“Apa sebenarnya yang kau pikirkan?!”
Suara menggelegar terdengar bergema di halaman nona kedua keluarga Ling; Ya, halaman tempat tinggal Ling Huang.
“Meninju cermin? Gadis macam apa kau ini, hah?!” bentak seorang pria dengan setengah rambutnya diangkat ke atas, menyisakan helaian rambut yang membingkai wajah tampannya. Dari pakaian yang dia kenakan, terlihat bahwa pria tersebut merupakan seorang terhormat.
Di sebelah pria itu, berdiri seorang wanita rupawan yang memasang senyum lembut. “Ling De, tenanglah. Jelas terjadi sesuatu yang membuat adikmu tidak bisa mengendalikan emosi. Bukan begitu, Ling Huang?” tanya wanita tersebut sembari menatap gadis yang sedang terduduk di pinggir tempat tidur.
Ling Huang terdiam, membalas tatapan wanita di hadapannya dengan wajah datar. Tanpa ada yang tahu, gelombang emosi dan hasrat membunuh sedang bergulir di dalam hatinya.
‘Wu Mei,’ Ling Huang menyebut nama wanita tersebut dalam hati. ‘Wanita yang menjebak Ayah di rumah hiburan; ibu dari Ling Xian,’ jelasnya lagi, menekankan kembali status wanita tersebut untuk mengekspresikan kebencian dalam hatinya.
Melihat Ling Huang menatapnya begitu lama tanpa berkedip, tubuh Wu Mei bergidik. Dia merasa ada yang salah dan memutuskan untuk mengulangi panggilannya, “Ling Huang?”
Ling Huang mengalihkan pandangannya kepada pria yang berdiri tidak jauh di sebelah Wu Mei, sengaja mengabaikan ucapan wanita tersebut. “Kakak,” panggilnya.
Benar, pria bernama Ling De itu adalah kakak pertama dari Ling Huang, juga menteri pertahanan Kekaisaran Liang.
Di kehidupan lalu, Ling De merupakan salah satu orang yang paling menentang pernikahan Ling Huang dengan Qi Moxin, terlebih ketika adik keduanya itu memutuskan untuk mendorong sang pangeran ketiga ke atas takhta. Namun, bahkan ketika dirinya berdiri di partai oposisi, di saat terpenting Ling De tetap berusaha yang terbaik untuk melindungi Ling Huang.
Mata Ling Huang berubah menjadi sangat lembut, dan dia pun berkata, “Aku minta maaf.”
Ling De sedikit terkejut dengan balasan tenang adiknya. ‘Maaf?’ Alis pria itu menekuk tajam, bingung dengan sikap Ling Huang. ‘Biasanya dia akan langsung membantah dan bersikeras membela diri, apa yang merasuki dirinya hari ini?’
Mengira ada ketegangan di antara kedua saudara itu, Wu Mei pun menengahi, “Sudah, sudah. Yang terpenting adalah Ling Huang baik-baik saja.” Dia mengulurkan tangan untuk menyentuh tangan Ling Huang. “Sekarang, kita harus segera bersiap untuk—”
Ucapan Wu Mei terhenti ketika Ling Huang menarik tangan menjauh dari sentuhannya. Hal tersebut membuat wanita itu menunjukkan raut wajah tidak suka. ‘Apa-apaan?! Beraninya gadis busuk ini bersikap seperti ini!’ Namun, dia dengan cepat mengubah wajahnya agar kembali tersenyum. “Ling Huang, ada apa? Kenapa kau—”
“Ayah akan tiba ke ibu kota hari ini, kita akan menyambutnya, bukan?” potong Ling Huang seraya berdiri dan menatap kakaknya. “Aku harus bersiap.”
Wu Mei terdiam di tempat, bingung harus mengatakan apa. Dirinya diperlakukan bak angin oleh Ling Huang, seakan tak benar-benar ada!
Ling De yang masih merasa kesal dengan kecerobohan adiknya menghela napas. Dia pun memutuskan untuk mengalah, “Pastikan untuk menutupi lukamu itu nanti. Jangan buat Ayah khawatir di hari pertama dia kembali ke ibu kota.”
Ling Huang memberi hormat kepada Ling De sebagai balasan. “Aku mengerti, Kakak.”
Melihat Ling De mulai berjalan pergi, Wu Mei langsung berujar, “Aku akan membantumu untuk—”
“Tidak,” potong Ling Huang. Dia tahu bahwa Wu Mei berniat untuk membantunya merias diri, dan dia tidak menginginkan hal tersebut. “Terima kasih atas niat baik Yiniang [1], tapi aku bisa sendiri.”
Selama sesaat, Wu Mei membeku di tempat. Kemudian, dia tersenyum dengan begitu lembut. “Ling Huang, kau tidak pernah merias dirimu sendiri, bagaimana kalau nanti ada yang kurang cocok?”
Ekspresi Ling Huang tetap datar, tapi rahangnya mengeras seiring dirinya berkata, “Zhen Zhen ada di sini untuk membantuku. Sebagai pelayan yang ditempatkan oleh Ibu untukku, aku yakin bahwa dia memiliki kemampuan yang cukup untuk meriasku. Atau mungkin, Yiniang meragukan pilihan Ibu?”
Ling De yang sedang berjalan meninggalkan ruangan segera menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke belakang dan menatap adiknya dengan mata terkejut. ‘Ling Huang … baru saja menekan Wu Yiniang dengan … mengungkit Ibu?’
Tidak biasa! Sungguh kejadian yang tidak biasa!
Hubungan Wu Mei dan Ling Huang biasanya begitu baik, gadis itu memperlakukan sang ibu tiri layaknya seorang ibu kandung—sesuatu yang jelas tidak begitu Ling De sukai. Akan tetapi, hari ini tidak hanya dia menolak tawaran wanita itu, dia juga menggunakan mendiang ibu kandungnya untuk menghentikan tindakan Wu Mei!
Tak enak bila terus memaksa, Wu Mei pun langsung membalas, “A-ah, baiklah!” Dia melirik Zhen Zhen dan berkata, “Zhen Zhen, persiapkan nonamu dengan baik.”
“Sudah kewajibanku, Wu Yiniang,” balas Zhen Zhen dengan sopan. Namun, sebenarnya ada makna lain dalam ucapannya, ‘Tidak perlu kau katakan, aku juga tahu.’
Ketika semua orang telah keluar, Wu Mei menoleh dan menatap pintu yang telah ditutup dengan wajah bingung. ‘Biasanya gadis itu akan memintaku untuk meriasnya, kenapa tidak dengan hari ini?’ Dia mendecakkan lidah sembari melanjutkan langkahnya. ‘Aku kehilangan kesempatan untuk membuatnya terlihat lebih buruk dibandingkan Xian’er [2]!’
Sementara itu, di dalam ruangannya, wajah Zhen Zhen yang tadi begitu datar dan sopan langsung berubah kegirangan. “Nona!” serunya dengan setengah berbisik. “Apa akhirnya kau mendengar saranku untuk menjauhi Wu Yiniang?!” Dia terlihat begitu bersemangat.
Ucapan Zhen Zhen membuat Ling Huang tersenyum. Memang benar, sedari dulu Zhen Zhen selalu memperingatkannya perihal Wu Mei dan Ling Xian. Akan tetapi, mengatasnamakan persaudaraan dan juga kasih sayang seorang ibu yang dia rindukan, Ling Huang selalu mengabaikan peringatan pelayannya tersebut.
Dengan wajah tenang, Ling Huang membalas, “Zhen Zhen, mulai dari sekarang, awasi gerak-gerik Wu Yiniang dan Ling Xian.” Dia mendudukkan diri di meja rias dan berkata, “Hanya dengan izinku baru mereka boleh menginjakkan kaki di halaman ini.” Maniknya yang berwarna sehitam malam memancarkan api membara. ‘Mari kita mulai permainannya.’
___
[1] Yiniang: panggilan ‘ibu’ untuk selir sang ayah.
[2] Xian’er: panggilan intim untuk Ling Xian. (Nama + er: panggilan yang terdengar lebih intim. Bisa digunakan untuk kekasih, saudara, atau anak.)
___
A/N: Hellow, ada tanggapan setelah baca sejauh ini? Really wanna know! Berkomunikasilah, wahai para manusia maya!
