“Kumohon untuk mengerti!”Pria itu tampak memalingkan wajah ketika mengucapkannya. Matanya tidak sanggup menatap balik tatapan yang ada di depannya. Dia sadar bahwa ucapannya itu sudah keterlaluan. Namun, dia sudah memilih prioritas utamanya.“Menggugurkan? Kau pasti bercanda …,” Renata kehabisan kata-kata. Bibirnya kelu. Dia sama sekali tidak mengharapkan respons Langit yang seperti itu. Seketika, dunianya seolah runtuh. Dia bisa merasakan kalau dirinya tidak lagi penting di mata Langit.“Sorr—”Belum sempat Langit mengucapkan maaf, Renata langsung memotong kalimatnya. “Jangan bercanda!” Suara wanita itu keras. Cukup keras hingga membuat orang-orang yang berada di sekitar menoleh ke arahnya. “Kenapa kau tega? Bukannya kau ini mencintaiku? Apa kau tidak ingin memiliki anak dari sosok yang kamu cintai? Kenapa kau memperlakukanku berbeda? Apa pentingnya anak Danas dibanding anak yang sedang ada di kandunganku?”Renata tidak sedang mengandung anak Langit. Jangankan anak Langit, di dalam
“Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kau lakukan?”Langit membentak Renata karena sangat terkejut dengan pemandangan yang baru saja dia lihat. Bisa-bisanya Renata bertindak seperti itu. Langit tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Renata sampai tega melakukan perbuatan semacam itu? Apalagi terhadap putrinya.Pria itu ingin menumpahkan seluruh emosi marahnya, tetapi ia pun begitu khawatir dengan putrinya. Keadaan bayi itu mengenaskan. Dia sampai menangis karena alat bantunya secara paksa dilepas.“Suster!” Langit berteriak memanggil-manggil. Dia terlihat panik saat melihat keadaan putrinya.Sementara itu, Renata yang terhempas sampai jatuh duduk hanya bisa bungkam. Bibirnya kaku dan ia tidak bisa bergerak. Wanita itu pun tidak menyangka dirinya bisa bertindak sampai seperti itu saat Langit juga berada di rumah sakit. Dia baru saja menyesali perbuatannya karena telah bertindak gegabah. Padahal selama ini dia selalu bertindak dengan cukup baik untuk menutupi semua perbuatan kejinya.
“Mama? Ini nomor Mama?”Tangan Langit gemetaran saat ia melihat nama yang tercantum di layar ponselnya. Ia masih sulit percaya. Pasalnya, itu adalah nomor dari sang ibu yang notabenenya sudah meninggal.Langit mencoba menenangkan diri. Pada dasarnya ponsel ibunya memang tidak ditemukan di manapun. Pria itu berusaha agar tetap berpikir jernih dan tidak berprasangka terlebih dahulu.Meski ada perasaan ragu, tetapi Langit berusaha tidak mengindahkannya kemudian akhirnya mengangkat telepon tersebut.“Halo?” Suara Langit terdengar berat. Walau dia kelihatannya menunjukkan ekspresi datar, jantungnya sebenarnya berdegup dengan kencang. Ada perasaan gugup di sana.Beberapa detik tidak ada suara di balik telepon. Langit kemudian bersuara sekali lagi. “Halo … ini siapa?”Tidak lama setelah itu barulah terdengar suara seorang pria yang bergetar di balik telepon. “Ha, halo … maaf. Anu ….”“Ini dengan siapa? Kenapa Anda bisa memegang ponsel ini?”Kegugupan Langit berubah menjadi rasa penasaran. Ad
“Sudah jam segini ….” Langit melihat jam dan mendapati waktu sudah menunjukkan pukul satu lewat.Lewat tengah hari, Langit sebentar lagi akan sampai di rumah sakit. Dia harus tiba di sana sebelum dokter yang bertugas menangani anaknya datang memeriksa. Akhirnya, pria itu menambah kecepatanya, membuat mobil itu melesat mendahului pengendara-pengendara lain.Tiba di rumah sakit, Langit bergegas menuju ruangan putrinya. Saat ia tiba di depan, ia membuka pintu dan melihat perawat yang berjaga di sana. Perawat tersebut terkejut karena pintu tiba-tiba saja terbuka.“Apa dokternya sudah selesai memeriksa?” tanya Langit.Perawat pria yang kebagian tugas untuk berjaga berdiri dari kursi. Ia kemudian menunjukkan senyum ramah. “Ah, belum, Pak. Dokternya mungkin masih berada di poli. Hari ini cukup banyak pasien yang berkunjung. Sebentar lagi dia pasti akan mulai berkeliling di bangsal.”Perawat tersebut bisa melihat air muka Langit yang kelihatan panik. Dia menduga, ayah dari bayi yang sedang ia
Trut … trut …Ponsel yang berada di saku celana Langit bergetar. Itu adalah ponsel Aleta yang ia ambil sebelumnya. Karena ponsel tersebut berdering, lamunan Langit seketika menjadi buyar. Perhatian dokter dan perawat juga sempat tertuju kepada suara yang dikeluarkan ponsel tersebut.“Ah, maaf,” ucap Langit.Langit pun melepas genggaman tangan putrinya perlahan. Ia kemudian mengambil ponsel tersebut, penasaran dengan alasan dari ponsel itu bisa sampai berdering. Lalu, saat ia melihat layar. Ternyata itu adalah dering alarm Aleta. Langit sempat bingung saat melihatnya. Namun, buru-buru ia mematikan alarm tersebut agar ia bisa segera mendengarkan penjelasan dokter mengenai bayi kecilnya.“Hari ini semuanya normal. Anda bisa lebih relaks. Tidak perlu terlalu tegang. Sesekali Anda juga bisa mengajaknya berbicara. Putri Anda pasti senang,” jelas dokter tersebut. Setelah selesai pemeriksaan, ia langsung keluar dari ruangan tersebut. Masih ada pasien lain yang harus ia periksa. Dokter dan asi
“Apa yang sebenarnya ingin Marvin katakan?”Biasanya, Langit akan menolak untuk meninggalkan putrinya tanpa alasan yang jelas. Dia merasa lebih aman jika bisa menghabiskan banyak waktu bahkan dua puluh empat jam untuk mengawasi putrinya. Namun, kali ini adalah situasi darurat. Langit tidak bisa menunggu lebih lama untuk mengetahui kejelasan dari hal yang ditemukan Marvin. Belum lagi, video yang sempat terekam di ponsel Aleta terus mengganggunya.Langit mengenderai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Dia sudah meminta Marvin mengatur pertemuan di sebuah restoran elit yang sering ia kunjungi saat ada pertemuan penting. Restoran tersebut menyediakan ruang VIP. Dia bisa berbicara panjang lebar dengan klien atau orang penting lainnya tanpa merasa terganggu di sana. Karena dia reguler di tempat tersebut, pihak restoran tidak segan mengosongkan tempat bahkan membatalkan pesanan orang lain hanya untuk dirinya.Setelah sepuluh menit perjalanan, Langit akhirnya tiba di restoran berbintang
“Beri tahu aku segera kalau kau sudah ada perkembangan lain.”Usai berpamitan dengan Rangga, Langit segera kembali ke rumah sakit. Di perjalanan, wajahnya terlihat sangat kusut. Suasana hatinya sangat buruk. Bagaimana tidak, wanita yang selama ini ia percayai rupanya telah mempermainkannya sampai seperti itu. Langit paling benci dengan orang-orang yang punya niat terselubung dan menipunya.Lalu, saat Langit berniat untuk menghubungi Renata, kekasihnya itu justru meneleponnya lebih dulu. Kebetulan karena Renata sudah menghubunginya, dia pun lekas mengangkat panggilan tersebut.“Halo?” Suara berat Langit terdengar sangat dingin.Walau begitu, wanita yang berada di balik telepon tampaknya tidak peduli atau memang dia tidak menyadarinya.“Halo, sayang … aku …,” Suara Renata tersendat karena terisak. Mungkin dia sedang menangis. “Aku ingin minta maaf soal kejadian kemarin. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya kesal karena kau lebih mementingkan anakmu bersama Senna ketimbang dengan a
“Berani sekali kau membohongiku, dan berani pula kau mengatai putriku! Aku tidak ingin melihat wajahmu. Pergi sekarang!”Renata masih sangat terkejut setelah Langit melayangkan tamparan kepadanya. Ia terdiam kaku di lantai sembari memegangi pipinya yang memerah.Pelayan yang bertugas di ruangan tersebut segera menangkan Langit dan membantu Renata untuk bangkit. Saat Renata akhirnya kembali pada kesadarannya setelah ditampar Langit, ia yang tadinya sudah bangkit malah menghempaskan tangan pelayan yang sudah membantunya untuk berdiri. Wanita itu justru kembali bersimpuh di kaki kekasihnya tanpa rasa malu sama sekali.“Tolong … tolong … maafkan aku!” Air mata Renata terus mengucur keluar hingga membuat riasannya tampak tidak karuan. Walau begitu, Renata tidak peduli. Dia sangat takut kalau Langit sampai meninggalkannya setelah semua yang ia lakukan demi mendapatkan pria itu. “Aku kelepasan tadi. Aku enggak bermaksud menghina anakmu, Sayang!”“Lepaskan!” bentak Langit dengan ta
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu