Share

Bab 6

Penulis: Sabda Bazna
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-07 11:06:26

Ketika jam mulai berdetak

Satu tusuk untuk ingatan tentang dirimu yang selalu tertunduk

“ Apa Nyimas masih menulis dongeng ? ”

 Hasta tersenyum kecut. Matanya melihat keatas sambil menghela nafas. Hangantnya bauan kopi pesanan sudah hilang berganti dengan bau tanah yang khas setelah hujan. Masih rintik diluar, tapi cukup untuk membasahi rambut. Bu Sri hendak memulai ceritanya, sudah saatnya untuk jujur dengan dirinya. Tapi suaranya sangat serak untuk berbicara tentang kebohongan dirinya sendiri. 

“ Mas Arka masih ingat damar kurung yang dibeli dengan Nyimas ? ” 

“ Iya. ”

“ Dia menyimpannya di gudang rumah. Nyimas menunggu mas Arka pulang untuk melukisnya. ” canda Hasta. Tapi tak terlihat sedang bercanda.

      Arka sedikit memahami situasi ini. Dia hanya diam saja dan tak banyak bertanya. Walau banyak sekali gemuruh hatinya untuk berkata. Dilihatnya kanan-kiri. Pengunjung sudah tak ada selain mereka. Arka baru menyadari itu. Tapi melihat keadaan yang membuatnya sedikit berat untuk berdiri. Dia acuh. 

 Uap kopi berhamburan dengan gelombang ke udara. Dari dapur tampak biji kopi sedang disangrai. Menghangatkan lubang hidung wanginya. Hasta tak sekaku beberapa menit yang lalu, dia memainkan jarinya mengetuk meja. Menunggu jawaban Arka. Sesekali dia juga melihat Bu Sri yang masih memerah.

“ Hasta, ceritakan rahasiamu. Semuanya. ”

      Hasta disampingnya menatap mata Arka. Tak lagi bermain dengan jari, kali ini dia menggerakan kakinya. Hingga kaki kursinya juga ikut bersuara.

“ Harus darimana aku mulai ? ” Tanya Hasta untuk dirinya sendiri dengan tangan yang memangku kepala

“ Sejak mas Arka sekolah di Jerman ? ”

“ Tidak, sejak ayah Nyimas tak pernah pulang lagi.”

***

“ Ibu, kenapa ayah belum pulang ? ”

Nyimas memeluk ibunya yang sedang menyiram bunga dari belakang.

“ Kenapa ya ? Mungkin ayah harus mencari barang ke kota lain. ”

“ Tunggu saja, dia pasti pulang.”

“ Kalau tidak ? ”

      Dewi berbalik ke belakang untuk melihat Nyimas. Tangannya memegang erat Nyimas yang tampak khawatir.

“ Siapa yang akan mendongeng lagi ibu ? Aku sudah pinjam buku baru yang bagus. Nyimas mau diajari mendongeng seperti ayah.”

“ Ibu bisa mendongeng untukmu” Balas Dewi dengan mengelus rambut Nyimas

      Tak dipungkiri, Dewi juga khawatir dengan Zamrud yang sudah tidak pulang 4 hari. Seingat Dewi dia hanya izin untuk membeli keperluan kebun di kota sendirian. Sebelumnya tak pernah Zamrud pergi ke kota sendiri. Zamrud pernah bercerita bahwa dia punya trauma dengan kejadian pembataian etnis cina di kota. Biasanya juga jika tak ada yang menemaninya, dia akan mengajak Dewi pergi ke kota dan menitipkan Nyimas dengan Ayu. 

      Tapi Dewi tak akan berubah dengan prinsipnya. Dia harus tetap hidup dengan atau tanpa suaminya. Jika memang suaminya tak pernah kembali, situasi yang tak pernah diinginkannya. 

“ Mau sekarang ibu dongengkan ? ” Sekilas Dewi bertanya dengan Nyimas yang masih terpaku di depannya.

“ Memangnya ibu pandai bercerita ? ”

“ Dengarkan saja, cerita ibu lebih seru dibanding cerita ayah. ” Tantang Dewi dengan sorotan mata tajam

      Dewi kembali masuk rumah. Membuat teh, dua cangkir yang dia sediakan. Tak lupa dengan sedikit gula satu cangkir dan teh tawar satunya. Nyimas masih berdiri di tempatnya melihat bunga kamboja yang semakin mekar setiap harinya.

“ Ibu, kenapa ibu membuat cangkir teh ? Apa ayah sore ini pulang ? ”

“ Tidak, ibu akan melakukan ini setiap sore. Nanti kalau ayah datang, ibu nggak perlu balik ke dapur membuat teh. ” Balas Dewi

      Diletakkan dua cangkir teh diatas meja. Dewi duduk dikursinya. Nyimas mengikuti Dewi dan duduk diatas dewi. Berbeda, paha ibunya tak sekuat ayahnya yang besar. Terasa kecil ketika Nyimas duduk diatasnya, membuatnya tak nyaman dengan berat badannya yang akan menyakiti ibunya. Ketika hendak turun, Dewi mencegah. 

“ Tetaplah duduk disini, ingat tidak kapan terakhir ibu memangkumu ? kamu selalu ke ayahmu ” Canda Dewi dengan mencubit Nyimas.

      Nyimas hanya tersenyum. Dia sandarkan punggungnya ke dada ibunya. 

“ Ibu akan mendongeng tentang Putri dan Burung Elang ”

“ Burung elang itu apa ? apa dia seperti burung merpati di depan rumah pak RT ? ”

Dewi tertawa.

“ Bukan, burung elang itu burung yang sangat kuat. Matanya tajam. Dia hidup di hutan dan menghukum hewan lainnya yang jahat. Warna bulunya juga bagus, tegas seperti matanya. ” 

“ Apa dia polisinya hewan ? ”

“ Iya, dia menjaga hutan bersama harimau, singa dan macan. ”

      Hari semakin sore, angin mulai berhembus membelah cerita Dewi. Bau asap  membasahi udara yang mulai dingin, dua hari sekali tetangga mereka mebakar daun pohon yang gugur dipekarangan rumahnya. Namun aroma teh yang hangat tetap mendominasi area mereka.

“ Seperti apa ceritanya bu ? ”

“ Pangeran menolak untuk tinggal bersama dengan Putri. Sang putri merasa kesepian karena dia harus tumbuh dewasa sendirian. Kebiasaan Putripun selalu berdiri didepan jendela loteng untuk melihat langit. Dia berakhyal seandainya dia tidak menjadi putri, hidupnya mungkin akan bahagia dan bebas. Seperti kehidupan awan yang bebas terbang kemana-mana. Setiap sore, hanya hal itu yang dilakukan putri.”

      Dewi bercerita dengan membelai rambut Nyimas. Tangan satunya memegang dagu Nyimas mengarahkan wajah Nyimas ke langit.

“ Hingga di suatu sore, Sang Putri bertemu dengan seekor elang emas yang berputar mengelilingi lotengnya. Dia bersuara dengan keras membuat Putri ketakutan dan menjauhi jendela. ”

“ Seperti apa suara elang ? ”

“ Suara elang seperti suara kamu saat berteriak, keras sekali. ” Canda Dewi. Nyimas membalasnya dengan tertawa.

“Lanjut ya, tapi elang itu tidak jahat. Dia hanya tersesat setalah sekian lama terbang diatas langit. Elang itu bertengger di jendela yang masih terbuka. Dia terus mengepak sayapnya yang kuat. Putri takjub melihatnya yang cantik dan kuat. Didekati elang itu dan tersenyum menyapa elang.  ”

“ Aku tersesat dari hutan yang jauh dari sini. Sudikah kamu menerimaku untuk tinggal sementara waktu di loteng ini ? aku tak bisa menemukan pohon disekitar sini dan sayapku sudah lelah untuk terbang. Kata Elang kepada Putri. ” Dewi meniru suara elang dengan membulatkan suaranya.

      Nyimas terkikik mendengar suara ibunya. Dirasanya suara ibunya yang lembut tidak cocok meniru suara elang.

“ Putri menganggukkan kepalanya dan menjulurkan tangannya untuk elang. Dengan cepat elang berpindah ke tangan putri. Gadis itu mulai berani memegang bulunya dengan mengelus lembut. Dicarinya tempat yang nyaman untuk tidur elang yang kelelahan.”

“ Sudah, sekarang sudah tilawah di musholla. Kita siap-siap untuk sholat berjama’ah. ” Dewi menurunkan Nyimas dari pengkuannya. Diberesi kembali dua cangkir teh yang tak kurang sedikitpun airnya. 

***

“Bagaimana cerita selanjutnya ? ” Tanya Nyimas yang duduk di kursi teras milik ibunya

“ Ibu akan bercerita dari sini saja ya ” Jawab Dewi sambil membersihkan bunga kambojanya

“ Oh ya, Nyimas. Tolong bawa dua cangkir teh di dapur. Yang ada sendoknya itu milik ibu. ”

      Nyimas bergegas turun dan berlari ke arah dapur. Cukup jauh karena rumahnya panjang ke dalam. Seperti rumah di kampung pada umumnya. Dewi meletakkan dua cangkir diatas nampan putih. Kepulan uap panas masih menyembul ramai. Tanda bahwa air tehnya masih panas. Nyimas menurunkannya dengan pelan-pelan. Aroma khas teh membasahi penciuman Nyimas, hangat yang dia rasakan. 

“ Ibu, Nyimas taruh saja di meja ya ? ”

“Iya ”

“ Apa Ayah pulang hari ini ? ”

“ Ibu tidak tahu, mungkin ayah harus pergi ke luar kota yang jauh untuk mencari barangnya. Tugas kita hanya menunggu dan menyambut ayah. Nyimas tak perlu khawatir. ” Dewi masih sibuk dengan taman kecilnya.

“ Ibu tidak khawatir dengan ayah kalau ayah tidak pulang ? ”

“ Tempat pulang ayah ada disini. ”

“ Bagaimana ibu bisa tahu ?”

“ Foto ayah ada di rumah. Setiap orang tidak akan terpisah dengan fotonya. Jadi ayah pasti akan pulang. Kamu tunggu saja. ”

“ Kalau foto ayah ada di rumah yang lain dan ayah pulang ke rumah itu, bagaimana ibu ? ”

      Dewi berhenti dengan tangannya. Dadanya bergetar. Mata besar milik Dewi mulai memerah. Dia berdiri dan menghadap Nyimas yang sedari tadi menatap punggunnya yang kecil.

“ Tidak, foto ayah hanya ada disini. ” Senyum Dewi untuk Nyimas

“ Ibu rasa kita berdongeng nanti malam saja ya setelah sholat isya’. Ibu harus pergi ke kebun sebentar mengambi cangkul yang tertinggal. ”

Dewi melangkah ke pagar.

“ Nyimas, bawa saja cangkirnya ke dapur. Kita akan bercerita dengan bulan ya ? ” Dewi tersenyum, tapi wajahnya hanya setengah menoleh ke arah Nyimas.

      Nyimas hanya diam dibelakangnya. Dia tahu, perkataannya mungkin membuat ibunya sedih. Dan dia tahu ibunya berbohong. Cangkul kebun ada disebelahnya. Di kursi teras ibunya. Masih basah dengan tanah kebun karena ibunya baru pulang dari kebun bersama ibu Arka.

      Sedangkan Dewi berjalan dengan badan bergetar, kelaur rumah untuk mencari jawaban pertanyaan Nyimas. Dia lupa dengan masa lalu Zamrud. Wanita itu terlalu bahagia dengan kehidupannya, sehingga lupa untuk mempersiapkan luka Zamrud yang mungkin akan kembali. Nafasnya mulai tidak teratur, telapak tangan kanan dan kiri terasa dingin. Dia melangkah ke rumah wanita itu, teman lama Zamrud.

      Langsung saja Dewi membuka pagar dan masuk rumah. Ayu tak pernah mengunci pintu ketika sore hari. Karena Hasta dan Arka biasanya belum pulang sebelum jam lima. Ayu masih terduduk di depan TV. Tertawa dengan acara yang disiarkan. Tak tahu dengan Dewi yang datang membawa marah. Dan Dewi tak tahu juga bahwa apa sebabnya dia harus marah dan ke siapa kemarahannya ditunjukkan.

“ Ayu, kemana Zamrud pergi ?” Dewi bertanya dengan nada sedikit tinggi

      Ayu tersentak, dia benar-benar tak menyadari Dewi. Bahkan pintu terbuka saja dia tak mendengarnya. Dia gelagapan dengan wanita yang berdiri di depan pintu. Mata Nyimas memerah. Tak beberapa lama, istri Zamrud itu menangis. Dia terduduk sambil menutupi wajahnya. Baru kali ini dia menangis karena laki-laki. Tidak, ini kedua kalinya. Sebelumnya Dewi menangis karena dilamar oleh anak pemuka desa sebelah, saat dia masih di kampung pesisir. Sangat sulit pilihan yang diberikan kepadanya. Hingga datang Zamrud untuk melamar Dewi.

      Ayu ikut teriris dengan Dewi. Dia mengangkat Dewi, cukup mudah karena tubuh Dewi kecil dibanding tubuhnya yang berisi. Diarahkannya ke depan televisi yang masih menyala. Siaran saat itu sedang iklan. Dewi masih sesegukan, namun agak lemah. Tidak sekeras saat didepan pintu. Ayu merilik kearah jam dinding. Pukul 16:33, Arka dan Hasta masih lama untuk pulang. Sebelum dua anak kecil itu datang, dia harus menenangkan Dewi terlebih dahulu. Ayu sigap ke dapur memberikan teh hangat.

“ Kemana Zamrud pergi Ayu ? ” Suara Dewi bergetar serak

“ Tenangkan dulu dirimu, aku nggak mau cerita kalau kamu masih nangis. ” 

      Dewi mulai mengontrol dirinya, dia sadar untuk apa dia menangis saat ini. Dia hanya bertujuan untuk mencari jawaban untuk Nyimas.

“ Ma’af Dewi, aku baru ngasih tau ke kamu. Waktu kita ke rumah sakit, Zamrud hanya berpamitan untuk pergi ke Palembang. ” Ayu dengan tenang memberi jawaban. Tangannya masih mengelus punggung Dewi.

“ Apa dia ke perempuan itu ? ”

“ Sepertinya iya, dia pergi dengan Zein. Kita juga dulu satu sekolah dengan Zein. ”

      Muka Dewi kembali putih, tak semerah saat dia berjalan ke sini. Matanya menatap lekat wanita disampingnya.

“ Dewi, saranku, biarkan Zamrud ke Palembang. Dia pasti mbalik ke sini. Toh dia juga harus mengantar Zein pulang ke Surabaya. Zamrud pasti punya alasan sendiri buat datang kesana. ”

Dewi tetap datar.

“ Ingat, kamu masih punya Nyimas. Dia butuh kamu saat ini.”

Dia tak berubah, wajah cantik yang tegas tetap tak berbicara apa. Dewi termenung, melihat acara TV yang berjalan sendiri. Tanpa ada yang melihatnya.

***

      Ada yang berbeda di teras, Dewi dan Nyimas menggelar tikar. Setelah makan malam, Dewi akan menepati janjinya untuk mendongeng dengan bulan. Dua perempuan itu bercerita sambil menatap bulan. Cahaya putih bulan setengah lingkaran terang dengan warna putih. Bintang menyembur secara berantakan di atas warna hitam. Baru pertama kali dia melihat langit, meski sudah berulang kali dia bermain keluar rumah di malam hari. Mata Nyimas sangat berkilau melihat semuanya. 

      Ibunya datang sedikit telat, karena dia membawa teh. Bukan teh tadi sore. Dewi membuatnya yang baru dengan teh aroma melati.

“ Ibu membuat teh lagi ? ” Tanya Nyimas setelah menyadari kedatangan Dewi

“ Ya, Ibu akan selalu membuat teh. Satu untuk ibu dan satu untuk ayah.”

Nyimas tak ingin menanyakan lagi tentang ayahnya.

“ Bagaimana cerita Putri dan Elangnya ? "

      Dewi merebahkan badannya di tikar. Diikuti Nyimas. 

“ Burung Elang tidur diatas istana. Sebelumnya Putri sudah memberikan makan malam untuk Elang agar tenaga elang emas kembali. Tapi Putri terlalu penasaran dengan elang, hingga putri datang di waktu tengah malam untuk melihat elang emas. Ternyata elang belum tertidur. ”

“ Apa yang kamu lakukan disini ? aku akan beristirahat. ” Tiru Dewi 

“ Tidak aku hanya ingin melihatmu tertidur. Ini baru kali pertama ada yang bertamu ke istanaku dan tidur disini ”

“ Mau menemaniku melihat bintang ? ”

“ Apa kamu tidak ingin beristirahat ? Aku yang pergi ke kamar saja.”

“ Tidak, aku hanya tidur 1 jam. Kita bisa melihat bintang sebentar tuan Putri. Itu jika kamu tidak keberatan. ”  Pintah si Elang. 

“ Ibu, apa tuan Putri melakukan seperti Nyimas sekarang ? ”

“ Ya, tuan Putri menghabiskan malam akhir dengan menatap bulan dan bintang. Zaman dulu, bintang lebih banyak daripada sekarang. Bentuk bulan dan bintang juga besar, tidak seperti sekarang. Sepanjang malam, mereka berdua melihat ke luar jendela. Sang elang juga bercerita tentang kehidupannya yang suka berpetualang di hutan. Mencari hewan-hewan yang melakukan kejahatan. ”

“ Ibu, Nyimas ngantuk. ” Rengek Nyimas dengan manja ke ibunya.

“ Cepat sekali kamu tidur. Biasanya kuat sampai jam 10. ”

“ Malam ini Nyimas mau tidur dikamar ibu. ” Nyimas berbicara dengan mata tertutup.

“ Tidur saja disini, ibu akan mengangkat Nyimas ke kamar ibu. ”

      Malam semakin dingin. Namun Dewi enggan untuk masuk ke dalam meski Nyimas sudah tertidur di sebelahnya. Dia masih ingin melihat langit. Menatap betapa beratnya mereka harus selalu bersinar di setiap malam. Dan ketika salah satu mereka tak kuat, mereka akan turun ke bumi. Terkikis oleh atmosfer, pasti sakit rasanya. Dewi tersenyum. Seperti itulah hidup. Dia harus kuat bersinar setiap hari, dengan atau tidak masalah menyertainya. Jika tidak, dirinya akan terus terkikis oleh rasa sakitnya sendiri. 

      Teh tidak sepanas tadi. Angin malam terus menghembus uap hangatnya. Warnanya saja yang tetap hitam. Memantulkan cahaya bulan dan bintang. Seperti apa yang dilihat Dewi. Namun lebih kecil dan tak seterang kenyataannya.

***

“ Aku ingin bertemu Nyimas ” Tiba-tiba Arka angkat bicara dan berdiri

Hasta tertawa kecil. Bu Sri belum cerita apapun di pertemuan itu. Tapi kopi setiap cangkir sudah habis menandakan cerita harus diakhiri. Satu-satunya wanita disitu, Bu Sri ikut berdiri.

      Mengikuti Arka dengan wajah datar tapi menyembunyaik pedih. Dia menahan tangannya agar pemuda di depannya tak benar untuk pergi.

“ Dengarkan dulu ceritaku.  Jauh sebelum Nyimas lahir, ada rahasia besar.  Setelah itu, kalian temui Nyimas. ” Ucap Bu Sri dengan sedikit mengancam

      Mata Hasta terbelalak, dia membuang muka ke arah yang berlawanan dengan Arka. Kali ini giliran muka Hasta yang memerah.  Seperti menanggung malu, untuk cerita selanjutnya.​

Bab terkait

  • Sasakala   Bab 7

    Aku ragu dengan kakikuApakah dia masih ada kulit yang melindunginya ? Sepatunya menggesek lantai, sedikit meninggalkan jejak garis. Lusuh dan sudah berubah warna. Mungkin terakhir kali Nyimas mengganti sepatu ketika dia kelas 12 SMA. Jahitan benang sol sudah banyak yang terbuka. Alas kakinya pun sudah menipis. Itu yang membuat Nyimas sering merasa sakit telapak kakinya. Langkahnya terlihat lesu nampak sepadan dengan sepatu lama Nyimas. Ia keluar dari ruang perkumpulan dan meninggalkan proposal itu di lemari penyimpanan. Bersamaan dengan sifat tubuhnya, nafas Nyimas terdengar berat, berfikir bahwa ia tak menyangkan fase hidupnya sebegitu menakjubkan untuk ditafsirkan. Jauh dari pandangan dia ketika masih kecil. Beberapa rambut depannya jatuh dengan lembut namun berkesan berantakan, wanita itu biarkan karena baginya itu menandakan dia telah berjuang keras hari ini. Suasana angin sore masuk melalu jendel

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-09
  • Sasakala   Bab 8

    Hei, untuk jiwaku yang menungguBisakah sejenak untuk berhentiDari memori dimana membuatku gilaDan alunan jemari kebohongan milikmuTepat satu jam. Nyimas kembali berantakan. Wajahnya kusam dengan suasana bus yang pengap. Untung saja dia bisa duduk di 15 menit terakhir. Lututnya sempat kebas. Telapak kaki juga terasa pengap. Hingga dia melepaskan sepatunya yang sudah bertahun-tahun terseok oleh badannya. Memijit sesedikit kaki dengan mengeluh. Diselanya Nyimas kembali berfikir. Tentang keinginan kedua wanita itu.Kedua wanita dengan pembicaraan tadi turun terlebih dahulu. Ada suatu yang aneh. Nama dan feminisme. Sedikit berhubungan dengannya. Namun dia terlalu lelah untuk menganalisa. Kini Nyimas mulai mengantuk. Setelah pertemuan di kampus yang menurutnya berat. Ditambah dia harus menempuh dua kali perjalanan yang cukup panjang. Bukan tipe orang yang harus memikirkan suatu tidak pa

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-12
  • Sasakala   Bab 9

    Bab 9Bolehkah aku menukar ceritaku dengan ceritamu ?Agar kamu tahu, ada sedikit robekan kata untuk ceritakuYang membuat aku tak bisa membacaMaksud cerita pemiliknya Daun itu terlalu kering sehingga akan cepat hancur apabila terinjak. Sudah bertahun – tahun pohon disekitarnya menggugurkan daun tanpa ada yang membersihkan. Kamboja – kamboja yang dulunya terawat, batangnya mulai mengering mengikuti daun dan bunga yang rontok. Tepat sehari sebelumnya, bunya kamboja berwarna kuning terakhir jatuh untuk bertahan. Masih ditanah bersama kotoran pohon lainnya.Seorang pria tua pulang untuk sekian lama. Rambutnya telah banyak memutih. Namun dia masih tampak tampan seperti pertama kalinya pergi. Pria itu melihat keadaan rumahnya yang sudah bertahun – tahun ditinggalinya. Suara daun yang diinjaknya membangunkan kembali cerita dahulunya di rumah ini. Yang b

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-12
  • Sasakala   Bab 10

    Bab 10Kakiku baru saja terceburDengan tinta kehidupan yang baru saja kupetikBersama dengan dirimuAku ingin merasakan gejolak dari kakiku yang kotor ituSuara jangkrik bergeming untuk Nyimas yang sedang menunggu seseorang. Tepat hari ini, suatu janji yang telah dia rencanakan. Sedikit gerimis memberikan kesejukan baginya yang sedang panas memikirkan kata – kata. Dia akan menjadi perwakilan kelompok feminis kampus dalam pertemuan dengan dewan perwakilan. Beberapa lembar kertas kosong dia mainkan sambil membaca sesedikit tulisannya semalam. Sejarah feminisme, kasus pelanggaran HAM bagi wanita dan gerakan feminisme di beberapa negara dia rangkum. Undang – undang mengenai perempuan juga telah dia baca habis termasuk tulisan mengenai kritikannya.Setelah pertemuannya dengan Arka dan Hasta, Nyimas langsung pergi ke perpus

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-12
  • Sasakala   Bab 11

    Bab 11Apa aku bisa memberikan bayanganku sebuah harapanBahwa akan habisnya tinta kehidupanku Arka masih melanjutkan bacaannya. Mulai menarik. Dia bisa tahu segala cerita dari sudut pandang Dewi, Ibu Nyimas. Sudah mencapai halaman tengah, kisah yang membuat fantasinya mengembara semakin menjadi. Dalam kesunyian, matanya lambat menyusuri tiap kata yang Dewi ukir. Tulisan tua itu tidak membuat Arka bosan, meski ditulis dengan tinta yang sudah pudar.Ayu, dia istri pertama Kakak dan seumuran denganku. Wanita itu menikah dengan kakak dari umur 19 tahun. Dari ceritanya, Ayu suka dengan Kakak karena kegigihannya dalam membangun usaha bisnisnya sendiri. Ditengah steriotip masyarakat yang anti dengan cina – pribumi, kakak berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan orang – orang jawa. Ayu melihat sendiri bagaimana perjuangan kakak

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-12
  • Sasakala   Bab 12

    Bab 12Bisakah aku kembali menapaki bekas jajakkuAtau melihat kembali sore yang disembunyikan dibalik sibakan kata – katamuSinar matahari tidak lagi menusuk penglihatan, Nyimas terduduk di depan teras kamar kos. Kembali berkutat dengan kertas – kertas kosong, menemani setiap kali ia ingin bercerita ketika tak ada orang untukknya. Gadis itu untuk sekian kali harus belajar membaca gerakan emosinya sendiri. Namun dia tidak mau lupa dengan ambisinya tersendiri.Beberapa burung kembali pulang ke arah sarangnya. Bertepatan dengan pohon yang didepannya bergerak mengikuti arah hembusan alam. Aroma yang sejuk, sama seperti masa kecilnya yang dirindukan. Tak sengaja, salah satu burung kecil itu datang ke atasnya dan mengeluarkan kotoran dan jatuh ke arah kertasnya yang masih kosong. Ia mengumpat pelan. Tak terdengar siapapun, karena memang tidak ada seorang disekitarnya.Nyimas bangkit dari rutin

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-12
  • Sasakala   Bab 13

    Bab 13Kututup mata untuk melihat air yang berada diujung sanaTerasa bening namun jika disentuh akan berwarna biruLalu kubuka kembali nyatanya hidupDidepanku, sebuah telaga hijau yang tak pernah disentuhDikelilingi orang – orang yang seolah marahDan aku tak tahu alasannyaKubiarkan itu berlalu dan kembali, sebuah telapak tangan yang masih terbuka Beberapa puluh orang sudah berkumpul di alun – alun kota. Itu belum semua. Ayu berhasil bekerja sama dengan gerakan feminis dari kampus lain, ada juga dari luar Surabaya. Dengan baju merah muda seragam, mereka berjongkok menunggu komando selanjutnya. Pentolan organisasi sedang rapat darurat jauh dari kerumunan. Termasuk Nyimas dan Ayu. Hingga matahari sedang terik, massa belum juga mengeluarkan aksinya

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-12
  • Sasakala   Bab 14

    Bab 14Aku bertanya padamuApa rencana yang hendak kuceritakanJika seandainya tak seorangpun yang tuliGerakan Feminis sudah bubar, sejak kejadian fajar tadi beberapa orang terpaksa dipulangkan. Rencana sore di hari kedua untuk melakukan aksi demonstrasi damai batal. Justru disaat matahari terbenam, alun – alun sudah bersih seperti sedia kala. Petugas kebersihan kota dan beberapa bantuan dari para feminis membersihkan sisa – sisa tenda yang hancur.Nyimas yang sempat pingsan sudah siuman beberapa jam kemudian. Beberapa ketua dari masing – masing kampus menungguinya. Di puskesmas terdekat Nyimas hingga saat ini masih terbaring meski sudah sadar. Hanya matanya saja yang bisa berbicara bahwa dia masih memikirkan keadaan orang - orang. Nyimas termenung, melihat cahaya sore yang silau dari jendela kamar rawat sementaranya. Mukanya berminyak, tak sempat ia harus merawat dirinya.&ldquo

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-12

Bab terbaru

  • Sasakala   Epilog

    Epilog“ Hei Zamrud ! ”“ Nyimas, aku nggak tahu kamu di Lampung ? Mau main ke rumah wak dulu ? ” Zain menyerobot Zamrud untuk berbicara. Zamrud sendiri masih terperangah dengan Nyimas yang ditemui tempat peristirahat bus di Lampung.“ Aku habis dari rumah wak. Ini mau pulang. ”“ Nahhhh, kau tak bilang – bilang. Untung saja kita ketemu disini. Zamrud mau menyusul kau di Palembang. ” Tunjuk Zain ke arah Zamrud dibelakangnya. Masih termalu – malu dengan penampilan Nyimas.Nyimas melihat Zamrud dengan senang. Sudah sekian lama mereka tidak berkirim kabar dan saling memendam rasa. Walau sebenarnya sudah tahu. Zain melihat gelagat mereka yang tak berubag dari SMA hanya menggelengkan kepala.“ Duduk saja dikursi situ. Waktu istirahatku masih 15 menit. Kau sendiri Nyimas ? ” Zain menggiring mereka berdua di tempat yang teduh dan berkurs

  • Sasakala   Bab 15

    Bab 15Ketika aku bertemu dengan titikAku bertanya padanya didepan cerminApakah kamu memerlukan sebuah koma ?“ Bangun ! ”Nyimas masih tertidur, tak ada reaksi berarti darinya meski sudah ditampar berulangkali. Kaos merah muda yang masih terpakai sudah tak lagi menampakkan kefeminiman warnanya. Beberapa noda hitam dan coklat merusak arti. Beberapa bagian tubuhnya lebam kebiruan karena ia terjatuh dua kali. Belum sempat sembuh seutuhnya, dia sudah terkena sial yang sama.“ Cepat bangun hei orang sosialis ! ” Wanita tua itu terus berlaku kasar.Matanya mengerenjak. Kornea mata yang berwana coklat mulai terlihat sedikit. Ia mulai bangun. Namun bukan di puskesma, dia terduduk di sebuah kursi dengan badan yang terikat kencang. Bekas ikatan itu menyesakkan darahnya sehingga badannya terasa kaku. Belum lagi pipinya terasa pedas yang belum ia sadari bekas tam

  • Sasakala   Bab 14

    Bab 14Aku bertanya padamuApa rencana yang hendak kuceritakanJika seandainya tak seorangpun yang tuliGerakan Feminis sudah bubar, sejak kejadian fajar tadi beberapa orang terpaksa dipulangkan. Rencana sore di hari kedua untuk melakukan aksi demonstrasi damai batal. Justru disaat matahari terbenam, alun – alun sudah bersih seperti sedia kala. Petugas kebersihan kota dan beberapa bantuan dari para feminis membersihkan sisa – sisa tenda yang hancur.Nyimas yang sempat pingsan sudah siuman beberapa jam kemudian. Beberapa ketua dari masing – masing kampus menungguinya. Di puskesmas terdekat Nyimas hingga saat ini masih terbaring meski sudah sadar. Hanya matanya saja yang bisa berbicara bahwa dia masih memikirkan keadaan orang - orang. Nyimas termenung, melihat cahaya sore yang silau dari jendela kamar rawat sementaranya. Mukanya berminyak, tak sempat ia harus merawat dirinya.&ldquo

  • Sasakala   Bab 13

    Bab 13Kututup mata untuk melihat air yang berada diujung sanaTerasa bening namun jika disentuh akan berwarna biruLalu kubuka kembali nyatanya hidupDidepanku, sebuah telaga hijau yang tak pernah disentuhDikelilingi orang – orang yang seolah marahDan aku tak tahu alasannyaKubiarkan itu berlalu dan kembali, sebuah telapak tangan yang masih terbuka Beberapa puluh orang sudah berkumpul di alun – alun kota. Itu belum semua. Ayu berhasil bekerja sama dengan gerakan feminis dari kampus lain, ada juga dari luar Surabaya. Dengan baju merah muda seragam, mereka berjongkok menunggu komando selanjutnya. Pentolan organisasi sedang rapat darurat jauh dari kerumunan. Termasuk Nyimas dan Ayu. Hingga matahari sedang terik, massa belum juga mengeluarkan aksinya

  • Sasakala   Bab 12

    Bab 12Bisakah aku kembali menapaki bekas jajakkuAtau melihat kembali sore yang disembunyikan dibalik sibakan kata – katamuSinar matahari tidak lagi menusuk penglihatan, Nyimas terduduk di depan teras kamar kos. Kembali berkutat dengan kertas – kertas kosong, menemani setiap kali ia ingin bercerita ketika tak ada orang untukknya. Gadis itu untuk sekian kali harus belajar membaca gerakan emosinya sendiri. Namun dia tidak mau lupa dengan ambisinya tersendiri.Beberapa burung kembali pulang ke arah sarangnya. Bertepatan dengan pohon yang didepannya bergerak mengikuti arah hembusan alam. Aroma yang sejuk, sama seperti masa kecilnya yang dirindukan. Tak sengaja, salah satu burung kecil itu datang ke atasnya dan mengeluarkan kotoran dan jatuh ke arah kertasnya yang masih kosong. Ia mengumpat pelan. Tak terdengar siapapun, karena memang tidak ada seorang disekitarnya.Nyimas bangkit dari rutin

