Masa Sekarang
Tidak terasa, dua tahun sudah Arga dan Kania telah resmi berpisah. Selama itu pula, Arga telah berhasil melupakan Kania, menghilangkan bayangan Kania dari ingatannya terlebih setelah dirinya menikah dengan Rasti satu setengah tahun lalu. Akan tetapi, entah kenapa setelah peristiwa anaknya lahir dalam keadaan meninggal itu perasaan Arga terhadap istrinya itu tidak lagi menggebu-gebu seperti saat pertama bertemu setelah perceraiannya dengan Kania. Dia merasa ada sesuatu yang aneh dengan istrinya, tetapi Arga tidak tahu apa itu.
Malah sebaliknya, kini ingatannya kepada Kania, mantan istrinya menjadi semakin nyata, semakin kuat dan hal itu membuat Arga sangat tertekan seperti saat ini.
"KANIAAAAAA!" Arga berteriak sekencang-kencangnya, untung ruangannya itu dilapisi peredam suara, kalau tidak ... entah berapa stafnya akan berdatangan menghampirinya ke ruang kerjanya sekarang.
Arga merasa di
'Kania. Kenapa aku jadi teringat terus pada perempuan itu ya? Apa karena dosaku di masa lalu yang membuatku kembali ingat kepadanya?' resah dan gelisah rasa hati Andra memikirkan kejahatan yang selalu berusaha dilupakannya itu.Semakin Andra merasa bersalah kepada Kania, semakin ingatannya tertuju kepada sosok Kania. Sosok yang begitu ceria saat bertemu dengannya kemarin, seakan di antara mereka tidak pernah ada masalah apa pun.Keresahan hati Andra membuatnya merasa begitu lelah dan mengantuk, sehingga dia memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak untuk mengistirahatkan pikirannya dari mengingat Kania.'Aahh ... lelah sekali rasanya dan mataku pun mengantuk. Mumpung masih ada waktu satu setengah jam, lebih baik aku tidur sejenak. Siapa tahu dengan cara itu, aku tidak lagi mengingat Kania,' gumam Andra sambil merebahkan badannya di ranjang dan mulai memejamkan matanya.Namun, belum sampai sepuluh m
Sementara itu di kawasan Ancol, di sebuah rumah paling mewah di kawasan tersebut, tampak seorang wanita berparas cantik rupawan tengah tersenyum sendiri sambil memandangi pantulan wajahnya di sebuah cermin besar di hadapannya. Perempuan itu adalah Kania, sejak bercerai dengan Arga dua tahun lalu, Kania memilih untuk pergi meninggalkan rumah suaminya di Pondok Indah dan memilih membeli rumah sendiri di sebuah kawasan elit di Ancol. Usai mengakhiri panggilan videonya, Kania tertawa terbahak-bahak, dia merasa sangat bahagia karena ternyata ajian pengasihan Jaran Goyang yang dia dapat dari Nyai Lakeswari, salah satu sesepuh adat salah satu suku di Blambyangan, ahli teluh luar biasa hebat dan sakti, berhasil memikat Andra bahkan belum sampai satu hari dari waktu mereka bertemu. Tidak percuma dulu dia mengeluarkan banyak uang untuk menemui perempuan sakti itu hingga ke pelosok hutan di ujung timur Pulau Jawa. 'Well Andra
Sementara itu tanpa Kania sadari boneka jerami berbalut kafan yang sudah lama tidak disentuhnya itu tiba-tiba bergerak sendiri tanpa disentuh oleh siapa pun, mata boneka yang semula tidak berwarna pun berubah menjadi semerah darah, lilin yang sebelumnya mati pun mendadak menyala sendiri, dan tiba-tiba kepala boneka itu ... menoleh ke arah pintu kamar, memandang Kania yang sedang berjalan menuju ke kantor dengan tatapan penuh misteri.Boneka jerami berbalut kafan itu masih terus memandangi Kania hingga hilang dari pandangan. Dengan tatapan kemarahan, dia bermaksud mencelakai Kania karena telah mengacuhkan dirinya sekian lama. Namun, boneka jerami itu dikagetkan dengan kemunculan suara Mahesa secara tiba-tiba di belakangnya."Kirana! Aku tahu kamu ingin berbuat jahat kepada Kania! Kuperingatkan kau, jangan pernah kau berani berbuat jahat kepadanya kalau kamu ingin selamat!" Ancam Raden Mahesa kepada Kirana tegas."Ka