Catatan:[1] Istana Dingin: tempat di mana para wanita kaisar yang melanggar peraturan istana dibuang sebagai ganjarannya.____Suara daging terkoyak terdengar jelas di telinga semua orang. Setiap pasang mata yang hadir di halaman Istana Dingin [1] membelalak, terkejut dengan sebilah belati yang berhasil menembus dahi satu prajurit malang di tengah kerumunan.“Lindungi Yang Mulia!” seru seorang jenderal, menyadarkan para prajurit di bawah kuasanya untuk melindungi sang Putra Langit dari bahaya.Ya, ‘Putra Langit’, panggilan bagi sang kaisar.Di tengah kekacauan dan kepanikan yang terjadi, teriakan memilukan seorang wanita bisa terdengar, “Ahh!”Para prajurit dengan cepat mengalihkan pandangan, manik mereka memandang ke arah sumber suara, yakni pintu Istana Dingin. Satu sosok wanita berpakaian lusuh terlihat berdiri di sana, sebuah pedang mencuat keluar dari tubuhnya.Ketika pedang te
Sebelum Ling Huang berhasil mendapatkan jawaban, teriakan terkejut mengalihkan fokusnya. “N-Nona Kedua! Kenapa kau keluar dengan pakaian seperti itu?!” teriak seorang gadis muda dengan pakaian seorang pelayan. “Segeralah kembali masuk!” Dipanggil ‘Nona Kedua’ oleh sang pelayan membuat Ling Huang membeku. Dia adalah istri sang pangeran ketiga, itu berarti panggilan ‘Putri’ yang seharusnya digunakan untuknya. Selain itu, panggilan ‘Nona’ kurang tepat untuk seseorang di usianya. Namun, ada hal lain yang lebih mengejutkan bagi Ling Huang. “Zhen Zhen?” ujar gadis itu dengan ragu. “Bukankah kau … telah mati?” Dia menambahkan dalam hati, ‘Apa itu berarti … ini surga?’ Dengan sebuah nampan berisi baskom dalam pegangannya, pelayan bernama Zhen Zhen itu memasang wajah konyol. ‘Apa Nona baru menyumpahiku?’ batin pelayan tersebut. Tak penting apa jawaban dari pertanyaan itu, Zhen Zhen hanya tahu ada hal yang perlu dia lakukan. Mengabaikan ucapan aneh nonanya, Zhen Zhen bergegas menghampiri Li
Ucapan Ling Xian membuat Ling Huang terkejut. ‘Restu? Setelah pengumuman besar-besaran di hadapan para pejabat negara, sekarang kau baru meminta restu?!’ teriaknya dalam hati.Belum sempat Ling Huang melakukan apa pun, Qi Moxin segera membantu Ling Xian berdiri.“Xian’er, kau sedang mengandung, jangan—”“Apa?!” Ling Huang terbelalak, jantungnya seakan berhenti berdetak selama satu detik. “Apa maksudmu dengan mengandung?! Kalian—” Wanita itu tak mampu menyelesaikan ucapannya, terutama setelah melihat keintiman kedua orang di hadapannya. Seluruh tubuh Ling Huang bergidik jijik, jarinya tertunjuk ke arah suami dan adiknya. “K-kalian berdua—”Qi Moxin menatap Ling Huang dengan dingin. “Ya, Ling Xian mengandung anakku.” Dia memasang sebuah senyuman keji seraya berkata, “Lihat, bahkan dalam hal ini, dia lebih mampu dibandingkan dirimu.”Hati Ling
Dengan kedua tangan ditahan di belakang oleh seorang prajurit, manik hitam Ling Huang menggerayangi belati dan mangkuk berisi cairan hitam yang disuguhkan seorang kasim di hadapannya.“Belati atau racun, pilihlah salah satunya,” ujar sang kasim dengan senyuman keji.Tubuh Ling Huang bergetar karena amarah, dia tidak menyangka bahwa Qi Moxin akan memerintahkannya untuk melakukan bunuh diri. Wanita tersebut mengangkat kepalanya, memandang wajah Ling Xian yang tersenyum dengan memuakkan.“Kalian ingin memaksaku untuk bunuh diri?” Ling Huang bertanya.Ling Xian memasang wajah menyayangkan, lalu dia menggelengkan kepalanya. “Kakak, Kaisar akan sedih kalau dia tahu niat baiknya disalahpahami olehmu.” Kemudian, dia tersenyum. “Dia sedang memberikanmu pilihan untuk mati dengan lebih terhormat. Dibandingkan dieksekusi di depan khalayak ramai seperti pelayanmu itu, bukankah ini lebih baik?”Tangan Ling Huang me