  • Sasakala   Bab 11

    Bab 11Apa aku bisa memberikan bayanganku sebuah harapanBahwa akan habisnya tinta kehidupanku Arka masih melanjutkan bacaannya. Mulai menarik. Dia bisa tahu segala cerita dari sudut pandang Dewi, Ibu Nyimas. Sudah mencapai halaman tengah, kisah yang membuat fantasinya mengembara semakin menjadi. Dalam kesunyian, matanya lambat menyusuri tiap kata yang Dewi ukir. Tulisan tua itu tidak membuat Arka bosan, meski ditulis dengan tinta yang sudah pudar.Ayu, dia istri pertama Kakak dan seumuran denganku. Wanita itu menikah dengan kakak dari umur 19 tahun. Dari ceritanya, Ayu suka dengan Kakak karena kegigihannya dalam membangun usaha bisnisnya sendiri. Ditengah steriotip masyarakat yang anti dengan cina – pribumi, kakak berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan orang – orang jawa. Ayu melihat sendiri bagaimana perjuangan kakak

  • Sasakala   Bab 10

    Bab 10Kakiku baru saja terceburDengan tinta kehidupan yang baru saja kupetikBersama dengan dirimuAku ingin merasakan gejolak dari kakiku yang kotor ituSuara jangkrik bergeming untuk Nyimas yang sedang menunggu seseorang. Tepat hari ini, suatu janji yang telah dia rencanakan. Sedikit gerimis memberikan kesejukan baginya yang sedang panas memikirkan kata – kata. Dia akan menjadi perwakilan kelompok feminis kampus dalam pertemuan dengan dewan perwakilan. Beberapa lembar kertas kosong dia mainkan sambil membaca sesedikit tulisannya semalam. Sejarah feminisme, kasus pelanggaran HAM bagi wanita dan gerakan feminisme di beberapa negara dia rangkum. Undang – undang mengenai perempuan juga telah dia baca habis termasuk tulisan mengenai kritikannya.Setelah pertemuannya dengan Arka dan Hasta, Nyimas langsung pergi ke perpus

  • Sasakala   Bab 9

    Bab 9Bolehkah aku menukar ceritaku dengan ceritamu ?Agar kamu tahu, ada sedikit robekan kata untuk ceritakuYang membuat aku tak bisa membacaMaksud cerita pemiliknya Daun itu terlalu kering sehingga akan cepat hancur apabila terinjak. Sudah bertahun – tahun pohon disekitarnya menggugurkan daun tanpa ada yang membersihkan. Kamboja – kamboja yang dulunya terawat, batangnya mulai mengering mengikuti daun dan bunga yang rontok. Tepat sehari sebelumnya, bunya kamboja berwarna kuning terakhir jatuh untuk bertahan. Masih ditanah bersama kotoran pohon lainnya.Seorang pria tua pulang untuk sekian lama. Rambutnya telah banyak memutih. Namun dia masih tampak tampan seperti pertama kalinya pergi. Pria itu melihat keadaan rumahnya yang sudah bertahun – tahun ditinggalinya. Suara daun yang diinjaknya membangunkan kembali cerita dahulunya di rumah ini. Yang b

  • Sasakala   Bab 8

    Hei, untuk jiwaku yang menungguBisakah sejenak untuk berhentiDari memori dimana membuatku gilaDan alunan jemari kebohongan milikmuTepat satu jam. Nyimas kembali berantakan. Wajahnya kusam dengan suasana bus yang pengap. Untung saja dia bisa duduk di 15 menit terakhir. Lututnya sempat kebas. Telapak kaki juga terasa pengap. Hingga dia melepaskan sepatunya yang sudah bertahun-tahun terseok oleh badannya. Memijit sesedikit kaki dengan mengeluh. Diselanya Nyimas kembali berfikir. Tentang keinginan kedua wanita itu.Kedua wanita dengan pembicaraan tadi turun terlebih dahulu. Ada suatu yang aneh. Nama dan feminisme. Sedikit berhubungan dengannya. Namun dia terlalu lelah untuk menganalisa. Kini Nyimas mulai mengantuk. Setelah pertemuan di kampus yang menurutnya berat. Ditambah dia harus menempuh dua kali perjalanan yang cukup panjang. Bukan tipe orang yang harus memikirkan suatu tidak pa

DMCA.com Protection Status