Trut … trut …Ponsel yang berada di saku celana Langit bergetar. Itu adalah ponsel Aleta yang ia ambil sebelumnya. Karena ponsel tersebut berdering, lamunan Langit seketika menjadi buyar. Perhatian dokter dan perawat juga sempat tertuju kepada suara yang dikeluarkan ponsel tersebut.“Ah, maaf,” ucap Langit.Langit pun melepas genggaman tangan putrinya perlahan. Ia kemudian mengambil ponsel tersebut, penasaran dengan alasan dari ponsel itu bisa sampai berdering. Lalu, saat ia melihat layar. Ternyata itu adalah dering alarm Aleta. Langit sempat bingung saat melihatnya. Namun, buru-buru ia mematikan alarm tersebut agar ia bisa segera mendengarkan penjelasan dokter mengenai bayi kecilnya.“Hari ini semuanya normal. Anda bisa lebih relaks. Tidak perlu terlalu tegang. Sesekali Anda juga bisa mengajaknya berbicara. Putri Anda pasti senang,” jelas dokter tersebut. Setelah selesai pemeriksaan, ia langsung keluar dari ruangan tersebut. Masih ada pasien lain yang harus ia periksa. Dokter dan asi
“Apa yang sebenarnya ingin Marvin katakan?”Biasanya, Langit akan menolak untuk meninggalkan putrinya tanpa alasan yang jelas. Dia merasa lebih aman jika bisa menghabiskan banyak waktu bahkan dua puluh empat jam untuk mengawasi putrinya. Namun, kali ini adalah situasi darurat. Langit tidak bisa menunggu lebih lama untuk mengetahui kejelasan dari hal yang ditemukan Marvin. Belum lagi, video yang sempat terekam di ponsel Aleta terus mengganggunya.Langit mengenderai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Dia sudah meminta Marvin mengatur pertemuan di sebuah restoran elit yang sering ia kunjungi saat ada pertemuan penting. Restoran tersebut menyediakan ruang VIP. Dia bisa berbicara panjang lebar dengan klien atau orang penting lainnya tanpa merasa terganggu di sana. Karena dia reguler di tempat tersebut, pihak restoran tidak segan mengosongkan tempat bahkan membatalkan pesanan orang lain hanya untuk dirinya.Setelah sepuluh menit perjalanan, Langit akhirnya tiba di restoran berbintang
“Beri tahu aku segera kalau kau sudah ada perkembangan lain.”Usai berpamitan dengan Rangga, Langit segera kembali ke rumah sakit. Di perjalanan, wajahnya terlihat sangat kusut. Suasana hatinya sangat buruk. Bagaimana tidak, wanita yang selama ini ia percayai rupanya telah mempermainkannya sampai seperti itu. Langit paling benci dengan orang-orang yang punya niat terselubung dan menipunya.Lalu, saat Langit berniat untuk menghubungi Renata, kekasihnya itu justru meneleponnya lebih dulu. Kebetulan karena Renata sudah menghubunginya, dia pun lekas mengangkat panggilan tersebut.“Halo?” Suara berat Langit terdengar sangat dingin.Walau begitu, wanita yang berada di balik telepon tampaknya tidak peduli atau memang dia tidak menyadarinya.“Halo, sayang … aku …,” Suara Renata tersendat karena terisak. Mungkin dia sedang menangis. “Aku ingin minta maaf soal kejadian kemarin. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya kesal karena kau lebih mementingkan anakmu bersama Senna ketimbang dengan a
“Berani sekali kau membohongiku, dan berani pula kau mengatai putriku! Aku tidak ingin melihat wajahmu. Pergi sekarang!”Renata masih sangat terkejut setelah Langit melayangkan tamparan kepadanya. Ia terdiam kaku di lantai sembari memegangi pipinya yang memerah.Pelayan yang bertugas di ruangan tersebut segera menangkan Langit dan membantu Renata untuk bangkit. Saat Renata akhirnya kembali pada kesadarannya setelah ditampar Langit, ia yang tadinya sudah bangkit malah menghempaskan tangan pelayan yang sudah membantunya untuk berdiri. Wanita itu justru kembali bersimpuh di kaki kekasihnya tanpa rasa malu sama sekali.“Tolong … tolong … maafkan aku!” Air mata Renata terus mengucur keluar hingga membuat riasannya tampak tidak karuan. Walau begitu, Renata tidak peduli. Dia sangat takut kalau Langit sampai meninggalkannya setelah semua yang ia lakukan demi mendapatkan pria itu. “Aku kelepasan tadi. Aku enggak bermaksud menghina anakmu, Sayang!”“Lepaskan!” bentak Langit dengan ta
“Pak … Pak Langit!”Langit mengerjapkan mata usai dibangunkan oleh seorang perawat karena ia ketiduran di kursi. Semalam, dia benar-benar tidak bisa tidur hingga fajar menyingsing. Barulah matanya bisa terpejam setelah ia benar-benar kelelahan.Pria itu belum sempat mengganti pakaian. Ia masih menggunakan pakaian yang sama dengan yang semalam. Karena baru saja bangun sekitar pukul sepuluh pagi, dia tentu saja belum sempat mandi.“Ada apa?” tanya Langit kepada perawat wanita yang di pipinya terdapat tahi lalat. Pria itu masih terlihat kebingungan. Perawat tersebut juga masih ragu apakah Langit sudah memulihkan kesadaran sepenuhnya.“Sebaiknya Anda tidak tidur di sini. Tidak baik bagi kesehatan Bapak,” jelas wanita itu terlihat sedikit khawatir. Lalu, raut wajahnya seketika berubah saat pintu kamar putri Langit diketuk sekali lagi.Saat mendegar suara ketukan pintu, si perawat dan Langit mengarahkan pandangannya ke sumber suara.“Ada siapa di luar?” tanya Langit sekali lagi sembari meng
“Bukan Danas?” batin Langit.Langit masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia masih termangu sejak Rendra pergi dari sana. Marvin pun masih harus kembali bekerja sehingga Langit memberi tahunya untuk pergi saja. Lagi pula, Langit ingin sendiri dulu. Dia tidak ingin diganggu oleh siapa-siapa.Sementara Langit duduk, tiba-tiba ponselnya berdering. Telepon tersebut berasal dari kekasihnya yang sudah ia campakkan. Langit segera mematikan telepon Renata. Lalu, pria tersebut malah memblokir nomor si kekasih agar tidak dihubungi. Ia pun mengabaikan segala pesan yang sempat Renata kirimkan.Lewat tengah hari, Langit pergi berkendara. Bukannya kembali ke rumah sakit, dia justru pergi keluyuran untuk menjernihkan pikirannya. Dia berkeliling tanpa arah. Hanya terus bergerak agar bisa melupakan segalanya.Langit kelihatan begitu cerah saat pagi. Namun, saat siang menjelang sore, seketika awan gelap memenuhi tengah kota. Mungkin tidak lama lagi akan turun hujan.Meski begitu,
“Cepat! Kita harus segera membawanya ….” Marvin meminta sopir Langit untuk membawa mobil. Dia duduk di samping Langit untuk memastikan kondisi bosnya.Langit kelihatan sangat lemah. Dia tertidur dengan kerutan di keningnya, seakan-akan ia tengah bermimpi buruk. Pria itu bahkan mengigau di sela-sela tidurnya.Sebelum perjalanan ke rumah sakit, Marvin meminta pembantu di rumah Langit agar mengganti pakaiannya. Pakaian mahal Langit benar-benar kotor. Di ujung celananya dipenuhi lumpur. Marvin tidak tahu habis dari mana bosnya itu hingga tampilannya bisa sampai awut-awutan begitu.“Da … nas ….”Lagi-lagi Langit menggumam. Saat mendengar itu, Marvin hanya bisa menghela napas pendek. Ia kemudian berkata dengan suara lirih, “Kalau kau memang segitu menyesalnya, kenapa sejak awal kau bersikap seperti itu?”Marvin mungkin hanya merasa kesal dengan sikap bosnya. Meski tidak tahu secara mendetail bagaimana tindakan Langit kepada Danas selama ini, tapi dari cerita dan perilaku Langit sehari-hari,
Marvin berjalan keluar dari sebuah ruangan, dia membawa sebuah amplop coklat dan memasukan ke dalam jas miliknya. Marvin mengunci pintu itu rapat-rapat. Setelahnya, berjalan menuju tempatnya memarkirkan mobil, lalu segera melaju kembali menuju rumah sakit.Sementara itu, di kamar rumah sakit Langit duduk dan menatap kosong ke depan. Pikirannya benar-benar kacau setelah ia mengetahui semua yang terjadi. Kini menyisakan penyesalan yang jelas terlambat datangnya. Seharusnya ia menemukan penyebab, bukan meratapi kebodohan yang dilakukannya."Langit si bodoh!" makinya pada diri sendiri.Jelas dia merasa kesal dengan perkataan Marvin. Namun, tak bisa dipungkiri kalau apa yang dikatakan oleh sang asisten itu adalah kebenaran.Saat tengah meratapi diri, seseorang tiba-tiba saja mengantuk pintu."Masuk!" sahut Langit.Seorang perawat membuka pintu, ini adalah waktunya sarapan. Suster tersebut membawa nampan berisi makanan, juga ada beberapa obat yang harus Langit minum pagi ini."Selamat pagi P