Namun, petugas keamanan itu segera meneruskan kembali langkahnya setelah melihat Rasti tengah menatapnya dengan pandangan tidak suka dan menusuk seolah ingin mencongkel bola matanya, selain ancaman dan makian yang dilontarkan kepadanya.
"Apa lu lihat-lihat, hah! Pergi nggak lu, atau lu mau gue bunuh terus gue congkel biji mata elu karena udah berani kepo sama urusan gue! Pergi nggak lu! Pergi!" teriak Rasti nyaring sehingga mengagetkan petugas keamanan perumahan itu dan membuatnya segera meninggalkan rumah Rasti dan Arga dengan setengah berlari sambil menempelkan jari telunjuknya di dahi.
Rasti yang dari sebelumnya sudah merasa sangat marah kepada Arga pun semakin marah dan melemparkan pot bunga yang berada di dekatnya, kemudian masuk ke dalam rumah dan membanting pintu kencang-kencang.
Dengan penuh amarah, Rasti berlari menuju kamarnya untuk menyiapkan peralatan ritual yang akan dikerjakannya nanti tengah malam di hari
Kediaman Mbah Kromo.Seusai menerima panggilan suara dari Rasti, Mbah Kromo bergegas menyiapkan berbagai perlengkapan yang akan dipakai untuk melaksanakan ritual guna mengulur waktu kepulangan Arga ke rumah nanti sore.Dupa yang telah habis diganti dengan yang baru, dan mulai dinyalakan membuat wangi asapnya menguar ke seluruh ruangan. Selarik demi selarik mantra dirapal di bibir hitamnya yang tebal. Membuat suasana yang tadinya biasa berubah menjadi tegang dan mencekam meski pun saat itu masih siang hari.Angin deras dan dingin mulai menerpa ke dalam ruangan kecil yang dipakai lelaki tua itu untuk ritual berdukun, membuat benda-benda yang ada di dalam sana bergoyang. Hawa panas dan dingin bercampur menjadi satu, aroma telur busuk memaksa masuk ke dalam indera penciuman. Dan dalam sekejap mata sosok yang dipanggil pun muncul, mendatangi tuannya."Ada apa Mbah memanggil saya? Tugas apa yang harus saya lakukan kali ini?" tanya sosok berwarna putih tinggi, b
"Baik. Aku akan memenuhi persyaratanmu, malam ini juga akan kubu*nuh kedua orang tuaku. Kamu akan melihat bukti cintaku kepadamu." Kromo memantabkan tekatnya demi menikahi wanita idaman hatinya dan terjadilah apa yang diinginkan oleh wanita itu.Kromo berhasil membun*uh kedua orang tuanya tetapi nasib apes menimpa dirinya saat hendak membuang jasad kedua orang tuanya itu Kromo tertangkap basah oleh seseorang yang ternyata adalah suruhan Marni dan harus mendekam di penjara selama beberapa tahun.Sekali lagi demi mendapatkan wanitanya, Kromo rela menjalani hukuman itu dengan harapan bisa menikahi Marni setelah dia keluar dari penjara nanti.Namun, apa yang terjadi? Setelah Kromo muda menjalani hukumannya, ternyata wanita itu, Marni meninggalkan dirinya dan menikah dengan pria lain. Tidak hanya itu saja, Marni bahkan menghinanya habis-habisan dan menyebutnya sebagai pembun*uh berdarah dingin sehingga membuat dirinya menjadi
Setelah beberapa kali panggilan videonya diabaikan, tiba-tiba panggilan video yang entah ke berapa kalinya dijawab oleh Arga, di sana tampak beberapa tumpukan berkas yang sedang dikerjakan Arga menunjukkan bahwa Arga baik-baik saja, bahkan tampak Arga sedang melahap makan siang yang baru sempat dipesannya karena banyaknya pekerjaan yang menunggu persetujuan dari dirinya.[Mas, lagi apa?] tanya Rasti mengawali percakapan dengan Arga.[Ya, seperti yang kamu lihat. Aku sedang makan siang sekarang, pekerjaanku lagi banyak banget jadi baru sempet makan.] Arga menunjukkan tempat makan siangnya dari sebuah restoran makanan Jepang.[Syukurlah Mas, kalau kamu baik-baik saja. Maaf ya, Mas tadi pagi aku marah-marah.] Rasti menghembuskan nafas lega melihat suaminya baik-baik saja.[Ya, aku juga minta maaf ya, Sayang. Ohya, kamu sudah makan belum? Kalau belum, makan dulu sana, aku mau nyelesaiin pekerjaanku lagi nih biar nanti
