"Sudah bangun? Tumben?" Itu adalah suara Davina. Gadis itu kini tengah menikmati sarapan yang ia buat tadi. Duduk dengan sedikit terkejut karena melihat sang kakak yang kini telah berada di dapur dan meneguk air putih.“Memangnya aku tidak boleh bangun cepat?’ tanya Jagad sambil berjalan dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Davina.Davina hanya menganggukan kepala.Tak ada salahnya memang . Hanya saja tak seperti hari biasanya. Jagad biasanya masih tidur.“Bolehkah, hanya saja kan tak seperti biasanya. Kau masih tidur.” Davina mengatakan itu kemudian dia menyantap sandwich miliknya.Lalu dalam satu sambaran tangan pria itu berhasil mengambil sandwich dari tangan Davina. Davina berteriak kesal, kemudian ia merebut kembali sarapan paginya.“My sandwich!” teriak Davina kesal.Jagad terkekeh, menggigit sandwich sang adik tanpa rasa bersalah. “Pelit sekali sih?!” seru Jagad menggoda. Dia senang melihat adiknya marah-marah pagi ini.“Kau kakak paling menyebalkan!” Davina marah, kemudian
“Aku masih tak mengerti mengapa Danas bisa jatuh cinta pada pria seperti Langit,” kata Jagad lagi.Davina saat ini berada di sebuah restoran bersama sang kakak. Sejak kejadian di rumah sakit, Davina dan Jagad sama-sama tengah kesal dan marah dengan apa yang dilakukan oleh Langit. Jagad ingin sang adik bisa lebih tenang, tapi keduanya sama-sama saling mengompori satu sama lain.“Danas itu memang bodoh, padahal ada orang lain yang sangat mencintainya. Dengan bodohnya, malah mencintai pria jahat itu.” Davina tau tiap kali membicarakan ini bukan hanya dirinya yang terluka. Tetapi, Jagad juga. Namun, kali ini ia sama sekali tak bisa menahan bibirnya untuk tak mengungkapkan itu pada sang kakak.Jagad meneguk minumannya. “Ya, cinta kan memang membawa seseorang pada kebodohan.”"Dan yang paling menyebalkan Langit bahkan tidak mengizinkan orang tua Danas menemui cucu mereka." Davina benar-benar kesal dan marah dengan perlakuan Langit itu."Aku akan mencoba mencari cara untuk membuatnya mengizi
Sepeninggalan Renata, Langit jadi merasa bersalah karena telah terlalu mengacuhkan kekasihnya itu. Perasaannya menjadi tak menentu. Ia tahu Renata hanya menuntut dirinya untuk lebih sedikit perhatian. Sadar betul, kalau beberapa waktu ke belakang, memang tak pernah memberikan waktunya sedikit saja untuk Renata.Setelah berpikir sejenak, ia kemudian mengambil ponsel yang ada di atas meja, berniat untuk menghubungi Renata. Hanya saja, belum sempat ia menekan tombol pintu kamarnya diketuk."Masuk," sahut Langit.Terlihat seorang suster yang berjalan masuk. "Maaf, Bapak Langit? Ada beberapa obat yang harus dibeli Pak. Kebetulan di rumah sakit kami ketersediaan obat tersebut sedang kosong."Langit menganggukan kepalanya, dia kemudian membatalkan niat untuk menghubungi Renata. Dan berencana akan menghubungi nanti setelah ia selesai membeli obat tersebut."Baik suster."Sang suster mendekat, kemudian memberikan secarik kertas resep kepada Langit. "Obat yang belum ada, yang diberi stabilo ole
Renata mengenakan pakaiannya kembali setelah beranjak dari tempat tidur. Perempuan itu melirik ke arah pria yang membantunya untuk melampiaskan hasratnya semalam. Wajah David tampak tertidur pulas di balik selimut dengan setengah badannya yang tampak bertelanjang dada. Melihat pria itu tidur dengan damainya, Renata hanya bisa menghela napas pendek.Pagi-pagi, Renata meninggalkan rumah itu tanpa berpamitan. Dia bukannya merasa bersalah bila membangunkan David. Hanya saja, Renata merasa kalau hubungannya dengan pria itu memang hanya seperti itu. Saling memuaskan satu sama lain. Tak perlu bersikap intim lebih jauh secara emosional.Di perjalanan pulang, perasaan bergejolak tak kunjung hilang dari dalam dada Renata. Sesuatu berkecamuk, mengoyaknya hingga dadanya terasa sesak. Kemarin, saat Renata sibuk bersama David, Langit menelepon. Renata tidak mengangkatnya karena merasa kesal. Namun, barulah sekarang ia merasa menyesal.Sementara mobilnya melaju perlahan, kenangan yang ia lalui bersa
“Kumohon untuk mengerti!”Pria itu tampak memalingkan wajah ketika mengucapkannya. Matanya tidak sanggup menatap balik tatapan yang ada di depannya. Dia sadar bahwa ucapannya itu sudah keterlaluan. Namun, dia sudah memilih prioritas utamanya.“Menggugurkan? Kau pasti bercanda …,” Renata kehabisan kata-kata. Bibirnya kelu. Dia sama sekali tidak mengharapkan respons Langit yang seperti itu. Seketika, dunianya seolah runtuh. Dia bisa merasakan kalau dirinya tidak lagi penting di mata Langit.“Sorr—”Belum sempat Langit mengucapkan maaf, Renata langsung memotong kalimatnya. “Jangan bercanda!” Suara wanita itu keras. Cukup keras hingga membuat orang-orang yang berada di sekitar menoleh ke arahnya. “Kenapa kau tega? Bukannya kau ini mencintaiku? Apa kau tidak ingin memiliki anak dari sosok yang kamu cintai? Kenapa kau memperlakukanku berbeda? Apa pentingnya anak Danas dibanding anak yang sedang ada di kandunganku?”Renata tidak sedang mengandung anak Langit. Jangankan anak Langit, di dalam
“Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kau lakukan?”Langit membentak Renata karena sangat terkejut dengan pemandangan yang baru saja dia lihat. Bisa-bisanya Renata bertindak seperti itu. Langit tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Renata sampai tega melakukan perbuatan semacam itu? Apalagi terhadap putrinya.Pria itu ingin menumpahkan seluruh emosi marahnya, tetapi ia pun begitu khawatir dengan putrinya. Keadaan bayi itu mengenaskan. Dia sampai menangis karena alat bantunya secara paksa dilepas.“Suster!” Langit berteriak memanggil-manggil. Dia terlihat panik saat melihat keadaan putrinya.Sementara itu, Renata yang terhempas sampai jatuh duduk hanya bisa bungkam. Bibirnya kaku dan ia tidak bisa bergerak. Wanita itu pun tidak menyangka dirinya bisa bertindak sampai seperti itu saat Langit juga berada di rumah sakit. Dia baru saja menyesali perbuatannya karena telah bertindak gegabah. Padahal selama ini dia selalu bertindak dengan cukup baik untuk menutupi semua perbuatan kejinya.
“Mama? Ini nomor Mama?”Tangan Langit gemetaran saat ia melihat nama yang tercantum di layar ponselnya. Ia masih sulit percaya. Pasalnya, itu adalah nomor dari sang ibu yang notabenenya sudah meninggal.Langit mencoba menenangkan diri. Pada dasarnya ponsel ibunya memang tidak ditemukan di manapun. Pria itu berusaha agar tetap berpikir jernih dan tidak berprasangka terlebih dahulu.Meski ada perasaan ragu, tetapi Langit berusaha tidak mengindahkannya kemudian akhirnya mengangkat telepon tersebut.“Halo?” Suara Langit terdengar berat. Walau dia kelihatannya menunjukkan ekspresi datar, jantungnya sebenarnya berdegup dengan kencang. Ada perasaan gugup di sana.Beberapa detik tidak ada suara di balik telepon. Langit kemudian bersuara sekali lagi. “Halo … ini siapa?”Tidak lama setelah itu barulah terdengar suara seorang pria yang bergetar di balik telepon. “Ha, halo … maaf. Anu ….”“Ini dengan siapa? Kenapa Anda bisa memegang ponsel ini?”Kegugupan Langit berubah menjadi rasa penasaran. Ad
“Sudah jam segini ….” Langit melihat jam dan mendapati waktu sudah menunjukkan pukul satu lewat.Lewat tengah hari, Langit sebentar lagi akan sampai di rumah sakit. Dia harus tiba di sana sebelum dokter yang bertugas menangani anaknya datang memeriksa. Akhirnya, pria itu menambah kecepatanya, membuat mobil itu melesat mendahului pengendara-pengendara lain.Tiba di rumah sakit, Langit bergegas menuju ruangan putrinya. Saat ia tiba di depan, ia membuka pintu dan melihat perawat yang berjaga di sana. Perawat tersebut terkejut karena pintu tiba-tiba saja terbuka.“Apa dokternya sudah selesai memeriksa?” tanya Langit.Perawat pria yang kebagian tugas untuk berjaga berdiri dari kursi. Ia kemudian menunjukkan senyum ramah. “Ah, belum, Pak. Dokternya mungkin masih berada di poli. Hari ini cukup banyak pasien yang berkunjung. Sebentar lagi dia pasti akan mulai berkeliling di bangsal.”Perawat tersebut bisa melihat air muka Langit yang kelihatan panik. Dia menduga, ayah dari bayi yang sedang ia