Bila saja Jai percaya lebih awal kalau para pengguna elemen yang disebut dengan Elemer itu benar-benar ada. Tentunya Jai akan menanyakan sedetail mungkin pada Miria agar keadaan tidak seburuk saat ini. Ya, Jai terlihat seperti orang bodoh saat melihat apa yang dilakukan oleh lawannya tepat di hadapannya sendiri.
Baik Usha maupun Jai refleks terkejut saat melihat salah satu pria bertubuh besar menghentakkan kakinya di tanah hingga segumpal tanah seukuran kelapa tiba-tiba melayang tepat di sampingnya. Bagi Jai, apa yang dia lihat saat ini bagaikan sebuah omong kosong yang membuatnya terlihat menyedihkan. Namun, untung saja Usha mengalihkan perhatian semua orang dari Jai. Reaksi anak kucing yang sedang tersentak diikuti raungan dan desisan terlihat sangat menggemaskan bagi semua orang yang memandangnya.
‘Bagaimana bisa dia melakukannya? Apakah dia seorang wibu yang begitu fanatik dengan animasi sihir seperti Korra?’ Batin Jai bertanya-tanya. Apakah ini yang dimaksud Miria dengan sebutan Ele... ah, apalah itu namanya?
Wajah pria itu terlihat mengejek Jai dengan sinisnya sambil mencibir, “Rubimu. Berikan rubimu sekarang. Anak bodoh!”
Yah, apa pun yang pria itu lakukan, Jai akan segera mengetahuinya nanti. Paling tidak Jai pun masih ingat kalau batu rubi itu termasuk ke dalam perhiasan yang harganya cukup mahal. Jai tidak bisa membiarkannya begitu saja, dia harus menghentikan para pereman pasar ini.
“Kenapa? Lagipula kalian yang membuat temanku terluka. Seharusnya kalian yang membayar kami,” jawab Jai dengan suara yang sangat mantap.
Alis pria itu terangkat. Dia kemudian menatap Jai dengan tatapan konyol.
"Dia mempermainkanmu, kakak," ujar pria botak di sebelah kirinya.
"Beri dia pelajaran, kak!" Tambah pria lain yang ada di sebelah kanan.
Pereman yang disebut kakak itu pun tertawa dan mengangguk. Ia mencuri pandang ke sekelilingnya kemudian menyunggingkan senyum sarkastik. Baginya saat ini adalah kesempatan yang bagus untuk memamerkan kemampuannya. Dengan begitu semua orang akan takut dan memberikan lebih banyak uang pada mereka.
Pria itu kembali mencibir Jai, "Jangan salahkan aku jika kau tidak bisa lagi berjalan.” Kemudian dia menggerakkan lehernya seolah sedang pemanasan.Jai masih bertanya-tanya dengan segala hal yang terjadi pada dirinya. Kejadian kemarin malam saja masih tidak bisa dia mengerti, dan sekarang tukang palak yang terlihat seperti pecinta Avatar ini membuat beban pikiran Jai bertambah. Semua yang terjadi padanya sangat konyol. Terlebih situasinya saat ini.
Bongkahan batu yang melayang itu pun melesat terbang ke arah Jai bagaikan jurus pengendali bumi dari film Avatar. Jai mengelak tepat waktu ke kanan meski batu itu nyaris menyentuh telinga kirinya. Dia salah memperkirakan jarak dan kekuatan batu terbang itu, hampir saja Jai tidak bisa menghindarinya. Suara sorak teriakan pun terdengar dibelakangnya, membuat Jai sadar kalau saat ini dirinya tidak sendirian di tempat ini.
Jai mengedarkan pandangannya dan melihat orang-orang yang ada disekitarnya berada di dalam jarak yang aman. Dia pun berbalik untuk memeriksa apakah batu itu mengenai seseorang dibelakangnya dan untungnya tidak.
“Kau lihat ke mana, sialan?!” Pria besar itu berteriak sembari mengirimkan batu lain ke arah Jai.
Jai pun menoleh pada teriakan pria itu, dia bahkan bisa mendengar suara Usha mengeong histeris sebelum sebuah batu menghantam kepala Jai. Untung saja batu itu mengenai bagian kanan kepalanya. Kalau batu itu mengenai bagian belakang kepala, Jai tentunya akan berakhir koma di rumah sakit. Tapi tetap saja rasanya sangat sakit bukan main.
“Jai!” teriak Miria sangat khawatir.
Dua orang yang ada di belakang pria besar itu tertawa, sementara pria yang dipanggil kakak itu menyeringai puas.
“Makan itu, dasar brengsek. Mau lagi?” Pria itu bertanya dengan sinis. Dia mengeluarkan satu lagi sebongkah tanah keras seukuran kelapa. Batu itu dia lemparkan ke atas dan ke bawah dengan tangannya seperti bola.
Jai masih sadar ketika Usha memutuskan untuk bertindak secara individu. Anak kucing kecil itu mengaum dengan menggemaskan dan menerjang ke arah penjahat itu. Menaiki tubuh pria itu menggunakan cakar bayinya yang tajam, Usha menenggelamkan taring bayinya ke dada penjahat itu dan mulai mencoba meregangkan kain itu dengan penuh semangat.
Pria itu menatap Usha dan tersenyum geli. "Yah, kitty, kamu harus sedikit lebih keras dari itu untuk menyakitiku." Kemudian laki-laki itu tertawa girang. Dia kemudian mengangkat tangannya ke Usha.
Sekarang, meski sebenarnya penulis ingin mengatakan sebaliknya, tapi bajingan itu dengan teganya melemparkan anak kucing kecil ke samping.
“Usha?! Tidak!" Miria dan penulis sama-sama shock di tempat kejadian.
Untungnya, makhluk kecil yang marah itu mendarat dengan anggun di tanah. Miria menghela napas pelan, tetapi kembali khawatir ketika dia melihat sang anak kucing kecil memanjat pereman dan melanjutkan 'pertempuran' dengan pakaian pria itu.
Kita kembali lagi pada Jai. Sekarang dia mengerti bagaimana pereman itu bertarung, dia bisa memikirkan sebuah rencana. Mengingat pengetahuannya tentang seri Avatar, Jai berpura-pura melawan pengendali element bumi yang sebenarnya. Dia tahu itu gila, tapi dia tidak unggul di sini, apalagi dengan Miria dan Usha kecil di sana.
Jai menatap para pereman yang sekarang cukup sibuk menghibur diri dengan tingkah Usha yang menggemaskan. Jai memperbaiki posisi kuda-kudanya dan bersiap sekali lagi.
"Hei! Bertarunglah dengan seseorang yang sesuai ukuranmu sendiri!” teriak Jai.
Mendengarnya, seketika saja para pereman itu mengalihkan perhatiannya ke Jai lagi dan mengejek, "orang bodoh sepertimu membutuhkan lebih banyak pelajaran rupanya."
Pereman itu meremas leher Usha dan melemparkannya dengan kuat tanpa peduli semua orang yang melihatnya di kerumunan. Dia kemudian melemparkan batu di tangannya pada Jai.
Kali ini, Jai mengelak dengan mudah. Meski begitu keduanya tahu kalau ini adalah lemparan yang mudah.
“Heh. Bagaimana dengan ini?" Pria itu bertanya dengan nada mengejek sebelum membuat lebih banyak batu di udara. Dia melemparkan semuanya pada Jai dalam sekali waktu.
Jai mengelak lagi, dan kali ini dia bergerak maju. Pereman ini adalah petarung jarak jauh, jadi Jai harus mendekat demi meningkatkan peluang menyerang. Tetap di tempat tidak akan membawanya kemana-mana.
Lebih banyak batu dilemparkan ke Jai dan dia menghindari sebagian besar darinya, sisanya Jai arahkan ke tanah dengan pukulan dan tendangan untuk menghindari korban manusia.
Pria itu sangat yakin Jai tidak akan bisa menghindari banyak batu yang dia lempar, jadi dia hanya melempar batu demi batu sampai dia merasa staminanya terkuras. Pada saat dia berhenti melempar, Jai sudah berjarak dua kaki darinya. Pria itu tidak sempat menghindar karena Jai langsung meninju perutnya. Pria itu jatuh ke belakang. Namun, dia tidak jatuh ke tanah karena antek-anteknya menangkapnya tepat waktu.
"Kau berani memukul bos, brengsek ?!" Pria botak mengutuk Jai.
"Dasar keparat!!" teriak yang lain.
Pria yang disebut bos itu mendengus kemudian bangkit. "Kamu akan membayar untuk itu." Suaranya terdengar lebih dalam dan lebih marah.
Bos memberi sinyal dan dua lainnya mengambil sikap. Yang botak meninju tangan kanannya ke atas sementara yang lain menginjak tanah demi memunculkan batu yang lebih besar.
Jai merasakan sesuatu menahan kakinya, seketika saja Jai melihat ke bawah. Tanah yang membatu 'menahan' kedua kakinya, menjebaknya di tempat. Jai mencoba menggerakkan kakinya, tetapi gagal, dia bahkan tidak bisa menggoyangkannya. Jai mengutuk diam-diam hingga sebuah teriakan membuatnya mendongak. Jai langsung membiarkan gravitasi mengambil alihnya ke belakang untuk menghindari batu yang dilemparkan ke arahnya. Jeritan terdengar dari kerumunan, tetapi dia tidak punya waktu untuk memeriksanya karena dia merasa tangannya terjepit. Tanpa perlu memeriksanya, Jai tahu kalau tangannya jatuh ke dalam trik yang sama dengan kakinya. Jai menggertakkan giginya kesal.
Bos menertawakannya, “Rupanya kau tidak terlalu kuat, ya?”
Setelah itu dia menoleh pada Miria dan mengulurkan tangannya. “Rubi! Atau aku akan membunuh pacarmu ini!"Miria memucat dan melihat ke arah Jai dan pereman itu. Dia berada dalam posisi yang sangat sulit, dan dia tidak tahu harus berbuat apa.
Jai merasakan amarah berkecamuk di dalam dirinya saat pereman itu mengancam Miria lagi. Dia juga bisa merasakan batu tanah di tangannya merengat sebelum batu yang menahan kakinya pecah hingga potongannya itu menyebar.
Pereman botak itu tampak terkejut dan mencoba memperingatkan bosnya, "Eh bos ..."
Bos menatapnya kesal sambil mengarahkan jarinya pada Jai. Bos itu kemudian menoleh ke depan lagi, tetapi langsung disambut dengan kilatan petir putih yang menyerang wajahnya.
Pernahkah kau berpikir kalau di alam semesta yang tidak berujung ini terdapat kehidupan lain selain di bumi? Sebuah kehidupan yang penuh dengan orang-orang kuat dengan kemampuan sihir yang berasal dari alam. Para pengguna element.Alam dengan sendirinya memilih siapa orang terpilih yang bisa melintasi ruang dan waktu untuk hidup di dunianya yang lain. Sebuah dunia yang penuh dengan pertarungan dan perjuangan.Ya, itulah kisahnya. Kisah Jai. Seorang anak manusia yang terpilih sebagai pengguna elemen petir terakhir di dunianya yang baru. Semuanya itu berawal dari sini...**Manhattan, New York. 21 Februari 2016.Bicara soal kehidupan. Apa yang lebih menyakitkan selain melihat kekasih hati terang-terangan berselingkuh bersama pria lain tepat di hari ulang tahunmu? Dan itulah yang dirasakan oleh Jai saat ini. Dia teramat kesal karena melihat pacarnya bermesraan di depan umum.“Megan, apa yang kamu lakukan?!” tanya Jai dengan sorot mata yang penuh dengan kemarahan.Perempuan yang ada di ha
Kepala Jai berdenyut-denyut seperti orang gila, dan dia seharusnya mengatasinya terlebih dahulu daripada berlari ke sumber teriakan dari seseorang yang tidak dikenal. Dia melihat bulan terbelah menjadi dua! Tunggu, itu terdengar salah. Masa bodo!Jai mendengar kucing seputih salju itu mengeong, dia pun segera memeluknya dengan erat ke dada sebelum mempercepat langkahnya. Melewati berbagai pohon-pohon mati di sisinya, dia pun tiba di jalan setapak yang membentang ke samping. Tanahnya kini berbeda, karena berwarna abu-abu dan tampak lebih kokoh ketimbang tanah merah yang dia tapaki sebelumnya. Jai sedikit mengerucutkan bibirnya.'Ke mana sekarang?' Pikirnya.Tidak lama kemudian Jai mendengar tawa samar dari sebelah kanannya. Suara itu terdengar cukup jauh. Dia pun berlari ke kanannya.Tidak butuh waktu lama bagi Jai untuk tiba di tempat kejadian. Dia bisa melihat beberapa pria bersenjata mengelilingi seorang pria tua di tanah tanpa senjata, dan di sebelah k
Jai dengan santai menarik gerobak yang ada di belakangnya. Dia berjalan dengan penuh semangat, seolah-olah Jai tidak baru saja melawan delapan pria yang mencoba merampok seorang kakek tua. Batin sang kakek yang saat ini sedang duduk di gerobak yang sedang Jai tarik, menjadi sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Di pangkuannya ada seekor anak kucing putih yang sedang tertidur tanpa peduli dengan dunia sekitarnya.Mereka sudah berjalan selama hampir satu jam lamanya dan Jai pun telah berusaha mengobrol dengan sang kakek. Jai dengan hati-hati bertanya siapa dia, bagaimana perasaan sang kakek tua itu saat ini, apa yang ada di gerobak, atau siapa orang-orang yang telah menyerangnya itu. Hal-hal semacam itu.Kakek tua itu memperkenalkan dirinya sebagai Barun. Dia memiliki seorang cucu perempuan bernama Miria, dan mereka tinggal di sebuah desa bernama Letush. Letush adalah desa kecil yang terletak di barat daya Kerajaan Aeronvein.
Barun mengarahkan Jai melewati gerbang. Mereka melewati beberapa rumah kecil dan juga beberapa gudang lumbung. Setelah itu mereka sampai di sebuah halaman kecil dengan sumur batu di tengahnya.Jai melihat seorang gadis sedang duduk di tepi sumur, wajahnya menunduk ke bawah. Jai menyadari kalau gadis itu mengerutkan kening saat mereka berjalan mendekat. Tidak berapa lama, Barun yang ada di belakangnya memanggil, "Miria!"Gadis itu mendongak dan ekspresinya langsung berubah menjadi sangat gembira."Kakek!" seru Miria. Dia pun lekas berlari ke arah Jai dan Barun dengan gembira."Apa yang kamu lakukan di sini, cucuku? Kenapa memakai pakaian seperti itu?” tanya Barun, nada khawatir terselip di suaranya.“A-Aku menunggumu, kakek… aku khawatir…” Miria membela dirinya. Dia tersenyum meminta maaf kepada sang kakek.Sekarang gadis itu hanya berjarak dua kaki dari Jai, dia bisa melihatnya dengan lebih baik. Gadis itu mem
Kekecewaan.Amarah.Kesedihan.Jai masih tidak percaya pacarnya telah memutuskan hubungan mereka hanya karena dia miskin. Ya, itu artinya Meghan tidak layak untuk Jai. Wanita itu tidak pantas menerima semua hal yang telah Jai berikan untuknya. Tabungannya... Uang yang Jai dapatkan selama ini...Seandainya saja Jai bisa putus lebih cepat. Itu adalah hal yang paling Jai sesali dalam hubungannya dengan Meghan.“Kamu miskin.”Suara Megan menggelegar di ruang gelap tak terhingga tempat Jai berada saat ini.Intensitas rasa sinis dalam suaranya membuat Jai kesal bukan main. Dia berharap tidak pernah melihat perempuan itu lagi. Kalau nanti dirinya sudah kembali ke kota, Jai akan memastikan kalau Meghan atau Chen atau apa pun itu, tidak akan ada yang bisa menghancurkan kehidupan Jai di hari esok dan sisa hidupnya di masa depan. Ah, Jai bahkan tidak akan tanggung untuk pergi ke Jerman kalau memungkinkan.Tidak berselang lama suara lain muncul. Sebuah suara yang terdengar seperti letusan kecil.
Jai dan Miria berjalan berdampingan menuju pasar. Usha kecil ada di antara mereka, berjalan dengan begitu anggunnya seperti pemilik jalan. Sudah beberapa kali Usha melewati pergelangan kaki Miria seolah-olah memang bermaksud melakukan hal itu. Tindakannya itu mengejutkan dan menarik perhatian Miria setiap saat. Meski begitu, Miria tidak merasa terganggu, dia bahkan menganggap apa yang dilakukan oleh Usha sebagai tindakan yang menggemaskan.Jai bersyukur dengan apa yang dilakukan oleh Usha. Setidaknya hal itu bisa mengalihkan perhatian Miria darinya dan Jai bisa lebih memikirkan lagi tentang mimpinya semalam.Jai tidak salah ingat. Dia bermimpi tentang api biru dan putih, dengan api putih mendominasi warna biru. Ada juga beberapa bayangan orang. Sebagian bayangan itu bisa Jai kira sebagai pihak militer, dan sebagian lain adalah orang-orang yang berstatus lebih rendah, mungkin lebih tepatnya penduduk biasa. Suasananya terlihat seperti medan perang, tetapi tidak terlalu b