“Apa sebenarnya yang kau pikirkan?!”Suara menggelegar terdengar bergema di halaman nona kedua keluarga Ling; Ya, halaman tempat tinggal Ling Huang.“Meninju cermin? Gadis macam apa kau ini, hah?!” bentak seorang pria dengan setengah rambutnya diangkat ke atas, menyisakan helaian rambut yang membingkai wajah tampannya. Dari pakaian yang dia kenakan, terlihat bahwa pria tersebut merupakan seorang terhormat.Di sebelah pria itu, berdiri seorang wanita rupawan yang memasang senyum lembut. “Ling De, tenanglah. Jelas terjadi sesuatu yang membuat adikmu tidak bisa mengendalikan emosi. Bukan begitu, Ling Huang?” tanya wanita tersebut sembari menatap gadis yang sedang terduduk di pinggir tempat tidur.Ling Huang terdiam, membalas tatapan wanita di hadapannya dengan wajah datar. Tanpa ada yang tahu, gelombang emosi dan hasrat membunuh sedang bergulir di dalam hatinya.‘Wu Mei,’ Ling Huang menyebut nam
Dengan kedua tangan ditahan di belakang oleh seorang prajurit, manik hitam Ling Huang menggerayangi belati dan mangkuk berisi cairan hitam yang disuguhkan seorang kasim di hadapannya.“Belati atau racun, pilihlah salah satunya,” ujar sang kasim dengan senyuman keji.Tubuh Ling Huang bergetar karena amarah, dia tidak menyangka bahwa Qi Moxin akan memerintahkannya untuk melakukan bunuh diri. Wanita tersebut mengangkat kepalanya, memandang wajah Ling Xian yang tersenyum dengan memuakkan.“Kalian ingin memaksaku untuk bunuh diri?” Ling Huang bertanya.Ling Xian memasang wajah menyayangkan, lalu dia menggelengkan kepalanya. “Kakak, Kaisar akan sedih kalau dia tahu niat baiknya disalahpahami olehmu.” Kemudian, dia tersenyum. “Dia sedang memberikanmu pilihan untuk mati dengan lebih terhormat. Dibandingkan dieksekusi di depan khalayak ramai seperti pelayanmu itu, bukankah ini lebih baik?”Tangan Ling Huang me
Ucapan Ling Xian membuat Ling Huang terkejut. ‘Restu? Setelah pengumuman besar-besaran di hadapan para pejabat negara, sekarang kau baru meminta restu?!’ teriaknya dalam hati.Belum sempat Ling Huang melakukan apa pun, Qi Moxin segera membantu Ling Xian berdiri.“Xian’er, kau sedang mengandung, jangan—”“Apa?!” Ling Huang terbelalak, jantungnya seakan berhenti berdetak selama satu detik. “Apa maksudmu dengan mengandung?! Kalian—” Wanita itu tak mampu menyelesaikan ucapannya, terutama setelah melihat keintiman kedua orang di hadapannya. Seluruh tubuh Ling Huang bergidik jijik, jarinya tertunjuk ke arah suami dan adiknya. “K-kalian berdua—”Qi Moxin menatap Ling Huang dengan dingin. “Ya, Ling Xian mengandung anakku.” Dia memasang sebuah senyuman keji seraya berkata, “Lihat, bahkan dalam hal ini, dia lebih mampu dibandingkan dirimu.”Hati Ling
Sebelum Ling Huang berhasil mendapatkan jawaban, teriakan terkejut mengalihkan fokusnya. “N-Nona Kedua! Kenapa kau keluar dengan pakaian seperti itu?!” teriak seorang gadis muda dengan pakaian seorang pelayan. “Segeralah kembali masuk!” Dipanggil ‘Nona Kedua’ oleh sang pelayan membuat Ling Huang membeku. Dia adalah istri sang pangeran ketiga, itu berarti panggilan ‘Putri’ yang seharusnya digunakan untuknya. Selain itu, panggilan ‘Nona’ kurang tepat untuk seseorang di usianya. Namun, ada hal lain yang lebih mengejutkan bagi Ling Huang. “Zhen Zhen?” ujar gadis itu dengan ragu. “Bukankah kau … telah mati?” Dia menambahkan dalam hati, ‘Apa itu berarti … ini surga?’ Dengan sebuah nampan berisi baskom dalam pegangannya, pelayan bernama Zhen Zhen itu memasang wajah konyol. ‘Apa Nona baru menyumpahiku?’ batin pelayan tersebut. Tak penting apa jawaban dari pertanyaan itu, Zhen Zhen hanya tahu ada hal yang perlu dia lakukan. Mengabaikan ucapan aneh nonanya, Zhen Zhen bergegas menghampiri Li
Catatan:[1] Istana Dingin: tempat di mana para wanita kaisar yang melanggar peraturan istana dibuang sebagai ganjarannya.____Suara daging terkoyak terdengar jelas di telinga semua orang. Setiap pasang mata yang hadir di halaman Istana Dingin [1] membelalak, terkejut dengan sebilah belati yang berhasil menembus dahi satu prajurit malang di tengah kerumunan.“Lindungi Yang Mulia!” seru seorang jenderal, menyadarkan para prajurit di bawah kuasanya untuk melindungi sang Putra Langit dari bahaya.Ya, ‘Putra Langit’, panggilan bagi sang kaisar.Di tengah kekacauan dan kepanikan yang terjadi, teriakan memilukan seorang wanita bisa terdengar, “Ahh!”Para prajurit dengan cepat mengalihkan pandangan, manik mereka memandang ke arah sumber suara, yakni pintu Istana Dingin. Satu sosok wanita berpakaian lusuh terlihat berdiri di sana, sebuah pedang mencuat keluar dari tubuhnya.Ketika pedang te