Dengan sekejap mata, Pocong Marni pun segera kembali ke rumah Mbah Kromo untuk melaporkan hasil kerjanya. Mbah Kromo mengangguk-angguk mendengar laporan Pocong Marni, dia meras cukup puas dengan hasil kerja anak buahnya walau pun belum sepenuhnya sempurna.Bertepatan dengan usainya laporan dari Pocong Marni, di pintu depan rumah Mbah Kromo terdengar seperti ada orang yang mengetok. Dan benar saja, persis seperti dugaannya, Rasti sudah berada di depan pintu rumahnya. Terburu-buru Mbah Kromo menyuruh Pocong Marni untuk pergi dari situ."Masuk!" Mbah Kromo berteriak menyuruh Rasti masuk ke dalam rumahnya.Mendengar suara Mbah Kromo, Rasti pun bergegas masuk karena dia masih selalu merasa merinding setiap kali datang ke rumah itu, padahal dia sudah termasuk sering mendatangi rumah Mbah Kromo."Ada apa?" Tanpa basa-basi, Mbah Kromo langsung menanyakan maksud kedatangan Rasti ke rumahnya, "tunggu dulu aku
"Ada, tapi Mbah nggak tahu apa kamu mau melakukannya setelah tahu syaratnya?" sindir Mbah Kromo kepada Rasti yang begitu serius mendengarkan setiap perkataannya dan menatapnya dengan intens.Tanpa pikir panjang, Rasti langsung saja mengiyakan perkataan Mbah Kromo, "mau, Mbah. Saya mau melakukannya, apa pun itu."Mbah Kromo menampakkan smirk dengan wajah menghina kepada Rasti. Baginya perempuan di depannya ini selain sudah menjadi budak setan juga sudah tidak lagi memiliki harga diri."Yakin? Kamu mau?" Mbah Kromo kembali bertanya kepada Rasti untuk meyakinkan perempuan itu pada keputusannya."Yakin, Mbah. Seratus persen yakin!" Rasti menjawab dengan tegas.Rasti sudah tidak peduli harus melakukan cara sesesat apa hanya demi mengikat Arga supaya tidak kembali kepada Kania."Baiklah kalau kamu benar-benar yakin. Syaratnya mudah dan enak sekali, kamu cukup
Sementara itu di Arga yang baru saja siuman, merasakan sakit kepala yang luar biasa. Sesaat dia merasa heran kenapa dia tidur di lantai, 'aduh! Kepalaku sakit sekali rasanya, dan ini ... kenapa aku bisa tidur di lantai ya? Apa yang sudah terjadi padaku?"Sambil memijat-mijat kepalanya yang terasa sakit, Arga berusaha mengingat-ingat kembali apa yang terjadi padanya dan setelah berhasil mengingat, dia langsung menepuk dahinya yang langsung dielusnya karena merasa sakit.'Ah, iya. Aku ingat sekarang, kakiku tadi terkait satu sama lain saat akan berjalan lalu kepalaku menghantam lemari buku dan menghantam tembok sebelum aku tidak sadarkan diri." Arga menggumam sambil terus mengelus-elus dahinya.Setelah beberapa saat terduduk di lantai untuk menghilangkan sakit kepala akibat menghantam lemari buku dan tembok, Arga melihat jam tangan yang selalu setia melingkar di pergelangan tangan kirinya, dan seketika kedua mata Arga memb
Sementara itu Rasti yang sudah sampai di rumah lebih dulu daripada Arga langsung membersihkan badan dan mempersiapkan makan malam untuk suaminya.Sambil mempersiapkan makan malam, Rasti mengingat kembali kejadian yang baru saja dilaluinya di rumah Mbah Kromo.***Setelah semua persiapan untuk nikah jin sudah siap, Rasti dipersilahkan masuk ke dalam kamar khusus itu. Begitu berada di dalam kamar, Rasti tercengang melihat kondisi dalam kamar itu ternyata berbeda seratus delapan puluh derajat dengan yang dia bayangkan sebelumnya.Rasti membayangkan kamar itu penuh dengan sesajen, aroma-aroma anyir darah dan barang-barang ritual yang mengerikan lainnya, tetapi ternyata semua itu tidak ada di sini, yang ada hanyalah sebuah spring bed besar yang dilapisi kain sutra putih dan ditaburi dengan bunga mawar, kamboja, kantil dan kenanga.Rasti merasa tegang membayangkan kalau dirinya akan be
Perlahan lelaki itu mengusap wajah Rasti, sementara bibirnya perlahan menyentuh bibir Rasti, semakin lama semakin intens dan jauh sehingga membuat Rasti dan lelaki jelmaan iblis itu melakukan hubungan terlarang yang tidak masuk akal itu.Usai melakukan hubungan terlarang itu, Rasti berniat menanyakan siapa lelaki itu, tetapi belum sempat pertanyaan tersebut terucap, lelaki sudah menghilang dari pandangan matanya, hanya tertinggal suaranya saja yang masih bisa terdengar, "aku Ganendra, jelmaan iblis yang akan selalu membantumu. Mulai saat ini aku adalah suami gaibmu, Rasti, aku bersedia berbagi dengan suami manusiamu tapi kau tidak akan memiliki hasrat selain kepada diriku. Apa kau terima itu?" tanya suara sosok jelmaan iblis yang ternyata bernama Ganendra itu."Ya, Ganendra. Aku menerimanya, aku menerima dirimu sebagai suami gaibku. Tapi bagaimana dengan Mbah Kromo yang juga menginginkan diriku setelah ini?" Rasti menanyakan persyaratan sela
Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara kayu yang berderak samar di tungku dan napas mereka yang terdengar. Asap dupa masih menguar tipis, namun bau anyir dari ritual tadi masih terasa menyesakkan. Arga menyandarkan tubuhnya ke dinding, matanya terpaku pada lantai. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya penuh tekad. “Kita nggak bisa terus-terusan bertahan seperti ini,” katanya akhirnya. “Kalau kita nggak bergerak duluan, mereka yang akan menghancurkan kita.” Barda mengangguk, tangannya meraih segenggam garam dari mangkuk kecil di meja, menaburkannya ke lantai sambil berbisik pelan. “Wangsa Jagal bukan lawan biasa. Mereka bukan cuma sekte pemuja kegelapan, tapi juga penjaga kekuatan yang jauh lebih tua dari yang kita hadapi tadi.” Kania mengerutkan kening. “Kamu tahu siapa yang kita lawan, Barda?” Barda menarik napas panjang. “Aku pernah mendengar tentang mereka dari guruku dulu… Wangsa Jagal bukan sekadar kelompok manusia. Mereka memiliki darah keturunan penjaga gerbang antara d
Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara kayu yang berderak samar di tungku dan napas mereka yang terdengar. Asap dupa masih menguar tipis, namun bau anyir dari ritual tadi masih terasa menyesakkan. Arga menyandarkan tubuhnya ke dinding, matanya terpaku pada lantai. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya penuh tekad. “Kita nggak bisa terus-terusan bertahan seperti ini,” katanya akhirnya. “Kalau kita nggak bergerak duluan, mereka yang akan menghancurkan kita.” Barda mengangguk, tangannya meraih segenggam garam dari mangkuk kecil di meja, menaburkannya ke lantai sambil berbisik pelan. “Wangsa Jagal bukan lawan biasa. Mereka bukan cuma sekte pemuja kegelapan, tapi juga penjaga kekuatan yang jauh lebih tua dari yang kita hadapi tadi.” Kania mengerutkan kening. “Kamu tahu siapa yang kita lawan, Barda?” Barda menarik napas panjang. “Aku pernah mendengar tentang mereka dari guruku dulu… Wangsa Jagal bukan sekadar kelompok manusia. Mereka memiliki darah keturunan penjaga gerbang antara d
“Lalu dia apa?” Arga menatap curiga. “Dia adalah Wangsa Jagal,” jawab Barda. “Makhluk yang lahir dari rasa dendam, kemarahan, dan rasa kehilangan yang mendalam."Arga menelan ludah. “Jadi... makhluk itu muncul karena…?”“Karena jiwa Rasti yang belum tenang,” Barda menatap mereka penuh makna. “Dan jika kalian tidak cepat bertindak… arwah Rasti yang asli akan terseret… menjadi bagian dari kegelapan itu.”Di balik bayang-bayang malam, sosok menyerupai Rasti berjongkok di tanah, mencakar-cakar bumi dengan jari-jarinya yang kurus dan hitam. “Aku akan kembali…” suaranya bergetar, penuh kebencian. “Aku akan membuat mereka merasakan rasa sakit yang sama…” Sosok itu menengadah, matanya bersinar merah membara. “Aku akan membuat mereka membayar… dengan nyawa mereka."Malam kembali turun, menyelimuti desa dengan keheningan yang mencekam. Kania dan Arga duduk di beranda rumah Barda, menunggu sang paranormal menyelesaikan persiapannya. Cahaya lampu minyak berkelip samar, menambah kesan mura
Sosok yang menyerupai Rasti melesat ke arah mereka dengan kecepatan yang tidak wajar. Nafas Rahayu terhenti, tubuhnya menegang dalam pelukan Roy. “Minggir!” bentak Kania. Dengan cepat, Kania mendorong Roy dan Rahayu ke samping. Bayangan mengerikan itu melesat melewati mereka, nyaris mencengkeram bahu Rahayu. Namun Kania lebih sigap. Dengan sejumput garam yang selama ini ia simpan di sakunya, ia menebarkannya ke arah bayangan itu. SRAAKK!Sosok yang menyerupai Rasti berteriak nyaring. Tubuhnya mengerut, kulit pucatnya mengelupas, memperlihatkan lapisan hitam berlendir di bawahnya. Matanya, yang tadinya bersinar merah, kini mendidih seperti darah mendidih. “Kau akan membayar ini…” desisnya sebelum menghilang dalam kabut kelam yang menyesakkan. Suasana mendadak senyap. Hanya suara napas Rahayu yang terdengar, tersengal-sengal seperti orang yang baru keluar dari mimpi buruk. Roy membantu Rahayu duduk di sofa. Tubuh istrinya gemetar hebat. “Sayang… tenang… tenang…” Roy
Malam semakin larut, tetapi tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa tidur. Rahayu masih duduk di sofa, sesekali menggigil meskipun Roy sudah menyelimutinya. Tatapannya kosong, pikirannya penuh dengan suara yang tadi ia dengar—suara yang seharusnya tidak mungkin ada. Roy sendiri berusaha menenangkan dirinya. Sebagai seorang pria yang selalu berpikir logis, semua ini sulit ia terima. Tetapi ia tidak bisa menyangkal kenyataan. Mereka melihat sesuatu. Mereka mendengar sesuatu. Dan sekarang… mereka tidak tahu apakah itu akan kembali atau tidak. Di sudut ruangan, Kania berdiri sambil menatap langit malam di luar jendela. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi ia bisa merasakan sesuatu di luar sana. Sesuatu yang belum pergi. Arga, yang sejak tadi diam, akhirnya bangkit dari duduknya. “Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Roy mengerutkan kening. “Maksudmu?” Arga menatap mereka semua. “Apa yang kita hadapi ini bukan sekadar arwah penasaran. Kalau memang Rasti masih
