“Pak … Pak Langit!”Langit mengerjapkan mata usai dibangunkan oleh seorang perawat karena ia ketiduran di kursi. Semalam, dia benar-benar tidak bisa tidur hingga fajar menyingsing. Barulah matanya bisa terpejam setelah ia benar-benar kelelahan.Pria itu belum sempat mengganti pakaian. Ia masih menggunakan pakaian yang sama dengan yang semalam. Karena baru saja bangun sekitar pukul sepuluh pagi, dia tentu saja belum sempat mandi.“Ada apa?” tanya Langit kepada perawat wanita yang di pipinya terdapat tahi lalat. Pria itu masih terlihat kebingungan. Perawat tersebut juga masih ragu apakah Langit sudah memulihkan kesadaran sepenuhnya.“Sebaiknya Anda tidak tidur di sini. Tidak baik bagi kesehatan Bapak,” jelas wanita itu terlihat sedikit khawatir. Lalu, raut wajahnya seketika berubah saat pintu kamar putri Langit diketuk sekali lagi.Saat mendegar suara ketukan pintu, si perawat dan Langit mengarahkan pandangannya ke sumber suara.“Ada siapa di luar?” tanya Langit sekali lagi sembari meng
“Bukan Danas?” batin Langit.Langit masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia masih termangu sejak Rendra pergi dari sana. Marvin pun masih harus kembali bekerja sehingga Langit memberi tahunya untuk pergi saja. Lagi pula, Langit ingin sendiri dulu. Dia tidak ingin diganggu oleh siapa-siapa.Sementara Langit duduk, tiba-tiba ponselnya berdering. Telepon tersebut berasal dari kekasihnya yang sudah ia campakkan. Langit segera mematikan telepon Renata. Lalu, pria tersebut malah memblokir nomor si kekasih agar tidak dihubungi. Ia pun mengabaikan segala pesan yang sempat Renata kirimkan.Lewat tengah hari, Langit pergi berkendara. Bukannya kembali ke rumah sakit, dia justru pergi keluyuran untuk menjernihkan pikirannya. Dia berkeliling tanpa arah. Hanya terus bergerak agar bisa melupakan segalanya.Langit kelihatan begitu cerah saat pagi. Namun, saat siang menjelang sore, seketika awan gelap memenuhi tengah kota. Mungkin tidak lama lagi akan turun hujan.Meski begitu,
“Cepat! Kita harus segera membawanya ….” Marvin meminta sopir Langit untuk membawa mobil. Dia duduk di samping Langit untuk memastikan kondisi bosnya.Langit kelihatan sangat lemah. Dia tertidur dengan kerutan di keningnya, seakan-akan ia tengah bermimpi buruk. Pria itu bahkan mengigau di sela-sela tidurnya.Sebelum perjalanan ke rumah sakit, Marvin meminta pembantu di rumah Langit agar mengganti pakaiannya. Pakaian mahal Langit benar-benar kotor. Di ujung celananya dipenuhi lumpur. Marvin tidak tahu habis dari mana bosnya itu hingga tampilannya bisa sampai awut-awutan begitu.“Da … nas ….”Lagi-lagi Langit menggumam. Saat mendengar itu, Marvin hanya bisa menghela napas pendek. Ia kemudian berkata dengan suara lirih, “Kalau kau memang segitu menyesalnya, kenapa sejak awal kau bersikap seperti itu?”Marvin mungkin hanya merasa kesal dengan sikap bosnya. Meski tidak tahu secara mendetail bagaimana tindakan Langit kepada Danas selama ini, tapi dari cerita dan perilaku Langit sehari-hari,
Marvin berjalan keluar dari sebuah ruangan, dia membawa sebuah amplop coklat dan memasukan ke dalam jas miliknya. Marvin mengunci pintu itu rapat-rapat. Setelahnya, berjalan menuju tempatnya memarkirkan mobil, lalu segera melaju kembali menuju rumah sakit.Sementara itu, di kamar rumah sakit Langit duduk dan menatap kosong ke depan. Pikirannya benar-benar kacau setelah ia mengetahui semua yang terjadi. Kini menyisakan penyesalan yang jelas terlambat datangnya. Seharusnya ia menemukan penyebab, bukan meratapi kebodohan yang dilakukannya."Langit si bodoh!" makinya pada diri sendiri.Jelas dia merasa kesal dengan perkataan Marvin. Namun, tak bisa dipungkiri kalau apa yang dikatakan oleh sang asisten itu adalah kebenaran.Saat tengah meratapi diri, seseorang tiba-tiba saja mengantuk pintu."Masuk!" sahut Langit.Seorang perawat membuka pintu, ini adalah waktunya sarapan. Suster tersebut membawa nampan berisi makanan, juga ada beberapa obat yang harus Langit minum pagi ini."Selamat pagi P
Bagai jatuh tertimpa tangga, Langit melihat apa yang ditemukan oleh Marvin. Kepercayaan yang sudah ia berikan untuk Bianca, nyatanya hanya dibalas dengan pengkhianatan dan juga kebohongan."Benar semua itu …." Langit masih saja mempertanyakan.Marvin tak bergeming, malas juga rasanya melihat dan mendengar Langit yang terus saja bertanya. "Setelah semuanya, Anda masih juga tidak mempercayai itu?"Langit gelengkan kepala, tubuhnya yang lemas terasa semakin lemas karena masalah ini. Kepalanya sakit, tapi ia harus tetap berpikir rasional. Langit tau ia tak bisa tinggal diam."Kau harus segera menemukan laki-laki bajingan itu. Dan membawanya padaku." Langit memerintah Marvin. Tentu ia juga mau tau dengan mata kepalanya sendiri, mendengar langsung dari mulut David tentang apa yang terjadi sebenarnya."Anda jangan khawatir. Bahkan sebelum Anda meminta, aku sudah menyekap pria itu." Marvin memberitahu Langit. Dia sudah sangat mengerti dan paham tentang atasannya. Jadi dia mengerti apa yang d
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Manusia seringkali salah membuat keputusan dan juga salah dalam menilai sesuatunya. Dan hal itu yang kini terjadi pada Langit. Sejujurnya, iya masih berharap kalau apa yang ia dengar hari ini adalah sebuah kebohongan. Apalagi selama ini ia begitu menganggap Renata adalah seorang gadis yang baik.David sudah kembali duduk di kursi, kini dia berhadapan dengan Langit. Tepat di belakang Langit, kini Marvin sudah berdiri mendampingi atasannya itu. Sejak tadi Marvin memilih untuk sedikit ke belakang dan membiarkan Langit meluapkan emosinya."Jadi katakan semuanya sekarang!" Langit menekankan agar David segera mengatakan semua hal. Pria itu sudah cukup lama terdiam, setelah tadi ia mengatakan kalau akan memberi tahu semuanya."Aku tahu jika aku mengatakan ini mungkin saja kau akan terluka, kecewa, atau merasa bodoh dengan dirimu sendiri." Seperti biasa, David selalu saja ingin memancing emosi Langit.Sebenarnya Langit ingin bergerak, memukul, menend
“Kau bohong …,” ucap Langit lirih. Dia mengulang-ulang kalimat itu seperti kaset rusak. “Kau pasti berbohong.”Antara tidak percaya dengan semua perkataan yang David katakan. Dia sudah tahu kebenarannya sayangnya dia menolak untuk mempercayai, seakan seluruh logikanya menolak hal itu. Jika dia mengakuinya maka dia telah salah target salama ini.David mendengus. Lalu tertawa pelan. “Kenapa? Apa kau masih tidak bisa menerima kalau dirimu itu adalah orang bodoh? Kau adalah pria yang sangat mudah diperdaya oleh seorang wanita. Apa itu melukai harga dirimu?”“Marvin, beri tahu aku kalau semua itu tidak benar,” ucap Langit. Namun, dia pun sudah tahu kalau semua yang dikatakan oleh David tidak mungkin sebuah kebohongan. Hanya saja, jika itu semua memang benar, Langit masih tidak siap menanggung semua akibat dari kebodohannya.Marvin tidak mengatakan apa-apa kepada Langit. Dia tidak mencoba menghibur. Pria itu hanya mengeluarkan ponselnya. Kemudian memberi tahu apa yang sudah ia temukan setel
"Argh! Sialan! Bagaimana bisa aku lebih mempercayai wanita yang telah membunuh adikku sendiri?! Renata sialan! Penjahat! Bagaimana bisa aku memberikan semua yang terbaik dan menuduh Danas?! Danas tak bersalah!" Langit tak bisa menahan amarah dan perasaannya yang kini tengah berantakan. Bahkan butuh beberapa waktu sampai akhirnya ia bisa mendapatkan sedikit kesadaran. Sejak tadi di dalam mobil, Langit terus saja berteriak frustasi. Setelah mengetahui kebenaran dari mulut David. Merasa berada di titik paling rendah dalam hidupnya. Langit tak mengerti lagi, apa yang harus dia lakukan saat ini. Pria itu merasa marah pada dirinya sendiri karena dulu telah bersikap tidak adil kepada Danas. "Aku benar-benar tidak menyangka, Renata itu hanya seorang gadis murahan! Penjahat! Dia yang membuat aku seperti ini, dan aku bahkan harus menyakiti orang yang tak bersalah, membenci, dan tak pernah melakukan sesuatu hal yang menyenangkan untuk Danas. Seumur hidup, sampai akhir hayatnya …." Langit terus
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu