikuti alur jalan kaki Arka dengan kaki yang panjang, Nyimas merasa kesulitan. Hingga diujung p***r, terdapat perempatan, disinilah Arka mulai memperlambat langkah kakinya. Keringat mengucur didahi Nyimas, rambut berantakan tertiup kesana-kesini dan bau asap melekat dibadannya. Itulah alasan Nyimas menolak untuk pergi ke p***r kota.
Arka melihat Nyimas yang kelelahan. Merasa bersalah, akhirnya Arka mengajak Nyimas ke gerobak es campur.
Mereka berdua duduk dikursi plastik, walau masih dipinggir jalan setidaknya Nyimas bisa beristirahat. Arka menatap Nyimas yang melihat pedagang es campur meracik dagangannya. Tangannya mengelus rambut Nyimas. Merapikan dan membenarkan jepit rambut Nyimas yang miring. Tapi Nyimas masih saja sibuk dengan tontonannya tanpa memperdulikan Arka. Bukan itu yang diharapkan Arka, dia hanya tak ingin Nyimas berantakan karenanya. Dia juga menyeka keringat yang masih tersisa di dahi Nyimas.
Setelah meminum es campur, suasana dalam wajah Nyimas kembali segar. Arka kembali memegang tangan Nyimas untuk melanjutkan tujuannya. Setelah mengambil belokan kanan dari perempatan tadi, Nyimas dan Arka memasuki gang perkampungan warga. Jalanannya terlihat lebar dengan air selokan yang jernih mengalir disebelah kanannya. Beberapa toko besar dan toko emas masih terjejer di pinggir jalan. Tidak seperti daerah p***r, disini hanya terdapat sedikit pengunjung. Asap kendaraan juga tak terlalu terlihat, karena kebanyakan orang berjalan kaki atau menggunakan becak untuk sampai di gang ini. Tiba di jembata kecil, seorang nenek duduk dibawah seng sebagai atapnya dengan beberapa lukisan yang kanvasnya berbentuk persegi empat.
“ Ini namanya Damar Kurung, Nyimas ”
“ wah, aku pertama kali melihatnya ! ” Nyimas menjawab dengan mata berbinar.
Nenek itu tersenyum ramah menyambut Arka dan Nyimas. Dia sedikit berdiri dengan merapikan dagangannya.
“ mbah, aku mau beli damar kurung yang belum dilukis. Ada tidak ? ” tanya Arka
“ oh ada nak, sampeyan mau beli berapa ? ”
“ tiga ”
“ Biasanya ini aku sediakan kalau ada pembeli yang mau dilukis sesuai dengan keinginannya. Jadi sampeyan pintar lukis ta ? ” jawab nenek penjual sambil membungkus damar kurung.
“ hehehe, lagi belajar, mbah. ” Arka membalas dengan menggaruk rambutnya yang sebenarnya tak gatal
Nyimas tetap selalu sibuk dengan dunia yang menarik perhatiannya. Kali ini matanya membulat melihat lukisan damar kurung. Walau setiap minggu dia pergi ke kota, hal ini menjadi pengalaman pertamanya. Warna-warni mengintai setiap sudut kanvas damar kurung dan setiap sisinya mempunyai cerita yang berurut. Terkadang warna terang bertabrak dengan lembut sesama warna terang, atau warna gelap memberi kesan netral bagi warna terang.
Damar kurung telah dibungkus sempurna sang nenek, sembari menunggu uang yang dihitung Arka. Nenek melihat Nyimas yang sedari tadi terlihat sangat senang melihat damar kurung. Mungkin gadis ini pertama kali melihatnya, maklum seniman damar kurung sangat sedikit dan hanya tersebar di pusat kota. Selain itu perayaan damar kurung hanya dilakukan bulan Ramadhan, tempat pelaksanaannya juga disekitar taman kota. Banyak sekali daerah desa yang kurang mendapat sentuhan keindahan damar kurung. Termasuk Nyimas yang banyak menghabiskan hari di desa.
Nenek berbalik kebelakang, mengambil damar kurung dengan ukuran kecil. Jika dilihat tak lebih besar dari jam beker. Gambarnya tentang orang yang berbeda saling bergandengan tangan disetiap sisi kanvasnya. Diberikan damar kecil mungil itu untuk Nyimas yang masih terpaku melihat damar kurung jajahannya.
“ nduk, ini ada damar kurung buatan anak ibu. Mungkin tak ada yang mau membelinya. Jadi ini buat kamu saja. ” Nenek menyerahkan damar kurung tersebut dengan sedikit membungkuk.
“ wah, matur nuwun mbah. ” jawab Nyimas yang masih terduduk.
Arka menyadari kebaikan nenek segera mengangkat badan Nyimas untuk berdiri dan berterimakasih kedua kalinya. Mereka berpamitan untuk pergi ke perpustakaan sebelum siang menjelang. Berjalan menuju ujung gang untuk menunggu becak, karena angkot diwaktu ini sangat sibuk mengangkut barang dari pedagang kecil-kecilan. Tak berapa lama mereka mendapatkan becak, dan baru pertama kali ini juga Nyimas menaiki becak di kota.
Lebih lambat dibanding angkot, Nyimas tetap menikmatinya. Banyak hal baru yang ia dapatkan bersama Arka. Angin menyegarkan wajahnya yang sebelumnya panas oleh suasana p***r. Jari telunjuknya menggantung damar kurung kecil yang diberikan mbah. Dia membiarkan angin juga menggoyang-goyangkan. Arka disampingnya sedikit keropatan membawa 3 damar kurung yang besar, ditambah tempat duduk becak yang lumayan sempit. Tapi Arka tetap menikmatinya, pergi bersama Nyimas bukan hal menyulitkan. Dia bisa sepuasnya melihat wajah ceria Nyimas dan dirinya yang tak pernah mengeluh. Satu hal lagi, Nyimas tak secerewet sebelumnya, entah apa yang membuat Nyimas sedikit pendiam. Arka masih terus berfikir menemukan jawabannya.
***
25 menit lebih lama perjalanannya, Nyimas dan Arka tiba di halaman perpustakaan kota. Angin beringin masih kokoh tumbuh disamping kanan gerbangnya, entah kapan dia akan mati. Nyimas selalu melihat batangnya yang menghitam karena jamur, menurutnya umur beringin ini sudah tua dan akan mati. Mungkin rambut-rambutnya yang panjang akan rontok seperti rambutnya yang rontok setiap pagi. Lalu daun-daunnya juga akan gugur hingga tinggal batangnya. Kemudian batangnya akan keriput dan mengecil seperti kakek dan neneknya di kampung.
Didalam perpustakaan sudah banyak orang-orang. Lebih dari satu jam Nyimas terlambat tiba ke perpustakaan dari waktu biasanya dia pergi bersama ayahnya. Ketika melakukan perndaftaran, Nyimas segera menuju rak buku cerita. Arka mengikutinya dibelakang dengan tetap membawa damar kurung.
“ Nyimas, kamu tahu buku yang bagus selain buku cerita ? ” bisik Arka ditelinga kanannya.
“ Apa mas ? ” balas Nyimas dengan berbisik juga.
Arka membawa Nyimas ke rak buku komik yang berbeda 3 rak buku dari buku cerita. Diambil beberapa komik biografi tokoh dunia, diantaranya Cristopher Colombus, Marie Currie dan masih banyak lagi. selain itu Arka juga memberikan komik tentang sejarah dunia. Nyimas membulatkan matanya sekian kali untuk kejutan Arka hari ini. Dia tertawa senang melihat komik. Arka yang berdiri disampingnya tersenyum bahagia juga.
“ Kamu akan lebih pandai mendongeng jika buku yang kamu baca tidak hanya buku cerita. ”
Nyimas langsung berlari meninggalkan Arka menuju petugas perpustakaan. Dia segera mengeluarkan kartu anggota dan kartu peminjaman. Ada 7 buah komik yang dipinjam Nyimas untuk dibaca minggu ini. Sedangkan Arka masih berkutat di rak buku n***l diseberang rak komik untuk dibacanya. Dia membiarkan Nyimas mengurus peminjamannya sendiri. Pasti dia mengerti karena hampir setiap minggu dia pergi kesini. Setelah memilih beberapa n***l, baru dia menyusul Nyimas ke petugas perpustakaan.
Tak butuh lama berada di perpustakaan, mereka berdua langsung pulang ketika selesai mengurus peminjaman buku. Arka dan Nyimas menunggu angkoy didepan gerbang perpustakaan. Sebelumnya, Arka sempat membeli es krim dari pedagang keliling untuk Nyimas dan dirinya. Hari semakin panas, kota Gresik memang terkenal panas walau sebenarnya saat ini masih pukul 10 pagi. Beberapa menit kemudian angkot datang dengan sedikit orang didalamnya. Hal ini sedikit melegakan, karena Arka tak pelu memangku damar kurung yang besar diatas pahanya.
Nyimas masih tetap menggantung damar kurungnya di jari. Dilihat lagi gambar yang terlukis, masih bagus seperti pertama kali diberikan kepadanya. Dia menitipkannya pada Arka bersama dengan damar kurung yang besar lainnya. Nyimas ingin menulis kali ini. Diambil beberapa kertas kosong dalam tasnya. Arka menoleh meilhat Nyimas yang hendak menulis, tapi Nyimas justru membelakangi Arka tanpa berkata apapun. Setelah menulis dilipat kertas tersebut dan dimasukkan kedalam damar kurungnya yang kecil. Nyimas masih tetap diam hingga tiba di gang kampungnya.
Kedua orang itu tampak lelah, apalagi Arka yang harus membawa damar kurung dan beberapa buku n***l yang cukup tebal di tas punggungnya. Arka tak memegang tangan Nyimas seperti ketika di p***r tadi, tangan kirinya juga penuh dengan buku komik yang dipinjam oleh Nyimas tadi. Sedangkan Nyimas berjalan dibelakang Arka dengan melihat punggungnya yang lebar dan keringatnya yang tembus hingga ke kaos Arka. Rumah mereka tak jauh dari gerbang gang kampung. Setelah sepuluh menit, mereka sampai di rumah Nyimas. Tampak lenggang karena ibu Nyimas juga sedang sibuk didapur saat jam seperti ini untuk menyiapkan makan siangnya.
Arka memberikan buku komik yang dipinjam Nyimas dan damar kurungnya yang kecil.
“ Nyimas, nanti setelah Hasta pulang ke rumah. Kita bertiga melukis damar kurung ini. Aku akan menyimpannya di rumah. Ku dengar kalian berdua tak bisa mengikuti lomba lukis di sekolah. Jadi sebagai gantinya damar kurung ini. ” ucap Arka sebelum pergi meninggalkan Nyimas.
Nyimas tersenyum, dia masih berdiri didepan pagar rumah melihat Arka pulang.
“ Mas Arka ! ” teriak Nyimas dengan belari kecil mengejar Arka.
Ditariknya kaos Arka untuk sejajar dengannya. Nyimas memeluk Arka yang sedikit jongkok dan mencium pipinya.
“ Nyimas sayang Mas Arka seperti Nyimas sayang ayah ”
Pipi Arka memerah seketika. Dia segera berdiri setelah perlakuan Nyimas. Arka mencoba untuk segera berfikir jernih dengan tersenyum. Nyimas juga tersenyum melihat Arka. Setelah itu dia berbalik kebelakang. Arka juga berbalik untuk pulang. Dalam hati, pada waktu itu. Arka berjanji dalam hati untuk menjaga Nyimas. Walau dia tahu, mungkin Nyimas akan berubah ketika dia dewasa setelah mengetahui segala rahasianya.
Maafkan aku, yang tak bisa mengembalikan jejak kakimuUntuk kemudian kau berikan pada lainnyaAtau tanah yang kau bisiskiBiarkan aku sebagai perawat untuknya Perpisahan, satu hal yang tak diinginkan. Walau begitu, kenangannya tentang seseorang membuat Zamrud harus pergi. Entah berapa langkah lagi dia akan benar-benar akan keluar atau tetap terjebak dalam permainannya sendiri. Zamrud meninggalkan Dewi dan Nyimas untuk pergi ke kota. Bohong, dia harus berbohong terus demi cintanya. Banyak yang bilang dia pria tak berlogika. Hanya mementingkan keberadaan dirinya tanpa tahu manusia lain juga mempunyai perasaan. Entah apa hubungannya, bagi Zamrud dia harus cepat menyelesaikan pelik diri sendiri baru meminta ma’af. Satu jam yang lalu, Nyimas telah pergi bersama Arka. Walau masih SMA, Zamrud percaya Arka lebih bisa menjaga Nyimas dibanding dirinya. Dia pria yang tak banyak menuntut dan suka memperhatikan orang. T
Ketika jam mulai berdetakSatu tusuk untuk ingatan tentang dirimu yang selalu tertunduk“ Apa Nyimas masih menulis dongeng ? ”Hasta tersenyum kecut. Matanya melihat keatas sambil menghela nafas. Hangantnya bauan kopi pesanan sudah hilang berganti dengan bau tanah yang khas setelah hujan. Masih rintik diluar, tapi cukup untuk membasahi rambut. Bu Sri hendak memulai ceritanya, sudah saatnya untuk jujur dengan dirinya. Tapi suaranya sangat serak untuk berbicara tentang kebohongan dirinya sendiri.“ Mas Arka masih ingat damar kurung yang dibeli dengan Nyimas ? ”“ Iya. ”“ Dia menyimpannya di gudang rumah. Nyimas menunggu mas Arka pulang untuk melukisnya. ” canda Hasta. Tapi tak terlihat sedang bercanda. Arka sedikit memahami situasi ini. Dia hanya diam saja dan tak banyak bertanya. Walau banyak sekali gemuruh hatinya untuk berkata. Dilihatnya kanan-kiri. Pengun
Aku ragu dengan kakikuApakah dia masih ada kulit yang melindunginya ? Sepatunya menggesek lantai, sedikit meninggalkan jejak garis. Lusuh dan sudah berubah warna. Mungkin terakhir kali Nyimas mengganti sepatu ketika dia kelas 12 SMA. Jahitan benang sol sudah banyak yang terbuka. Alas kakinya pun sudah menipis. Itu yang membuat Nyimas sering merasa sakit telapak kakinya. Langkahnya terlihat lesu nampak sepadan dengan sepatu lama Nyimas. Ia keluar dari ruang perkumpulan dan meninggalkan proposal itu di lemari penyimpanan. Bersamaan dengan sifat tubuhnya, nafas Nyimas terdengar berat, berfikir bahwa ia tak menyangkan fase hidupnya sebegitu menakjubkan untuk ditafsirkan. Jauh dari pandangan dia ketika masih kecil. Beberapa rambut depannya jatuh dengan lembut namun berkesan berantakan, wanita itu biarkan karena baginya itu menandakan dia telah berjuang keras hari ini. Suasana angin sore masuk melalu jendel
Hei, untuk jiwaku yang menungguBisakah sejenak untuk berhentiDari memori dimana membuatku gilaDan alunan jemari kebohongan milikmuTepat satu jam. Nyimas kembali berantakan. Wajahnya kusam dengan suasana bus yang pengap. Untung saja dia bisa duduk di 15 menit terakhir. Lututnya sempat kebas. Telapak kaki juga terasa pengap. Hingga dia melepaskan sepatunya yang sudah bertahun-tahun terseok oleh badannya. Memijit sesedikit kaki dengan mengeluh. Diselanya Nyimas kembali berfikir. Tentang keinginan kedua wanita itu.Kedua wanita dengan pembicaraan tadi turun terlebih dahulu. Ada suatu yang aneh. Nama dan feminisme. Sedikit berhubungan dengannya. Namun dia terlalu lelah untuk menganalisa. Kini Nyimas mulai mengantuk. Setelah pertemuan di kampus yang menurutnya berat. Ditambah dia harus menempuh dua kali perjalanan yang cukup panjang. Bukan tipe orang yang harus memikirkan suatu tidak pa
Bab 9Bolehkah aku menukar ceritaku dengan ceritamu ?Agar kamu tahu, ada sedikit robekan kata untuk ceritakuYang membuat aku tak bisa membacaMaksud cerita pemiliknya Daun itu terlalu kering sehingga akan cepat hancur apabila terinjak. Sudah bertahun – tahun pohon disekitarnya menggugurkan daun tanpa ada yang membersihkan. Kamboja – kamboja yang dulunya terawat, batangnya mulai mengering mengikuti daun dan bunga yang rontok. Tepat sehari sebelumnya, bunya kamboja berwarna kuning terakhir jatuh untuk bertahan. Masih ditanah bersama kotoran pohon lainnya.Seorang pria tua pulang untuk sekian lama. Rambutnya telah banyak memutih. Namun dia masih tampak tampan seperti pertama kalinya pergi. Pria itu melihat keadaan rumahnya yang sudah bertahun – tahun ditinggalinya. Suara daun yang diinjaknya membangunkan kembali cerita dahulunya di rumah ini. Yang b
Bab 10Kakiku baru saja terceburDengan tinta kehidupan yang baru saja kupetikBersama dengan dirimuAku ingin merasakan gejolak dari kakiku yang kotor ituSuara jangkrik bergeming untuk Nyimas yang sedang menunggu seseorang. Tepat hari ini, suatu janji yang telah dia rencanakan. Sedikit gerimis memberikan kesejukan baginya yang sedang panas memikirkan kata – kata. Dia akan menjadi perwakilan kelompok feminis kampus dalam pertemuan dengan dewan perwakilan. Beberapa lembar kertas kosong dia mainkan sambil membaca sesedikit tulisannya semalam. Sejarah feminisme, kasus pelanggaran HAM bagi wanita dan gerakan feminisme di beberapa negara dia rangkum. Undang – undang mengenai perempuan juga telah dia baca habis termasuk tulisan mengenai kritikannya.Setelah pertemuannya dengan Arka dan Hasta, Nyimas langsung pergi ke perpus
Bab 11Apa aku bisa memberikan bayanganku sebuah harapanBahwa akan habisnya tinta kehidupanku Arka masih melanjutkan bacaannya. Mulai menarik. Dia bisa tahu segala cerita dari sudut pandang Dewi, Ibu Nyimas. Sudah mencapai halaman tengah, kisah yang membuat fantasinya mengembara semakin menjadi. Dalam kesunyian, matanya lambat menyusuri tiap kata yang Dewi ukir. Tulisan tua itu tidak membuat Arka bosan, meski ditulis dengan tinta yang sudah pudar.Ayu, dia istri pertama Kakak dan seumuran denganku. Wanita itu menikah dengan kakak dari umur 19 tahun. Dari ceritanya, Ayu suka dengan Kakak karena kegigihannya dalam membangun usaha bisnisnya sendiri. Ditengah steriotip masyarakat yang anti dengan cina – pribumi, kakak berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan orang – orang jawa. Ayu melihat sendiri bagaimana perjuangan kakak
Bab 12Bisakah aku kembali menapaki bekas jajakkuAtau melihat kembali sore yang disembunyikan dibalik sibakan kata – katamuSinar matahari tidak lagi menusuk penglihatan, Nyimas terduduk di depan teras kamar kos. Kembali berkutat dengan kertas – kertas kosong, menemani setiap kali ia ingin bercerita ketika tak ada orang untukknya. Gadis itu untuk sekian kali harus belajar membaca gerakan emosinya sendiri. Namun dia tidak mau lupa dengan ambisinya tersendiri.Beberapa burung kembali pulang ke arah sarangnya. Bertepatan dengan pohon yang didepannya bergerak mengikuti arah hembusan alam. Aroma yang sejuk, sama seperti masa kecilnya yang dirindukan. Tak sengaja, salah satu burung kecil itu datang ke atasnya dan mengeluarkan kotoran dan jatuh ke arah kertasnya yang masih kosong. Ia mengumpat pelan. Tak terdengar siapapun, karena memang tidak ada seorang disekitarnya.Nyimas bangkit dari rutin
