Share

Bab 5

Author: Sabda Bazna
last update Last Updated: 2021-06-07 10:56:51

Maafkan aku, yang tak bisa mengembalikan jejak kakimu

Untuk kemudian kau berikan pada lainnya

Atau tanah yang kau bisiski

Biarkan aku sebagai perawat untuknya

      Perpisahan, satu hal yang tak diinginkan. Walau begitu, kenangannya tentang seseorang membuat Zamrud harus pergi. Entah berapa langkah lagi dia akan benar-benar akan keluar atau tetap terjebak dalam permainannya sendiri. Zamrud meninggalkan Dewi dan Nyimas untuk pergi ke kota. Bohong, dia harus berbohong terus demi cintanya. Banyak yang bilang dia pria tak berlogika. Hanya mementingkan keberadaan dirinya tanpa tahu manusia lain juga mempunyai perasaan. Entah apa hubungannya, bagi Zamrud dia harus cepat menyelesaikan pelik diri sendiri baru meminta ma’af.

      Satu jam yang lalu, Nyimas telah pergi bersama Arka. Walau masih SMA, Zamrud percaya Arka lebih bisa menjaga Nyimas dibanding dirinya. Dia pria yang tak banyak menuntut dan suka memperhatikan orang. Terlebih Nyimas, sejak dia lahir Arka sudah menginginkan adik perempuan. Tapi ayahnya telah meninggal saat bertugas di daerah Timur Indonesia saat Arka berumur 9 tahun. Dibalik itu ayah Arka merupakan teman karib Zamrud, oleh karenanya dia merawat istri dan Arka. Selain itu untuk menjaga rahasianya sendiri, antara dia dan ayah Arka.

      Tak banyak yang dibawa Zamrud, hanya tas ransel yang berisi keperluannya, sejumlah uang juga dia siapkan. Dewi tak tahu dengan perlakuan khusus Zamrud pagi ini. Seperti yang dikatakan Nyimas, tak biasanya suaminya memeluk Nyimas. Ucapan yang berbanding terbalik dengan jawaban Zamrud untuk Dewi. Wanita itu mengerti jika Nyimas sangat suka bergerak, tapi dia tak susah untuk dipeluk. Setiap sore ketika akan berangkat ke masjid untuk mengaji, Dewi selalu memeluk Nyimas. Bahkan terkadang dia memeluk Nyimas dengan tiba-tiba saat Nyimas sedang berceloteh sendiri dengan bunga kamboja menunggu Hasta. 

      Zamrud keluar rumah seperti biasanya, dengan senyuman untuk istrinya. Tak ada ciuman atau pelukan. Angin pagi berhembus menebarkan bau embun, seakan memberikan salam perpisahan dengan Zamrud. Bersamaan dengan daun dari bunga kamboja yang jatuh dari ranting yang menuas.  Langkah kaki Zamrud besar dan tegas ketika meninggalkan rumah. Seakan menyuarakan kekuatan untuk bumi bahwa dirinya bukan manusia yang lemah. Dewi memperhatikan dari belakang. Hingga Zamrud benar-benar hilang di ujung gang.

      Jalur yang dilalui Zamrud juga sama. Menaiki angkot untuk sampai ke terminal. Hanya saja setelah itu dia akan menuju luar kota. Setelahnya dia akan mengambil bis antar provinsi. Itulah tujuan sebenarnya dia pergi di akhir pekan. Suasana hampa yang semakin merambah di akhir pekan menambah kesan bahwa dia harus segera pergi. Aroma pepohonan di pekarangan rumahnya juga tidak mampu untuk menetapkan kenangannya.

      Zein, teman SMAnya yang akan menemaninya untuk sampai ke Palembang. Sebenarnya mereka berdua bukan orang dekat. Hanya karena Zein mengenal orang yang akan Zamrud datangi. Permasalahan antara Zamrud dan orang itu juga Zein mengetahuinya. Dia akan bertemu Zein di terminal Bungarasih. Dimana dia akan menaiki bis antar provinsi. Butuh waktu satu setengah jam hingga Zamrud sampai ke terminal yang katanya paling sibuk se asia tenggara. Selama perjalanan meninggalkan Gresik, Zamrud hanya diam saja. Bukannya memikirkan tentang Dewi dan Nyimas yang pasti menunggu dia. Tapi tentang ukiran wajah seseorang di Palembang yang hampir saja membuatnya gila. 

      Jalanan menuju Bungarasih berbeda dengan perjalanannya dari Gresik. Semakin dekat dengan terminal, hiruk-pikuk kendaraan semakin padat. Banyak becak-becak bersileweran dengan barang belanjaan orang-orang Surabaya. Ada juga mobil pribadi dan angkot yang saling saut-menyaut dalam merebut alur jalanan. Zamrud tetap saja melamun walau suasana diluar semakin ramai, tidak seperti orang dalam bis lainnya yang lebih tertarik melihat keramaian kota lewat jendela bis. Lagu Inka Cristie dan Amy Search yang diputar kondektur bis menambah deretan kenangan memberatkan kepala Zamrud.  Punggungnya semakin tersengkur mendengarkannya. 

      Sudah dua kali lagu itu diputar, hingga terakhir Zamrud yang meminta kondektur untuk mengulang kembali. Hingga sampai di terminal, lagu itu juga selesai pada bait terakhir liriknya. Zamrud keluar bis mencari Zein, cuaca semakin terik. Banyak sekali calon penumpang atau orang yang telah melakukan perjalanan menambah bau pengap di terminal. Walau terminal ini terbuka, udara kota Surabaya tak sesegar seperti dulu saat dia masih SMA.

      Bau pesing di beberapa trotoar atau tembok kosong juga memberi warna bauan di terminal. Teriakan calo tiket menawarkan bisnisnya dengan logat Surabaya kasar menjadi lagu yang tak pernah diingikan. 

      Zamrud segera mempercepat langkahnya menemui Zein. Sebelumnya mereka akan bertemu di gerbang untuk bis antar provinsi Sungguh tak menyenangkan pergi ke terminal kota dengan situasi yang seperti ini. Baru pertama kali ini juga dia pergi ke terminal Bungarasih sendirian ataupun dengan seseorang. Selama ini dia hanya berputar pada kota Gresik setelah dia menikah. 

      Tak jauh dari tempat yang dimaksud, seorang pria muda berdiri tapi dia membelakangi Zamrud. Dengan jaket jeans didalamnya kaos putih dipadu celana jeans, dia tak berubah. Masih menyukai hal yang menjadi tren dimasanya. Zamrud menghela nafas mengingat dirinya masa SMA. Yang merengek ke ibunya minta dibelikan jaket jeans. 

Zamrud mulai melambat. Selain sudah lelah, orang yang dicarinya juga sudah didepan mata. 

“ Zein !” Teriak Zamrud

“ He ! Lo kukira kamu lewat depan ? ” Zein membalikkan badan

      Zamrud dan Zein saling memberi salam pelukan dan menepuk punggung. Tidak terlalu erat seperti seorang sahabat yang baru bertemu, mereka hanya saling kenal sesama satu sekolah dan angkatan. 

“Sudah tua makin ganteng saja kamu Zamrud. Masih suka main cewek nggak ?” 

“ Aku sudah nikah. ” balas Zamrud dengan senyum kecut

“ Terus kenapa ke Palembang ? ”

“ Aku ingin bertemu dengan temanmu. ”

Zein terdiam. Dia mengerti maksud Zamrud. Sebenarnya juga merasa bersalah harus berbasa-basi seperti itu. Ini awal pertemuan mereka yang buruk bagi Zein. 

“ Kita makan saja dulu. Istriku membawa nasi. ” Zein mengalihkan percakapan.

      Zamrud mengangguk tersenyum. Dia juga merasa lapar setelah perjalan yang lumayan jauhnya, bukan, bukan itu. Lebih tepatnya dia lapar karena terlalu lama mengenang kenangan yang tak pernah tamat.

      Kedua pria itu mencari tempat duduk yang lumayan nyaman, di bawah pohon tak berbuah akhirnya diputuskan mereka berdua untuk makan. Duduk di atas pavling yang tergeletak disana. Zein membuka tas ranselnya yang lumayan besar dan mengeluarkan dua bungkus nasi. Itu nasi krawu.

“ Istrimu bisa masak nasi krawu ? Apa dia orang asli sini ? ”

“ Bukan, tetanggaku penjual nasi krawu. Istriku beli disana. ” Balas Zein sambil tertawa

“ Dia tak sempat memasak untukku. Tanganya terbakar waktu mau menyalakan kompor. Dia bilang waktu mau menyalakan sumbu kompor, apinya tiba-tiba besar. Yah sudah, api itu membakar tangan istriku. ” Zein berbicara sambil sibuk membuka bungkusan nasi.

“ Oh ya bagaimana istrimu ? Kita baru pertama bertemu kembali setelah kelulusan. ”  

***

      Baru berusia 29 tahun, Zamrud harus membawa istrinya untuk pindah ke Surabaya. Situasi yang tidak mendukung baginya membuat dia lari dari ibu kota Jawa Timur. Pada masa itu, beberapa daerah di Indonesia sangat sensitif dengan orang cina. Zamrud memiliki mata sipit dan kulit putih kemerahan. Dia keturunan jawa, hanya di kakek buyutnya merupakan pedagang cina yang suka menepi di pesisir Gresik. 

Karena kakek buyutnya pernah tinggal di Gresik, Zamrud memilih untuk tinggal bersama keluarganya di tempat itu.

      Disana masih ada saudaranya yang masih mempertahankan rasnya. Hidup di pesisir menjadi seorang nelayan, seperti kakek buyutnya yang hidup sebagai pelaut.  Berbeda dengan Zamrud, saudara jauhnya tidak pernah dicurigai karena mempunyai kulit yang gelap. Mata mereka juga tak terlalu sipit seperti Zamrud. 

      Berangkat dari pelarian membuat Zamrud harus pergi disaat sebelum subuh. Menaiki sepeda motor vespa hasil dagangannya selama setahun, Zamrud dan istrinya yang hamil muda membawa beberapa pakaian.

      Perjalanan yang ditempuh 2 jam. Ketika sampai di Gresik, mereka harus melewati persawahan dan ternak ikan dipinggir jalan. Pencahayaan jalan juga kurang memadai, karena sangat jarang sekali penduduk Gresik pergi ke daerah ini sebelum shubuh. Hal itu membuat Zamrud sedikit was-was membawa istrinya. 

      Tak berapa lama, dia sampai di kampung pesisir. Pantai putih bersih dengan beberapa pohon palem menjulang tinggi. Udara juga lebih segar dibanding Surabaya yang sudah mulai padat penduduk dan tranportasi mesin. Ketika baru memasuki kampung pesisir, aroma air dan daun-daun yang basah oleh embun menyambut pendatang baru. Terlihat rumah warga didekat bibir laut, beberapa berada jauh dari pantai tapi masih bisa dilihat dari pantai. Rumah kayu panggung mendominasi kampung ini, dengan tinggi tiang sekitar satu setengah meter. 1 Masjid juga dibangun berdekatan dengan pantai. Suara pria yang sedang mengaji terdengar bergema ke laut. Sebentar lagi akan adzan shubuh. Beberapa orang sudah berangkat ke masjid untuk sholat tahajjud.

      Kampung pesisir ini terbilang aman untuk ukuran daerah yang dekat dengan laut dan suasananya nyaman. Dia akan menginap sementara di rumah keponakannya yang berjarak 7 meter dari gerbang kampung. Di pesisir ini, Zamrud berencana akan ikut keponakannya dengan melaut mencari ikan. Sementara istrinya yang sedang hamil muda ikut membantu mencari kerang saat laut surut. Hingga Zamrud bisa membeli rumah sendiri.

      Hingga tiba di rumah keponaknnya, ternyata pemilik rumah sudah menunggu Zamrud bersama istrinya. Saudaranya menyambut dengan ramah membukakan pintu. Diantarnya Zamrud langsung ke kamar tamu, istrinya mengikuti dibelakang. Ternyata rumahnya belum dialiri listrik, keponaknnya menjelaskan bahwa listrik belum merata di Gresik. Mereka masih menggunakan lampu tempel untuk penerangan depan rumah. Sedangkan di dalam rumah lampu minyak diletakkan di kamar tidur dan ruang tamu. Berjalan dalam kegelapan membuat istri Zamrud kurang nyaman. Matanya masih belum terbiasa dengan bias cahaya yang sedikit. Berbeda dengan rumah Zamrud dulu sudah dialiri listrik.

***

“ Bagaimana tinggal disini ? Kamu harus menghitamkan kulitmu setidaknya agar dari jauh tidak terlihat orang asing. ” 

“ yah. ” Zamrud menghela nafas

“ Oh ya, mungkin hari ini kita tidak bisa melaut. Istriku dan istrimu juga tidak bisa berburu. Laut sedang pasang, ombaknya juga sangat besar. ”

“ Tapi kita bisa meminjam uang dari Pak Khus. Dia pelaut handal disini. Seburuk apapun keadaan laut, dia bisa melaut dan membawa banyak ikan. Aku percaya kalau saat dia pergi melaut air yang tak tenangpun, ikan tetap akan muncul di permukaan. Itu teoriku saja. ”

“ Mungkin saja. Tapi kenapa namanya bukan orang Jawa ? ” Tanya Zamrud

      Angin berderu dengan keras, asap rokok Zamrud terbelah dan hilang. Saudaranya disebelah Zamrud meringis karena bau rokok mengenainya. Dia bukan perokok seperti Zamrud. Seorang nelayan pantang untuk merokok karena akan berpengaruh pada daya tahan tubuh.   Merasa tak enak, Zamrud berdehem dan membenarkan posisi duduk. 

“ Dia orang Kalimantan, sudah setahun disini. Cerita orang, dia kabur dari konflik berdarah disana. ”

“ Kenapa harus kabur ?” penasaran Zamrud bertanya

“ Dia terlalu tertutup orangnya, jadi para tetangganya hanya menebak-nebak sebab keluarganya ke Jawa. Tapi dia dihormati karena kemampuan melautnya. Dia bisa sampai ke laut lepas sendirian menggunakan perahu motor kecil. Kami yang lahir dan hidup disini saja tak berani sejauh itu. ”

Zamrud mendengarkan dengan seksama. Matanya menatap lekat wajah saudaranya. 

“ Bagaimanapun latar belakang dia, aku salut denganya.”

“ Mereka hanya memiliki satu putri. ”

      Kali ini Zamrud melihat ke laut lepas. Teras rumah saudaranya bisa dibilang startegis dengan menghadap laut. Selain melihat matahari terbit dan tenggelam, banyak anak kecil yang bermain bola di depan halaman rumanhnya. Bisa dibilang, lingkungannya ramai untuk mengusir sepi. 

“ Yang aku salutkan dari Pak Khus putrinya kuliah di Surabaya dengan biaya pemerintah. Dia orangnya aktif, karena dia juga, sebagian rumah disini bisa menikmati listrik. Putrinya juga selalu membawa beberapa temannya untuk mengajar di kampung setiap liburan. Benar-benar orang tua yang sukses. Jika saja nanti istriku hamil, apapun jenis kelaminnya. Aku akan mendidiknya agar jadi orang seperti anak pak Khus” Jelas panjang lebas saudaranya

      Zamrud tersenyum mendengar harapan saudaranya itu.

“ Putrinya hendak dilamar orang, katanya dia anak kepala kampung sebelah. Sudah membujang 30 tahun. Kalau aku jadi bapaknya, sudah kujodohkan anak itu. Tapi, Pak Khus menolak. Yah, bayangkan saja. Jika mereka menikah, bibit seperti dia ini akan sia-sia di kampung. ”

“ Siapa nama putrinya ? ”

“ Dewi.”

Angin sudah tak lagi berhembus kencang, tapi rokok di jarinya sudah hampir habis. Dihisapnya sekali dan dibuang seenaknya di pasir pantai.

“ Namanya bagus. ” senyum Zamrud sambil melirik

“ Setiap sabtu akhir bulan dia pulang ke rumah. Kebetulan hari itu aku akan berhutang ke pak Khus, kalau kamu mau ikut, tunggu aku dari kebun. Dewi suka dengan buah mangga. ”

Zamrud berdiri dan berjalan. Diambil kembali putung rokok dan mematikan apinya.

“ Ya ”

      Angin pantai berhembus kali ini. Sedikit lebih besar dari sebelumnya. Baju kemejanya hingga terbuka kancingnya, yang paling bawah. Dia menghadap ke pantai, dengan putung rokok yang masih di tangannya. 

***

      Zein mengantuk disamping Zamrud. Sudah hampir enam puluh menit Zamrud bercerita. Seingat Zamrud, Zein memang mudah mengantuk jika dalam kendaraan. Walau perutnya sudah terisi, justru semakin membuat Zein cepat mengantuk. 

“ Berapa umur anakmu ? ” Zamrud bertanya dengan menggaruk kepalanya.

“ Sekarang sudah jadi mahasiswa. ” Balas Zein dengan wajah geli melihat Zamrud.

“ Dulu, mau jadi kerja kantoran lulusan SMA sudah bisa, sekarang levelnya makin naik. Jadi sarjana dulu baru bisa kerja. ”

“ Untung saja bukan generasi zaman sekarang, sudah pusing aku dengan pelajaran SMA, harus kuliah lagi. Apalagi mereka yang hidup di masa depan. Ku pikir gelar doktor sudah seperti lulusan SMP zaman kita.” Lanjut Zein sambil tertawa receh

      Zamrud semakin geli melihat tingkah laku Zein. Dia sedikit kaget dengan karakter Zein yang terlihat sebagai murid pendiam waktu dulu. Selain itu dia selalu menempel dengan sepupu jauhnya itu dan sulit bergaul.

“ Apa kamu memang seperti ini sejak SMA ? ”

“ Memangnya aku terlihat berbeda, ya ? ”

      Zamrud salah, dia salah harus bertanya seperti itu. Hanya Zamrud saja yang tidak mengenal jauh temannya. 

“ Zein, kenapa kamu selalu menempel dengan saudara jauhmu itu ? ”

“ Siapa ? Perempuan itu ? ”

“ Dia baru pindah sejak kita masuk SMA. La terus, budaya rumah aslinya beda sama budaya kita. Jadi dia yang nempel sama aku. Bilangnya kalau susah berbaur dan itu memang sudah karakternya. Ya sudah, tapi aku risih juga. Itulah kenapa aku nggak semangat sekolah, tak ada gairah lah istilahnya.  ” Jelas Zein

“ Pantesan kamu pendiam dulu SMA. ”

“ Kalau didalam kelas tidak. Pasti dia nggak bisa nempel ke aku. ” Zein membela dengan sedikit bermain tangan.

      Kedua pria itu saling tertawa. Berbeda dengan situasi saat Zamrud bercerita sendiri.

“ Oh ya, Zamrud. Aku harus turun ke Lampung. Salamkan saja ya ke dia, dari kakak ganteng. ”

“ Seharusnya kamu bilang waktu kita mau pisah saja. Nanti aku lupa. Maklum sudah tua. ”

“ Kapan juga kamu punya ingatan kuat, SMA saja selalu peringkat bawah. ”

“ Aku tahu kamu yang dari kelas unggul. Tapi lihat siapa yang paling kaya sekarang ? ” Ejek Zamrud

“ Ya kamu, kaya akan masalah. ” Zein tertawa sendiri.

