"Iya, bener. Aku aja tadi sampai melongo melihat Bu Kania, seandainya aku masih bujang, bisa nekat kulamar jadi istri dia. Sayang aku baru saja menikah," kelakar seorang karyawan pria yang langsung saja menuai cemoohan dari teman-temannya yang lain.
Sesampainya di dalam ruang kerjanya, Kania langsung disibukkan dengan agenda-agenda pertemuan dengan beberapa calon investor serta berbagai dokumen penting yang memerlukan tanda tangannya. Semua pekerjaan dia lakukan dengan cepat dan sigap, sehingga tidak sampai melewati waktu makan siang semua dokumen sudah dia tanda tangani tinggal menyelesaikan satu pertemuan lagi dengan dua dari lima orang calon klien yang harus ditemuinya hari ini.
Kania baru saja akan meluruskan pinggang ketika telepon di ruangannya berbunyi.
Kring! Kring! Kring! Kring!
Dengan sedikit malas, Kania mengangkat telepon itu.
[Ya. Halo, Kania's speaking. (Dengan Kania di sini).] sapa Kania begitu mengangkat teleponnya.
[Selamat
Andra dan Kania sudah sampai di sebuah restoran cepat saji yang tidak terlalu jauh letaknya dari kantor Kania. Sambil masih menggandeng mesra tangan Kania, Andra mengajak Kania duduk di gazebo restoran yang siang itu lumayan sunyi pengunjung. Setelah menyuruh Kania duduk, Andra segera memanggil salah satu pramusaji restoran dan memesan tiga porsi nasi dan tiga potong ayam geprek serta dua gelas es jeruk peras. Tidak hanya itu, Andra bahkan juga memesan makanan dengan menu serupa sebanyak lima puluh bungkus lagi untuk dibawa pulang. Kania yang sedari tadi duduk melihat dalam diam di samping Andra, merasa begitu keheranan dengan banyaknya pesanan lelaki itu. "Banyak amat, Mas pesennya. Yang mau di makan di sini aja udah banyak, ini lagi mau bawa pulang segitu banyaknya. Emangnya perut Mas Andra muat makan sebanyak itu nanti?" Setelah pramusaji itu menjauh dari mereka, dengan polosnya Kania menanyai Andra mengenai jumlah pesanan lelaki itu yang dirasanya terlalu banyak.
Usai membayar semua pesanan, Andra mengantarkan kembali Kania ke kantor dan langsung menyerahkan bungkusan yang tadi dipesannya untuk dibagikan kepada teman-teman kantor Kania."Mbak, tolong ini dibagi-bagikan ya. Maaf kalau ada yang nggak kebagian, soalnya saya nggak tahu berapa jumlah karyawan yang ada di dalam kantor ini," ucap Andra sambil menyerahkan sebungkus besar kantong kresek kepada Rani, resepsionis yang ada di depannya."Terima kasih banyak, Pak. Cukup kok, Pak ini jumlahnya. Saya bagikan dulu ke dalam, terima kasih sekali lagi, Pak, Bu." Rani menerima bungkusan itu setelah mendapat persetujuan dari Kania dan segera berlalu untuk meminta bantuan kepada office girl untuk membagikan nasi kotak dari Andra."Mas, makasih banyak ya. Udah diajakin makan siang, eh buat temen-temen aku di kantor juga dibawain. Kamu repot-repot amat, sih? Padahal nggak usah kaya gitu, aku nggak enak jadinya." Kania pura-pura merasa tidak enak dengan perhatian yang diberikan A
Sementara itu di perumahan Pondok Indah, pertengkaran antara Arga dan Rasti tidak dapat dielakkan lagi, Arga merasa sudah sangat kesal dengan tingkah Rasti yang seolah tidak mempunyai rasa malu lagi. Rasti sekarang bahkan sudah mulai berani memakai pakaian yang memperlihatkan auratnya, tidak hanya itu saja, Rasti pun sudah berani meladeni berbagai pesan-pesan singkat yang dikirimkan beberapa lelaki iseng kepadanya.Rasti pun sudah berani melawan Arga dan setiap kali diajak Arga menunaikan ibadah salat berjamaah, selalu saja ada alasannya untuk menolak."Rasti! Aku bener-bener nggak habis pikir sama kamu sekarang! Kamu beda banget dengan Rasti yang dulu aku kenal! Aku tahu dari dulu kamu nggak pernah suka pakai baju panjang tapi setidaknya kamu masih tahu batas, tapi sekarang ... seakan tidak ada lagi rasa malu pada dirimu. Sekarang kamu berani pakai baju yang memamerkan aurat dan kamu juga nggak merasa malu melayani chat para lelaki iseng itu. Kamu anggap aku ini apa?!
Sementara itu Kirana yang tengah asyik memakan janin-janin tidak berdosa yang telah di buang oleh orang tuanya di sebuah gubuk tua yang dipakai sebagai tempat aborsi ilegal, tampak di datangi oleh satu sosok perempuan cantik yang juga tidak kasat mata.Perempuan cantik itu mengamati Kirana begitu rupa, di dalam hati perempuan itu terselip satu niat untuk memperalat Kirana demi meluluskan niatnya untuk menjadikan Kania sebagai pengganti dirinya.Perempuan cantik yang tengah mengamati Kirana itu adalah Nyai Lakeswari. Dengan ilmu Ngrogoh Sukmo yang dimilikinya amat mudah baginya untuk pergi ke sana ke mari tanpa diketahui oleh siapa pun. Lakeswari terus menatap ke arah Kirana, menunggu perempuan kuntilanak merah itu selesai menyantap semua makanannya, dan baru mendekati setelah Kirana menyelesaikan semuanya."Bagaimana? Enak bukan, darah, daging dan tulang-tulang muda itu. Tentu rasanya sangat gurih, dan sesuai dengan seleramu," sindir Nyai Lakeswari melihat Kiran
Di Kerajaan Mahasura, Mahesa tampak sedang gelisah. Dia teringat dengan kata-kata Nyai Lakeswari tentang hubungannya dengan Kania. Walaupun mereka baru saja berhubungan, tetapi Mahesa lebih merasa cocok dengan Kania, sementara dengan Nyai Lakeswari sebenarnya Mahesa hanya menginginkan kekuasaan dan kekuatan semata.Mahesa mondar mandir mencari cara agar Nyai Lakeswari tidak mencelakai Kania, karena Mahesa tahu Nyai Lakeswari bukan tipe manusia yang suka memberi ampunan bagi musuh-musuhnya siapapun dia.Setelah beberapa lama Mahesa berpikir, akhirnya dia memutuskan untuk menuruti keinginan Nyai Lakeswari tetapi dia tetap membantu Kania membalaskan dendam seperti janjinya pada perempuan yang telah menjadi istri gaibnya itu."Sepertinya untuk saat ini, aku turuti saja dulu keinginan Nyai Lakeswari setidaknya supaya dia tidak mencelakakan Kania, dan soal bantuanku untuk Kania ... aku akan tetap melakukannya meskipun harus diam-diam," ucap Mahesa pada dirinya sendiri
"Selamat siang, Pak. Bapak ingin bertemu dengan siapa? Apa yang bisa saya bantu?" Rani bertanya pada laki-laki yang masih terus membelakangi dirinya itu.Beberapa kali Rani mengajukan pertanyaan yang sama pada laki-laki yang masih tetap membelakanginya dan bergeming tanpa suara.Merasa kesal karena diacuhkan, Rani kembali mengulang pertanyaannya dengan nada meninggi sambil memegang lengan lelaki itu, dan alangkah terkejutnya dia karena tanpa diduganya, lengan lelaki itu tiba-tiba terlepas dari bahu dan terjatuh ke lantai sementara dari pangkal bahunya darah menetes dengan derasnya diikuti dengan belatung hidup yang berjatuhan berserak di lantai. Tidak hanya itu, tiba-tiba lelaki itu memalingkan wajahnya ke arah Rani dan terlihatlah bahwa separuh lebih wajah lelaki itu telah hancur dan dipenuhi dengan belatung yang masih menggeliat-geliat memakan sisa-sisa daging yang ada di sana.Seketika Rani merasa pusing dan mual, dia tidak tahan melihat pemandangan yang menj
Sesaat kemudian, Kania turun ke tempat di mana terjadi kesurupan massal, di sana tampak beberapa paranormal sedang melakukan ritual untuk mengusir sosok-sosok tak kasat mata yang mengganggu karyawan-karyawannya.Kania mengitarkan pandangannya, mencari tahu siapa yang telah berani menyebabkan kekacauan seperti ini di pabrik miliknyaDan, alangkah terkejutnya Kania ketika melihat sosok Mahesa berdiri menatapnya, dengan bahasa telepati, Kania menyuruh Mahesa mengikutinya ke dalam ruang kerjanya.'Raden! Mau apa ke sini?! Apa Raden yang membuat semua kekacauan ini?! Kuminta Raden ikut aku ... sekarang juga!' perintah Kania dalam hatinya, sambil berjalan menuju ke ruang kerjanya diikuti Raden Mahesa.Sesampainya di dalam ruang kerjanya, Kania langsung meluapkan kemarahannya pada Raden Mahesa.'Raden! Apa maumu sebenarnya! Kenapa Raden membuat onar di sini?! Apa tidak cukup menemui diriku di rumah saja! Aku tidak suka kalau Raden mengganggu para karyawan
Sementara itu di dalam boneka jerami milik Kania, Kirana tampak sedang memikirkan bagaimana cara membujuk Kania supaya bersedia menjadi murid Nyai Lakeswari. Kuntilanak merah itu tampak sekali sedang berpikir dengan keras.Tiba-tiba wajah Kirana tersenyum atau lebih tepatnya menyeringai, dia senang karena sudah menemukan cara untuk membujuk Kania supaya bersedia menjadi murid Nyai Lakeswari."Hahaha. Akhirnya aku mendapatkan cara untuk membujuk Kania agar bersedia jadi murid Nyai Lakeswari, akan kumanfaatkan rasa dendamnya. Akan kurayu dia dengan alasan itu, pasti Kania mau menuruti aku." Kirana tertawa senang, sehingga membuat boneka jerami tempat tinggalnya bergerak-gerak dengan hebatnya.Sambil menunggu malam, Kirana memilih untuk memulihkan tenaganya setelah kalah dari Nyai Lakeswari kemarin. Namun, tiba-tiba Kirana mendengar ada sebuah suara memanggil namanya.'Kirana! Kirana!' Terdengar sebuah suara tanpa wujud memanggil Kirana.Kirana terdia
Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara kayu yang berderak samar di tungku dan napas mereka yang terdengar. Asap dupa masih menguar tipis, namun bau anyir dari ritual tadi masih terasa menyesakkan. Arga menyandarkan tubuhnya ke dinding, matanya terpaku pada lantai. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya penuh tekad. “Kita nggak bisa terus-terusan bertahan seperti ini,” katanya akhirnya. “Kalau kita nggak bergerak duluan, mereka yang akan menghancurkan kita.” Barda mengangguk, tangannya meraih segenggam garam dari mangkuk kecil di meja, menaburkannya ke lantai sambil berbisik pelan. “Wangsa Jagal bukan lawan biasa. Mereka bukan cuma sekte pemuja kegelapan, tapi juga penjaga kekuatan yang jauh lebih tua dari yang kita hadapi tadi.” Kania mengerutkan kening. “Kamu tahu siapa yang kita lawan, Barda?” Barda menarik napas panjang. “Aku pernah mendengar tentang mereka dari guruku dulu… Wangsa Jagal bukan sekadar kelompok manusia. Mereka memiliki darah keturunan penjaga gerbang antara d
Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara kayu yang berderak samar di tungku dan napas mereka yang terdengar. Asap dupa masih menguar tipis, namun bau anyir dari ritual tadi masih terasa menyesakkan. Arga menyandarkan tubuhnya ke dinding, matanya terpaku pada lantai. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya penuh tekad. “Kita nggak bisa terus-terusan bertahan seperti ini,” katanya akhirnya. “Kalau kita nggak bergerak duluan, mereka yang akan menghancurkan kita.” Barda mengangguk, tangannya meraih segenggam garam dari mangkuk kecil di meja, menaburkannya ke lantai sambil berbisik pelan. “Wangsa Jagal bukan lawan biasa. Mereka bukan cuma sekte pemuja kegelapan, tapi juga penjaga kekuatan yang jauh lebih tua dari yang kita hadapi tadi.” Kania mengerutkan kening. “Kamu tahu siapa yang kita lawan, Barda?” Barda menarik napas panjang. “Aku pernah mendengar tentang mereka dari guruku dulu… Wangsa Jagal bukan sekadar kelompok manusia. Mereka memiliki darah keturunan penjaga gerbang antara d
“Lalu dia apa?” Arga menatap curiga. “Dia adalah Wangsa Jagal,” jawab Barda. “Makhluk yang lahir dari rasa dendam, kemarahan, dan rasa kehilangan yang mendalam."Arga menelan ludah. “Jadi... makhluk itu muncul karena…?”“Karena jiwa Rasti yang belum tenang,” Barda menatap mereka penuh makna. “Dan jika kalian tidak cepat bertindak… arwah Rasti yang asli akan terseret… menjadi bagian dari kegelapan itu.”Di balik bayang-bayang malam, sosok menyerupai Rasti berjongkok di tanah, mencakar-cakar bumi dengan jari-jarinya yang kurus dan hitam. “Aku akan kembali…” suaranya bergetar, penuh kebencian. “Aku akan membuat mereka merasakan rasa sakit yang sama…” Sosok itu menengadah, matanya bersinar merah membara. “Aku akan membuat mereka membayar… dengan nyawa mereka."Malam kembali turun, menyelimuti desa dengan keheningan yang mencekam. Kania dan Arga duduk di beranda rumah Barda, menunggu sang paranormal menyelesaikan persiapannya. Cahaya lampu minyak berkelip samar, menambah kesan mura
Sosok yang menyerupai Rasti melesat ke arah mereka dengan kecepatan yang tidak wajar. Nafas Rahayu terhenti, tubuhnya menegang dalam pelukan Roy. “Minggir!” bentak Kania. Dengan cepat, Kania mendorong Roy dan Rahayu ke samping. Bayangan mengerikan itu melesat melewati mereka, nyaris mencengkeram bahu Rahayu. Namun Kania lebih sigap. Dengan sejumput garam yang selama ini ia simpan di sakunya, ia menebarkannya ke arah bayangan itu. SRAAKK!Sosok yang menyerupai Rasti berteriak nyaring. Tubuhnya mengerut, kulit pucatnya mengelupas, memperlihatkan lapisan hitam berlendir di bawahnya. Matanya, yang tadinya bersinar merah, kini mendidih seperti darah mendidih. “Kau akan membayar ini…” desisnya sebelum menghilang dalam kabut kelam yang menyesakkan. Suasana mendadak senyap. Hanya suara napas Rahayu yang terdengar, tersengal-sengal seperti orang yang baru keluar dari mimpi buruk. Roy membantu Rahayu duduk di sofa. Tubuh istrinya gemetar hebat. “Sayang… tenang… tenang…” Roy
Malam semakin larut, tetapi tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa tidur. Rahayu masih duduk di sofa, sesekali menggigil meskipun Roy sudah menyelimutinya. Tatapannya kosong, pikirannya penuh dengan suara yang tadi ia dengar—suara yang seharusnya tidak mungkin ada. Roy sendiri berusaha menenangkan dirinya. Sebagai seorang pria yang selalu berpikir logis, semua ini sulit ia terima. Tetapi ia tidak bisa menyangkal kenyataan. Mereka melihat sesuatu. Mereka mendengar sesuatu. Dan sekarang… mereka tidak tahu apakah itu akan kembali atau tidak. Di sudut ruangan, Kania berdiri sambil menatap langit malam di luar jendela. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi ia bisa merasakan sesuatu di luar sana. Sesuatu yang belum pergi. Arga, yang sejak tadi diam, akhirnya bangkit dari duduknya. “Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Roy mengerutkan kening. “Maksudmu?” Arga menatap mereka semua. “Apa yang kita hadapi ini bukan sekadar arwah penasaran. Kalau memang Rasti masih
Keheningan yang mencekam menggantung di udara.Ruangan yang tadinya dipenuhi bisikan dan suara tawa menyeramkan kini terasa sunyi. Namun, hawa dingin yang menyelimuti mereka belum sepenuhnya pergi.Arga masih terduduk di lantai, merasakan sisa-sisa nyeri akibat hantaman keras tadi. Napasnya masih berat, pikirannya kacau. Ia mengalihkan pandangannya ke Kania, yang masih berdiri tegap dengan belati di tangannya.Kania tetap waspada, matanya mengitari ruangan, seakan mencari tanda-tanda keberadaan sosok tadi.Rahayu masih terisak di sudut ruangan, sementara Roy berdiri kaku di sampingnya. Wajahnya pucat, tangannya bergetar.Ia tidak pernah percaya pada hal-hal seperti ini sebelumnya. Tapi kini?**Ia baru saja melihat putrinya yang telah mati… atau sesuatu yang menyerupainya.**
Cahaya lilin kembali berkedip-kedip, menciptakan bayangan menari di dinding yang seakan hidup. Sosok itu masih berdiri di sana—diam, tetapi keberadaannya memenuhi ruangan dengan hawa dingin yang menyesakkan. Rahayu semakin erat mencengkeram lengan Roy, tubuhnya gemetar. “T-tidak… Ini tidak mungkin…” suaranya nyaris tak terdengar. Roy menelan ludah, otot-ototnya menegang. Ia ingin melindungi istrinya, tetapi tubuhnya terasa berat, seakan sesuatu menahannya. Arga masih terpaku di tempatnya. Matanya tidak bisa lepas dari sosok itu. Wujud itu memang terlihat seperti Rasti… tapi ada sesuatu yang sangat salah. Wajah itu. Saat masih hidup, Rasti memiliki tatapan tajam penuh emosi. Tapi yang berdiri di hadapan mereka sekarang hanya memiliki mata kosong, merah membara, seakan dipenuhi api neraka yang berpendar dalam kegelapan. "Kau pikir ini sudah berakhir, Arga?" Suara itu menggema, lebih berat, lebih dalam. Lalu… ia mulai melangkah. Bukan dengan cara manusia berjalan. Tetap
Suasana di dalam rumah duka semakin terasa berat. Waktu seolah berhenti, meninggalkan hanya isak tangis yang menggema di antara dinding.Rahayu masih terisak, wajahnya basah oleh air mata, sementara Roy tetap duduk diam, menatap lantai dengan pandangan kosong.Arga tak mengatakan apa-apa lagi. Semua yang perlu ia sampaikan sudah keluar. Namun, di dalam dirinya, perasaan bersalah tetap menyelubungi.Kania masih berdiri di sudut ruangan, diam-diam memperhatikan ekspresi Arga. Ada sesuatu dalam tatapannya—sebuah kehampaan yang begitu dalam, seolah ia telah kehilangan lebih dari sekadar istri.Namun, ketegangan belum sepenuhnya reda.Sebuah suara lirih akhirnya keluar dari mulut Rahayu.“Jika Rasti memang sudah... pergi, kenapa aku masih bisa merasakannya?”Arga menoleh,
Langit kelabu seolah berduka, menurunkan gerimis yang tipis namun dingin. Angin membawa aroma tanah basah, menyelimuti pemakaman dengan kesunyian yang berat.Sejumlah orang berpakaian hitam berdiri di sekitar pusara yang masih merah, menundukkan kepala. Payung-payung terbuka, melindungi mereka dari hujan, tapi tidak bisa melindungi hati mereka dari luka yang menganga.Kania berdiri di antara mereka, tanpa payung, membiarkan hujan membasahi wajahnya yang sudah dipenuhi air mata.Di depannya, Arga berdiri kaku, tatapannya kosong. Ia tak berkedip saat tanah perlahan menutupi peti Lilian. Di sampingnya, Darma hanya terdiam, wajahnya mengeras seperti batu, tapi tangan yang mengepal menunjukkan emosi yang ia tahan mati-matian.Kania tidak bisa menatap mereka lama-lama. Terutama Darma.Ia tahu, di mata Darma, dirinya adalah penyebab semua ini.Ketika doa terakhir selesai dibacakan, satu per satu orang mulai beranjak pergi. Beberapa menyentuh bahu Arga dengan lembut, memberi dukungan dalam di