Epilog“ Hei Zamrud ! ”“ Nyimas, aku nggak tahu kamu di Lampung ? Mau main ke rumah wak dulu ? ” Zain menyerobot Zamrud untuk berbicara. Zamrud sendiri masih terperangah dengan Nyimas yang ditemui tempat peristirahat bus di Lampung.“ Aku habis dari rumah wak. Ini mau pulang. ”“ Nahhhh, kau tak bilang – bilang. Untung saja kita ketemu disini. Zamrud mau menyusul kau di Palembang. ” Tunjuk Zain ke arah Zamrud dibelakangnya. Masih termalu – malu dengan penampilan Nyimas.Nyimas melihat Zamrud dengan senang. Sudah sekian lama mereka tidak berkirim kabar dan saling memendam rasa. Walau sebenarnya sudah tahu. Zain melihat gelagat mereka yang tak berubag dari SMA hanya menggelengkan kepala.“ Duduk saja dikursi situ. Waktu istirahatku masih 15 menit. Kau sendiri Nyimas ? ” Zain menggiring mereka berdua di tempat yang teduh dan berkurs
Bab 15Ketika aku bertemu dengan titikAku bertanya padanya didepan cerminApakah kamu memerlukan sebuah koma ?“ Bangun ! ”Nyimas masih tertidur, tak ada reaksi berarti darinya meski sudah ditampar berulangkali. Kaos merah muda yang masih terpakai sudah tak lagi menampakkan kefeminiman warnanya. Beberapa noda hitam dan coklat merusak arti. Beberapa bagian tubuhnya lebam kebiruan karena ia terjatuh dua kali. Belum sempat sembuh seutuhnya, dia sudah terkena sial yang sama.“ Cepat bangun hei orang sosialis ! ” Wanita tua itu terus berlaku kasar.Matanya mengerenjak. Kornea mata yang berwana coklat mulai terlihat sedikit. Ia mulai bangun. Namun bukan di puskesma, dia terduduk di sebuah kursi dengan badan yang terikat kencang. Bekas ikatan itu menyesakkan darahnya sehingga badannya terasa kaku. Belum lagi pipinya terasa pedas yang belum ia sadari bekas tam
Bab 14Aku bertanya padamuApa rencana yang hendak kuceritakanJika seandainya tak seorangpun yang tuliGerakan Feminis sudah bubar, sejak kejadian fajar tadi beberapa orang terpaksa dipulangkan. Rencana sore di hari kedua untuk melakukan aksi demonstrasi damai batal. Justru disaat matahari terbenam, alun – alun sudah bersih seperti sedia kala. Petugas kebersihan kota dan beberapa bantuan dari para feminis membersihkan sisa – sisa tenda yang hancur.Nyimas yang sempat pingsan sudah siuman beberapa jam kemudian. Beberapa ketua dari masing – masing kampus menungguinya. Di puskesmas terdekat Nyimas hingga saat ini masih terbaring meski sudah sadar. Hanya matanya saja yang bisa berbicara bahwa dia masih memikirkan keadaan orang - orang. Nyimas termenung, melihat cahaya sore yang silau dari jendela kamar rawat sementaranya. Mukanya berminyak, tak sempat ia harus merawat dirinya.&ldquo
Bab 13Kututup mata untuk melihat air yang berada diujung sanaTerasa bening namun jika disentuh akan berwarna biruLalu kubuka kembali nyatanya hidupDidepanku, sebuah telaga hijau yang tak pernah disentuhDikelilingi orang – orang yang seolah marahDan aku tak tahu alasannyaKubiarkan itu berlalu dan kembali, sebuah telapak tangan yang masih terbuka Beberapa puluh orang sudah berkumpul di alun – alun kota. Itu belum semua. Ayu berhasil bekerja sama dengan gerakan feminis dari kampus lain, ada juga dari luar Surabaya. Dengan baju merah muda seragam, mereka berjongkok menunggu komando selanjutnya. Pentolan organisasi sedang rapat darurat jauh dari kerumunan. Termasuk Nyimas dan Ayu. Hingga matahari sedang terik, massa belum juga mengeluarkan aksinya
Bab 12Bisakah aku kembali menapaki bekas jajakkuAtau melihat kembali sore yang disembunyikan dibalik sibakan kata – katamuSinar matahari tidak lagi menusuk penglihatan, Nyimas terduduk di depan teras kamar kos. Kembali berkutat dengan kertas – kertas kosong, menemani setiap kali ia ingin bercerita ketika tak ada orang untukknya. Gadis itu untuk sekian kali harus belajar membaca gerakan emosinya sendiri. Namun dia tidak mau lupa dengan ambisinya tersendiri.Beberapa burung kembali pulang ke arah sarangnya. Bertepatan dengan pohon yang didepannya bergerak mengikuti arah hembusan alam. Aroma yang sejuk, sama seperti masa kecilnya yang dirindukan. Tak sengaja, salah satu burung kecil itu datang ke atasnya dan mengeluarkan kotoran dan jatuh ke arah kertasnya yang masih kosong. Ia mengumpat pelan. Tak terdengar siapapun, karena memang tidak ada seorang disekitarnya.Nyimas bangkit dari rutin