      Bis yang ditumpangi berhenti karena lampu merah. Suasana canggung mulai dirasakan Zein. Dia tahu sepertinya salah bicara. Zamrud hanya menatap lurus didepannya, kaca besar bisa yang menampakkan antrian kendaraan yang lumayan panjang.

“ Kamu tahu tidak, ada satu cerita yang tidak pernah diceritakan, tentang keluarganya. ” Zein mengalihkan pembicaraan.

      Sekarang berbeda lagi situasinya. Zamrud menatap tegang Zein. Tangannya mulai berkeringat. Tapi matanya terlihat sayu kemudian. Zein disebelahnya juga ikut tegang. Dia takut akan salah bicara lagi. Takut kalau ceritanya kali ini membuat Zamrud semakin jauh melangkah. Pergi dari keluarganya yang tak akan pernah tahu kemana langkahnya. Dan tak akan pernah pulang hingga dia menemukan titik dari benang yang selama ini Zamrud pendam sendiri.

Related chapters

  • Sasakala   Bab 6

    Ketika jam mulai berdetakSatu tusuk untuk ingatan tentang dirimu yang selalu tertunduk“ Apa Nyimas masih menulis dongeng ? ”Hasta tersenyum kecut. Matanya melihat keatas sambil menghela nafas. Hangantnya bauan kopi pesanan sudah hilang berganti dengan bau tanah yang khas setelah hujan. Masih rintik diluar, tapi cukup untuk membasahi rambut. Bu Sri hendak memulai ceritanya, sudah saatnya untuk jujur dengan dirinya. Tapi suaranya sangat serak untuk berbicara tentang kebohongan dirinya sendiri.“ Mas Arka masih ingat damar kurung yang dibeli dengan Nyimas ? ”“ Iya. ”“ Dia menyimpannya di gudang rumah. Nyimas menunggu mas Arka pulang untuk melukisnya. ” canda Hasta. Tapi tak terlihat sedang bercanda. Arka sedikit memahami situasi ini. Dia hanya diam saja dan tak banyak bertanya. Walau banyak sekali gemuruh hatinya untuk berkata. Dilihatnya kanan-kiri. Pengun

    Last Updated : 2021-06-07
  • Sasakala   Bab 7

    Aku ragu dengan kakikuApakah dia masih ada kulit yang melindunginya ? Sepatunya menggesek lantai, sedikit meninggalkan jejak garis. Lusuh dan sudah berubah warna. Mungkin terakhir kali Nyimas mengganti sepatu ketika dia kelas 12 SMA. Jahitan benang sol sudah banyak yang terbuka. Alas kakinya pun sudah menipis. Itu yang membuat Nyimas sering merasa sakit telapak kakinya. Langkahnya terlihat lesu nampak sepadan dengan sepatu lama Nyimas. Ia keluar dari ruang perkumpulan dan meninggalkan proposal itu di lemari penyimpanan. Bersamaan dengan sifat tubuhnya, nafas Nyimas terdengar berat, berfikir bahwa ia tak menyangkan fase hidupnya sebegitu menakjubkan untuk ditafsirkan. Jauh dari pandangan dia ketika masih kecil. Beberapa rambut depannya jatuh dengan lembut namun berkesan berantakan, wanita itu biarkan karena baginya itu menandakan dia telah berjuang keras hari ini. Suasana angin sore masuk melalu jendel

    Last Updated : 2021-06-09
  • Sasakala   Bab 8

    Hei, untuk jiwaku yang menungguBisakah sejenak untuk berhentiDari memori dimana membuatku gilaDan alunan jemari kebohongan milikmuTepat satu jam. Nyimas kembali berantakan. Wajahnya kusam dengan suasana bus yang pengap. Untung saja dia bisa duduk di 15 menit terakhir. Lututnya sempat kebas. Telapak kaki juga terasa pengap. Hingga dia melepaskan sepatunya yang sudah bertahun-tahun terseok oleh badannya. Memijit sesedikit kaki dengan mengeluh. Diselanya Nyimas kembali berfikir. Tentang keinginan kedua wanita itu.Kedua wanita dengan pembicaraan tadi turun terlebih dahulu. Ada suatu yang aneh. Nama dan feminisme. Sedikit berhubungan dengannya. Namun dia terlalu lelah untuk menganalisa. Kini Nyimas mulai mengantuk. Setelah pertemuan di kampus yang menurutnya berat. Ditambah dia harus menempuh dua kali perjalanan yang cukup panjang. Bukan tipe orang yang harus memikirkan suatu tidak pa

    Last Updated : 2021-07-12
  • Sasakala   Bab 9

    Bab 9Bolehkah aku menukar ceritaku dengan ceritamu ?Agar kamu tahu, ada sedikit robekan kata untuk ceritakuYang membuat aku tak bisa membacaMaksud cerita pemiliknya Daun itu terlalu kering sehingga akan cepat hancur apabila terinjak. Sudah bertahun – tahun pohon disekitarnya menggugurkan daun tanpa ada yang membersihkan. Kamboja – kamboja yang dulunya terawat, batangnya mulai mengering mengikuti daun dan bunga yang rontok. Tepat sehari sebelumnya, bunya kamboja berwarna kuning terakhir jatuh untuk bertahan. Masih ditanah bersama kotoran pohon lainnya.Seorang pria tua pulang untuk sekian lama. Rambutnya telah banyak memutih. Namun dia masih tampak tampan seperti pertama kalinya pergi. Pria itu melihat keadaan rumahnya yang sudah bertahun – tahun ditinggalinya. Suara daun yang diinjaknya membangunkan kembali cerita dahulunya di rumah ini. Yang b

    Last Updated : 2021-07-12
  • Sasakala   Bab 10

    Bab 10Kakiku baru saja terceburDengan tinta kehidupan yang baru saja kupetikBersama dengan dirimuAku ingin merasakan gejolak dari kakiku yang kotor ituSuara jangkrik bergeming untuk Nyimas yang sedang menunggu seseorang. Tepat hari ini, suatu janji yang telah dia rencanakan. Sedikit gerimis memberikan kesejukan baginya yang sedang panas memikirkan kata – kata. Dia akan menjadi perwakilan kelompok feminis kampus dalam pertemuan dengan dewan perwakilan. Beberapa lembar kertas kosong dia mainkan sambil membaca sesedikit tulisannya semalam. Sejarah feminisme, kasus pelanggaran HAM bagi wanita dan gerakan feminisme di beberapa negara dia rangkum. Undang – undang mengenai perempuan juga telah dia baca habis termasuk tulisan mengenai kritikannya.Setelah pertemuannya dengan Arka dan Hasta, Nyimas langsung pergi ke perpus

    Last Updated : 2021-07-12
  • Sasakala   Bab 11

    Bab 11Apa aku bisa memberikan bayanganku sebuah harapanBahwa akan habisnya tinta kehidupanku Arka masih melanjutkan bacaannya. Mulai menarik. Dia bisa tahu segala cerita dari sudut pandang Dewi, Ibu Nyimas. Sudah mencapai halaman tengah, kisah yang membuat fantasinya mengembara semakin menjadi. Dalam kesunyian, matanya lambat menyusuri tiap kata yang Dewi ukir. Tulisan tua itu tidak membuat Arka bosan, meski ditulis dengan tinta yang sudah pudar.Ayu, dia istri pertama Kakak dan seumuran denganku. Wanita itu menikah dengan kakak dari umur 19 tahun. Dari ceritanya, Ayu suka dengan Kakak karena kegigihannya dalam membangun usaha bisnisnya sendiri. Ditengah steriotip masyarakat yang anti dengan cina – pribumi, kakak berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan orang – orang jawa. Ayu melihat sendiri bagaimana perjuangan kakak

    Last Updated : 2021-07-12
  • Sasakala   Bab 12

    Bab 12Bisakah aku kembali menapaki bekas jajakkuAtau melihat kembali sore yang disembunyikan dibalik sibakan kata – katamuSinar matahari tidak lagi menusuk penglihatan, Nyimas terduduk di depan teras kamar kos. Kembali berkutat dengan kertas – kertas kosong, menemani setiap kali ia ingin bercerita ketika tak ada orang untukknya. Gadis itu untuk sekian kali harus belajar membaca gerakan emosinya sendiri. Namun dia tidak mau lupa dengan ambisinya tersendiri.Beberapa burung kembali pulang ke arah sarangnya. Bertepatan dengan pohon yang didepannya bergerak mengikuti arah hembusan alam. Aroma yang sejuk, sama seperti masa kecilnya yang dirindukan. Tak sengaja, salah satu burung kecil itu datang ke atasnya dan mengeluarkan kotoran dan jatuh ke arah kertasnya yang masih kosong. Ia mengumpat pelan. Tak terdengar siapapun, karena memang tidak ada seorang disekitarnya.Nyimas bangkit dari rutin

    Last Updated : 2021-07-12
  • Sasakala   Bab 13

    Bab 13Kututup mata untuk melihat air yang berada diujung sanaTerasa bening namun jika disentuh akan berwarna biruLalu kubuka kembali nyatanya hidupDidepanku, sebuah telaga hijau yang tak pernah disentuhDikelilingi orang – orang yang seolah marahDan aku tak tahu alasannyaKubiarkan itu berlalu dan kembali, sebuah telapak tangan yang masih terbuka Beberapa puluh orang sudah berkumpul di alun – alun kota. Itu belum semua. Ayu berhasil bekerja sama dengan gerakan feminis dari kampus lain, ada juga dari luar Surabaya. Dengan baju merah muda seragam, mereka berjongkok menunggu komando selanjutnya. Pentolan organisasi sedang rapat darurat jauh dari kerumunan. Termasuk Nyimas dan Ayu. Hingga matahari sedang terik, massa belum juga mengeluarkan aksinya

    Last Updated : 2021-07-12

Latest chapter

  • Sasakala   Epilog

    Epilog“ Hei Zamrud ! ”“ Nyimas, aku nggak tahu kamu di Lampung ? Mau main ke rumah wak dulu ? ” Zain menyerobot Zamrud untuk berbicara. Zamrud sendiri masih terperangah dengan Nyimas yang ditemui tempat peristirahat bus di Lampung.“ Aku habis dari rumah wak. Ini mau pulang. ”“ Nahhhh, kau tak bilang – bilang. Untung saja kita ketemu disini. Zamrud mau menyusul kau di Palembang. ” Tunjuk Zain ke arah Zamrud dibelakangnya. Masih termalu – malu dengan penampilan Nyimas.Nyimas melihat Zamrud dengan senang. Sudah sekian lama mereka tidak berkirim kabar dan saling memendam rasa. Walau sebenarnya sudah tahu. Zain melihat gelagat mereka yang tak berubag dari SMA hanya menggelengkan kepala.“ Duduk saja dikursi situ. Waktu istirahatku masih 15 menit. Kau sendiri Nyimas ? ” Zain menggiring mereka berdua di tempat yang teduh dan berkurs

  • Sasakala   Bab 15

    Bab 15Ketika aku bertemu dengan titikAku bertanya padanya didepan cerminApakah kamu memerlukan sebuah koma ?“ Bangun ! ”Nyimas masih tertidur, tak ada reaksi berarti darinya meski sudah ditampar berulangkali. Kaos merah muda yang masih terpakai sudah tak lagi menampakkan kefeminiman warnanya. Beberapa noda hitam dan coklat merusak arti. Beberapa bagian tubuhnya lebam kebiruan karena ia terjatuh dua kali. Belum sempat sembuh seutuhnya, dia sudah terkena sial yang sama.“ Cepat bangun hei orang sosialis ! ” Wanita tua itu terus berlaku kasar.Matanya mengerenjak. Kornea mata yang berwana coklat mulai terlihat sedikit. Ia mulai bangun. Namun bukan di puskesma, dia terduduk di sebuah kursi dengan badan yang terikat kencang. Bekas ikatan itu menyesakkan darahnya sehingga badannya terasa kaku. Belum lagi pipinya terasa pedas yang belum ia sadari bekas tam

  • Sasakala   Bab 14

    Bab 14Aku bertanya padamuApa rencana yang hendak kuceritakanJika seandainya tak seorangpun yang tuliGerakan Feminis sudah bubar, sejak kejadian fajar tadi beberapa orang terpaksa dipulangkan. Rencana sore di hari kedua untuk melakukan aksi demonstrasi damai batal. Justru disaat matahari terbenam, alun – alun sudah bersih seperti sedia kala. Petugas kebersihan kota dan beberapa bantuan dari para feminis membersihkan sisa – sisa tenda yang hancur.Nyimas yang sempat pingsan sudah siuman beberapa jam kemudian. Beberapa ketua dari masing – masing kampus menungguinya. Di puskesmas terdekat Nyimas hingga saat ini masih terbaring meski sudah sadar. Hanya matanya saja yang bisa berbicara bahwa dia masih memikirkan keadaan orang - orang. Nyimas termenung, melihat cahaya sore yang silau dari jendela kamar rawat sementaranya. Mukanya berminyak, tak sempat ia harus merawat dirinya.&ldquo

  • Sasakala   Bab 13

    Bab 13Kututup mata untuk melihat air yang berada diujung sanaTerasa bening namun jika disentuh akan berwarna biruLalu kubuka kembali nyatanya hidupDidepanku, sebuah telaga hijau yang tak pernah disentuhDikelilingi orang – orang yang seolah marahDan aku tak tahu alasannyaKubiarkan itu berlalu dan kembali, sebuah telapak tangan yang masih terbuka Beberapa puluh orang sudah berkumpul di alun – alun kota. Itu belum semua. Ayu berhasil bekerja sama dengan gerakan feminis dari kampus lain, ada juga dari luar Surabaya. Dengan baju merah muda seragam, mereka berjongkok menunggu komando selanjutnya. Pentolan organisasi sedang rapat darurat jauh dari kerumunan. Termasuk Nyimas dan Ayu. Hingga matahari sedang terik, massa belum juga mengeluarkan aksinya

  • Sasakala   Bab 12

    Bab 12Bisakah aku kembali menapaki bekas jajakkuAtau melihat kembali sore yang disembunyikan dibalik sibakan kata – katamuSinar matahari tidak lagi menusuk penglihatan, Nyimas terduduk di depan teras kamar kos. Kembali berkutat dengan kertas – kertas kosong, menemani setiap kali ia ingin bercerita ketika tak ada orang untukknya. Gadis itu untuk sekian kali harus belajar membaca gerakan emosinya sendiri. Namun dia tidak mau lupa dengan ambisinya tersendiri.Beberapa burung kembali pulang ke arah sarangnya. Bertepatan dengan pohon yang didepannya bergerak mengikuti arah hembusan alam. Aroma yang sejuk, sama seperti masa kecilnya yang dirindukan. Tak sengaja, salah satu burung kecil itu datang ke atasnya dan mengeluarkan kotoran dan jatuh ke arah kertasnya yang masih kosong. Ia mengumpat pelan. Tak terdengar siapapun, karena memang tidak ada seorang disekitarnya.Nyimas bangkit dari rutin

  • Sasakala   Bab 11

    Bab 11Apa aku bisa memberikan bayanganku sebuah harapanBahwa akan habisnya tinta kehidupanku Arka masih melanjutkan bacaannya. Mulai menarik. Dia bisa tahu segala cerita dari sudut pandang Dewi, Ibu Nyimas. Sudah mencapai halaman tengah, kisah yang membuat fantasinya mengembara semakin menjadi. Dalam kesunyian, matanya lambat menyusuri tiap kata yang Dewi ukir. Tulisan tua itu tidak membuat Arka bosan, meski ditulis dengan tinta yang sudah pudar.Ayu, dia istri pertama Kakak dan seumuran denganku. Wanita itu menikah dengan kakak dari umur 19 tahun. Dari ceritanya, Ayu suka dengan Kakak karena kegigihannya dalam membangun usaha bisnisnya sendiri. Ditengah steriotip masyarakat yang anti dengan cina – pribumi, kakak berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan orang – orang jawa. Ayu melihat sendiri bagaimana perjuangan kakak

  • Sasakala   Bab 10

    Bab 10Kakiku baru saja terceburDengan tinta kehidupan yang baru saja kupetikBersama dengan dirimuAku ingin merasakan gejolak dari kakiku yang kotor ituSuara jangkrik bergeming untuk Nyimas yang sedang menunggu seseorang. Tepat hari ini, suatu janji yang telah dia rencanakan. Sedikit gerimis memberikan kesejukan baginya yang sedang panas memikirkan kata – kata. Dia akan menjadi perwakilan kelompok feminis kampus dalam pertemuan dengan dewan perwakilan. Beberapa lembar kertas kosong dia mainkan sambil membaca sesedikit tulisannya semalam. Sejarah feminisme, kasus pelanggaran HAM bagi wanita dan gerakan feminisme di beberapa negara dia rangkum. Undang – undang mengenai perempuan juga telah dia baca habis termasuk tulisan mengenai kritikannya.Setelah pertemuannya dengan Arka dan Hasta, Nyimas langsung pergi ke perpus

  • Sasakala   Bab 9

    Bab 9Bolehkah aku menukar ceritaku dengan ceritamu ?Agar kamu tahu, ada sedikit robekan kata untuk ceritakuYang membuat aku tak bisa membacaMaksud cerita pemiliknya Daun itu terlalu kering sehingga akan cepat hancur apabila terinjak. Sudah bertahun – tahun pohon disekitarnya menggugurkan daun tanpa ada yang membersihkan. Kamboja – kamboja yang dulunya terawat, batangnya mulai mengering mengikuti daun dan bunga yang rontok. Tepat sehari sebelumnya, bunya kamboja berwarna kuning terakhir jatuh untuk bertahan. Masih ditanah bersama kotoran pohon lainnya.Seorang pria tua pulang untuk sekian lama. Rambutnya telah banyak memutih. Namun dia masih tampak tampan seperti pertama kalinya pergi. Pria itu melihat keadaan rumahnya yang sudah bertahun – tahun ditinggalinya. Suara daun yang diinjaknya membangunkan kembali cerita dahulunya di rumah ini. Yang b

  • Sasakala   Bab 8

    Hei, untuk jiwaku yang menungguBisakah sejenak untuk berhentiDari memori dimana membuatku gilaDan alunan jemari kebohongan milikmuTepat satu jam. Nyimas kembali berantakan. Wajahnya kusam dengan suasana bus yang pengap. Untung saja dia bisa duduk di 15 menit terakhir. Lututnya sempat kebas. Telapak kaki juga terasa pengap. Hingga dia melepaskan sepatunya yang sudah bertahun-tahun terseok oleh badannya. Memijit sesedikit kaki dengan mengeluh. Diselanya Nyimas kembali berfikir. Tentang keinginan kedua wanita itu.Kedua wanita dengan pembicaraan tadi turun terlebih dahulu. Ada suatu yang aneh. Nama dan feminisme. Sedikit berhubungan dengannya. Namun dia terlalu lelah untuk menganalisa. Kini Nyimas mulai mengantuk. Setelah pertemuan di kampus yang menurutnya berat. Ditambah dia harus menempuh dua kali perjalanan yang cukup panjang. Bukan tipe orang yang harus memikirkan suatu tidak pa

DMCA.com Protection Status