Keheningan yang mencekam menggantung di udara.Ruangan yang tadinya dipenuhi bisikan dan suara tawa menyeramkan kini terasa sunyi. Namun, hawa dingin yang menyelimuti mereka belum sepenuhnya pergi.Arga masih terduduk di lantai, merasakan sisa-sisa nyeri akibat hantaman keras tadi. Napasnya masih berat, pikirannya kacau. Ia mengalihkan pandangannya ke Kania, yang masih berdiri tegap dengan belati di tangannya.Kania tetap waspada, matanya mengitari ruangan, seakan mencari tanda-tanda keberadaan sosok tadi.Rahayu masih terisak di sudut ruangan, sementara Roy berdiri kaku di sampingnya. Wajahnya pucat, tangannya bergetar.Ia tidak pernah percaya pada hal-hal seperti ini sebelumnya. Tapi kini?**Ia baru saja melihat putrinya yang telah mati… atau sesuatu yang menyerupainya.**
Cahaya lilin kembali berkedip-kedip, menciptakan bayangan menari di dinding yang seakan hidup. Sosok itu masih berdiri di sana—diam, tetapi keberadaannya memenuhi ruangan dengan hawa dingin yang menyesakkan. Rahayu semakin erat mencengkeram lengan Roy, tubuhnya gemetar. “T-tidak… Ini tidak mungkin…” suaranya nyaris tak terdengar. Roy menelan ludah, otot-ototnya menegang. Ia ingin melindungi istrinya, tetapi tubuhnya terasa berat, seakan sesuatu menahannya. Arga masih terpaku di tempatnya. Matanya tidak bisa lepas dari sosok itu. Wujud itu memang terlihat seperti Rasti… tapi ada sesuatu yang sangat salah. Wajah itu. Saat masih hidup, Rasti memiliki tatapan tajam penuh emosi. Tapi yang berdiri di hadapan mereka sekarang hanya memiliki mata kosong, merah membara, seakan dipenuhi api neraka yang berpendar dalam kegelapan. "Kau pikir ini sudah berakhir, Arga?" Suara itu menggema, lebih berat, lebih dalam. Lalu… ia mulai melangkah. Bukan dengan cara manusia berjalan. Tetap
Suasana di dalam rumah duka semakin terasa berat. Waktu seolah berhenti, meninggalkan hanya isak tangis yang menggema di antara dinding.Rahayu masih terisak, wajahnya basah oleh air mata, sementara Roy tetap duduk diam, menatap lantai dengan pandangan kosong.Arga tak mengatakan apa-apa lagi. Semua yang perlu ia sampaikan sudah keluar. Namun, di dalam dirinya, perasaan bersalah tetap menyelubungi.Kania masih berdiri di sudut ruangan, diam-diam memperhatikan ekspresi Arga. Ada sesuatu dalam tatapannya—sebuah kehampaan yang begitu dalam, seolah ia telah kehilangan lebih dari sekadar istri.Namun, ketegangan belum sepenuhnya reda.Sebuah suara lirih akhirnya keluar dari mulut Rahayu.“Jika Rasti memang sudah... pergi, kenapa aku masih bisa merasakannya?”Arga menoleh,
Langit kelabu seolah berduka, menurunkan gerimis yang tipis namun dingin. Angin membawa aroma tanah basah, menyelimuti pemakaman dengan kesunyian yang berat.Sejumlah orang berpakaian hitam berdiri di sekitar pusara yang masih merah, menundukkan kepala. Payung-payung terbuka, melindungi mereka dari hujan, tapi tidak bisa melindungi hati mereka dari luka yang menganga.Kania berdiri di antara mereka, tanpa payung, membiarkan hujan membasahi wajahnya yang sudah dipenuhi air mata.Di depannya, Arga berdiri kaku, tatapannya kosong. Ia tak berkedip saat tanah perlahan menutupi peti Lilian. Di sampingnya, Darma hanya terdiam, wajahnya mengeras seperti batu, tapi tangan yang mengepal menunjukkan emosi yang ia tahan mati-matian.Kania tidak bisa menatap mereka lama-lama. Terutama Darma.Ia tahu, di mata Darma, dirinya adalah penyebab semua ini.Ketika doa terakhir selesai dibacakan, satu per satu orang mulai beranjak pergi. Beberapa menyentuh bahu Arga dengan lembut, memberi dukungan dalam di