Bab 11Apa aku bisa memberikan bayanganku sebuah harapanBahwa akan habisnya tinta kehidupanku Arka masih melanjutkan bacaannya. Mulai menarik. Dia bisa tahu segala cerita dari sudut pandang Dewi, Ibu Nyimas. Sudah mencapai halaman tengah, kisah yang membuat fantasinya mengembara semakin menjadi. Dalam kesunyian, matanya lambat menyusuri tiap kata yang Dewi ukir. Tulisan tua itu tidak membuat Arka bosan, meski ditulis dengan tinta yang sudah pudar.Ayu, dia istri pertama Kakak dan seumuran denganku. Wanita itu menikah dengan kakak dari umur 19 tahun. Dari ceritanya, Ayu suka dengan Kakak karena kegigihannya dalam membangun usaha bisnisnya sendiri. Ditengah steriotip masyarakat yang anti dengan cina – pribumi, kakak berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan orang – orang jawa. Ayu melihat sendiri bagaimana perjuangan kakak
Bab 10Kakiku baru saja terceburDengan tinta kehidupan yang baru saja kupetikBersama dengan dirimuAku ingin merasakan gejolak dari kakiku yang kotor ituSuara jangkrik bergeming untuk Nyimas yang sedang menunggu seseorang. Tepat hari ini, suatu janji yang telah dia rencanakan. Sedikit gerimis memberikan kesejukan baginya yang sedang panas memikirkan kata – kata. Dia akan menjadi perwakilan kelompok feminis kampus dalam pertemuan dengan dewan perwakilan. Beberapa lembar kertas kosong dia mainkan sambil membaca sesedikit tulisannya semalam. Sejarah feminisme, kasus pelanggaran HAM bagi wanita dan gerakan feminisme di beberapa negara dia rangkum. Undang – undang mengenai perempuan juga telah dia baca habis termasuk tulisan mengenai kritikannya.Setelah pertemuannya dengan Arka dan Hasta, Nyimas langsung pergi ke perpus
Bab 9Bolehkah aku menukar ceritaku dengan ceritamu ?Agar kamu tahu, ada sedikit robekan kata untuk ceritakuYang membuat aku tak bisa membacaMaksud cerita pemiliknya Daun itu terlalu kering sehingga akan cepat hancur apabila terinjak. Sudah bertahun – tahun pohon disekitarnya menggugurkan daun tanpa ada yang membersihkan. Kamboja – kamboja yang dulunya terawat, batangnya mulai mengering mengikuti daun dan bunga yang rontok. Tepat sehari sebelumnya, bunya kamboja berwarna kuning terakhir jatuh untuk bertahan. Masih ditanah bersama kotoran pohon lainnya.Seorang pria tua pulang untuk sekian lama. Rambutnya telah banyak memutih. Namun dia masih tampak tampan seperti pertama kalinya pergi. Pria itu melihat keadaan rumahnya yang sudah bertahun – tahun ditinggalinya. Suara daun yang diinjaknya membangunkan kembali cerita dahulunya di rumah ini. Yang b
Hei, untuk jiwaku yang menungguBisakah sejenak untuk berhentiDari memori dimana membuatku gilaDan alunan jemari kebohongan milikmuTepat satu jam. Nyimas kembali berantakan. Wajahnya kusam dengan suasana bus yang pengap. Untung saja dia bisa duduk di 15 menit terakhir. Lututnya sempat kebas. Telapak kaki juga terasa pengap. Hingga dia melepaskan sepatunya yang sudah bertahun-tahun terseok oleh badannya. Memijit sesedikit kaki dengan mengeluh. Diselanya Nyimas kembali berfikir. Tentang keinginan kedua wanita itu.Kedua wanita dengan pembicaraan tadi turun terlebih dahulu. Ada suatu yang aneh. Nama dan feminisme. Sedikit berhubungan dengannya. Namun dia terlalu lelah untuk menganalisa. Kini Nyimas mulai mengantuk. Setelah pertemuan di kampus yang menurutnya berat. Ditambah dia harus menempuh dua kali perjalanan yang cukup panjang. Bukan tipe orang yang harus memikirkan suatu tidak pa