Jagad berjalan dengan gontai keluar dari ruang Danas. Dunianya hancur, ketika harus mendapati wanita yang ia sayangi menghembuskan napas terakhir, tepat di hadapannya. Berjalan dengan kedua bahu yang kuyu. Semua yang berada di sana sudah tahu situasinya. Aura kesedihan yang pekat begitu terasa di lorong itu.Langit mendapatkan pemberitahuan jika Danas meninggal segera ke rumah sakit. Tidak ada goresan kesedihan sedikitpun di wajah pria itu. Dia berjalan mendekati Jagad."Bagaimana?" Pertanyaan terlontar dari bibir Langit. Pertanyaan yang terdengar begitu acuh.Jagad kemudian berjalan mendekat, dia memberitahu Langit tentang apa yang terjadi. "Tiba-tiba jantungnya berhenti dan--" Suara sandur bahkan terdengar begitu bergetar, ketika dia memberitahu Langit mengenai apa yang terjadi.Helaan napas kasar terdengar dari bibir Langit. Binar matanya sama sekali tidak memancarkan kesedihan, masih menatap ke depan dengan dingin. "Kenapa? Kenapa dia bisa meninggal?""Hal seperti itu memang tidak
Waktu tak terasa begitu saja berlalu. Sudah tiga puluh hari sejak kepergian Danas. Pria itu masih saja mengutuk atas kepergian sang mama. Dirinya merasa tak adil, karena Danas pergi begitu saja. Langit ingin sang Mama mendapat keadilan atas balasan yang mungkin saja akan Ia berikan kepada Danas. Seandainya, wanita itu masih hidup."Kenapa, wanita itu selalu jadi sumber masalah untuk hidupku." Langit bergumam. Pria itu kini duduk di sofa, di sebuah kamar rumah sakit.Sengaja memesan sebuah kamar yang berada di samping kamar perawatan sang putri. Sebulan ini hatinya pilu meratapi nasib putri kecilnya yang malang. Bayi cantik itu harus menjalani perawatan intensif. Jika saja bisa, mungkin ia sudah memaksa Danas untuk hidup kembali,merawat putri mereka. Hanya saja itu jelas tak mungkin. Langit menghubungi Marvin ada beberapa hal yang ia lupakan. "Kau bisa bawakan dokumen dari perusahaan Blue Sky yang sudah diperbaiki beberapa poinnya?""Apa harus saat ini?" tanya Marvin."Tidak, bawa saj
"Sudah bangun? Tumben?" Itu adalah suara Davina. Gadis itu kini tengah menikmati sarapan yang ia buat tadi. Duduk dengan sedikit terkejut karena melihat sang kakak yang kini telah berada di dapur dan meneguk air putih.“Memangnya aku tidak boleh bangun cepat?’ tanya Jagad sambil berjalan dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Davina.Davina hanya menganggukan kepala.Tak ada salahnya memang . Hanya saja tak seperti hari biasanya. Jagad biasanya masih tidur.“Bolehkah, hanya saja kan tak seperti biasanya. Kau masih tidur.” Davina mengatakan itu kemudian dia menyantap sandwich miliknya.Lalu dalam satu sambaran tangan pria itu berhasil mengambil sandwich dari tangan Davina. Davina berteriak kesal, kemudian ia merebut kembali sarapan paginya.“My sandwich!” teriak Davina kesal.Jagad terkekeh, menggigit sandwich sang adik tanpa rasa bersalah. “Pelit sekali sih?!” seru Jagad menggoda. Dia senang melihat adiknya marah-marah pagi ini.“Kau kakak paling menyebalkan!” Davina marah, kemudian
“Aku masih tak mengerti mengapa Danas bisa jatuh cinta pada pria seperti Langit,” kata Jagad lagi.Davina saat ini berada di sebuah restoran bersama sang kakak. Sejak kejadian di rumah sakit, Davina dan Jagad sama-sama tengah kesal dan marah dengan apa yang dilakukan oleh Langit. Jagad ingin sang adik bisa lebih tenang, tapi keduanya sama-sama saling mengompori satu sama lain.“Danas itu memang bodoh, padahal ada orang lain yang sangat mencintainya. Dengan bodohnya, malah mencintai pria jahat itu.” Davina tau tiap kali membicarakan ini bukan hanya dirinya yang terluka. Tetapi, Jagad juga. Namun, kali ini ia sama sekali tak bisa menahan bibirnya untuk tak mengungkapkan itu pada sang kakak.Jagad meneguk minumannya. “Ya, cinta kan memang membawa seseorang pada kebodohan.”"Dan yang paling menyebalkan Langit bahkan tidak mengizinkan orang tua Danas menemui cucu mereka." Davina benar-benar kesal dan marah dengan perlakuan Langit itu."Aku akan mencoba mencari cara untuk membuatnya mengizi
Sepeninggalan Renata, Langit jadi merasa bersalah karena telah terlalu mengacuhkan kekasihnya itu. Perasaannya menjadi tak menentu. Ia tahu Renata hanya menuntut dirinya untuk lebih sedikit perhatian. Sadar betul, kalau beberapa waktu ke belakang, memang tak pernah memberikan waktunya sedikit saja untuk Renata.Setelah berpikir sejenak, ia kemudian mengambil ponsel yang ada di atas meja, berniat untuk menghubungi Renata. Hanya saja, belum sempat ia menekan tombol pintu kamarnya diketuk."Masuk," sahut Langit.Terlihat seorang suster yang berjalan masuk. "Maaf, Bapak Langit? Ada beberapa obat yang harus dibeli Pak. Kebetulan di rumah sakit kami ketersediaan obat tersebut sedang kosong."Langit menganggukan kepalanya, dia kemudian membatalkan niat untuk menghubungi Renata. Dan berencana akan menghubungi nanti setelah ia selesai membeli obat tersebut."Baik suster."Sang suster mendekat, kemudian memberikan secarik kertas resep kepada Langit. "Obat yang belum ada, yang diberi stabilo ole
Renata mengenakan pakaiannya kembali setelah beranjak dari tempat tidur. Perempuan itu melirik ke arah pria yang membantunya untuk melampiaskan hasratnya semalam. Wajah David tampak tertidur pulas di balik selimut dengan setengah badannya yang tampak bertelanjang dada. Melihat pria itu tidur dengan damainya, Renata hanya bisa menghela napas pendek.Pagi-pagi, Renata meninggalkan rumah itu tanpa berpamitan. Dia bukannya merasa bersalah bila membangunkan David. Hanya saja, Renata merasa kalau hubungannya dengan pria itu memang hanya seperti itu. Saling memuaskan satu sama lain. Tak perlu bersikap intim lebih jauh secara emosional.Di perjalanan pulang, perasaan bergejolak tak kunjung hilang dari dalam dada Renata. Sesuatu berkecamuk, mengoyaknya hingga dadanya terasa sesak. Kemarin, saat Renata sibuk bersama David, Langit menelepon. Renata tidak mengangkatnya karena merasa kesal. Namun, barulah sekarang ia merasa menyesal.Sementara mobilnya melaju perlahan, kenangan yang ia lalui bersa
“Kumohon untuk mengerti!”Pria itu tampak memalingkan wajah ketika mengucapkannya. Matanya tidak sanggup menatap balik tatapan yang ada di depannya. Dia sadar bahwa ucapannya itu sudah keterlaluan. Namun, dia sudah memilih prioritas utamanya.“Menggugurkan? Kau pasti bercanda …,” Renata kehabisan kata-kata. Bibirnya kelu. Dia sama sekali tidak mengharapkan respons Langit yang seperti itu. Seketika, dunianya seolah runtuh. Dia bisa merasakan kalau dirinya tidak lagi penting di mata Langit.“Sorr—”Belum sempat Langit mengucapkan maaf, Renata langsung memotong kalimatnya. “Jangan bercanda!” Suara wanita itu keras. Cukup keras hingga membuat orang-orang yang berada di sekitar menoleh ke arahnya. “Kenapa kau tega? Bukannya kau ini mencintaiku? Apa kau tidak ingin memiliki anak dari sosok yang kamu cintai? Kenapa kau memperlakukanku berbeda? Apa pentingnya anak Danas dibanding anak yang sedang ada di kandunganku?”Renata tidak sedang mengandung anak Langit. Jangankan anak Langit, di dalam
“Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kau lakukan?”Langit membentak Renata karena sangat terkejut dengan pemandangan yang baru saja dia lihat. Bisa-bisanya Renata bertindak seperti itu. Langit tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Renata sampai tega melakukan perbuatan semacam itu? Apalagi terhadap putrinya.Pria itu ingin menumpahkan seluruh emosi marahnya, tetapi ia pun begitu khawatir dengan putrinya. Keadaan bayi itu mengenaskan. Dia sampai menangis karena alat bantunya secara paksa dilepas.“Suster!” Langit berteriak memanggil-manggil. Dia terlihat panik saat melihat keadaan putrinya.Sementara itu, Renata yang terhempas sampai jatuh duduk hanya bisa bungkam. Bibirnya kaku dan ia tidak bisa bergerak. Wanita itu pun tidak menyangka dirinya bisa bertindak sampai seperti itu saat Langit juga berada di rumah sakit. Dia baru saja menyesali perbuatannya karena telah bertindak gegabah. Padahal selama ini dia selalu bertindak dengan cukup baik untuk menutupi semua perbuatan kejinya.
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu