Caka menatap wajah istrinya yang merona, wajah tanpa make up itu tampak segar dengan bibir kemerahan. Sebagai laki-laki normal, ia tentu tak bisa menolak pesona yang wanita muda itu tawarkan. Perlahan ia mendekatkan wajah, menutupkan bibirnya ke bibir sang istri. Zava memang terkejut, namun ia tak menolak. Ia terkejut karena selama ini pria yang sudah menjadi suaminya itu selalu dingin padanya. Bahkan terkesan membencinya. Ia tak pernah berfikir jika pria itu akan melakukan hal mesra kepadanya. Tapi malam ini ... pria itu menciummya. Antara ada rasa senang dan takut bercampur menjadi satu. Namun ia hanya melayani apa yang suaminya inginkan. Caka sedikit terkejut dengan respon wanita itu yang membalas ciumannya, memang Zava masih amatiran. Ciumannya masih sangat lugu, namun itu berhasil membuat Caka hilang kendali. Ia mulai melepaskan pakaian wanita itu satu persatu. Membalikan posisi mereka hingga Zava berada di bawahnya. Caka menatap wajah sang istri yang tampak s
"Untuk apa, Tuan?" "Aku suamimu, jadi aku berhak melihat seluruh tubuhmu tak terkecuali. Kau ingin membantah?" Zava menggeleng, ia pun menjulurkan kaki kirinya. Tak ada apa pun di sana. "Kaki yang satunya!" pinta Caka. Zava menelan ludah, dengan menggigit bibir ia pun menjukurkan kaki kanannya di sebelah sang suami. Caka menatap gelang kaki itu, ia memungkut kaki sang istri yang memakai gelang sedikit tinggi agar bisa mengamati gelang itu dengan jelas. Gelang itu terbuat dari titanium, itu berbentuk seperti gelang oada umumnya. Tapi melekat erat pada kulit Zava hingga meninggalkan bekas kemerahan di sekitar area gelang. Itu bukan karena sudah kekecilan, tapi sepertinya memang dibuat seperti itu. Caka memejamkan mata, meletakan telapak tangannya di atas gelang itu. Mengeluarkan sedikit energi untuk memeriksa. Rupanya di dalam gelang itu ada semacam energi yang digunakan untuk membelenggu. Gelang itu dibuat menempel pada kaki agar terhubung langsung dengan pembuluh da
"Caka, kenapa kau di sini?" tanya Lea dengan nada gemetar. "Aku ingin bicara denganmu!" Jawaban Caka sangat tenang dan dingin. "Kita ... bisa bicara di rumah." "Tapi aku ingin di sini!" Lea menelan ludah, entah mengapa ia meluhat sepupu iparnya itu tampak berbeda hari ini. Pemuda itu duduk di deoan kap mobil depannya, dan tak ada tongkat yang tampak ia gunakan. "Caka_" ucapan Lea terputu. saat Caka menarik diri hingga berdiri di atas kakinya dengan tegap. "C-Caka, kau ... kau bisa berjalan?" Caka menyimpulkan senyum kecut, "Aku bahkan bisa berlari ke hadapanmu dengan kilat!" Lea memundurkan diri, ia memiliki firasat tak baik itu sebabnya mencoba mancari jalan untuk melarikan diri. Sayangnya dari belakangnya, muncul Mac dengan ekspresi dingin. "Sebelum kita selesai bicara, aku tak akan membiarkanmu pergi!" ujar Caka menyeringai. "A-apa yang ingin-kau bicarakan?" "Katakan padaku, berapa kali kau memukul istriku?" Kedua mata Lea melebar seketika, rupanya gadis kampung i
Allarrit, Nollyvia. “Tuan Muda ... sudah meninggal!” Ucapan dari dokter seolah membuat ruangan dengan lampu putih yang menyilaukan mata itu seketika terasa dingin. Gradi, kakek dari pria yang terbaring tak bernyawa di atas brankar, merasakan nyawanya ikut pergi dari tubuhnya. “Apa? Meninggal!? Tidak mungkin, Dokter!” seru Gradi tak terima dengan kabar yang baru saja disampaikan oleh dokter. “Maafkan saya, Tuan Madaharsa. Tapi Tuan Muda Cakara sudah tak bisa diselamatkan.” Gelengan kepala dari sosok yang memakai jas putih serta suara nyaring elektrokardiogram yang hanya menunjukkan garis lurus, seolah membuktikan ucapan sang dokter. “Ayah, mungkin memang ini yang terbaik untuk Caka!” ujar Vivian, “Tiga tahun dia harus hidup dengan alat-alat yang terpasang di tubuhnya, itu pasti sangat menyakitkan!” “Vivian benar, Ayah!” timpal Erdian, “Mungkin memang sudah waktunya Caka pergi!” Ucapan kedua anak pria tua itu bukannya membuat dia tenang, justru membangunkan emosi, “Diam kalian!”
Iring-iringan mobil mewah itu memasuki sebuah kediaman yang sangat megah, di pintu gerbang berjejer para pengawal yang menyambut. Cakara duduk berdampingan di sebuah limusin bersama sang kakek, Gradi Arsenio Madaharsa. Jok yang ia duduki sedikit menurun ke belakang, begitulah jika ia duduk di dalam mobil selama ini. Kondisi tulang belakangnya tak memungkinkan baginya untuk duduk tegap. Arthur sang kepala pelayan sekaligus pengasuhnya turun dari jok depan ketika limusin itu berhenti tepat di depan pintu masuk. Seorang pelayan dengan memegang kursi roda sudah siap dengan tugasnya. Arthur membuka pintu di sisi Caka duduk. Mac, sang kepala pengawal membungkuk.“Selamat datang kembali, Tuan Muda!” Caka menoleh sang kakek di sisinya dengan heran. “Dia Mac, kepala pengawal kita. Kau bisa mempercayainya!” ujar Gradi yang bisa melihat melihat kekhawatiran sang cucu.Kata dokter mungkin ada beberapa hal yang tak diingat oleh cucunya karena efek dari koma yang cukup lama. “Ada berapa bany
“Dia berdiri?” desis Arthur tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana tuan mudanya yang selama ini cacat bisa berdiri tiba-tiba? Caka membanting orang itu ke tanah dengan keras, orang itu sempat meriang kesakitan namun segera berdiri kembali. Memasang kuda-kuda dan menyerang Caka.Dengan cukup gesit Caka langsung menendangnya hingga terpental dan tersungkur.Orang itu kembali bangkit lalu menyerang Caka lagi. Caka melawannya dengan gerakan yang tak pernah diduga siapa pun. Dengan sangat mudah Caka menangkis serangan, membalas pukulan bertubi-tubi ke beberapa titik vital dari tubuh lawannya. Hanya dalam sekejap orang itu tersungkur ke tanah dan tak bergerak. Setelah menatap lama tubuh pria itu untuk memastikannya sudah tak bernyawa. Caka kembali duduk dengan tenang, ia menoleh pada Arthur yang terpekur di tempatnya. “Tuan Muda!” “Urus jasad orang itu, Arthur. Dan jangan sampai ada yang tahu tentang hal ini!” perintahnya. “Anda bisa berdiri, Tuan Muda?”“Lakukan perintahk
Alarrith“Jadi sekarang, Jenderal Cody menggantikan posisiku sebagai Jenderal Besar Nollyvia?” “Benar, Tuan.”“Seharusnya aku tahu, sejak dulu dia menginginkan posisi itu!” Tangan Caka mengepal dengan geram, ia harus bisa membalas semua ketidak adilan terhadap dirinya. Tapi sekarang ia tak memiliki kekuasaan itu. Apalagi saat ini Cody menjadi Jenderal Besar Nollyvia. Raymond akui, tubuh yang ia singgahi memang sudah bisa berdiri dan berjalan, namun seluruh sendinya masih terasa kaku. Ia harus banyak berlatih jika ingin menghadapi banyak orang. Jika ia bertindak sekarang, ia tidak akan memiliki kekuatan apa pun. “Arthur, aku butuh tempat untuk berlatih tanpa seorang pun tahu!”“Jangan khawatir, Tuan Muda. Saya sudah menyediakannya.”Jawaban Arthur membuat Caka menoleh pria itu. “Kau seperti sudah tahu apa yang aku butuhkan?”Arthur membungkukkan tubuh. Sejak hari itu, Caka mulai melatih kemampuan dirinya. Semua yang ia lakukan adalah ingatan dari Raymond selama bertahun-tahun bela
“Cody?!" desis Caka yang tiba-tiba saja mengepalkan tinju dengan geram. Arthur menatap bosnya, "Apakah Anda ingin menemuinya, Tuan Muda?" Caka memejamkan mata dan mengatur nafasnya perlahan, kemudian mata itu terbuka pelan namun tajam dan menyeringai. "Biarkan dia masuk!""Baik!" jawab Serina kemudian menutup pintu. Arthur lekas berdiri di sisi Caka, pintu ruangan kembali terbuka dan Cody dengan seragam kebesarannya memasuki ruangan. "Selamat siang, Tuan Caka!" sapanya dengan sopan, ia menundukan kepala untuk memberi hormat. "Suatu kehormatan bagiku bisa kedatangan Jenderal Besar Nollyvia!" sahutnya penuh arti. "Saya yang merasa beruntung karena Tuan bersedia menemui saya.""Ada apakah gerangan?" ia bertanya dengan nada yang tak terlalu tegas. Untuk saat ini ia masih harus tampak sedikit lemah di depan semua orang. "Maafkan saya sebelumnya, saya pernah mengajukan aplikasi ke Mainwell Investama, dan ... belum ad tanggapan sama sekali.""Jadi?""Saya ingin mengajukan ulang secar