Sementara itu di kediaman Arga di Pondok Indah, Arga dan Rasti sedang beradu mulut karena Rasti merasa jengkel dengan sikap Arga yang dirasanya mulai berubah sejak kematian anak mereka. Rasti merasa Arga tidak lagi perhatian kepadanya dan terus menerus melamun tanpa mempedulikan sekitarnya. Sedangkan Arga merasa jengah dengan sikap Rasti yang sekarang terlalu menuntut darinya, Arga merasa lelah dengan sikap Rasti yang dirasakannya semakin lama semakin egois, mau menang sendiri. "Mas, kenapa ya sejak kematian anak kita, aku merasa sikap Mas Arga kepadaku nggak seperti dulu lagi! Mas Arga sekarang berubah, Mas Arga yang sekarang beda dengan Mas Arga yang dulu aku kenal!" keluh Rasti dengan nada ketus melihat sikap suaminya yang dirasanya mulai berubah. "Beda gimana sih? Aku biasa aja, nggak ada yang beda. Kamu kali yang berubah, kamu sudah nggak semanis dulu lagi sama aku. Rasti yang sekarang terlalu banyak menuntut,
Namun, petugas keamanan itu segera meneruskan kembali langkahnya setelah melihat Rasti tengah menatapnya dengan pandangan tidak suka dan menusuk seolah ingin mencongkel bola matanya, selain ancaman dan makian yang dilontarkan kepadanya."Apa lu lihat-lihat, hah! Pergi nggak lu, atau lu mau gue bunuh terus gue congkel biji mata elu karena udah berani kepo sama urusan gue! Pergi nggak lu! Pergi!" teriak Rasti nyaring sehingga mengagetkan petugas keamanan perumahan itu dan membuatnya segera meninggalkan rumah Rasti dan Arga dengan setengah berlari sambil menempelkan jari telunjuknya di dahi.Rasti yang dari sebelumnya sudah merasa sangat marah kepada Arga pun semakin marah dan melemparkan pot bunga yang berada di dekatnya, kemudian masuk ke dalam rumah dan membanting pintu kencang-kencang.Dengan penuh amarah, Rasti berlari menuju kamarnya untuk menyiapkan peralatan ritual yang akan dikerjakannya nanti tengah malam di hari
Kediaman Mbah Kromo.Seusai menerima panggilan suara dari Rasti, Mbah Kromo bergegas menyiapkan berbagai perlengkapan yang akan dipakai untuk melaksanakan ritual guna mengulur waktu kepulangan Arga ke rumah nanti sore.Dupa yang telah habis diganti dengan yang baru, dan mulai dinyalakan membuat wangi asapnya menguar ke seluruh ruangan. Selarik demi selarik mantra dirapal di bibir hitamnya yang tebal. Membuat suasana yang tadinya biasa berubah menjadi tegang dan mencekam meski pun saat itu masih siang hari.Angin deras dan dingin mulai menerpa ke dalam ruangan kecil yang dipakai lelaki tua itu untuk ritual berdukun, membuat benda-benda yang ada di dalam sana bergoyang. Hawa panas dan dingin bercampur menjadi satu, aroma telur busuk memaksa masuk ke dalam indera penciuman. Dan dalam sekejap mata sosok yang dipanggil pun muncul, mendatangi tuannya."Ada apa Mbah memanggil saya? Tugas apa yang harus saya lakukan kali ini?" tanya sosok berwarna putih tinggi, b
"Baik. Aku akan memenuhi persyaratanmu, malam ini juga akan kubu*nuh kedua orang tuaku. Kamu akan melihat bukti cintaku kepadamu." Kromo memantabkan tekatnya demi menikahi wanita idaman hatinya dan terjadilah apa yang diinginkan oleh wanita itu.Kromo berhasil membun*uh kedua orang tuanya tetapi nasib apes menimpa dirinya saat hendak membuang jasad kedua orang tuanya itu Kromo tertangkap basah oleh seseorang yang ternyata adalah suruhan Marni dan harus mendekam di penjara selama beberapa tahun.Sekali lagi demi mendapatkan wanitanya, Kromo rela menjalani hukuman itu dengan harapan bisa menikahi Marni setelah dia keluar dari penjara nanti.Namun, apa yang terjadi? Setelah Kromo muda menjalani hukumannya, ternyata wanita itu, Marni meninggalkan dirinya dan menikah dengan pria lain. Tidak hanya itu saja, Marni bahkan menghinanya habis-habisan dan menyebutnya sebagai pembun*uh berdarah dingin sehingga membuat dirinya menjadi
Setelah beberapa kali panggilan videonya diabaikan, tiba-tiba panggilan video yang entah ke berapa kalinya dijawab oleh Arga, di sana tampak beberapa tumpukan berkas yang sedang dikerjakan Arga menunjukkan bahwa Arga baik-baik saja, bahkan tampak Arga sedang melahap makan siang yang baru sempat dipesannya karena banyaknya pekerjaan yang menunggu persetujuan dari dirinya.[Mas, lagi apa?] tanya Rasti mengawali percakapan dengan Arga.[Ya, seperti yang kamu lihat. Aku sedang makan siang sekarang, pekerjaanku lagi banyak banget jadi baru sempet makan.] Arga menunjukkan tempat makan siangnya dari sebuah restoran makanan Jepang.[Syukurlah Mas, kalau kamu baik-baik saja. Maaf ya, Mas tadi pagi aku marah-marah.] Rasti menghembuskan nafas lega melihat suaminya baik-baik saja.[Ya, aku juga minta maaf ya, Sayang. Ohya, kamu sudah makan belum? Kalau belum, makan dulu sana, aku mau nyelesaiin pekerjaanku lagi nih biar nanti
Malam semakin larut, tetapi tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa tidur. Rahayu masih duduk di sofa, sesekali menggigil meskipun Roy sudah menyelimutinya. Tatapannya kosong, pikirannya penuh dengan suara yang tadi ia dengar—suara yang seharusnya tidak mungkin ada. Roy sendiri berusaha menenangkan dirinya. Sebagai seorang pria yang selalu berpikir logis, semua ini sulit ia terima. Tetapi ia tidak bisa menyangkal kenyataan. Mereka melihat sesuatu. Mereka mendengar sesuatu. Dan sekarang… mereka tidak tahu apakah itu akan kembali atau tidak. Di sudut ruangan, Kania berdiri sambil menatap langit malam di luar jendela. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi ia bisa merasakan sesuatu di luar sana. Sesuatu yang belum pergi. Arga, yang sejak tadi diam, akhirnya bangkit dari duduknya. “Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Roy mengerutkan kening. “Maksudmu?” Arga menatap mereka semua. “Apa yang kita hadapi ini bukan sekadar arwah penasaran. Kalau memang Rasti masih
Keheningan yang mencekam menggantung di udara.Ruangan yang tadinya dipenuhi bisikan dan suara tawa menyeramkan kini terasa sunyi. Namun, hawa dingin yang menyelimuti mereka belum sepenuhnya pergi.Arga masih terduduk di lantai, merasakan sisa-sisa nyeri akibat hantaman keras tadi. Napasnya masih berat, pikirannya kacau. Ia mengalihkan pandangannya ke Kania, yang masih berdiri tegap dengan belati di tangannya.Kania tetap waspada, matanya mengitari ruangan, seakan mencari tanda-tanda keberadaan sosok tadi.Rahayu masih terisak di sudut ruangan, sementara Roy berdiri kaku di sampingnya. Wajahnya pucat, tangannya bergetar.Ia tidak pernah percaya pada hal-hal seperti ini sebelumnya. Tapi kini?**Ia baru saja melihat putrinya yang telah mati… atau sesuatu yang menyerupainya.**
Cahaya lilin kembali berkedip-kedip, menciptakan bayangan menari di dinding yang seakan hidup. Sosok itu masih berdiri di sana—diam, tetapi keberadaannya memenuhi ruangan dengan hawa dingin yang menyesakkan. Rahayu semakin erat mencengkeram lengan Roy, tubuhnya gemetar. “T-tidak… Ini tidak mungkin…” suaranya nyaris tak terdengar. Roy menelan ludah, otot-ototnya menegang. Ia ingin melindungi istrinya, tetapi tubuhnya terasa berat, seakan sesuatu menahannya. Arga masih terpaku di tempatnya. Matanya tidak bisa lepas dari sosok itu. Wujud itu memang terlihat seperti Rasti… tapi ada sesuatu yang sangat salah. Wajah itu. Saat masih hidup, Rasti memiliki tatapan tajam penuh emosi. Tapi yang berdiri di hadapan mereka sekarang hanya memiliki mata kosong, merah membara, seakan dipenuhi api neraka yang berpendar dalam kegelapan. "Kau pikir ini sudah berakhir, Arga?" Suara itu menggema, lebih berat, lebih dalam. Lalu… ia mulai melangkah. Bukan dengan cara manusia berjalan. Tetap
Suasana di dalam rumah duka semakin terasa berat. Waktu seolah berhenti, meninggalkan hanya isak tangis yang menggema di antara dinding.Rahayu masih terisak, wajahnya basah oleh air mata, sementara Roy tetap duduk diam, menatap lantai dengan pandangan kosong.Arga tak mengatakan apa-apa lagi. Semua yang perlu ia sampaikan sudah keluar. Namun, di dalam dirinya, perasaan bersalah tetap menyelubungi.Kania masih berdiri di sudut ruangan, diam-diam memperhatikan ekspresi Arga. Ada sesuatu dalam tatapannya—sebuah kehampaan yang begitu dalam, seolah ia telah kehilangan lebih dari sekadar istri.Namun, ketegangan belum sepenuhnya reda.Sebuah suara lirih akhirnya keluar dari mulut Rahayu.“Jika Rasti memang sudah... pergi, kenapa aku masih bisa merasakannya?”Arga menoleh,
Langit kelabu seolah berduka, menurunkan gerimis yang tipis namun dingin. Angin membawa aroma tanah basah, menyelimuti pemakaman dengan kesunyian yang berat.Sejumlah orang berpakaian hitam berdiri di sekitar pusara yang masih merah, menundukkan kepala. Payung-payung terbuka, melindungi mereka dari hujan, tapi tidak bisa melindungi hati mereka dari luka yang menganga.Kania berdiri di antara mereka, tanpa payung, membiarkan hujan membasahi wajahnya yang sudah dipenuhi air mata.Di depannya, Arga berdiri kaku, tatapannya kosong. Ia tak berkedip saat tanah perlahan menutupi peti Lilian. Di sampingnya, Darma hanya terdiam, wajahnya mengeras seperti batu, tapi tangan yang mengepal menunjukkan emosi yang ia tahan mati-matian.Kania tidak bisa menatap mereka lama-lama. Terutama Darma.Ia tahu, di mata Darma, dirinya adalah penyebab semua ini.Ketika doa terakhir selesai dibacakan, satu per satu orang mulai beranjak pergi. Beberapa menyentuh bahu Arga dengan lembut, memberi dukungan dalam di
Darah membanjiri tanah.Tubuh Kania gemetar. Nafasnya tersengal. Luka di perutnya menganga, mengalirkan cairan merah yang tak henti-hentinya.Matanya kabur, kepalanya pening.Dia seharusnya mati.Seharusnya…Tapi, di depan matanya—Darma yang kini telah berubah menjadi makhluk kegelapan tengah menatapnya dengan senyum menyeramkan.Di sampingnya, Rasti berdiri penuh kemenangan.“Kau sudah selesai, Kania,” ujar Rasti dengan nada penuh kepuasan. “Terimalah takdirmu. Tak ada lagi yang bisa menolongmu.”Kania mengatupkan giginya.Tidak.Aku belum kalah.&nb
Lorong itu menjadi saksi keheningan yang mencekik.Sisa energi dari tubuh Lilian masih berpendar di udara, bercampur dengan bayangan yang kini berputar liar, seperti haus akan korban baru. Darma masih membeku, tangannya gemetar di atas lantai yang dingin."Lilian..." Namanya meluncur dari bibirnya seperti doa yang tertunda—sebuah panggilan yang tak akan pernah dijawab lagi. Arga mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Brengsek!"Matanya menatap Rasti—atau makhluk yang kini bersemayam dalam tubuh Rasti—dengan api amarah yang menyala-nyala.Tapi sebelum Arga bisa bergerak, Kania sudah lebih dulu maju.Wajahnya berubah. Bukan lagi ketakutan. Bukan lagi keraguan.Hanya dendam.Dan sesuatu yang lebih gelap dari itu. "Aku akan menghabisimu." Suara Kania lirih, tetapi menggetarkan udara di sekitar mereka. Makhluk dalam tubuh Rasti hanya menyeringai."Oh? Apa kau benar-benar yakin, Kania? Aku sudah mengambil satu. Kau mau jadi yang berikutnya?"DUARRR!!Kania tidak menjawab dengan
Lorong itu meledak dalam lautan energi ghoib.Cahaya ungu dan kegelapan pekat saling menghantam, menciptakan dentuman yang mengguncang tanah hingga serpihan batu berjatuhan dari langit-langit.Lilian dan Darma masih terperangkap dalam jeratan bayangan hitam."AAARGHHH!!!"Lilian berteriak, tubuhnya bergetar hebat saat sesuatu merasuk ke dalam dirinya. Bayangan itu bukan hanya mencengkeram, tapi menyusup ke dalam darahnya, merayapi sarafnya seperti racun.Mata Lilian melotot, berubah pekat seiring jeritan pilunya. "Darma!" Arga berlari, nekat menerjang kegelapan untuk menarik Lilian keluar. Tapi begitu tangannya menyentuh kulit Lilian, sesuatu menghantamnya dengan keras. DUARR!!Tubuh Arga mental ke belakang, terpelanting hingga menghantam batu dengan suara keras. Sementara itu, Darma masih tersekap dalam pusaran bayangan yang menyedotnya lebih dalam. "TIDAK! AKU... AKU TIDAK AKAN TAKLUK!"Tapi suaranya semakin melemah. Bayangan itu mulai melilit erat tubuhnya seperti akar hidu
Lorong itu kini telah berubah menjadi medan perang.Energi hitam dan ungu berputar liar di udara, menghantam dinding-dinding batu hingga retak. Jeritan makhluk-makhluk tak kasatmata bergema, seolah ikut merayakan kebangkitan sesuatu yang lebih besar. Di tengah pusaran kekacauan itu, Rasti dan Kania saling berhadapan. Tapi kini, sesuatu yang lain ikut masuk ke dalam permainan. Dari dalam tubuh Rasti, sosok raksasa dengan mata merah menyala semakin keluar. Tangannya yang hitam pekat mencengkeram tubuh Rasti, seolah ingin merobeknya dari dalam. Rasti berusaha melawan, tubuhnya bergetar hebat. “Tidak… aku yang mengendalikanmu! Aku yang berkuasa di sini!” Makhluk itu tertawa pelan, suaranya dalam dan bergema di segala arah. “Kau? Mengendalikan aku?”“Tidak, Rasti. Kini, akulah yang mengendalikanmu.” BRAK!Tiba-tiba, tubuh Rasti mencelat ke belakang, menghantam dinding dengan keras. Darah hitam menyembur dari bibirnya, dan seketika aura di sekelilingnya berubah. Dia bukan lagi Ras